Laporan Praktik Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung
LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI
FARMASI RUMAH SAKIT
Di
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin
Bandung
Disusun Oleh:
Eldiza Puji Rahmi, S. Farm.
NIM 103202016
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT karena atas berkah, rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi (PKP) Apoteker di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Maisyardi Senin, S.Pd dan Ibunda Yenni Hilza, S.Pd serta kepada seluruh keluarga.
Laporan ini ditulis berdasarkan teori dan hasil pengamatan selama melakukan PKP di RSUP Dr. Hasan Sadikin. Selama melaksanakan Praktik Kerja Profesi penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak berupa bimbingan, arahan dan masukan. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. H. Bayu Wahyudi, MPHM, Sp.OG., selaku Direktur Utama RSUP Dr. Hasan Sadikin
2. Bapak Dr. Rudi Kurniadi Kadarsyah, Sp.An, MM, M.Kes, selaku Direktur Medik dan Keperawatan RSUP Dr. Hasan Sadikin
3. Bapak Dr. Agus Hadian Rahim, Sp.OT(K)., M.Epid., M.HKes., selaku Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Dr. Hasan Sadikin
4. Ibu Dr. R. Nina Susana Dewi Sp.PK(K), M.Kes, selaku Direktur Keuangan RSUP Dr. Hasan Sadikin
5. Bapak Dr. Edi Sampurno, Sp.P, MM., selaku Direktur Umum dan Operasional RSUP Dr. Hasan Sadikin
6. Ibu Dra. Siti Susiani, Apt., M.Si., selaku Kepala Instalasi Farmasi RSUP Dr. Hasan sadikin
(3)
7. Ibu Dra. Sri Hartini, Apt., M.Si., selaku pembimbing Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUP Dr. Hasan Sadikin
8. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi USU
9. Bapak Drs. Wiryanto, M.S., Apt. selaku Koordinator Program Pendidikan Apoteker Fakultas Farmasi USU
10.Seluruh Apoteker, Asisten Apoteker, Staf Instalasi Farmasi, Dokter, dan Perawat dan teman-teman PKP rumah sakit yang telah banyak membantu penulis selama melakukan Praktik Kerja Profesi di RSUP Dr. Hasan sadikin Bandung.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua dan khususnya demi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Farmasi.
Medan, Juli 2012
(4)
RINGKASAN
Telah selesai dilakukan Praktik Kerja Profesi (PKP) farmasi rumah sakit di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. PKP ini bertujuan untuk memberikan pembekalan, keterampilan dan keahlian kepada calon apoteker dalam mengelola perbekalan farmasi di rumah sakit dan melihat secara langsung peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit. PKP ini dilaksanakan pada tanggal 2 April sampai 2 Mei 2012 dengan jumlah jam efektif 8 jam per hari. Kegiatan PKP di rumah sakit meliputi melihat fungsi dan tugas rumah sakit dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat, melihat peran Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dalam menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit, mengetahui peran apoteker dalam mengelola perbekalan farmasi mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat kepada pasien serta pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien, melakukan peninjauan ke depo-depo farmasi untuk melihat sistem distribusi obat dan perbekalan kesehatan kepada pasien di rumah sakit, melakukan kajian resep di depo farmasi, melaksanakan pelayanan informasi obat (PIO) dan penyuluhan kepada pasien rawat jalan di depo farmasi Askes rawat jalan, dan melakukan pemantauan terapi obat kepada pasien di bagian penyakit dalam untuk memberikan informasi dan konseling kepada pasien..
