Konsep Civic Center di Praja Mangkunegaran

commit to user 62

2. Konsep Civic Center di Praja Mangkunegaran

Kota Surakarta memiliki dualisme dalam konsep tata ruang kotanya. Pertama sebagai pusat kekuasaan Mataram menerapkan konsep kosmologi Jawa, sementara sebagai kota yang sejak berdiri telah mendapatkan intervensi oleh kekuatan asing, kota ini juga menerapkan konsep kota kolonial. Kedua konsep ini tumpang tindih, konsep tata ruang yang mencerminkan filosofi masyarakat penghuninya tentu saja mengalami disorientasi dengan adanya percampuran cara hidup yang boleh dikatakan memiliki jarak budaya yang berseberangan yaitu antara budaya Timur dan budaya Barat. Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran dipisahkan oleh jalan poros groote weg yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai jalan berbaris pasukan militer belanda. Dalam menangani persoalan yang langsung menyangkut eksistensi Praja Mangkunegaran, wewenang dipegang oleh P.A.A Mangkunagoro. Oleh sebab itu P.A.A Mangkunagoro merasa berwenang untuk mengadakan penataan ruang wilayahnya dengan inisiatif sendiri. Langkah besar yang diambil dan sangat menentukan dalam perkembangan dan keberadaan Praja Mangkunegaran adalah kebijakan pendahulu Mangkunagoro VII yaitu P.A.A Mangkunagoro IV yang menghapuskan tanah apanase dan mengganti tanah lungguh ini dengan gaji berupa uang kepada para bangsawan. Penghapusan tanah apanase dilakukan oleh P.A.A. Mangkunagoro IV pada tahun 1862. Kebijakan ini diambil untuk memperbaiki kondisi keuangan praja yang sangat buruk. Bersamaan dengan hal itu, Mangkunagoro juga menghapus gelar pangeran di antara kerabatnya sehingga bisa mengurangi jumlah wewenang dan gaji yang membebani anggaran kadipaten. Tanah-tanah lungguh yang kembali kemudian dijadikan sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan pabrik dan perkebunan gula di Colomadu dan Tasikmadu. Dengan dua pabrik gula tersebut, Praja Mangkunegaran berhasil memperoleh dana yang besar untuk mendanai pembangunan wilayahnya. Pada pola pemukiman di Praja Mangkunegaran, konsep pembuatan jaringan jalan dibangun menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah jalan tradisional. Daerah kota Mangkunegaran menunjukkan model pembangunan jalan bergaya Eropa dengan pembuatan commit to user 63 taman-taman diantara pertigaan dan perempatan jalan. Pembangunan jalan di Mangkunegaran secara besar-besaran dilakukan pada tahun 1917, ketika P.A.A Mangkunagoro VII naik tahta. Atas keinginan Mangkunagoro VII pembuatan jalan-jalan di wilayah Mangkunagoro harus menambah keindahan estetika ruang kota. Biaya penggarapan proyek pembangunan jalan diambil dari dana Mangkunegaran Mangkoenagaransche Fonds seperti yang terdapat dalam Het Begrooting van Mangkoenagoroshe Rijk over het jaar 1920 Daerah sebelah utara pamedan wilayah Mangkunegaran telah menjadi perumahan elit Eropa dengan nama Villapark. Lingkungan Villapark dinyatakan sebagai lingkungan elit dengan peraturan tersendiri yang dapat dilihat dari Undang-Undang tentang penggunaan tanah negara di Surakarta, khususnya daerah Mangkunegaran. Peraturan tentang penggunaan tanah negara di Mangkunegaran tidak meliputi daerah Villapark, karena daerah ini sudah mempunyai peraturan tersendiri yang ditetapkan tanggal 1 November 1913. Lingkungan Villapark dihuni oleh sebagian besar orang Eropa yang bekerja di sektor perkebunan. Memang awalnya daerah Villapark merupakan daerah yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda, namun karena perkembangan dan kemajuan zaman telah membuat golongan pribumi masuk kedalam lingkungan tersebut. Hal ini sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 1 November 1913 : ”...bahwa yang boleh bertempat tinggal di daerah Villapark hanyalah bangsa Belanda, namun jika karena kemajuan zaman bangsa Jawa juga boleh bertempat tinggal seperti juga layaknya orang- orang Belanda” M.N Rijkwaterstaat, 29 November 1936, Koleksi Arsip Mangkunegaran, tanpa nomor catalog. Adapun tahap perkembangan kota yang dipengaruhi oleh situasi kolonial, digambarkan oleh Abdurachman Surjomihardja sebagai berikut: ”Bermula dari sebuah jalan raya kemudian didirikan kantor-kantor pemerintahan kolonial dan sebuah benteng, selanjutnya dibangun daerah pemukiman orang-orang Eropa, sebuah klub dan arena balap kuda. Daerah sekitar kota menjadi usaha orang Eropa dalam bentuk perkebunan, pertanian, dan