PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN ( STUDI TENTANG KEBIJAKAN MANGKUNEGORO VII , 1916 – 1944 )

(1)

commit to user

PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN ( STUDI TENTANG KEBIJAKAN MANGKUNEGORO VII , 1916 – 1944 )

SKRIPSI Oleh:

Nova Yunanto Putro NIM: K 4407032

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

ii

PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN ( STUDI TENTANG KEBIJAKAN MANGKUNEGORO VII , 1916 – 1944 )

Oleh :

Nova Yunanto Putro NIM: K 4407032

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan

mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(3)

commit to user


(4)

commit to user


(5)

commit to user

v ABSTRACT

Nova Yunanto Putro. K4407032. URBAN DEVELOPMENT OF MANGKUNEGARAN (VII Mangkunegara Policy Studies, 1916 - 1944). Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Eleven March Surakarta University, April 2011.

The purpose of this research was to describe: (1) Development of the city of Mangkunegaran 1944, (2) Layout of the city of Mangkunegaran 1916-1944.

The purpose of the research, was historical method with the heuristic step, critical, interpretation, and historiography. The data of the study were primary sources and secondary sources. Collecting data technique was by literature studies. The technical analysis data was historical analysis, by conducting internal and external criticism.

Based on this research, it can be concluded that: (1) Financial condition Praja Mangkunegaran which gradually improved and the surplus is pushed Mangkunegoro VII to perform the allocation of funds for development, especially in Praja Mangkunegaran. Development carried out in the field of education, irrigation, agriculture, urban infrastructure construction. Since the early twentieth century in Praja Mangkunegaran has done a series of reforms in the areas of government policy. Although all Mangkunagoro policy and its implementation in the field is not free from the supervision of the Dutch colonial government. Renewal in various fields, especially the urban development of facilities for Mangkunagoro VII is seen as a requirement that can not be put off again, for the development of the world requires people to follow the times. In the reign of Mangkunegoro VII for 28 years (1916-1944) occurred toward the development of modernization in education, transportation, urban infrastructure, and irrigation, (2) Cultural and philosophical outlook on life and the concept of Java is evident in every policy taken Mangkunegoro VII in development in Praja Mangkunegaran. Surakarta has the dualism in his hometown of spatial concepts. First as a center of power of Mataram apply the concept of Javanese cosmology, while the city since its foundation has received intervention by foreign powers, the city is also applying the concept of the colonial city. The concept of "civic center" has been applied in urban areas Mangkunegaran. In this concept of constitutional government headquarters of the municipal complex located in one region. Construction of facilities, infrastructure and office buildings were also constructed in Praja Mangkunegaran.


(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Nova Yunanto Putro. K4407032. PERKEMBANGAN PERKOTAAN DI PRAJA MANGKUNEGARAN ( Studi Tentang Kebijakan Mangkunegara VII , 1916 – 1944 ). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Pembangunan kota di Praja Mangkunegaran tahun 1916-1944; (2) Tata ruang di Praja Mangkunegaran tahun 1916-1944.

Sejalan dengan metode dan tujuan penelitian, maka penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, dengan melakukan kritik ekstern dan intern.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kondisi keuangan Praja Mangkunegaran yang berangsur-angsur membaik dan mengalami surplus ini mendorong Mangkunegoro VII untuk melakukan alokasi dana bagi pembangunan khususnya di Praja Mangkunegaran. Pembangunan dilakukan di bidang pendidikan, irigasi, pertanian, pembangunan sarana perkotaan. Sejak awal abad XX di Praja Mangkunegaran telah dilakukan serangkaian kebijakan pembaharuan dalam bidang pemerintahan. Walaupun segala kebijaksanaan Mangkunagoro dan pelaksanaannya dalam lapangan tidak bebas dari pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda. Pembaharuan dalam berbagai bidang, khususnya pembangunan sarana perkotaan bagi Mangkunagoro VII dipandang sebagai kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, sebab perkembangan dunia menuntut masyarakat untuk mengikuti perkembangan zaman. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII selama 28 tahun (1916-1944) terjadi perkembangan ke arah modernisasi di bidang pendidikan, transportasi, infrastruktur perkotaan , dan irigasi ; (2) Budaya dan pandangan hidup serta konsep filosofis Jawa terlihat jelas dalam setiap kebijaksanaan yang diambil Mangkunegoro VII dalam pembangunan di Praja Mangkunegaran. Kota Surakarta memiliki dualisme dalam konsep tata ruang kotanya. Pertama sebagai pusat kekuasaan Mataram menerapkan konsep kosmologi Jawa, sementara sebagai kota yang sejak berdiri telah mendapatkan intervensi oleh kekuatan asing, kota ini juga menerapkan konsep kota kolonial. Konsep ”civic center” telah diterapkan di wilayah kota Mangkunegaran. Pada konsep ini berbagai kantor pusat pemerintahan ketatanegaraan kota praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun.


(7)

commit to user

vii MOTTO

Lila lamun kelangan ora getun

Trimo yen ketaman sokserik sameng dumadi Legowo nelangsa srahing Batara

( Wedatama )

Tuwuh saking katresnan dhumateng para leluhur Mangesthi kukuh adeging Nusa lan Bangsa


(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada: 1. Bapak dan Ibu tercinta

2. Dek agung, dan dek kikis tersayang 3. Sahabat-sahabatku


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin penyusunan skripsi;

3. Ketua Program Studi Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin demi kelancaran penyusunan skripsi;

4. Dr. Hermanu Joebagyo, M.Pd., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan nasehat, waktu, serta kritikan yang membangun selama memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi;

5. Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan waktu, dan motivasi selama memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi;

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.


(10)

commit to user

x

Disadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi diharapkan penulisan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan mahasiswa Program Pendidikan Sejarah pada khususnya.

Surakarta, April 2011


(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PENGAJUAN……….. ii

HALAMAN PERSETUJUAN……….. iii

HALAMAN PENGESAHAN……… iv

HALAMAN ABSTRAK……… v

HALAMAN MOTTO……… vii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. viii

KATA PENGANTAR……… ix

DAFTAR ISI……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Perumusan Masalah……….. 7

C. Tujuan Penelitian……….. 7

D. Manfaat Penelitian………. 8

BAB II LANDASAN TEORI……….. 9

A. Tinjauan Pustaka……… 9

B. Kerangka Berpikir………. 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. 26

A. Tempat dan Waktu Penelitian……… 26

B. Metode Penelitian……….. 26

C. Sumber Data……….. 28

D. Teknik Pengumpulan Data………. 29

E. Teknik Analisis Data……….. 30

F. Prosedur Penelitian………. 31

BAB IV HASIL PENELITIAN……….. 34

A. Pembangunan Kota di Praja Mangukunegaran Tahun 1916-1944 ...……... 34 B. Tata Ruang Kota di Praja Mangukunegaran


(12)

commit to user

xii

Tahun 1916-1944... 57

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN……… 65

A. Kesimpulan……….. 65

B. Impikasi……… 68

C. Saran……… 69

DAFTAR PUSTAKA……… 71


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Autorisatie begrooting van kosten. 1941. Arsip

Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka ... 75

Lampiran 2 : Autorisatie begrooting van kosten. 1940. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka ... 76

Lampiran 3 : Supletie begrooting. 1941. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka. ... 77

Lampiran 4 : Overzichkaart Tirtonadi. Tanpa tahun. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka ... 78

Lampiran 5 : Gambar R.M.A Soeryo Soeparto ... 79

Lampiran 5 : Gambar Pasukan Kavaleri Legiun Mangkunegaran ... 79

Lampiran 6 : Gambar Suasana Kota Surakarta Awal Abad XX ... 80

Lampiran 6 : Gambar Benteng Vastenberg ... 80

Lampiran 7 : Gambar Waduk Tirtomarto dan Waduk Tengklik ... 81

Lampiran 8 : Gambar Gedung SSS dan komplek puro MangkunegaranKawasan Partinituin di Manahan ... 82

Lampiran 9 : Gambar Kios-kios toko dikawasan Pasar Pon dan Partinituin di Manahan ... 83

Lampiran 10 : Gambar Kawasan Koesoemowardani plein dan Gambar Gedung Sekolah Siswo ( H.I.S ) ... 84

Lampiran 11 : Gambar KGPAA Mangkunegoro VII ( 1916 – 1944 ) ... 85

Lampiran 12 : Peta Pulau Jawa, disertai batas-batas Praja M.N ... 86

Lampiran 13 : Peta Praja M.N dengan skala 1 : 750.000 ... 87

Lampiran 14 : Laporan Kontrolir Wonogiri A. Muhlenfeld, tertanggal 1 Maret 1914 ... 88

Lampiran 15 : De Plechtigheid in het Mangkoenegoroschie Vorstenhuis ... 89

Lampiran 16 : PUSTAKA PRAJA ( RIJSBLAD) tahun 1920 No.17 ... 91

Lampiran 17 : Z.H.K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII G.K. Ratoe Timoer. Dharmo Kondho. 19 Mei 1941. ... 92

Lampiran 18 : Gambar Silsilah Keluarga MN VII ... 97

Lampiran 19 : Surat permohonan ijin menyusun skripsi ... 98

Lampiran 20 : Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan skripsi ... 99


(14)

commit to user

xiv

Halaman 75 : Autorisatie begrooting van kosten. 1941. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka

Halaman 76 : Autorisatie begrooting van kosten. 1940. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka

Halaman 77 : Supletie begrooting. 1941. Arsip Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka.