(5)
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RINGKASAN ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 3
BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT ... 5
2.1 Rumah Sakit ... 5
2.1.1 Definisi Rumah Sakit ... 5
2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit ... 5
2.1.2.1 Tugas Rumah Sakit ... 5
2.1.2.2 Fungsi Rumah Sakit ... 6
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit ... 7
2.1.3.1 Klasifikasi Rumah Sakit Secara Umum ... 7
2.1.3.2 Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah... 8
2.1.4 Visi dan Misi Rumah Sakit ... 9
2.1.5 Indikator Pelayanan Rumah Sakit ... 9
2.2 Rekam Medik ... 12
2.3 Komite Medik dan Paniti Farmasi dan Terapi (PFT) ... 12
2.3.1 Komite Medik ... 12
2.3.2 Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) ... 13
2.3.2.1 Fungsi dan Ruang Lingkup ... 13
2.3.2.2 Peran Apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi ... 14
2.4 Formularium Rumah Sakit ... 15
2.5 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) ... 16
2.5.1 Pengelolaan Perbekalan Farmasi ... 17
2.5.2 Pelayanan Farmasi Klinis ... 20
BAB III TINJAUAN KHUSUS RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG ... 32
3.1 Profil RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ... 32
3.1.1 Sejarah RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ... 32
3.1.2 Status RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ... 33
3.1.3 Visi dan Misi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ... 34
3.1.4 Tujuan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ... 34
3.1.5 Motto RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ... 34
3.1.6 Falsafah RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ... 34
3.1.7 Struktrur Organisasi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ... 35
3.2 Instalasi Farmasi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ... 35
(6)
3.2.2 Visi dan Misi IFRS ... 36
3.2.3 Tugas dan Fungsi IFRS ... 36
3.2.4 Struktur Organisasi IFRS ... 38
3.2.5 Sumber Daya Manusia ... 41
3.2.6 Fasilitas ... 42
3.2.7 Pelayanan IFRS ... 42
3.2.8 Pengenalan Depo Farmasi ... 52
3.2.9 Gudang ... 53
3.3 Sub Komite Farmasi dan Terapi (SKTF) ... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56
4.1 Peran Apoteker di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung ... 56
4.2 Peran Apoteker di Instalasi Farmasi Rumah Sakit ... 57
4.2.1 Peran dalam Farmasi Produk ... 58
4.2.2 Peran dalam Farmasi Klinis ... 62
4.2.3 Cytotoxic Handling ... 68
4.3 Depo Farmasi RSUP Dr Hasan Sadikin ... 72
4.3.1 Depo Farmasi Teratai ... 72
4.3.2 Depo Farmasi Penyakkit Dalam ... 74
4.3.3 Depo Farmasi Wing Timur/Apotek Pusat ... 75
4.3.4 Depo Farmasi Kemuning ... 76
4.3.5 Depo Farmasi ICU (Intensive Care Unit) ... 79
4.3.6 Depo Farmasi COT (Central Operating System) .... 81
4.3.7 Depo Farmasi RIK (ruang Inap Khusus) 2 dan depo Farmasi RIK 3 ... 83
4.3.8 Depo Farmasi EMG (Emergency Unit) ... 85
4.3.9 Depo Farmasi Kemoterapi (Cytotoxic Handling) ... 86
4.3.10 Depo Farmasi Pusat ... 88
4.3.11 Depo Farmasi Askes ... 91
4.3.12 Depo Farmasi Jamkesmas/Gakin Rawat Jalan ... 96
4.3.13 Depo Farmasi Rawat jalan Umum ... 100
4.4 Gudang ... 102
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 105
5.1 Kesimpulan ... 105
5.2 Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA ... 107
(7)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1 Lama Proses Pengadaan ... 45
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 4.1 Alur distribusi BMHP dari gudang farmasi ... 103 Gambar 4.2 Alur distribusi BMHP dari gudang medis ... 104
(8)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Struktur Organisasi RSUP Dr. Hasan Sadikin ... 108
Lampiran 2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi R SUP Dr. Hasan Sadikin ... 109
Lampiran 3 Jangkauan Pelayanan Farmasi RSUP Dr. Hasan Sadikin ... 110
Lampiran 4 Denah Lokasi Depo Farmasi IFRS Dr. Hasan Sadikin ... 111
Lampiran 5 Blanko Pelaporan MESO ... 112
Lampiran 6 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi Teratai ... 114
Lampiran 7 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi Penyakit Dalam ... 115
Lampiran 8 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi Wing Timur/Apotek Pusat ... 116
Lampiran 9 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi COT (Central Operating Theatre ... 117