industri. Jalan kereta api dan jembatan- commit to user 64 jembatan penghubungnya banyak didirikan, demikian juga halnya dengan gudang –gudang penimbunan. Kota menjadi pusat pemrintahan kolonial dan berdatangan kaum imigran baru” Abdurachman Surjomihardja, dalam Ibrahim Alfian, 1987: 256-270. Jalan poros lurus yang dibangun sampai titik tugu pemandengan ndalem memiliki arti khusus yang dihubungkan dengan kosmologi Jawa. Jalan poros lurus ini memisahkan wilayah di sebelah timur jalan dan barat jalan. Wilayah di sebelah timur jalan puro ini adalah daerah Pasar Legi. Di Pasar Legi aktivitas seluruh masyarakat tumpah ruah. Pasar Legi merupakan simbol kehidupan duniawi dimana manusia memikirkan dan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Dalam konsep kosmologis harus selalu ada keseimbangan antara dunia sekuler dan dunia spiritual. Bila daerah timur diibaratkan sebagai dunia sekuler, sebaliknya daerah sebelah barat merupakan simbol kehidupan spiritual. Hal ini ditandai dengan keberadaan masjid di kampung Kauman. Kampung Kauman merupakan tempat pemukiman abdi dalem reh pangulon yaitu penghulu dan kaum alim ulama. Konsep ”civic center” telah diterapkan di wilayah kota Mangkunegaran. Pada konsep ini berbagai kantor pusat pemerintahan ketatanegaraan kota praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Di zona civic center ini dibangun : Soos Mangkunegaran yaitu gedung pertemuan untuk para pegawai, Soos Militer yang digunakan sebagai gedung pertemuan untuk para bintara, tempat ibadah, gudang untuk legiun Mangkunegaran, tiga gedung kelurahan, kantor polisi, beberapa pos jaga, dan beberapa rumah dinas untuk para pejabat dari bupati, wedana, hingga camat. Seluruh pembangunan sarana dan prasarana ini diatur oleh Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran. Kantor kelurahan di wilayah kota Mangkunegaran letaknya selalu berada di pojok. Hal ini secara filosofis melambangkan bahwa sebagai pemimpin harus selalu mengayomi rakyatnya. Makna filosofis ini erat kaitannya dengan konsep Tri Dharma yang dianut Praja Mangkunegaran.Konsep Tri Dharma tersebut adalah Mulat Sarira Hangrasa Wani kenalilah dirimu sendiri, Rumangsa melu commit to user 65 Handarbeni merasa ikut memiliki, Wajib Melu Hangrungkebi berkewajiban untuk siap membela kepentingan Praja. Pelayanan bagi masyarakat di bidang transportasi, khususnya kereta api berada di wilayah Balapan. Sebelum di Balapan didirikan stasiun kereta api, dahulu daerah itu merupakan area khusus pacuan kuda yang dilengkapi dengan tribun terbuka yang dibangun pada masa Mangkunagoro IV, tetapi kemudian area pacuan kuda dipindah ke wilayah Manahan. Stasiun kereta api Balapan dikelola oleh perusahaan swasta yakni NIS. Pembangunan jalur kereta api yang ada di kota dilakukan pada tahun 1923, setelah dibangun jalur kereta api oleh NIS yang menghubungkan Solo-Wonogiri-Baturetno dengan panjang rel 79 kilometer Metz, Th. M, 1939 : 68 . Pembangunan jalur kereta api ini bagi perkembangan kota adalah aspek modernisasi, dari hewan ke mesin, walaupun ada unsur diskriminasi etnis dan sosial sebab tidak semua orang dapat menggunakan fasilitas ini dengan bebas karena ada keterbatasan-keterbatasan seperti mahalnya ongkos naik kerata saat itu sehinga hanya orang-orang Eropa dan kaum bangsawan saja yang dapat bepergian dengan fasilitas ini. Bagi kaum pribumi yang mampu menjangkau fasilitas ini mendapatkan perbedaan dalam pelayanan. Untuk kaum pribumi gerbong yang disediakan lebih sedikit sehingga harus digunakan melebihi kapasitas. Sementara orang Eropa dan kaum bangsawan dapat duduk dengan leluasa, menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Hal ini semakin terlihat jelas dari lokasi stasiun yang berada di wilayah pemukiman Eropa. Stasiun Purwosari terletak didekat pemukiman Eropa dan etnis Cina di sepanjang jalan poros utama sekarang jalan slamet riyadi. Stasiun balapan terletak di dekat pemukiman Eropa di Villapark. Pembangunan fasilitas kesehatan di bawa oleh misi zending dengan membuka rumah sakit di Jebres dan Mangkubumen . Rumah sakit Mangkubumen terletak dekat barak militer Belanda, tepatnya di timur Masjid Kota Barat sekarang. Selain rumah sakit milik zending di wilayah Mangkunegaran dibuka pula klinik kesehatan yang terletak di sebelah barat Puro Mangkunegaran dan selain rumah sakit dalam kota juga dibangun klinik di wilayah perkebunan. commit to user 66