Halaman 78

Halaman 79 Halaman 79 Halaman 80 Halaman 80 Halaman 81

: : : : : :

Overzichkaart Tirtonadi. Tanpa tahun. Arsip

Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka Gambar R.M.A Soeryo Soeparto

Gambar Pasukan Kavaleri Legiun Mangkunegaran Gambar Suasana Kota Surakarta Awal Abad XX Gambar Benteng Vastenberg

Gambar Waduk Tirtomarto dan Waduk Tengklik Halaman 81

Halaman 82 Halaman 82 Halaman 83

: : : :

Gambar Kawasan Partinituin di Manahan Gambar Kawasan Koesoemowardani plein Gambar Gedung Sekolah Siswo ( H.I.S )

Gambar KGPAA Mangkunegoro VII ( 1916 – 1944 ) Halaman 84 : Peta Pulau Jawa, disertai batas-batas Praja M.N Halaman 85 : Peta Praja M.N dengan skala 1 : 750.000

Halaman 86 : Laporan Kontrolir Wonogiri A. Muhlenfeld, tertanggal 1 Maret 1914

Halaman 87 : De Plechtigheid in het Mangkoenegoroschie Vorstenhuis Halaman 90 : PUSTAKA PRAJA ( RIJSBLAD) tahun 1920 No.17

Halaman 93 : Z.H.K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII G.K. Ratoe Timoer. Dharmo Kondho. 19 Mei 1941.

Halaman 97 : Gambar Silsilah Keluarga MN VII Halaman 98

Halaman 99 : :

Surat permohonan ijin menyusun skripsi


(15)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdirinya Pura Mangkunegara merupakan hasil dari sebuah peristiwa besar, pecahnya kerajaan Mataram di Jawa menjadi Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegara berdiri sejak 1757 pada saat RM. Said sebagai penguasa pertama di Praja Mangkunegara. Selanjutnya tahun demi tahun pemerintahan di Mangkunegaran dipegang oleh para Mangkunegara yang bergelar K.G.P.A.A. Mangkunegara (Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara). Dalam kebijakan pemerintahan yang dijalankan pada setiap masa pemerintahan inilah, muncul berbagai bangunan fasilitas publik yang berfungsi sebagai penunjang kehidupan masyarakat, stabilisator kerajaan dan kepentingan politik yang dijalankan bersama-sama dengan pemerintah Kolonial Belanda di Surakarta ( Budihardjo, Eko, 1989 : 26 ).

Garis politik Pemerintah Kolonial Belanda yang bertujuan mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dari penduduk Indonesia melalui Politik Etis telah memberi dampak ekonomi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan Praja Mangkunegaran pada khususnya( Marwati Djoened, 1984 : 34 ).Tahun-tahun permulaan abad XX awal dilaksanakannya Politik Etis ditandai dengan perkembangan ekonomi yang pesat dan perluasan-perluasan jabatan Pemerintah Kolonial di Indonesia. Politik baru pemerintah Kolonial Belanda ini dikenal dengan “ Politik Etis” yang bertujuan untuk menunjukkan adanya Een Eereschuld ( hutang kehormatan ) negara Belanda terhadap jajahannya sehingga mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi penduduk Hindia Belanda ( Robert van Niel, 1984 : 51 ).Selama periode 1900-1925 telah banyak kemajuan yang dicapai oleh pemerintah kolonial, yaitu dengan dijalankannya perubahan dan pembangunan yang cukup besar. Pembangunan ini merupakan keharusan, antara lain desentralisasi, perbaikan pertanian, pembangunan irigasi dan perbaikan kesehatan ( Sartono K, 1976 : 35 ).


(16)

commit to user

Politik Etis lahir atas desakan golongan konservatif yang bersatu dengan golongan agama, mempunyai tujuan :

1. Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi,

2. Berangsur-angsur menumbuhkan otonomi serta disentralisasi politik di Hindia Timur – Belanda ( Akira N,1989 : 11 ).

Dengan adanya perubahan ini pemerintah Belanda mulai memperhatikan kemakmuran dan kemajuan penduduk pribumi, dan menganggap dirinya sebagai pelindung yang bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan kepada penduduk daerah kolonial dalam usaha ke arah kemajuan dan kesejahteraan mereka.

Perkembangan politik kolonial sangat mempengaruhi keadaan di Vorstenlanden. Efisiensi, kemakmuran, dan ekspansi adalah slogan dari politik baru kolonial yang memerlukan campurtangan yang lebih langsung dan lebih tegas dari pemerintah Belanda dalam kehidupan masyarakat. Di Vorstenlanden para residen berpandangan bahwa mereka mempunyai tugas utama untuk menyadarkan pemerintah Vorstenlanden untuk selalu memperhatikan kepentingan dan kemakmuran rakyat, dan jika perlu meminta campur tangan pemerintah kolonial Belanda ( Larson,G.D, 1990 : 28 ).

Mangkunegaran yang merupakan salah satu daerah swapraja tentu saja mempunyai progam kerja untuk memajukan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Mangkunegaran berusaha memperkuat ekonominya dengan jalan mengelola perkebunan maupun perusahaan milik Praja sendiri. Sedangkan sumber-sumber keuangan lainnya adalah hasil penarikan pajak, retribusi, bunga dan pelunasan modal, dan surat-surat berharga ( Th.M.Metz,1986 : 96 ). Dengan adanya sumber-sumber keuangan inilah perekonomian Mangkunegaran menjadi kuat dan mendukung pembangunan di Praja Mangkunegaran. Mangkunegoro VI pada tahun 1912 telah berhasil mengembalikan Mangkunegaran menjadi Praja yang cukup kaya. Beberapa tahun setelah keberhasilannya ini Mangkunegoro VI berniat untuk turun tahta, dan ia menyatakan keinginannya kepada residen Belanda di Surakarta, karena terjadinya pergantian tahta di daerah Swapraja saat


(17)

commit to user

itu harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda. Keinginannya tersebut baru dikabulkan satu tahun kemudian, dan sebagai penggantinya ditunjuklah Raden Mas Soeryo Soeparto, anak angkatnya, yang sebenarnya putra Mangkunegoro V dari selir, seperti diuraikan oleh Parto Hudoyo :“ Ingkang kakarsakaken anggentosi keprabon jumeneng ngasto pusaraning praja Mangkunegaran kaleres putro kapenakan, putro dalem swargi KGPAA Mangkunegoro V saking garwa R Purnamaningrum “( Parto Hudoyo,tt : 74 ).

Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut

: “ Yang ditunjuk untuk menduduki tahta kerajaan Mangkunegaran adalah

keponakan Mangkunegoro VI yang merupakan putra KGPAA Mangkunegoro V

yang lahir dari selir R.Purnamaningrum”. Jadi sebenarnya Soeryo Soeparto

adalah keponakan Mangkunegoro VI, yang kemudian diangkat sebagai anak. Dengan mempertimbangkan berbagai pengalaman serta kecakapan yang dimiliki oleh Soeryo Soeparto , maka dari itu para pembesar kadipaten Mangkunegaran dengan persetujaun pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai kepala pemerintahan di Praja Mangkunegaran, menggantikan Mangkunegoro VI. Ia dinobatkan sebagai pemegang tahta Mangkunegaran pada 3 Maret 1916, dengan gelar Pangeran Adipati Prang Wadono , suatu gelar yang dipakai oleh pemegang tahta Praja Mangkunegaran yang pada saat dinobatkan belum mencapai usia 40 tahun ( Citrosentono, 1921 : 15 ). Pada masa Mangkunegoro VII ( 1916-1944 ), pada tahun pertama pemerintahan dikeluarkan dana yang cukup besar untuk membangun jembatan, jalan, bangunan irigasi, pendirian sekolah-sekolah, dan pembangunan sarana kepentingan umum lainnya. Setiap tahun pada hari peringatan penobatannya, Mangkunegoro VII mengumpulkan keluarganya, pegawai, para perwira dan tamu dari kalangan rakyat dengan memberi wejangan kepada mereka dan menguraikan rencana kerja untuk mengadakan perbaikan pada tahun berikutnya ( Larson,G.D, 1990 : 105 ).

Sejak awal abad XX di Praja Mangkunegaran telah dilakukan serangkaian kebijakan pembaharuan dalam bidang pemerintahan. Berbeda dengan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang lainnya seperti: birokrasi, pengaturan keuangan, pembangunan, maka bidang pendidikan secara politis tidak banyak


(18)

commit to user

mendapatkan pencekalan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Walaupun segala kebijakan Mangkunagara dan pelaksanaannya dalam lapangan tidak bebas dari pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda. Beberapa bangunan fasilitas publik dibangun oleh Pura Mangkunegaran dan Pemerintahan Kolonial Belanda, untuk menunjang stabilitas pemerintahan dan harkat hidup masyarakat.

Pembaharuan dalam berbagai bidang, khususnya pembangunan sarana perkotaan bagi Mangkunegara VII dipandang sebagai kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, sebab perkembangan dunia menuntut masyarakat untuk mengikuti perkembangan zaman. Pembangunan sarana dalam bidang pendidikan dilakukan Mangkunegara VII dengan melanjutkan pengelolaan Sekolah Siswo dan Studiefonds, serta memprakarsai berdirinya Sekolah Siswarini dan Sekolah Van Deventer, juga memperkenalkan pendidikan non formal berupa les-les bahasa asing, khususnya bahasa Belanda dan kursus keterampilan (menjahit, melukis, membuat patung, mengukir).

Pembangunan sarana dalam bidang irigasi ditandai dengan adanya perbaikan sistem irigasi di pabrik gula milik Mangkunegaran. Untuk meningkatkan produksi pangan dibangun sarana irigasi karena daerah Praja Mangkunegaran bagian selatan (Wonogiri) terdiri dari daerah yang berbukit-bukit dan hutannya telah mengalami kerusakan. Sebagai akibatnya ketika hujan, airnya tidak sempat tersimpan oleh tanah. Pada musim kemarau keadaan tanah menjadi kering kerontang, akibatnya tanah itu tidak dapat ditanami. Selama lima tahun Dinas Irigasi Praja (Rijk Waterstaat) yang dipimpin oleh seorang arsitek Belanda, bernama F.E Wolf telah mendirikan sejumlah sarana perairan di wilayah Praja Mangkunegaran. Adapun bangunan ini ialah: Temon, Wiroko, Kebon Agung, Kedung Uling, dan Plumbon.