Lampiran 10 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi RIK 2 dan Depo Farmasi RIK 3 ... 118
Lampiran 11 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi EMG (Emergency) ... 119
Lampiran 12 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi Cytotoxic Handling ... 120
Lampiran 13 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi Askes ... 121
Lampiran 14 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi Jamkesmas/Gakin Rawat Jalan ... 122
Lampiran 15 Bagan Alur Pelayanan Pasien Depo Farmasi Rawat Jalan Umun ... 123
(9)
RINGKASAN
Telah selesai dilakukan Praktik Kerja Profesi (PKP) farmasi rumah sakit di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. PKP ini bertujuan untuk memberikan pembekalan, keterampilan dan keahlian kepada calon apoteker dalam mengelola perbekalan farmasi di rumah sakit dan melihat secara langsung peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit. PKP ini dilaksanakan pada tanggal 2 April sampai 2 Mei 2012 dengan jumlah jam efektif 8 jam per hari. Kegiatan PKP di rumah sakit meliputi melihat fungsi dan tugas rumah sakit dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat, melihat peran Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dalam menunjang pelayanan kesehatan di rumah sakit, mengetahui peran apoteker dalam mengelola perbekalan farmasi mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat kepada pasien serta pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien, melakukan peninjauan ke depo-depo farmasi untuk melihat sistem distribusi obat dan perbekalan kesehatan kepada pasien di rumah sakit, melakukan kajian resep di depo farmasi, melaksanakan pelayanan informasi obat (PIO) dan penyuluhan kepada pasien rawat jalan di depo farmasi Askes rawat jalan, dan melakukan pemantauan terapi obat kepada pasien di bagian penyakit dalam untuk memberikan informasi dan konseling kepada pasien..
(10)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional (Depkes RIa, 2009).
Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat berjalan optimal jika ditunjang dengan pelayanan kesehatan yang baik. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan kesehatan penderita. Rumah sakit mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat untuk tercapainya peningkatan derajat kesehatan masyarakat (Koentjoro, 2007). Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/MenKes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak
(11)
terpisahkan dari sistem pelayanan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Salah satu bagian di rumah sakit yang melaksanakan upaya kesehatan di atas yaitu instalasi farmasi rumah sakit. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit atau bagian atau divisi atau fasilitas di rumah sakit, yang dipimpin seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa apoteker lain yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional, yang menyelenggarakan semua fungsi kegiatan pekerjaan kefarmasian mencakup pelayanan obat, mulai dari produksi, pengembangan, pelayanan farmasi untuk semua individu pasien, profesional kesehatan dan program rumah sakit yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri, pelayanan farmasi klinik yang berorientasi pada asuhan farmasi “pharmaceutical care”, pelayanan penelitian dan pelayanan pendidikan (Siregar dan Amalia, 2004).
Berkaitan dengan hal tersebut, peran apoteker berubah dari peracik obat (compounder) dan suplier sediaan farmasi ke arah pemberi pelayanan dan informasi dan akhirnya berubah lagi sebagai pemberi kepedulian pada pasien dengan tanggung jawab untuk memberikan obat yang layak, lebih efektif dan seaman mungkin serta memuaskan pasien, dimana apoteker dapat memberikan kontribusi yang berdampak pada pengobatan serta kualitas hidup pasien. Dimensi baru pekerjaan kefarmasian adalah asuhan kefarmasian (pharmaceutical care), farmasi berdasarkan bukti (evidence based pharmacy), kebutuhan menjumpai pasien (meeting patients need), penanganan pasien kronis HIV/AIDS (chronic
(12)
patient care HIV/AIDS), pengobatan sendiri (self medications), jaminan mutu pelayanan kefarmasian (quality assurance of pharmaceutical care), farmasi klinis (clinical pharmacy), dan kewaspadaan obat (pharmacogivilance = MESO) (ISFI, 2007).
