42
sepenuhnya hapus, namun hak-hak tersebut harus tetap diatur untuk mebatasi sifatnya yang bertentangan dengan UUPA.
32
Dalam pembahasan ini selanjutnya sebelum diterbitkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia no 26 tahun 1988 tugas bidang pertanahan berada pada Departemen Dalam Negeri
yang mana dilaksanakan oleh Direktoral Jendral Agraria, setelah diterbitkannya keppres no 26 Tahun 1988 tersebut, maka tugas di bidang pertanahan berada pada Badan Pertanahan
Nasional. Dalam Pasal 2 Keppres tersebut ditegaskan bahwa Badan Pertanahan bertugas
membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan yang baik berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria maupun Peraturan Perundang-undangan lainnya
yang meliputi: 1.
Pengaturan, pengguna penguasaan dan pemilikan tanah 2.
Pengurusan hak-hak atas tanah 3.
Pengukuran dan pendaftaran tanah 4.
Lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden.
C. Bentuk-Bentuk Pengadaan Tanah
Pengadaan Tanah menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum pihak yang berhak.
32
Ibid, hal 215
Universitas Sumatera Utara
43
Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 dua bentuk pengadaan tanah yaitu :
1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah pembebasan hak
atas tanah. 2.
Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah
ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah. Sebelumnya oleh Perpres
No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan
dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak
atas tanah di dalam Perpres No. 652006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara
paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh
terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.
33
Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun 2006 antara cara pembebasan dan pencabutan
sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang-wenang dan tidak dengan mudah saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari
33
Arie Sukanti, Bentuk Pengadaan Tanah bagi Pembangunan, Jakarta, Rajawali Press, 2009, hal 11.
Universitas Sumatera Utara
44
segi Hak Asasi Manusia HAM, Perpres No 65 Tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya.
Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga memberikan suatu terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A. Pasal 18A menentukan apabila yang
berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka
yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi.
34
34
Binsar Simbolon, Bentuk-bentuk pengadaan tanah Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta, Buku Pintar, 2010, hal. 4-6.
Universitas Sumatera Utara
45
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK
KEPENTINGAN UMUM
A. Landasan Hukum Pengadaan Tanah Guna Kepentingan Umum.