Pada awalnya Kota Surakarta secara tidak disadari berkembang mengikuti pola pemukiman Belanda di daerah seberang, yang berkembang dari sebuah loji kecil kecil, menjadi kota faktori, dan kota dagang besar. Kota-kota di Jawa, pada perkembangan sejarahnya memiliki berbagai karakter dan sifatnya yang khas. Surakarta dan Yogyakarta yang dulunya adalah sebuah kerajaaan besar , yaitu Kerajaan Mataram Islam ( Sri Margana, 2010 : 28 ). Konsep kota Surakarta


(19)

commit to user

sebagai “Solo Berseri” sebenarnya telah muncul sejak masa pemerintahan Mangkunegara VII. Hal in ditandai dengan pembangunan sarana umum antara lain: Taman Tirtonadi, Minapadi, Partimah Park, Societeit Sasono Suko (SSS). Taman Tirtonadi dibangun dengan memanfaatkan air Kali Pepe yang terjun melalui pintu air Kali Anyar. Nama Partimah Park berasal dari nama puteri bungsu Mangkunegara VII. Taman ini berada di sebelah timur Taman Tirtonadi. Dan setiap sore menjadi area bermain bagi anak-anak dengan beraneka ragam permainan seperti ombak banyu, timbangan (jungkat-jungkit), bandulan (ayunan). Societeit Sasono Suko (SSS) mulai dibangun pada tahun 1918 oleh seorang arsitek pribumi yang bernama Atmodirono. Masyarakat awam menamakan gedung ini dengan “Kamar Bola” karena bangunan klasik yang bagian depannya dilengkapi dengan ornamen candi ini setiap malam selalu dipakai oleh orang-orang Belanda untuk bermain bola sodok atau billiard.

Pembagian wilayah kota atas kampung-kampung yang memiliki spesifikasi tertentu membentuk toponimi yang dapat dibagi dalam beberapa kelompok menurut nama atau gelar figur penting, nama kelompok abdi dalem, aktivitas setempat, maupun bentukan baru (Hari Mulyadi, dan Soedarmono dkk, 1999: 178-180). Secara historis kota kolonial, termasuk Surakarta, memisahkan pemukiman penduduk berdasarkan garis warna. Namun pada perkembangan berikutnya kota tidak lagi membagi berdasarkan ras (etnis). Dengan adanya pembangunan perumahan, perbaikan ekonomi, mobilitas sosial masyarakat pribumi, telah menjurus pada pemisahan pemukiman berdasarkan kelas sosial. Wilayah kelas teratas tidak lagi dihuni orang Eropa saja, tetapi juga oleh usahawan-usahawan lokal, jenderal-jenderal pribumi, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintah. Dengan kata lain pemukiman kelas atas terdiri dari berbagai macam etnis (Evers, 1986: 57).

Kota Surakarta memiliki dualisme dalam konsep tata ruang kotanya. Pertama sebagai pusat kekuasaan Mataram menerapkan konsep kosmologi Jawa, sementara sebagai kota yang sejak berdiri telah mendapatkan intervensi oleh kekuatan asing, kota ini juga menerapkan konsep kota kolonial. Kedua konsep ini tumpang tindih, konsep tata ruang yang mencerminkan filosofi masyarakat


(20)

commit to user

penghuninya tentu saja mengalami disorientasi dengan adanya percampuran cara hidup yang boleh dikatakan memiliki jarak budaya yang berseberangan yaitu antara budaya Timur dan budaya Barat (Kusumastuti, 2004: 28). Pada pola pemukiman di Praja Mangkunegaran, konsep pembuatan jaringan jalan dibangun menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah jalan tradisional. Daerah kota Mangkunegaran menunjukkan model pembangunan jalan bergaya Eropa dengan pembuatan taman-taman di antara pertigaan dan perempatan jalan (Het Begrooting van Mangkoenagoroshe Rijk over het jaar 1920).

Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Di zona civic center ini dibangun : Soos Mangkunegaran yaitu gedung pertemuan untuk para pegawai, Soos Militer yang digunakan sebagai gedung pertemuan untuk para bintara, tempat ibadah, gudang untuk legiun Mangkunegaran, tiga gedung kelurahan, kantor polisi, beberapa pos jaga, dan beberapa rumah dinas untuk para pejabat dari bupati, wedana, hingga camat. Seluruh pembangunan sarana dan prasarana ini diatur oleh Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran.

Dengan berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis mengambil Judul : “ Perkembangan Perkotaan Di Praja Mangkunegaran ( Studi tentang kebijakan Mangkunegara VII , 1916 – 1944 ) “


(21)

commit to user

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan beberapa masalah antara lain :

1. Bagaimana pembangunan Kota di Praja Mangukunegaran Tahun 1916-1944.

2. Bagaimana tata ruang Kota di Praja Mangukunegaran Tahun 1916-1944.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pambangunan Kota di Praja Mangukunegaran Tahun 1916-1944.

2. Mengetahui tata ruang Kota di Praja Mangukunegaran Tahun 1916-1944.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat :

1. Menambah khasanah pengetahuan, yaitu dapat memberikan pengetahuan tentang pembangunan Kota di Praja Mangkunegaran tahun 1916 – 1944.

2. Menambah wawasan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca tentang pembangunan Kota dan tata ruang Kota di Praja Mangkunegaran tahun 1916 – 1944.


(22)

commit to user

2. Manfaat Praktis

1. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Untuk menambah koleksi perpustakaan Progam Studi Pendidikan Sejarah.


(23)

commit to user

9 BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Kota

Menurut Bintarto ( 1984: 36 ), kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis; atau dapat diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang heterogen dan materialistis dibandingkan bengan baerah belakangnya.

Mater melihat kota sebagai tempat pemukiman penduduknya; baginya yang penting dengan sendirinya bukanlah rumah tinggal, jalan raya, rumah ibadat, kantor, taman, kanal dan sebagainya, melainkan penghuni yang menciptakan segalanya itu. Mumfort lebih melihat kota sebagai suatu tempat pertemuan yang berkiblat keluar. Max Weber memandang suatu tempat itu kota, jika penghuninya sebagian besar telah mampu memenuhi kebutuhannya lewat pasar setempat. Christaller menunjukan fungsi kota sebagai penyelenggaran dan penyediaan jasa-jasa bagi sekitarnya; kota itu pusat pelayanan ( Short, 1982 : 3-6). Sjoberg melihat lahirnya kota lebih dari timbulnya suatu golongan spesialis non-agraris, di mana yang berpendidikan merupakan bagian penduduk yang terpenting. Mereka itu adalah para literati yakni golongan pujangga, sastrawan dan ahli keagamaan. Sedangkan Harris dan Ullman melihat kota sebagai pusat untuk permukiman dan pemanfaatan bumi oleh manusia; buktinya pertumbuhan kota pesat dan mekarnya terus-menerus. Tetapi sambil mekar terjadi masalah pemiskinan bagi manusianya, sehingga muncul berbagai masalah sosial ( Bintarto,1984 : 8 ). Sehingga dapat dikatakan kota adalah suatu kawasan yang biasanya memiliki ciri-ciri: jumlah penduduk yang relatif padat dibanding dengan kawasan sekitarnya, hubungan kekerabatan masyarakatnya longgar, penduduknya memiliki berbagai ragam profesi yang bersifat nonagraris, terdapat berbagai macam fasilitas umum relatif


(24)

commit to user

lebih beragam dan modern dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Penduduknya dalam bekerja menggunakan manajemen yang lebih profesional dan masyarakatnya lebih memiliki kompleksitas kebutuhan dan kepentingan. Pemahaman kota untuk kurun waktu tertentu dengan kurun waktu yang lain juga berbeda.

Di Jawa istilah kota dapat di identikan dengan sistem pemerintahan yang berpolitik, yaitu keraton. Orang Jawa zaman dahulu jika menyebut kota atau keraton dan penduduk sekitarnya menggunakan istilah negari ( bahasa Jawa ).Pada awalnya kota dapat di identikkan dengan keraton. Istilah nagari mirip dengan bunyi negara yang berarti , suatu lembaga yang memiliki sistem pemerintahan yang berpolitik dan memiliki warga. Istilah ini memiliki keterkaitan asal usul kata sehingga akan semakin jelas bahwa kota terbentuk karena menonjol sistem pemerintahannya. Menurut J. Gonta ( 1973 : 480 ) dalam bahasa Sansekerta, kota dapat diartikan sebagai benteng atau pertahanan. Dalam bahasa Melayu, kota diartikan sebagai desa yang dipertahankan, atau sebagai satu kesatuan politik. Dengan demikian, cirri khas kota yang menonjol adalah peran politiknya. Seiring perkembangan zaman khususnya di Jawa tidak hanya memiliki sistem politik saja, tetapi juga sebagai pusat industri, perdagangan dan sebagainya. Di Jawa ciri kota antara lain meliputi : 1) keraton ( pusat pemerintahan ); 2) alun-alun yang terletak di depan keraton; 3) masjid disebelah kiri alun-alun-alun-alun ; dan 4) pasar tradisional di depan alun-alun keraton. Secara sosial, di Jawa, cirri - ciri lokasi pusat-pusat kegiatan diatas cenderung memiliki lokasi yang berdekatan, karena kebiasaan masyarakat Jawa hidup secara komunal ( Hariyono , 2007 : 59 ).

Awal terjadinya permukiman disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah perpindahan penduduk hingga menetap pada suatu wilayah. Kota tumbuh dengan sendirinya selanjutnya manusia mengembangkan untuk kebutuhannya, selain itu ada juga kota yang tumbuh karena direncanakan. Dengan demikian kota dapat diartikan sebagai berikut. Dalam arti sempit, kota merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan budaya di suatu wilayah.Dalam arti luas, kota merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial,


(25)

commit to user

ekonomi, politik, dan budaya di suatu wilayah dalam hubungannya dan pengaruh timbal balik dengan wilayah lain.Kota, adalah tempat tinggal dari beberapa ribu penduduk atau lebih. Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum.