Perwujudan profesionalisme apoteker dalam menjalankan profesinya dilaksanakan melalui peningkatan sumber daya manusia sehingga apoteker dapat menjalankan fungsinya yaitu sesuai dengan konsep The Seven Stars Pharmacist meliputi sikap apoteker sebagai pemberi pelayanan (care giver), pembuat keputusan (decision maker), communicator, manager, pembelajaran jangka panjang (long life learner), guru (teacher), pemimpin (leader) dan researcher (ISFI, 2007). Upaya tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan bagi calon apoteker melalui Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA). Sebagai tenaga kesehatan profesional, maka calon apoteker perlu memahami dan mengenal peranan apoteker di rumah sakit, khususnya pada instalasi farmasi. Hal ini penting sebagai bekal bagi lulusan Program Pendidikan Profesi Apoteker apabila bekerja di rumah sakit. Berdasarkan pertimbangan ini, Fakultas Farmasi USU Medan bekerjasama dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung mengadakan Praktik Kerja Profesi.
1.2 Tujuan
Tujuan dilaksanakannya praktik kerja profesi di rumah sakit adalah:
1. memahami peran apoteker di rumah sakit dalam menunjang pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah sakit
(13)
2. memahami peran apoteker di instalasi farmasi rumah sakit dalam pengelolaan produk dan pelayanan farmasi klinis dalam menunjang pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah sakit
3. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan calon apoteker dalam menerapkan pharmaceutical care di rumah sakit.
(14)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus Tipe 2 2.1.1 Definisi
Diabetes adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan terjadinya resistensi insulin, sekresi insulin yang tidak memadai, atau gabungan keduanya. Manifestasi klinis gangguan tersebut adalah hiperglikemia. Pasien diabetes diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu diabetes tipe 1 yang disebabkan oleh defisiensi absolut insulin, dan diabetes tipe 2 didefinisikan adanya resistensi insulin dengan meningkatnya kompensasi sekresi insulin yang tidak memadai. Wanita yang mengalami diabetes selama masa kehamilan dikelompokkan sebagai diabetes gestasional.
Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang dikaitkan dengan masalah metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dan dapat menimbulkan komplikasi kronik seperti gangguan mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Dipiro, 2007)
2.1.2 Etiologi
DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita DM. Umumnya berusia diatas 45 tahun. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
(15)
Berbeda dengan DM tipe 1, pada penderita DM tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup didalam darahnya. Disamping kadar glukosa yang juga tinggi. DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.
2.1.3 Manifestasi Klinis
Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi baik metabolisme karbohidrat maupun protein dan lemak. Pada diabetes tipe II ini, pankreas masih mempunyai beberapa fungsi sel yang menyebabkan kadar insulin bervariasi yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa. Pasien dengan diabetes tipe II ini seringkali gemuk dan sering dihubungkan dengan organ target yang membatasi respon insulin endogen dan eksogen. Pada beberapa kasus, resistensi insulin disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor insulin (Mycek, 2001).
Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan pengambilan
glukosa pada otot skelet. Disfungsi sel β mengakibatkan gangguan pada
pengontrolan glukosa darah.
2.1.3.1 Komplikasi Kronik Diabetes Melitus
Komplikasi kronik dari diabetes mellitus dapat menyerang semua sistem organ
tubuh. Kategori komplikasi kronik diabetes yang lazim digunakan adalah penyakit
(16)
1. Komplikasi Makrovaskuler
3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (Coronary Heart Disease = CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (Peripheral Vascular Disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin Resistance Syndrome. Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya (Depkes RI, 2005).
2. Komplikasi Mikrovaskeler
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain
(17)
retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes (Depkes RI, 2005).
Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60% (Depkes RI, 2005).