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN

A. KESIMPULAN

1. Di Praja Mangkunegaran, kondisi perekonomian yang sulit berhasil dilalui Mangkunagoro VI. Beban berat yang harus dipikul Mangkunagoro VI adalah membangun kembali keuangan Praja Mangkunegaran yang mengalami kemerosotan. Keadaan ini terjadi karena perkebunan-perkebunan yang menjadi andalan Praja Mangkunegaran terserang wabah hama yang hebat dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Selain itu Pemerintah Kolonial Belanda mempermainkan harga barang yang dijual kepihak Belanda, yaitu memberi harga serendah mungkin. Sehingga menimbulkan kekosongan kas di Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegaran dililit banyak hutang sehingga tidak mampu memberikan gaji kepada pegawainya. Pemikiran Mangkunagoro VI tersebut sedikit demi sedikit telah menampakkan hasilnya. Beliau telah dapat mengembalikan kemakmuran bagi Pemerintahan Praja Mangkunegaran. Hutang-hutang yang menumpuk telah dapat dilunasi, bahkan kondisi keuangan kas Praja Mangkunegaran mengalami surplus. Kondisi keuangan Praja Mangkunegaran yang berangsur-angsur membaik dan mengalami surplus ini mendorong Mangkunagoro VII untuk melakukan alokasi dana bagi pembangunan khususnya di Praja Mangkunegaran. Pembangunan dilakukan di bidang pendidikan, irigasi, pertanian, pembangunan sarana perkotaan. Sejak awal abad XX di Praja Mangkunegaran telah dilakukan serangkaian kebijakan pembaharuan dalam bidang pemerintahan. Berbeda dengan pembaharuan- pembaharuan dalam bidang lainnya seperti : birokrasi, pengaturan keuangan, pembangunan, maka bidang pendidikan secara politis tidak banyak mendapatkan pencekalan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Walaupun segala kebijaksanaan Mangkunagoro dan pelaksanaannya dalam lapangan tidak bebas dari pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda. Pembaharuan dalam berbagai bidang, khususnya pembangunan sarana perkotaan bagi Mangkunagoro VII dipandang sebagai kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, sebab