Kota ditinjau dari segi fisik morfologis adalah suatu daerah tertentu dengan karakteristik pemanfaatan lahan non pertanian, pemanfaatan lahan dimana sebagian besar tertutup oleh bangunan, kepadatan bangunan khususnya perumahan yang tinggi, pola jaringan jalan yang kompleks, dalam satuan pemukiman yang kompak dan relatif lebih besar dari satuan pemukiman kedesaan di sekitarnya. Sementara itu daerah yang bersangkutan sudah/mulai terjamah fasilitas kota. Sedangkan secara fisik kota adalah area-area terbangun di perkotaan yang terletak saling berdekatan, yang meluas dari pusatnya hingga keluar daerah pinggiran kota. Ditinjau dari segi yuridis administrative kota dapat didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu dalam wilayah Negara dimana keberadaannya diatur oleh Undang-Undang (peraturan tertentu), daerah mana dibatasi oleh batas-batas administrative yang jelas yang keberadaannya diatur oleh Undang-Undang/peraturan tertentu dan ditetapkan berstatus sebagai kota dan berpemerintahan tertentu dengan segala hak dan kewajibannya dalam mengatur wilayah kewenangannya.

Menurut Sujarto (1970 : 18 ), kota merupakan kesatuan masyarakat yang heterogin dan masyarakat kota mempunyai tingkat tuntutan kebutuhan yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan penduduk pedesaan. Sedangkan menurut Bintarto (1977 : 35 ) kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogin dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.

Bagi masyarakat di Praja Mangkunegaran, praja atau kota praja bukan hanya suatu pusat politik dan budaya, tetapi merupakan pusat keramat. Keraton adalah tempat bersemayam raja dan raja merupakan sumber-sumber kekuatan kosmis yang mengalir di daerah-daerah yan membawa ketentraman, keadilan, dan


(26)

commit to user

kesuburan. Paham ini terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa keempat wilayah Jawa Tengah hasil perpecahan kerajaan Mataram. Kedua penguasa di Yogyakarta menyebut diri Hamengku Buwana (yang memangku jagad raya), dan Paku Alam. Para penguasa Surakarta menyebut dirinya Paku Buwana dan Mangkunagoro (yang memangku negara). Pandangan tentang keraton sebagai pusat kekuasaan kosmis menentukan paham negara, kekuatan yang ada di pusat semakin menjauh akan semakin redup, dan bahkan hilang. Begitu juga menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat di pusat, didekat raja. Dari ibukota kekuatan raja memancar sampai kedesa-desa. Kekuatan itu ada karena seluruh kekuatan itu menjaga keraton dan memberikan perlindungan serta memberi keselamatan pada para penghuninya.

Fungsi kota di Praja Mangkunegaran sebagai pusat pemerintahan yang menerapkan konsep ”civic center”. Berbagai kantor pusat pemerintahan ketatanegaraan kota praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Pembagian wilayah kota atas kampung-kampung yang memiliki spesifikasi tertentu membentuk toponimi yang dapat dibagi dalam beberapa kelompok menurut nama atau gelar figur penting, nama kelompok abdi dalem, aktivitas setempat, maupun bentukan baru. Di wilayah Praja Mangkunegaran, beberapa kampung juga berfungsi sebagai tempat pemukiman kompleks pejabat praja seperti kampung Tumenggungan. Kampung Tumenggungan merupakan tempat tinggal para pejabat yang memegang peranan dalam sistem birokrasi pemerintahan Praja Mangkunegaran, mengingat para pejabat yang tinggal di kampung ini bergelar Tumenggung. Sementara kampung Punggawan merupakan tempat pemukiman para pejabat tingkat rendah dan abdi dalem.

Tempat pemikiman lain yang terdapat di Mangkunegaran menunjukkan nama-nama para bangsawan lama yang sebelum era P.A.A Mangkunagoro IV memperoleh lahan sebagai tempat tinggalnya. Kampung Mangkubumen dahulu merupakan tempat tinggal Mangkubumi. Kampung Timuran yang berarti tempat tinggal putra dari selir Mangkunagoro ketika masih kecil (alit : masih timur) Wilayah pemukiman lain adalah kampung Stabelan yang merupakan tempat


(27)

commit to user

pemukiman pasukan artileri Mangkunegaran (constable). Kampung Jageran sebagai tempat pemukiman pasukan penggempur Mangkunegaran dan kampung Kestalan sebagai tempat kandang kuda (staal) milik pasukan kavaleri legiun Mangkunegaran.

Pada wilayah kota Mangkunegaran terdapat daerah elite orang Eropa yang dikenal dengan Villapark. Lingkungan Villapark dinyatakan sebagai lingkungan elit dengan peraturan tersendiri yang dapat dilihat dari Undang-Undang tentang penggunaan tanah negara di Surakarta, khususnya daerah Mangkunegaran. Peraturan tentang penggunaan tanah negara di Mangkunegaran tidak meliputi daerah Villapark, karena daerah ini sudah mempunyai peraturan tersendiri yang ditetapkan tanggal 1 November 1913 (Rijksblad Mangkunegaran, 15 Januari 1918. No 1. Tahun 1918, artikel no.2 Pasal 3). Lingkungan Villapark dihuni oleh sebagian besar orang Eropa yang bekerja di sektor perkebunan.

2. Tata Ruang Kota

Tata ruang kota dikatakan sebagai ilmu interdisiplin. Maksudnya, pengetahuan dan ilmu tata ruang tidak semata meliputi satu disiplin ilmu pengetahuan. Disiplin pengetahuan adalah suatu kecanggihan yang dikembangkan untuk memikirkan dan mendalami permasalahan yang sudah lama menarik perhatian dan menjadi kepedulian pemerhati yang gemar berpikir. Tata ruang kota adalah bentuk penggunaan lahan yang ada dikota untuk keperluan tertentu ( jalan , perkantoran, taman, pemukiman dsb ). Daerah perkotaan umumnya mempunyai tata ruang yang terencana dengan baik, terutama peningkatan praarana perkotaan yang meliputi tujuh bidang (penyediaan air bersih, drainase yang baik, pengolahan sampah, sanitasi lingkungan, perbaikan kampung, pemeliharaan jalan kota, perbaikan sarana dan fungsi pasar).

Tata ruang merupakan kegiataan untuk menjadikan suatu ruang itu menjadi seperti yang direncanakan. Tata atau penataan dapat diartikan sebuah perencanaan yang disusun secara berurutan dan terarah. Sedangkan pengertian ruang terdapat dua pengertian, yaitu ruang tak terbatas dan ruang terbatas. Para


(28)

commit to user

pemikir Barat cenderung memahami ruang yang bersifat tak terbatas, sedangkan para pemikir Timur, khususnya Jawa cenderung memehami ruang secara terbatas. Kecenderungan ini disebabkan paham rasianalisme yang bersifat progresif telah lama berkembang di Barat, sedangkan di Timur paham rasionalisme baru berkembang akhir-akhir ini ( Hariyono , 2007 : 5 ). Ruang merupakan alih kata space untuk Bahasa Indonesia. Dalam Oxford English Dictionary disebutkan ,space berasal dari kata Latin spatium yang berarti terbuka luas, memungkinkan orang melakukan kegiatan dan bergerak leluasa didalamnya, dan dapat berkembang tak terhingga. Ruang dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah rong yang bererti suatu keadaan kosong yang terdapat pada batasan dua kerangka utama yang menunjang atap. Rong juga berarti lubang tempat serangga bersarang dan gua. Gagasan tersebut mengacu pada sesuatu yang terbatas, bervolume dan nyata. Rong menurunkan kata rongga yang berarti ruang kosong yang terdapat pada suatu benda. Dengan demikian, ruang dalam budaya Jawa memiliki batasan yang sifatnya terbatas dan konkret. Secara mitos, ruang dalam pemahaman Jawa adalah tempat yang bersifat konkret yang dihuni oleh makhluk hidup maupun makhluk halus ( Tjahyono, 1990 : 29 ).

Tata ruang kota-kota di Jawa khususnya sebagian besar masih menganut konsep kosmologi Jawa yang merupakan bagian dari konsep kosmogoni. Seorang raja sering dianggap sebagai representasi dewa sekaligus penguasa kota. Kepercayaan ini membawa pengaruh konsep kosmogoni untuk merancang kotanya. Konsep kosmogoni adalah suatu pemahaman tentang kesejajaran antara alam makrokosmos dan mikrokosmos dalam suatu pertautan dimuka bumi. Alam semesta atau jagad raya diimitasikan dengan dunia manusia di alam jagad kecil. Dalam konsep kosmogoni disebutkan bahwa kemakmuran dan ketentraman dunia dapat dicapai dengan menyusun dunia manusia sebagai replica alam semesta. Sebagai konsekuensinya kota kerajaan harus dirancang sesuai dengan gambaran bagian – bagian alam semesta yang dihayati. Ibukota atau istana raja tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan, melainkan juga sebagai pusat kekuatan magis dari seluruh wilayah kerajaan. Dalam konsep kosmologi Jawa


(29)

commit to user

yang digunakan untuk tata ruang terdapat kesatuan antara masyarakat, alam, dan alam adikodrati serta kedudukan raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis.

Dalam lingkaran pertama pandangan dunia Jawa, dunia luar dihayati sebagai lingkungan kehidupan individu yang homogen, yang di dalamnya manusia menjamin keselamatannya dengan menempatkan dunia ini sebagai penghayatan terhadap masyarakat, alam dan alam adikodrati sebagai satu kesatuan yang tak terpecah-belah. Dari tingkah laku yang tepat terhadap kesatuan itu tergantung keselamatan manusia. Masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan masyarakat Jawa sejak lahir. Melalui masyarakat, manusia berhubungan dengan alam.