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan diperkirakan bila ada keluhan khas gejala hiperglikemia berupa poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya (Scobie, 2007; Soegondo dkk, 2004). Jika keluhan khas ada maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 11, 1 mmol/l (200 mg/dl) dan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa (tidak adanya asupan kalori yang masuk selama minimal 8 jam) ≥ 7,0 mmol/l (126 mg/dl) (Holt and Kumar, 2010; Scobie, 2007; Soegondo dkk, 2004). Diperlukan pemeriksaan kembali kadar glukosa darah melalui hasil tes toleransi glukosa oral. Diberikan 75 gram glukosa yang dilarutkan dalam 250-350 ml air, setelah 2 jam baru diukur kadar glukosa darahnya (Holt and Kumar, 2010). Bila didapatkan kadar glukosa darah setelah 2
(18)
jam pemberian larutan glukosa ≥ 11,1 mmol/l (200 mg/dl), maka dapat dikatakan seseorang menderita diabetes melitus (Holt and Kumar, 2010; Scobie, 2007; Soegondo dkk, 2004).
Tabel 2.1 Kriteria penegakan diagnosis
Glukosa Plasma Puasa
Glukosa Plasma 2 Jam setelah makan
Normal <100 mg/dL <140 mg/dL Pra-diabetes 100 – 125 mg/dL -
IFT atau IGT - 140 – 199 mg/dL
Diabetes ≥126 mg/dL >200 mg/dL
Keterangan:
IFT = Impaired Fasting Glucose (IFG) IGT = Impaired Glucose Tolerance (Sumber: Depkes RI, 2005)
Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL (Depkes RI, 2005)
Kriteria diagnosis Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa plasma baik pada keadaan puasa (Fasting Plasma Glucose/FPG) atau setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Puasa adalah keadaan tanpa asupan makanan/kalori selama minimal 8 jam (Depkes RI, 2005).
(19)
2.1.5 Penatalaksanaan
Tindakan yang dapat dilakukan dalam menangani kadar gula darah adalah: a. Diet
Karena diet merupakan langkah awal dari usaha untuk penanganan diabetes. b. Gerak badan
Latihan fisik atau olahraga teratur dapat memperbaiki pengendalian kadar glukosa karena meningkatkan sensitivitas insulin.
d. Farmakoterapi
1. Obat antidiabetik oral
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.
c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker”.
(20)
2. Insulin
Insulin disintesis di sel β pankreas dari prekursor 110 asam amino rantai tunggal yang disebut preproinsulin. Setelah translokasi melalui membran retikulum endoplasma kasar, peptide penanda N-terminal 24-asam amino dari preproinsulin segera dipotong untuk membentuk proinsulin. Disini molekul akan melipat dan terbentuk ikatan disulfida. Pada konversi proinsulin manusia menjadi insulin di kompleks Golgi, empat asam amino basa dan peptida C atau peptida penghubung yang tersisa dihilangkan melalui proteolisis. Hal ini menghasilkan dua rantai peptida molekul insulin (A dan B), yang mengandung ikatan disulfida satu intrasubunit dan dua intrasubunit. Rantai A biasanya terdiri dari 21 residu asam amino dan rantai B memiliki 30 residu (Gilman, 2007).
Untuk tujuan terapeutik, dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan dalam unit (U). Tradisi ini dimulai ketika sediaan hormon belum murni dan perlu untuk menstandardisasi sediaan ini melalui uji hayati. Satu unit insulin setara dengan jumlah yang dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah pada kelinci yang berpuasa menjadi 45 mg/dl. Sediaan homogen insulin manusia mengandung antara 25-30 U/mg (Gilman, 2007).
