Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdirinya Pura Mangkunegara merupakan hasil dari sebuah peristiwa besar, pecahnya kerajaan Mataram di Jawa menjadi Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegara berdiri sejak 1757 pada saat RM. Said sebagai penguasa pertama di Praja Mangkunegara. Selanjutnya tahun demi tahun pemerintahan di Mangkunegaran dipegang oleh para Mangkunegara yang bergelar K.G.P.A.A. Mangkunegara Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara. Dalam kebijakan pemerintahan yang dijalankan pada setiap masa pemerintahan inilah, muncul berbagai bangunan fasilitas publik yang berfungsi sebagai penunjang kehidupan masyarakat, stabilisator kerajaan dan kepentingan politik yang dijalankan bersama-sama dengan pemerintah Kolonial Belanda di Surakarta Budihardjo, Eko, 1989 : 26 . Garis politik Pemerintah Kolonial Belanda yang bertujuan mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dari penduduk Indonesia melalui Politik Etis telah memberi dampak ekonomi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan Praja Mangkunegaran pada khususnya Marwati Djoened, 1984 : 34 .Tahun- tahun permulaan abad XX awal dilaksanakannya Politik Etis ditandai dengan perkembangan ekonomi yang pesat dan perluasan-perluasan jabatan Pemerintah Kolonial di Indonesia. Politik baru pemerintah Kolonial Belanda ini dikenal dengan “ Politik Etis” yang bertujuan untuk menunjukkan adanya Een Eereschuld hutang kehormatan negara Belanda terhadap jajahannya sehingga mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi penduduk Hindia Belanda Robert van Niel, 1984 : 51 .Selama periode 1900-1925 telah banyak kemajuan yang dicapai oleh pemerintah kolonial, yaitu dengan dijalankannya perubahan dan pembangunan yang cukup besar. Pembangunan ini merupakan keharusan, antara lain desentralisasi, perbaikan pertanian, pembangunan irigasi dan perbaikan kesehatan Sartono K, 1976 : 35 . commit to user 2 Politik Etis lahir atas desakan golongan konservatif yang bersatu dengan golongan agama, mempunyai tujuan : 1. Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi, 2. Berangsur-angsur menumbuhkan otonomi serta disentralisasi politik di Hindia Timur – Belanda Akira N,1989 : 11 . Dengan adanya perubahan ini pemerintah Belanda mulai memperhatikan kemakmuran dan kemajuan penduduk pribumi, dan menganggap dirinya sebagai pelindung yang bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan kepada penduduk daerah kolonial dalam usaha ke arah kemajuan dan kesejahteraan mereka. Perkembangan politik kolonial sangat mempengaruhi keadaan di Vorstenlanden. Efisiensi, kemakmuran, dan ekspansi adalah slogan dari politik baru kolonial yang memerlukan campurtangan yang lebih langsung dan lebih tegas dari pemerintah Belanda dalam kehidupan masyarakat. Di Vorstenlanden para residen berpandangan bahwa mereka mempunyai tugas utama untuk menyadarkan pemerintah Vorstenlanden untuk selalu memperhatikan kepentingan dan kemakmuran rakyat, dan jika perlu meminta campur tangan pemerintah kolonial Belanda Larson,G.D, 1990 : 28 . Mangkunegaran yang merupakan salah satu daerah swapraja tentu saja mempunyai progam kerja untuk memajukan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Mangkunegaran berusaha memperkuat ekonominya dengan jalan mengelola perkebunan maupun perusahaan milik Praja sendiri. Sedangkan sumber-sumber keuangan lainnya adalah hasil penarikan pajak, retribusi, bunga dan pelunasan modal, dan surat-surat berharga Th.M.Metz,1986 : 96 . Dengan adanya sumber-sumber keuangan inilah perekonomian Mangkunegaran menjadi kuat dan mendukung pembangunan di Praja Mangkunegaran. Mangkunegoro VI pada tahun 1912 telah berhasil mengembalikan Mangkunegaran menjadi Praja yang cukup kaya. Beberapa tahun setelah keberhasilannya ini Mangkunegoro VI berniat untuk turun tahta, dan ia menyatakan keinginannya kepada residen Belanda di Surakarta, karena terjadinya pergantian tahta di daerah Swapraja saat commit to user 3 itu harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda. Keinginannya tersebut baru dikabulkan satu tahun kemudian, dan sebagai penggantinya ditunjuklah Raden Mas Soeryo Soeparto, anak angkatnya, yang sebenarnya putra Mangkunegoro V dari selir, seperti diuraikan oleh Parto Hudoyo :“ Ingkang kakarsakaken anggentosi keprabon jumeneng ngasto pusaraning praja Mangkunegaran kaleres putro kapenakan, putro dalem swargi KGPAA Mangkunegoro V saking garwa R Purnamaningrum “ Parto Hudoyo,tt : 74 . Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut : “ Yang ditunjuk untuk menduduki tahta kerajaan Mangkunegaran adalah keponakan Mangkunegoro VI yang merupakan putra KGPAA Mangkunegoro V yang lahir dari selir R.Purnamaningrum”. Jadi sebenarnya Soeryo Soeparto adalah keponakan Mangkunegoro VI, yang kemudian diangkat sebagai anak. Dengan mempertimbangkan berbagai pengalaman serta kecakapan yang dimiliki oleh Soeryo Soeparto , maka dari itu para pembesar kadipaten Mangkunegaran dengan persetujaun pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai kepala pemerintahan di Praja Mangkunegaran, menggantikan Mangkunegoro VI. Ia dinobatkan sebagai pemegang tahta Mangkunegaran pada 3 Maret 1916, dengan gelar Pangeran Adipati Prang Wadono , suatu gelar yang dipakai oleh pemegang tahta Praja Mangkunegaran yang pada saat dinobatkan belum mencapai usia 40 tahun Citrosentono, 1921 : 15 . Pada masa Mangkunegoro VII 1916-1944 , pada tahun pertama pemerintahan dikeluarkan dana yang cukup besar untuk membangun jembatan, jalan, bangunan irigasi, pendirian sekolah-sekolah, dan pembangunan sarana kepentingan umum lainnya. Setiap tahun pada hari peringatan penobatannya, Mangkunegoro VII mengumpulkan keluarganya, pegawai, para perwira dan tamu dari kalangan rakyat dengan memberi wejangan kepada mereka dan menguraikan rencana kerja untuk mengadakan perbaikan pada tahun berikutnya Larson,G.D, 1990 : 105 . Sejak awal abad XX di Praja Mangkunegaran telah dilakukan serangkaian kebijakan pembaharuan dalam bidang pemerintahan. Berbeda dengan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang lainnya seperti: birokrasi, pengaturan keuangan, pembangunan, maka bidang pendidikan secara politis tidak banyak commit to user 4 mendapatkan pencekalan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Walaupun segala kebijakan Mangkunagara dan pelaksanaannya dalam lapangan tidak bebas dari pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda. Beberapa bangunan fasilitas publik dibangun oleh Pura Mangkunegaran dan Pemerintahan Kolonial Belanda, untuk menunjang stabilitas pemerintahan dan harkat hidup masyarakat. Pembaharuan dalam berbagai bidang, khususnya pembangunan sarana perkotaan bagi Mangkunegara VII dipandang sebagai kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, sebab perkembangan dunia menuntut masyarakat untuk mengikuti perkembangan zaman. Pembangunan sarana dalam bidang pendidikan dilakukan Mangkunegara VII dengan melanjutkan pengelolaan Sekolah Siswo dan Studiefonds, serta memprakarsai berdirinya Sekolah Siswarini dan Sekolah Van Deventer, juga memperkenalkan pendidikan non formal berupa les-les bahasa asing, khususnya bahasa Belanda dan kursus keterampilan menjahit, melukis, membuat patung, mengukir. Pembangunan sarana dalam bidang irigasi ditandai dengan adanya perbaikan sistem irigasi di pabrik gula milik Mangkunegaran. Untuk meningkatkan produksi pangan dibangun sarana irigasi karena daerah Praja Mangkunegaran bagian selatan Wonogiri terdiri dari daerah yang berbukit-bukit dan hutannya telah mengalami kerusakan. Sebagai akibatnya ketika hujan, airnya tidak sempat tersimpan oleh tanah. Pada musim kemarau keadaan tanah menjadi kering kerontang, akibatnya tanah itu tidak dapat ditanami. Selama lima tahun Dinas Irigasi Praja Rijk Waterstaat yang dipimpin oleh seorang arsitek Belanda, bernama F.E Wolf telah mendirikan sejumlah sarana perairan di wilayah Praja Mangkunegaran. Adapun bangunan ini ialah: Temon, Wiroko, Kebon Agung, Kedung Uling, dan Plumbon. Pada awalnya Kota Surakarta secara tidak disadari