Konsep kehidupan masyarakat bagi orang Jawa merupakan sumber rasa aman, begitu pula alam dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan sekaligus kehancurannya. Dasar kepercayaan Jawa atau Jawanisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada hakekatnya adalah satu, atau merupakan suatu kesatuan hidup. Jawanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian hidup manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius (Mulder, 1973 : 36 ). Apa yang dialami manusia sejak dilahirkan sampai pada kematian atau kejadian yang dialami manusia selama manusia hidup selalu terkait dengan kekuatan dari alam lain (adikodrati/gaib). Alam pikiran Jawa merumuskan bahwa kehidupan manusia berada dalam dua kosmos yaitu makrokosmos (jagad gede) dan mikrokosmos (jagad cilik) yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Makrokosmos merupakan lukisan atau gambaran dari mikrokosmos, sebaliknya mikrokosmos pun adalah lukisan dari makrokosmos. Hal ini didasarkan bahwa hakekat segala yang ada di dunia ini adalah satu. Di satu pihak, makrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang dianggap sebagai alam yang mengandung kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat wadi (misterius). Di lain pihak, mikrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup terhadap jagad cilik (manusia). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dam


(30)

commit to user

mikrokosmos, dalam mewujudkan ”keselamatan” dan ”kedamaian” seperti yang sesuai dengan sifat-sifat ilahi.

Alam inderawi bagi orang Jawa merupakan ungkapan alam gaib. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupan manusia. Dalam alam ini manusia mengalami betapa sangat tergantung dari kekuasaan-kekuasaan adidunia yang tidak diperhitungkan, yang disebut dengan alam gaib. Kosmos, termasuk kehidupan benda-benda, peristiwa-peristiwa di dunia merupakan suatu kesatuan eksistensi dimana setiap materiil dan spiritual mempunyai arti yang jauh melebihi apa yang nampak (Mulder, 1984 : 18.) Bagi orang Jawa alam empiris berhubungan erat dengan alam dengan alam metampiris (alam gaib), mereka saling meresapi. Kepekaan terhadap dimensi gaib dunia empiris menemukan ungkapannya dalam berbagai cara, misalnya upacara-upacara religius. Kesatuan antara masyarakat, alam, dan alam adikodrati dilaksanakan orang Jawa dalam sikap hormat terhadap nenek moyang (leluhur), roh-roh, dan kekuatan halus. Bagi orang Jawa, kehidupan di dunia ini merupakan tempat dimana kesejahteraannya tergantung dari apakah manusia berhasil menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan gaib itu. Supaya roh-roh itu berkenan kepadanya maka pada waktu-waktu tertentu dipersembahkan sesajen.

Masyarakat Jawa percaya bahwa tidak mungkin memisahkan sesuatu yang sakral dari yang profan, yang bersifat kodrati dari yang bersifat adikodrati. Kehidupan dalam kosmos alam raya dipandang sebagai sesuatu yang telah teratur dan telah tersusun secara bertingkat (hierarkis). Kewajiban moril daripada segala sesuatu yang ada ialah menjaga keselarasan hidup dengan segala tata tertib yang dilambangkan dalam susunan alam semesta. Kekuasaan ilahi tersebut dinyatakan dalam paham ketuhanan yang antara lain disebut sebagai kekuatan Brahma, Gusti, Hyang Maha Kuasa, Hyang Murbeng Jagad, Hyang Tunggal, dan banyak lagi sebutan lain yang merupakan perwujudan dari rasa Ketuhanan dalam alam pikir Jawa.

Adapun sikap dan pandangan terhadap dunia manusia (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia dan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang


(31)

commit to user

nampak mata (kasat mata). Tanpa adanya tata kehidupan yang nyata dan teratur dalam dunia manusia (mikrokosmos), kehidupan manusia senantiasa berusaha memahami arti dan kehidupan serta berusaha menemukan nilai-nilai baru untuk diterapkan dalam bentuk kehidupan yang lebih sempurna. Keberhasilan manusia dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar di dunia ini tergantung pada kekuatan batin jiwanya.

Bagi orang Jawa, masyarakat, alam, dan alam adikodrati dirasakan sebagai kesatuan terungkap dalam kepercayaan bahwa semua peristiwa alam empiris berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di alam metampiris (Franz Magnis Suseno, 1985:90). Apa yang terjadi di sisi realitas yang satu mempunyai kecocokan dengan sisi satunya. Oleh karena itu manusia tidak boleh bertindak gegabah seakan-akan masalahnya terbatas pada dimensi sosial dan alamiah saja. Dalam segala tindak-tanduk manusia harus bersikap sedemikian rupa sehingga tidak bertabrakan dengan berbagai roh dan kekuatan halus. Kepercayaan akan keterkaitan antara peristiwa-peristiwa di dunia dan di alam gaib barangkali merupakan salah satu latar belakang kepopuleran berbagai upacara.

Alam pikiran, sikap serta pandangan hidup tentang alam semesta (makrokosmos) merupakan peninggalan konsep dari paham Hindu Jawa. Pada dasarnya apabila setiap manusia melaksanakan tugas dan kewajiban hidupnya (Dharma), dan berpegang pada aturan ilahi atau kekuatan Brahma yang berkuasa atas kehidupan alam semesta, maka dia akan menuju pada keselamatan dunia serta menciptakan kehidupan yang ”tata tenterem, kerta raharja” yaitu kehidupan yang bahagia, aman, dan sejahtera. Di situlah letak hubungan khusus serta penyatuan antara makrokosmos dan mikrokosmos dalam kehidupan orang Jawa.

3. Pembangunan Di Praja Mangkunegaran

Pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu Negara bangsa menuju modernitas. Dari pengertian tersebut, maka muncul enam


(32)

commit to user

ide pokok. Pertama : pembangunan merupakan suatu proses. Berarti pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang berlangsung secara berkelanjutan dan terdiri dari tahap – tahap yang di satu pihak bersifat independen akan tetapi di pihak lain merupakan „ bagian‟ dari sesuatu yang bersifat tanpa akhir . Kedua : pembangunan merupakan upaya secara sadar yang ditetapkan sebagai suatu untuk dilaksanakan. Ketiga : pembangunan dilakukan secara terencana. Keempat : rencana pembangunan mengandung makna pertumbuhan dan perubahan. Kelima : pembangunan mengarah pada modernitas. Modernitas disini diartikan antara lain sebagai cara hidup yang baru dan lebih baik dari sebelumnya, cara berfikir yang rasional dan sistem budaya yang kuat tetapi fleksibel.Keenam : modernitas yang ingin dicapai melalui bergai kegiatan pembangunan bersifat multidimensional ( Siagan.P, 2000 : 5 ).

Kadipaten Mangkunegaran didirikan dan ditegakkan di atas hasil perjuangan, bukan hadiah, sekalipun Mangkunegaran adalah vassal kompeni dan di bawah Kasunanan Surakarta, bahwa dalam perjalan sejarahnya pengaruh kompeni sangat besar terhadap Kadipaten Mangkunegaran. Namun semua ini pada dasarnya karena kompeni ketakutan terhadap timbulnya kekuatan baru yang menentangnya. Oleh karena perjuangan itu dijalankan bersama antara yang dipimpin dan yang memimpin, tegasnya antara R. M. Said dan para pengikutnya, maka hasil- hasil perjuangan tidak dimiliki oleh seseorag atau sekelompok orang, melainkan dimiliki oleh bersama. Atas dasar inilah maka Praja Mangkunegaran tidak menjadi milik pribadi pihak yang memimpin perjuangan, dan kemudian naik tahta memimpin Mangkunegaran, tetapi juga milik para pengikutnya yang ikut dalam perjuangan. Dengan pemahaman inilah, maka kontinuitas atau kelanggengan menjadi target atau tujuan yang terus- menerus diperjuangakan demi kelangsungan Praja Mangkunegaran sendiri. Ia diangkat menjadi raja bergelar Pangeran Adipati Mangkunegoro, dan menguasai suatu daerah yang pada tanggal 17 Maret 1757 luasnya 4000 cacah.Wilayah Kasunanan dan Kasultanan dikemudian hari dikurangi oleh Deandels, yang harus mempertahankan Pulau Jawa dari Inggris. Kemudian jaman Inggris, Sir Thomas Stamford Rafles mendirikan kerajaan Paku-Alaman tahun 1813 dengan tanah diambil dari


(33)

commit to user

Kasultanan, dengan menunjuk Yogyakarta sebagai istananya. Setelah pembentukan Paku Alaman, kemudian pada 21 Oktober 1813, daerah Mangkunegaran diperluas, serta Pangeran Mangkunegoro memperoleh kebebasan lebih banyak. Yang menjadi alasan untuk itu adalah suatu persekutuan antara Sunan dan Sultan untuk melawan pemerintah Inggris. Alasan ini pula yang digunakan untuk mendirikan Paku Alaman. Setelah perang Jawa ( 1825 – 1830 ), maka pada 22 Pebruari 1830 wilayah Mangkunegaran diperluas lagi, yaitu dengan tanah Ngawen. Yang memperluas ini adalah pihak Belanda , dengan mengambil wilayah Sultan. Dan pada 22 September 1830 telah ditatapkan batas – batas wilayah Mangkunegaran hingga tahun 1934. Namun setelah tahun 1900, batas – batas wilayah Mangkunegaran diubah lagi dengan menukarkan beberapa tanah dengan tanah Kasunanan, hal ini untuk menghindari adanya en clave ( tamah yang terkurung oleh wilayah negara lain ).

Landasan juang RM.Said atau K.G.P.A.A Mangkunagoro I serta para kawulanya tertumpu pada 3 langkah :

1. Mulat Sarira Hangrasa Wani (kenalilah dirimu sendiri)

2. Rumangsa melu Handarbeni (merasa ikut memiliki)

3. Wajib Melu Hangrungkebi (berkewajiban untuk siap membela

kepentingan Praja)

Mulat sarira, hangrasa wani, sesungguhnya merupakan candrasengkala tahun pendirian Mangkunegaran yakni tahun 1757 Masehi. Mulat sarira berarti mengetahui diri sendiri dengan melakukan introspeksi yang perlu dihayati agar dapat mengatasi rintangan yang menghalang-halangi perbaikan pribadi kita. Introspeksi juga menimbulkan kesadaran kita akan keakraban kita dengan sesama, alam, dan Tuhan.