Insulin merupakan hormon utama yang bertanggungjawab untuk mengontrol ambilan, penggunaan dan penyimpanan nutrisi sel. Jaringan target yang penting untuk pengaturan homeostasis glukosa oleh insulin adalah hati, otot, dan lemak, tetapi insulin juga menggunakan efek pengaturan yang kuat terhadap jenis sel lainnya. Stimulus transport glukosa kedalam jaringan otot dan adipos merupakan bagian penting pada respon fisiologis terhadap insulin. Glukosa memasuki sel dengan cara difusi terfasilitasi melalui salah satu family transporter
(21)
glukosa (GLUT1 sampai GLUT5). Insulin menstimulus transport glukosa setidaknya sebagian dengan cara meningkatkan translokasi vesikel intrasel bergantung-energi yang mengandung transporter glukosa GLUT4 dan GLUT1 ke dalam membran plasma. Pengaturan yang salah dalam proses ini dapat menyebabkan patofisiologi diabetes tipe 2 (Gilman, 2007).
Di hati, insulin menghambat produksi glukosa, menurunkan glukoneogenesis dan glikogenesis. Menstimulus ambilan glukosa di hati. Di otot, insulin menstimulus pengambilan glukosa dan menghambat aliran prekursor glukoneogenik ke hati (mis: alanin, laktat dan piruvat). Di jaringan adiposa, insulin menstimulus pengambilan glukosa dan menghambat aliran prekursor ke hati (Gilman, 2007).
Klasifikasi insulin:
a) Insulin yang bekerja singkat
Sediaan ini memiliki onset kerja paling cepat, tetapi durasinya paling singkat (Gilman, 2007). Dapat dibedakan berdasarkan sumbernya:
• Insulin regular atau insulin soluble
Merupakan satu-satunya insulin jernih atau larutan insulin, sementara lainnya adalah suspensi (Soegondo dkk, 2004). Dapat diberikan secara intravena atau intramuskular. Biasanya harus diinjeksikan 30-45 menit sebelum makan. Kadar puncak dalam plasma sekitar 1,5 sampai 4 jam (Gilman, 2007) dan biasanya berlangsung selama 6-8 jam (Holt and Kumar, 2010). Contoh insulin ini adalah Human Actrapid (Novo Nordisk), Humulin
(22)
S(Lilly), Insuman Rapid (Aventis), Hypurin Porcine Neutral (CP), Hypurin Bovine Neutral (CP), Pork actrapid (Scobie, 2007).
• Insulin analog kerja cepat
Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 0,5 sampai 1,5 jam dan berlansung selama 2 sampai 5 jam (Gilman, 2007). Contoh insulin analog kerja cepat adalah Insulin Aspart (NovoRapid), Insulin Lispro (Humalog), Insulin Glulisine (Apidra) (Holt and Kumar, 2010).
b) Insulin yang bekerja sedang Dapat dibagi menjadi:
• Suspensi insulin isophan
Merupakan suspensi insulin dalam bentuk kompleks dengan zink dan protamin. Umumnya diberikan satu kali sehari sebelum sarapan atau dua kali sehari. Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 6 samapi 12 jam dan berlangsung selama 18 sampai 24 jam (Gilman, 2007). Contoh suspensi insulin isophan: Insulatard, Humulin I, Insuman Basal, Hypurine Porcine Isophane, Hypurin Bovine Isophane (Holt and Kumar, 2010).
• Suspensi insulin Zink (lente)
Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 6 sampai 12 jam dan berlangsung selama 18 sampai 24 jam (Gilman, 2007). Contoh suspensi insulin Zink: Human Monotard, Humulin Lente Hypurin, Bovine Lente (Scobie, 2007).
(23)
c) Insulin yang bekerja panjang
Memiliki onset yang sangat lambat dan puncak kerja yang relatif datar yang lebih lama. Insulin ini ditujukan untuk memberikan konsentrasi insulin yang rendah sepanjang hari (Gilman, 2007).
Dapat dibagi menjadi:
• Suspensi Zink insulin yang diperpanjang (ultralente)
Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 16 sampai 18 jam dan berlangsung selama 20 sampai 36 jam (Gilman, 2007). Contoh insulin ultralente adalah Human Ultratard dan Humulin ZN (Scobie, 2007).