berkembang mengikuti pola pemukiman Belanda di daerah seberang, yang berkembang dari sebuah loji kecil kecil, menjadi kota faktori, dan kota dagang besar. Kota-kota di Jawa, pada perkembangan sejarahnya memiliki berbagai karakter dan sifatnya yang khas. Surakarta dan Yogyakarta yang dulunya adalah sebuah kerajaaan besar , yaitu Kerajaan Mataram Islam Sri Margana, 2010 : 28 . Konsep kota Surakarta commit to user 5 sebagai “Solo Berseri” sebenarnya telah muncul sejak masa pemerintahan Mangkunegara VII. Hal in ditandai dengan pembangunan sarana umum antara lain: Taman Tirtonadi, Minapadi, Partimah Park, Societeit Sasono Suko SSS. Taman Tirtonadi dibangun dengan memanfaatkan air Kali Pepe yang terjun melalui pintu air Kali Anyar. Nama Partimah Park berasal dari nama puteri bungsu Mangkunegara VII. Taman ini berada di sebelah timur Taman Tirtonadi. Dan setiap sore menjadi area bermain bagi anak-anak dengan beraneka ragam permainan seperti ombak banyu, timbangan jungkat-jungkit, bandulan ayunan. Societeit Sasono Suko SSS mulai dibangun pada tahun 1918 oleh seorang arsitek pribumi yang bernama Atmodirono. Masyarakat awam menamakan gedung ini dengan “Kamar Bola” karena bangunan klasik yang bagian depannya dilengkapi dengan ornamen candi ini setiap malam selalu dipakai oleh orang- orang Belanda untuk bermain bola sodok atau billiard. Pembagian wilayah kota atas kampung-kampung yang memiliki spesifikasi tertentu membentuk toponimi yang dapat dibagi dalam beberapa kelompok menurut nama atau gelar figur penting, nama kelompok abdi dalem, aktivitas setempat, maupun bentukan baru Hari Mulyadi, dan Soedarmono dkk, 1999: 178-180. Secara historis kota kolonial, termasuk Surakarta, memisahkan pemukiman penduduk berdasarkan garis warna. Namun pada perkembangan berikutnya kota tidak lagi membagi berdasarkan ras etnis. Dengan adanya pembangunan perumahan, perbaikan ekonomi, mobilitas sosial masyarakat pribumi, telah menjurus pada pemisahan pemukiman berdasarkan kelas sosial. Wilayah kelas teratas tidak lagi dihuni orang Eropa saja, tetapi juga oleh usahawan-usahawan lokal, jenderal-jenderal pribumi, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintah. Dengan kata lain pemukiman kelas atas terdiri dari berbagai macam etnis Evers, 1986: 57. Kota Surakarta memiliki dualisme dalam konsep tata ruang kotanya. Pertama sebagai pusat kekuasaan Mataram menerapkan konsep kosmologi Jawa, sementara sebagai kota yang sejak berdiri telah mendapatkan intervensi oleh kekuatan asing, kota ini juga menerapkan konsep kota kolonial. Kedua konsep ini tumpang tindih, konsep tata ruang yang mencerminkan filosofi masyarakat commit to user 6 penghuninya tentu saja mengalami disorientasi dengan adanya percampuran cara hidup yang boleh dikatakan memiliki jarak budaya yang berseberangan yaitu antara budaya Timur dan budaya Barat Kusumastuti, 2004: 28. Pada pola pemukiman di Praja Mangkunegaran, konsep pembuatan jaringan jalan dibangun menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah jalan tradisional. Daerah kota Mangkunegaran menunjukkan model pembangunan jalan bergaya Eropa dengan pembuatan taman-taman di antara pertigaan dan perempatan jalan Het Begrooting van Mangkoenagoroshe Rijk over het jaar 1920. Pembangunan sarana dan prasarana serta gedung-gedung perkantoran juga dibangun. Di zona civic center ini dibangun : Soos Mangkunegaran yaitu gedung pertemuan untuk para pegawai, Soos Militer yang digunakan sebagai gedung pertemuan untuk para bintara, tempat ibadah, gudang untuk legiun Mangkunegaran, tiga gedung kelurahan, kantor polisi, beberapa pos jaga, dan beberapa rumah dinas untuk para pejabat dari bupati, wedana, hingga camat. Seluruh pembangunan sarana dan prasarana ini diatur oleh Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran. Dengan berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis mengambil Judul : “ Perkembangan Perkotaan Di Praja Mangkunegaran Studi tentang kebijakan Mangkunegara VII , 1916 – 1944 “ commit to user 7

B. Perumusan Masalah