Prinsip kedua Tri Darma ialah : Rumangsa Melu Handarbeni. Ucapan ini disampaikan oleh RM. Said setelah dinobatkan sebagai Mangkunagoro I. Ucapan ini ditujukan kepada para pengikut setianya untuk diteruskan kepada keturunannya, serta rakyat. Rakyat harus menganggap daerah Praja Mangkunegaran sebagai miliknya sendiri, tempat mereka akan memperoleh sumber kehidupan dari tanah itu. Antara raja dan rakyat diadakan persekutuan


(34)

commit to user

sehingga terjadi persatuan antara mereka, yang mencakup dalam manunggaling kawula gusti Prinsip ini memuat bahwa Mangkunagoro dan rakyat bersama-sama memiliki daerah Praja Mangkunegaran. Mangkunagoro yang memimpin Praja Mangkunegaran akan berusaha menyejahterakan rakyat. Negara bukan milik perorangan, tetapi merupakan tempat berlindung seluruh rakyat, sehingga setiap orang dapat melakukan pekerjaannya. Negara dipandang sebagai milik kolektif, maka setiap warganya perlu turut berusaha mengembangkannya, mempertahankannya serta menjaga dari berbagai bentuk ancaman.

Prinsip ketiga Tri Dharma, ialah : Wajib Melu Hangrungkebi. Prinsip ketiga ini erat hubungannya dengan prinsip pertama dan kedua. Kedua pihak bertanggung jawab penuh atas kelestarian negara, maka rakyat diharapkan menjalankan tugas bagi negara dengan semangat berkorban, penuh dedikasi dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.

Ketiga gatra tersebut merupakan pedoman langkah dimana satu sama lain saling bergandengan, mengisi dan melengkapi. Falsafah tersebut dikenal dengan sebutan Tri Dharma yang berarti juga mawas diri dan merasa berani. Pada dasarnya Tri Dharma bermakna sebagai berikut :

1. Tri Dharma pada hakekatnya adalah dasar utama berdirinya Praja Mangkunegaran.

2. Tri Dharma adalah sikap hidup dan pola tingkah laku serta tingkah karya bagi pimpinan negara, narapraja, punggawa, dan kerabat Mangkunegaran. 3. Tri Dharma merupakan dasar bertindak dalam pembinaan dan

pengembangan Praja Mangkunegaran.

4. Tri Dharma adalah pengarah bagi kehidupan kerabat dan orang-orang Mangkunegaran dalam menghadapi pasang surutnya keadaan serta dalam menyesuaikan diri dengan zaman dan situasi ( NN, 1969 : 9 ).

Mangkunegaran memperoleh perluasan wilayah oleh Belanda yang tidak diperoleh oleh kerajaan lain. Tetapi tetap ada pengurangan kekuasaan seperti di kerajaan lain. Para Raja di Mangkunegaran diangkat menurut “ Acte van Verband “ yang harus mereka tanda tangani dihadapan wakil Pemerintah Hindia- Belanda sebelum mereka dinobatkan. Mereka yang menjadi Raja di Mangkunegaran,


(35)

commit to user

haruslah keturunan dari Raja pertama dari negaranya. Meskipun hak – haknya dibatasi oleh Belanda, namun Raja- raja di Mangkunegaran berhasil mendirikan negara yang kuat karena kemampuannya. Sampai tahun 1934 Mangkunegaran mempunyai tujuh orang Raja yang dalam setiap pemerintahannya terdapat tahapan pembangunan yang berkesinambungan. Pembangunan wilayah Mangkunegaran dilakukan secara bertahap di segala bidang pada masing-masing Raja, ketujuh Raja tersebut adalah sebagai berikut :

1. Mangkunegoro I ( 1757 – 1795 ), sebelum dinobatkan sebagai raja, ia bernama dan bergelar Raden Mas Said dan Pangeran Suryokusumo.Ia adalah cucu dari Sunan Mangkurat IV dari Mataram.

2. Mangkunegoro II ( 1796 – 1835 ), adalah cucu dari pendahulunya, dan naik tahta dengan gelar Pangeran Ario Prabu Prangwadono.

3. Mangkunegoro III ( 1835 – 1853 ), adalah seorang putra dari seorang putri Mangkunegoro II. Ia naik tahta dengan gelar Pangeran Adipati Ario Prabu Prangwadono, dan pada tahun 1842 bergelar Mangkunegoro.

4. Mangkunegoro IV ( 1853 – 1881 ), adalah putra dari putri Mangkunegoro II yang lebih muda. Gelarnya sama dengan pendahulunya, baru pada tahun 1857 bergelar Mangkunegoro.

5. Mangkunegoro V ( 1881 – 1896 ) , adalah putera Mangkunegoro IV. 6. Mangkunegoro VI ( 1896 – 1916 ), adalah saudara Mangkunegoro V.

Sejak ini Mangkunegaran berdiri lepas dari Keraton dan Susuhunan Surakarta. Pada masa ini terjadi perbaikan ekonomi di Praja Mangkunegaran , sehingga keuangan Mangkunegaran berangsur pulih kembali. Pembangunan di berbagai bidang mulai dilakukan, tidak hanya bidang keuangan, tetapi juga bidang pendidikan, kesehatan, pangan dan pembangunan fisik terus dilakukan di Praja Mangkunegaran sampai masa kekuasaaan Mangkunegoro VI berakhir dan diteruskan oleh penggantinya nanti.

7. Mangkunegoro VII ( 1916 – 1944 ), adalah putra ke tiga dari Mangkunegoro V. Ia adalah seorang aktivis organisasi bersifat kebudayaan sebelum dinobatkan sebagai Raja di Mangkunegaran. Ia menjadi anggota


(36)

commit to user

redaksi harian Jawa “ Darmo Kondo “, anggota Dewan Pengawas perkumpulan “ Budi Utomo “. Dan menjadi ketua Dewan Hindia ( volksraad ). Setelah dinobatkan menjadi Raja, ia pun berhenti dari kegiatan tersebut. Pada masa pemerintahannya, banyak kebijakan yang dikeluarkan. Yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan di Praja Mangkunegaran dan wilayahnya. Pembangunan kota dengan peningkatan sarana perkotaan, pembuatan taman – taman kota dan pembaharuan irigasi dengan membuat bendungan dan waduk, merupakan progam – progam dalam kebijakannya.

Daerah Mangkunegaran terletak di tanah Swapraja ( Vorstenlanden ) di bagian Timur dari Jawa Tengah. Dan ditanah Swapraja itu juga di bagian Timurnya. Daerah itu meliputi lereng Barat dan Selatan dari Gunung Lawu yang meluas sampai daerah hulu dari Bengawan Solo menuju Gunung Kidul. Sebanyak 35.183 orang tinggal di Kota Mangkunegaran. Sedangkan luas daerah dari Mangkunegaran adalah 2.815,14 Km2.

Seperti tercantum dalam perjanjian yang sudah disetujui, wilayah kekuasaan Praja Mangkunegaran adalah daerah Keduwang, Laroh, Matesih dan Gunung Kidul. Baru pada masa pemerintahan Mangkunagoro II (1796-1835) daerah Praja Mangkunegaran bertambah 240 jung dan kemudian bertambah lagi 500 cacah (1 cacah = 4 bau. 1 bau = 0,7096 ha. 1jung = 4 karya = 16 bau). Mangkunagoro II telah berjasa kepada Rafflesh, membantu mengadakan perlawanan terhadap Sultan Hamengku Buwono II. Sebagai hadiah atas jasa-jasanya, maka Rafflesh memperluas daerah Mangkunegaran yang meliputi :

1. Keduwang 72 jung

2. Sembuyan 12 jung

3. Mataram 2,5 jung

4. Sukowati Timur 95,5 jung

5. Sukowati Barat 28,5 jung

6. Sebelah Timur Merapi 29,5 jung


(37)

commit to user

Setelah terjadi perang Diponegoro (1825-1830), daerah Mangkunegaran diperluas dengan 500 cacah, semuanya milik Yogyakarta yang ada di Sukowati. Selama berlangsungnya perang Diponegoro, Mangkunagoro II membantu Belanda kemudian setelah perang usai daerah yang telah dikuasai oleh Belanda diserahkan sebagai hadiah atas jasa-jasanya. Dengan tambahan itu daerah Mangkunegaran luasnya menjadi 5.500 karya, yang meliputi :

1. Keduwang 141 jung

2. Laroh 115,25 jung

3. Matesih 218 jung

4. Wiraka 60,5 jung

5. Hariboyo 82,5 jung

6. Hanggabayan 25 jung

7. Gunung Kidul 71,5 jung

8. Sembuyan 113 jung

Jumlah 846,75 jung

Sedang mengenai letak geografis wilayah Praja Mangkunagaran dibatasi dengan sebelah utara dengan pegunungan kapur Kendeng, sebelah selatan dengan Samudra Hindia dan tanah datar wilayah Yogyakarta,sebelah timur dengan Gunung Lawu,sebelah barat dengan Gunung Merapi dan Merbabu. ( Moh, Dalyono, 1939 : 105 ).

Untuk menghindari adanya enclave (tanah yang terkurung oleh wilayah negara lain), pada tanggal 27 September 1830 dibuatlah kontrak yang mengakibatkan swapraja di Surakarta dan Yogyakarta memiliki wilayah yang terpisah dengan daerah yang lain oleh garis batas. Adapun caranya yaitu dengan menukarkan beberapa tanah wilayah Praja Mangkunegaran dengan Kasunanan. Sejak tahun 1917 berdasarkan Rijksblad Mangkunegaran tahun 1917 No. 331, Mangkunegaran terdiri dari tiga kabupaten yaitu Wonogiri, Karanganyar, dan Kabupaten Kota Mangkunegaran.