• Suspensi insulin bekerja panjang
Analog insulin ini dapat bekerja sampai dengan 24 ketika disuntikkan secara subkutan dan diberikan sekalai sehari dan tidak mempunyai puncak dalam plasma (Holt and Kumar, 2010). Contoh insulin ini adalah Glargine (lantus) dan Detemir (Levemir) (Scobie, 2007).
2.2 Coronary Artery Disease (CAD) 2.2.1 Definisi
Coronary artery disease (CAD) merupakan penyakit yang ditandai dengan berkembangnya plak aterosklerotik (fibro-fatty deposits) di arteri koroner. Penyebab utama penyakit ini adalah adanya aterosklerosis yang terdapat pada pembuluh darah epicardial sehingga bisa menyebabkan terjadinya blokade aliran darah. (Dipiro,2007).
Arteri koroner merupakan pembuluh arteri yang mensuplai darah yang mengangkut oksigen dan nutrisi ke miokardium (otot jantung). Terdapat suatu
(24)
keseimbangan kritis antara suplai dan kebutuhan oksigen miokardium, suplai oksigen harus sesuai dengan kebutuhan akan oksigen tersebut. Pengurangan suplai oksigen atau peningkatan kebutuhan oksigen dapat mengganggu keseimbangan ini dan membahayakan fungsi miokardium (Price dan Wilson, 2005).
Bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat, maka suplai oksigen juga harus meningkat. Untuk meningkatkan suplai oksigen dalam jumlah yang memadai,aliran pembuluh koroner haruslah ditingkatkan, karena ekstraksi oksigen miokardium dari daerah arteri hampir maksimal pada keadaan istirahat. Rangsangan yang paling kuat untuk mendilatasi arteri koroner dan meningkatkan aliran pembuluh darah adalah hipoksia jaringan local. Pembuluh koroner dapat melebar dan meningkatkan aliran darah sekitar lima sampai enam kali di atas tingkat istirahat. Tetapi, pembuluh darah yang mengalami stenosis atau gangguan, tidak dapat melebar dengan sempurna sehingga terjadi kekurangan oksigen bila kebutuhan oksigen meningkat (Price dan Wilson, 2005).
2.2.2 Etiologi
Hasil penelitian pada hewan percobaan dan manusia menunjukkan bahwa adanya lapisan lemak merupakan awal terjadinya aterosklerosis. Adanya lesi awal ini sangat sering muncul dari peningkatan focal yang mengandung lipoprotein pada daerah intima. Adanya hiperkolesterolemia dapat meningkatkan akumulasi lipoprotein terutama low density lipoprotein (LDL) di intima. Partikel lipoprotein sering berhubungan dengan konstituen dari matriks ekstraseluler, khususnya proteoglikan. Sekuestrasi (penyerapan) di dalam intima memisahkan lipoprotein dari antioksidan plasma dan menyebabkan terjadinya modifikasi oksidatif. Partikel lipoprotein yang termodifikasi dapat memicu respon inflamasi lokal yang
(25)
memberikan sinyal untuk tahap selanjutnya pada pembentukan lesi. Tanda-tanda yang lain dari berbagai adhesi molekul leukosit adalah adanya monosit yang mulai timbul di lesi arteri (Dipiro, 2007).
Pada waktu berlekatan, beberapa sel darah putih bermigrasi ke dalam intima. Migrasi ini terjadi karena adanya faktor chemoatractant, meliputi partikel lipoprotein yang termodifikasi dan sitokin. Adanya mononuklear fagosit akan mencerna lipid dan membentuk foam cells, yang ditunjukkan oleh pengisian sitoplasma dengan droplet lipid. Lapisan lemak tersebut akan memperparah lesi aterosklerotik, sel otot polos akan bermigrasi dari media melalui membrane internal dan terakumulasi di dalam intima dan akan membentuk lesi yang semakin memburuk (Dipiro, 2007).