(38)

commit to user

B. Kerangka Berpikir

Keterangan :

Berbagai pembaharuan yang dilakukan Mangkunegara VII, tidak lepas dari pendahulunya yang bernama GRM Soejitno yang bergelar Mangkunegara VI , hal ini dilakukan juga karena ada intervensi oleh kekuatan asing dalam hal ini adalah Belanda. (Sarwanto Wiryosuputra, 1981: 1). Perekonomian Praja Mangkunegaran yang mengalami kebangkrutan, telah pulih kembali keadaannya. Beliau juga telah dapat kembali menempatkan pemerintahannya pada martabat ekonomi yang terhormat. Kerja keras Mangkunegara VI yang bertujuan untuk Perbaikan Pembangunan

Ekonomi MN VI MN VII 1916-1944

Pembangunan di Praja Mangkunegaran

Transportasi Kesehatan

Pendidikan Prasarana

Perkotaan

Tata Ruang Kota di Praja Mangkunegaran

Konsep Kosmologi Jawa

Konsep Kota Kolonial

Macapat

Civic Center Intervensi oleh Kolonial


(39)

commit to user

memajukan praja Mangkunegaran ini dijadikan suri dan teladan bagi Mangkunegara VII.

K.G.P.A.A. Mangkunegara VII naik tahta pada tahun 1916, menggantikan kedudukan K.G.P.A.A. Mangkunegara VI yang pensiun dan pindah ke Surabaya. Tugas Mangkunegara VII adalah melanjutkan masa pemerintahan gemilang Mangkunegara VI. Sebagai seorang pribadi terpelajar yang juga pernah mengenyam pendidikan di negeri Belanda, beliau sadar bahwa untuk memajukan kehidupan rakyatnya harus segera dilakukan pembaharuan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembangunan perkotaan di wilayah Praja Mangkunegaran yaitu : faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor sosial.

Sejalan dengan kemajuan di sektor pendidikan, transportasi, kehutanan, dan irigasi, Mangkunegara VII juga sangat memperhatikan tata kota di wilayah Mangkunegaran. Konsep ”civic center” telah diterapkan di wilayah kota Mangkunegaran. Pada konsep ini berbagai kantor pusat pemerintahan ketatanegaraan kota praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Di zona civic center ini dibangun : Soos Mangkunegaran yaitu gedung pertemuan untuk para pegawai, Soos Militer yang digunakan sebagai gedung pertemuan untuk para bintara, tempat ibadah, gudang untuk legiun Mangkunegaran, tiga gedung kelurahan, kantor polisi, beberapa pos jaga, dan beberapa rumah dinas untuk para pejabat dari bupati, wedana, hingga camat. Seluruh pembangunan sarana dan prasarana ini diatur oleh Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran.

Di kawasan Banjarsari dibangun perumahan elit yang disebut Villapark. Seiring dengan pembangunan jalan-jalan, beliau juga membangun beberapa taman yaitu : Taman Tirtonadi, Partimah Park, Partinituin, dan Partinah Bosch.


(40)

commit to user

28 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian historis yang berjudul “ Perkembangan Perkotaan Di Praja Mangkunegaran ( Studi Tentang Kebijakan Mangkunegara VII , 1916 – 1944 ) “, penulis melakukan teknik pengumpulan data , baik data primer maupun sekunder melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan dalam mencari data – data tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

e. Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran. 2. Waktu Penelitian

Waktu yang direncanakan untuk penelitian ini adalah sejak bulan Oktober 2010 sampai dengan sekitar bulan April 2011.

B. Metode penelitian

Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977 : 16).


(41)

commit to user

Sedangkan menurut Helius Sjamsudin (1996 : 6), yang dimaksud dengan metode adalah suatu prosedur teknik atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh suatu ilmu (sains), seni atau disiplin ilmu yang lain.

Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan, mendiskripsikan dan memaparkan krisis ekonomi Mangkunegaran. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode historis atau sejarah. Dengan melihat peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44) menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat dipercaya.Sedangkan menurut Nugroho Notosusanto (1971: 23) mengatakan bahwa “metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya, metode ini merupakan proses merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata”.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji. Sehingga dapat memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.


(42)

commit to user

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1995 : 94) kata ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan.

Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996 : 61) sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau.

Helius Syamsuddin ( 1994: 73) mengemukakan tentang pengertian sumber sejarah, yaitu:

Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan).

Dalam usaha untuk mengunpulkan data, penulis menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Louis Gottshalck (1986: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sejaman dan berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder merupakan kesaksian dari pada siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya.

Dalam skripsi ini sumber-sumber yang digunakan adalah surat kabar dan beberapa literatur lain baik arsip, buku maupun artikel mengenai Praja Mangkunegaran masa Mangkunegaran VII, antara lain arsip : Overzichtkaart

Tirtonadi Complex, Verkorte stamboom van Zijne Hoogheid PAA


(43)

commit to user

Surakarta : Rekso Pustaka. Buku : A.K. Pringgodigdo. 1983. Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka., Hadisoebroto. 1960. KGPAA Mangkunegara VI. Surakarta : Rekso Pustaka., Mohammad Dalyono. 1939. Ketataprajaan Mangkunegaran. Surakarta : Rekso Pustaka., Notodhiningrat. 1939. “Pengairan Di Mangkunegaran Selama Tiga Windu”. Supllement Triwindoe Gedenkboek Mangkunagara VII. Sala : Rekso Pustaka, Sarwanto Wiryoseputro. 1981. KGPAA Mangkunegara VII. Surakarta : Rekso Pustaka, Roeshadi Sambojo. Tanpa tahun. Serat Warsitatama. Surakarta : Rekso Pustaka. Kesemua sumber data tersebut dikaji, kemudian dianalisis maka diperoleh data yang digunakan untuk menyusun cerita sejarah yang obyektif.

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka dalam melakukan teknik pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka. Studi pustaka berperan penting sebagai proses bahan penelitian, tujuannya sebagai pemahaman secara menyeluruh tentang topik permasalahan yang sedang dikaji. Studi pustaka adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan (Koentjaraningrat, 1983: 3).

Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan studi pustaka menurut Koentjaraningrat (1986: 18) ada 4 yaitu:

(1) Memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan teori pemikiran

(2) Memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti

(3) Mempertajam konsep yang digunakan, sehingga mempermudah dalam perumusannya

(4) Menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut:


(44)

commit to user

(1) Pencarian dan pengumpulan sumber-sumber data yang dibutuhkan baik itu sumber primer maupun sumber sekunder

(2) Membaca dan mencatat sumber primer maupun sekunder

(3) Penggalian terhadap bahan-bahan pustaka lainnya seperti buku, majalah, artikel, yang dilakukan di perpustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah yang diteliti.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Syamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.

Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992: 2) mengatakan bahwa analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan penelitian.

Di dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data, peneliti melakukan analisis data dan membandingkan data satu dengan yang lain sesuai data yang diinginkan sehingga didapatkan fakta-fakta sejarah yang benar-benar


(45)

commit to user

Histoiografi relevan fakta-fakta itu kemudian di seleksi, diklarifikasi dan ditafsirkan, baru kemudian merangkaikan fakta-fakta tersebut untuk dijadikan bahan penulisan penelitian yang utuh dalam sebuah karya ilmiah.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Heuristik Kritik Interpretasi

Fakta Sejarah Cerita Sejarah

Keterangan :

a. Heuristik

Heuristik berasal dari kata Yunani yang artinya memperoleh. Dalam pengertiannya yang lain adalah suatu teknik yang membantu kita untuk mencari jejak-jejak sejarah. Menurut G. J Rener (1997:37), heuristik adalah suatu teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu. Heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan umum, dan sedikit mengetahui tentang bagian-bagian yang pendek. Sidi Gazalba (1981 :15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian.Dengan demikian heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau dengan kata lain kegiatan mencari sumber sejarah.


(46)

commit to user

Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan penelitian. Sumber tertulis primer, berupa arsip Mangkunegaran maupun sumber sekunder berupa buku-buku dan literatur yang diperoleh dari beberapa perpustakaan diantaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS, Perpustakaan Rekso Pustaka Mangkunegaran.

b. Kritik

Setelah mengumpulkan data atau bahan, tahap berikutnya adalah langkah verifikasi atau kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Menurut Helius Sjamsudin (1884 :103) keabsahan sumber dicari melalui pengujian mengenai kebenaran atau ketetapan sumber. Kritik terhadap sumber data dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern.

Kritik ekstern pada sumber tertulis dilihat dari pengarangnya. Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti: bahan (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi penampilan yang lain.

Kritik intern adalah kritik yang berhubungan dengan kredibilitas dari sumber sejarah apakah isi, fakta dan ceritanya dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan.

c. Interpretasi

Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah.


(1)

commit to user

66 BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN

A. KESIMPULAN

1. Di Praja Mangkunegaran, kondisi perekonomian yang sulit berhasil dilalui Mangkunagoro VI. Beban berat yang harus dipikul Mangkunagoro VI adalah membangun kembali keuangan Praja Mangkunegaran yang mengalami kemerosotan. Keadaan ini terjadi karena perkebunan-perkebunan yang menjadi andalan Praja Mangkunegaran terserang wabah hama yang hebat dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Selain itu Pemerintah Kolonial Belanda mempermainkan harga barang yang dijual kepihak Belanda, yaitu memberi harga serendah mungkin. Sehingga menimbulkan kekosongan kas di Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegaran dililit banyak hutang sehingga tidak mampu memberikan gaji kepada pegawainya. Pemikiran Mangkunagoro VI tersebut sedikit demi sedikit telah menampakkan hasilnya. Beliau telah dapat mengembalikan kemakmuran bagi Pemerintahan Praja Mangkunegaran. Hutang-hutang yang menumpuk telah dapat dilunasi, bahkan kondisi keuangan kas Praja Mangkunegaran mengalami surplus. Kondisi keuangan Praja Mangkunegaran yang berangsur-angsur membaik dan mengalami surplus ini mendorong Mangkunagoro VII untuk melakukan alokasi dana bagi pembangunan khususnya di Praja Mangkunegaran. Pembangunan dilakukan di bidang pendidikan, irigasi, pertanian, pembangunan sarana perkotaan. Sejak awal abad XX di Praja Mangkunegaran telah dilakukan serangkaian kebijakan pembaharuan dalam bidang pemerintahan. Berbeda dengan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang lainnya seperti : birokrasi, pengaturan keuangan, pembangunan, maka bidang pendidikan secara politis tidak banyak mendapatkan pencekalan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Walaupun segala kebijaksanaan Mangkunagoro dan pelaksanaannya dalam lapangan tidak bebas dari pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda. Pembaharuan dalam berbagai bidang, khususnya pembangunan sarana perkotaan bagi Mangkunagoro VII dipandang sebagai kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, sebab


(2)

commit to user

perkembangan dunia menuntut masyarakat untuk mengikuti perkembangan zaman. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII selama 28 tahun (1916-1944) terjadi perkembangan ke arah modernisasi di bidang pendidikan, transportasi, infrastruktur perkotaan , dan irigasi. Modernisasi di bidang pendidikan dilakukan Mangkunagoro VII dengan melanjutkan program

studiefonds. Beliau juga memprakarsai berdirinya sekolah Van de Venter dan

Siswa Rini serta memberikan kursus-kursus bagi para perwira Legiun. Di bidang transportasi ditandai dengan pembangunan jalan serta jalur kereta api. Pembangunan di sektor irigasi yang bermanfaat bagi sektor pertanian dilakukan dengan membangun lima waduk yaitu : Kedung Uling, Plumbon, Tirto Marto, Cengklik, dan Jombor. Di bidang infrastruktur perkotaan seiring dengan pembangunan jalan-jalan, beliau juga membangun beberapa taman yaitu : Taman Tirtonadi, Partimah Park, Partinituin, dan Partinah Bosch. Selain berfungsi sebagai jantung kota yang mampu memperindah wajah kota Mangkunegaran, taman-taman itu adalah tempat dimana masyarakat umum dapat menikmati dan menghabiskan waktu senggang. Taman Tirtonadi dibangun dengan konsep taman air yang dilengkapi dengan labirin dan kolam teratai. Partimah Park adalah taman rekreasi bagi anak-anak yang dilengkapi dengan kolam renang serta berbagai sarana permainan. Partinituin merupakan sarana rekreasi yang dilengkapi dengan lapangan olahraga dan pemandian umum. Partinah Bosch merupakan hutan kecil yang berfungsi sebagai pusat berbagai tanaman biologi. Selama masa pemerintahan Mangkunagoro VII seluruh taman ini dirawat dengan baik. Setelah beliau meninggal dan terjadi revolusi kondisi seluruh sarana-sarana ini mengalami kerusakan karena tidak terpelihara dengan baik.

2. Tata ruang kota di Praja Mangkunegaran yang mengutamakan sumbu poros sakral utara-selatan sebagaimana prinsip tata ruang perkotaan Mataram. Puro Mangkunegaran sebagai sentrum dari teori sentrifugal yang menghadap ke utara, dibangun jalan poros lurus sampai pada titik teleologis tugu

pemandengan ndalem. Hal ini dimaknai sebagai pertama, untuk membedakan


(3)

commit to user

lingkungan mikrokosmos dengan istana kerajaan (njeron) makrokosmos yang bernuansa sakral magis. Kedua, sumbu poros ini juga dimaknai sebagai simbol pemisahan antara prinsip dunia sekuler (Pasar Legi) di timur jalan dengan dunia spiritual (Masjid Wustho) dibarat jalan yang ditandai dengan keberadaan kampung Kauman, hunian abdi dhalem reh pangulon.Dalam pengertian kiblat kulon (arah matahari terbenam) sebagai simbol abdi dhalem urusan akherat. Budaya dan pandangan hidup serta konsep filosofis Jawa terlihat jelas dalam setiap kebijaksanaan yang diambil Mangkunagoro VII dalam pembangunan di Praja Mangkunegaran. Kota Surakarta memiliki dualisme dalam konsep tata ruang kotanya. Pertama sebagai pusat kekuasaan Mataram menerapkan konsep kosmologi Jawa, sementara sebagai kota yang sejak berdiri telah mendapatkan intervensi oleh kekuatan asing, kota ini juga menerapkan konsep kota kolonial. Kedua konsep ini tumpang tindih, konsep tata ruang yang mencerminkan filosofi masyarakat penghuninya tentu saja mengalami disorientasi dengan adanya percampuran cara hidup yang boleh dikatakan memiliki jarak budaya yang berseberangan yaitu antara budaya Timur dan budaya Barat. Pada pola pemukiman di Praja Mangkunegaran, konsep pembuatan jaringan jalan dibangun menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah jalan tradisional. Daerah kota Mangkunegaran menunjukkan model pembangunan jalan bergaya Eropa dengan pembuatan taman-taman diantara pertigaan dan perempatan jalan. Konsep ”civic center” telah diterapkan di wilayah kota Mangkunegaran. Pada konsep ini berbagai kantor pusat pemerintahan ketatanegaraan kota praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Di zona civic center ini dibangun : Soos Mangkunegaran yaitu gedung pertemuan untuk para pegawai, Soos Militer yang digunakan sebagai gedung pertemuan untuk para bintara, tempat ibadah, gudang untuk legiun Mangkunegaran, tiga gedung kelurahan, kantor polisi, beberapa pos jaga, dan beberapa rumah dinas untuk para pejabat dari bupati, wedana, hingga camat. Seluruh pembangunan sarana dan prasarana ini diatur oleh Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran. Kantor kelurahan di wilayah kota Mangkunegaran


(4)

commit to user

letaknya selalu berada di pojok. Hal ini secara filosofis melambangkan bahwa sebagai pemimpin harus selalu mengayomi rakyatnya. Makna filosofis ini erat kaitannya dengan konsep Tri Dharma yang dianut Praja Mangkunegaran.Konsep Tri Dharma tersebut adalah Mulat Sarira Hangrasa Wani (kenalilah dirimu sendiri), Rumangsa melu Handarbeni (merasa ikut memiliki), Wajib Melu Hangrungkebi (berkewajiban untuk siap membela kepentingan Praja).

B. IMPLIKASI 1. Teoretis

Pada masa pemerintahan Mangkunagoro VI terjadi kesulitan keuangan di Praja Mangkunegaran. Salah satu keberhasilan MangkunagoroVI adalah mampu memperbaiki kondisi keuangan praja dan tahun 1912 mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama studiefonds. Tugas Mangkunagoro VII adalah melanjutkan masa pemerintahan gemilang Mangkunagoro VI. Sebagai seorang pribadi terpelajar yang juga pernah mengenyam pendidikan di negeri Belanda, beliau sadar bahwa untuk memajukan kehidupan rakyatnya harus segera dilakukan pembaharuan.Berbagai pembaharuan dilaksanakan baik di bidang pendidikan, kesehatan dan juga sarana perkotaan. Sebagai seorang raja, Mangkunagoro VII telah dapat memberi teladan dan mengutamakan kebutuhan rakyat melalui pembangunan yang dilakukannya. Hal ini tidak lain dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya. Pembangunan perkotaan yang dilakukan di Praja Mangkunegaran masih tetap mengandung makna filosofis kosmologi jawa. Meskipun pada akhirnya menampilkan kosep kota kolonial, yaitu konsep “ civic center “ yang mana pada konsep ini berbagai kantor pusat pemerintahan ketatanegaraan kota Praja berada di satu kompleks wilayah. Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Dalam pembangunan ini Mangkunegoro VII sangat memperhatikan tata ruang kota Praja nya. Hal ini karena tata ruang kota merupakan cerminan wajah kota tersebut dan penghuni didalamnya.Maka pembangunan yang dilakukan selalu memperhatikan konsep tata ruang kota tersebut seperti di Praja Mangkunegaran.


(5)

commit to user 2. Praktis

Pendahulu Mangkunagoro VII, yaitu Mangkunagoro VI telah berhasil membangun kembali kas Praja Mangkunegaran yang mengalami kemerosotan. Bahkan sejak Mangkunagoro VII memerintah, kondisi keuangan praja sangat stabil bahkan mengalami surplus. Kondisi keuangan yang mantap ini mendorong Mangkunagoro VII untuk melakukan berbagai alokasi dana bagi pembangunan di bidang pendidikan. irigasi, dan pembangunan berbagai macam sarana dan infrastruktur di Praja Mangkunegaran. Pembangunan ini tidak dapat berjalan dengan baik jika tidak adanya kesatuan yang utuh dalam Praja Mangkunegaran. Selain itu peran seorang raja yang berpribadi juga menentukan dalam pembangunan yang dilakukan. Sebagai pemimpin, Mangkunagoro VII wajib membangun Praja Mangkunegaran kearah modernisasi demi terciptanya kesejahteraan rakyatnya.

C. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, saran-saran yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagi para pembaca

Bagi para pembaca, terutama pendidik dan pelajar, penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan kesejarahan mengenai pembangunan perkotaan di Praja Mangkunegaran. Selain itu, dalam perkembangan pendidikan sejarah, belum banyak materi yang membahas tentang keberadaan Praja Mangkunegaran sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa.

2. Bagi para peneliti

Bagi para peneliti, diharapkan ada yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai pembangunan di Praja Mangkunegaran dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Mengingat bahwa penelitian yang membahas mengenai Praja


(6)

commit to user

Mangkunegaran khususnya pembangunan dan tata ruang di Praja Mangkunegaran masih terbatas. Bagi mahasiswa yang tertarik untuk melakukan penelitian tentang Praja Mangkunegaran dapat mengumpulkan sumber-sumber primer di Reksa Pustaka Mangkunegaran.

3. Bagi Pemerintah

Bagi Pemerintah Daerah Kota Surakarta, diharapkan dapat memberikan perhatian terhadap pelestarian budaya di Mangkunegaran khususnya sarana perkotaan dan tata ruang yang sudah dibangun di Praja Mangkunegaran serta menjaga dan mengambil nilai-nilai luhur yang diwariskan masa pemerintahan Mangkunegara VII.