2.2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari CAD yang terpenting adalah nyeri di dada karena adanya iskemia miokard. Nyeri dada juga bisa disertai sulit bernafas (dyspnea) (Dipiro, 2007)
2.2.4 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis CAD, perlu dilakuklan beberapa tes diagnosis, diantanya adalah:
a. Elektrokardiografi (EKG)
Terjadi perubahan pada gelombang ST-T, inverse gelombang T dan elevasi segmen ST.
(26)
c. Pencitraan jantung
Radionuclide angiocardiography digunakan untuk mengukur fraksi ejeksi, performa ventrikel, keluaran jantung, volume ventrikel, regurgitasi katup, dan abnormalitas dinding jantung.
d. Echocardiography
Echocardiography berguna jika pasien mempunya riwayat penyakit katup pericardial atau disfungsi ventrikel.
e. Kateterisasi jantung dan arteriografi koroner
2.2.5 Penatalaksanaan
Menurut American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA), terapi awal untuk pasien CAD adalah dengan pemberian oksigen intranasal (jika saturasi oksigen <90%), nitrogliserin sublingual, asprin, beta blocker oral, dan antikoagulan dan agen fibrinolitik. Sedangkan terapi untuk pasien CAD yang pernah mengalami infark miokard sebelumnya (CAD Old Myocardial Infarction/CAD OMI) adalah beta blocker, ACEIs, aspirin, lipid-lowering agents, antagonis aldosteron, dan antikoagulan (Dipiro, 2007).
a. Beta Blocker
Pada pasien CAD, manfaat pemberian beta blocker diperoleh dari kemampuannya menginhibisi secara kompetitif reseptor beta-1 yang terletak di miokardium. Inhibisi tersebut menyebabkan pengurangan denyut jantung, kontraktilitas miokardium, tekanan darah, dan penurunan kebutuhan oksigen miokardial. Selain itu, pengurangan denyut jantung akan meningkatkan diastolic time, yang akan memperbaiki pengisian ventrikel dan perfusi arteri koroner. Akibatnya, beta blocker akan
(27)
mengurangi resiko kekambuhan iskemia, infarct ataupun reinfarct dan juga aritmia ventrikuler (Dipiro, 2007).
b. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEIs)
Pemberian ACEIs didasarkan pada kemampuannya untuk mencegah remodeling jantung. Mechanisme lainnya adalah kemapuan ACEIs untuk memperbaiki fungsi endothelial, mengurangi aritmia atrium dan ventrikel, meningkatkan angiogenesis, dan mengurangi kejadian iskemia (Dipiro, 2007).
2.3 Decompensatio Cordis/Gagal Jantung 2.3.1 Definisi
Gagal jantung terjadi ketika jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Gagal jantung dapat juga merupakan hasil dari disfungsi sistolik dan diastolik (Corwin, 2008). Pada disfungsi sistolik, kerja memompa (kontraktilitas) dan ejection fraction (EF) dari kerja jantung mengalami penurunan. Sedangkan pada disfungsi diastolik, proses mengerasnya dan kehilangan kemampuan relaksasi otot jantung memiliki peranan yang penting dalam menurunkan keluaran jantung (cardiac output) (Katzung, 2007).
Gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Tempat kongesti bergantung pada ventrikel yang terlibat. Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan turunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormalitas gerakan dinding, dan mengubah daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup berkurang sehingga
(28)
volume sisa ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan jantung sebelah kiri (Price and Wilson, 2005).
Penurunan volume sekuncup akan menimbulkan respon simpatis kompensatoris. Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat untuk mempertahankan curah jantung. Pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus akan meningkatkan pengaktifan sistem renin-angiotensin aldosteron, dengan terjadinya retensi natrium dan air oleh ginjal. Hal ini akan meningkatkan aliran balik vena (Soufer, 2005).
2.3.2 Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel, dan beban akhir meningkat pada keadaan akhir seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati (Price and Wilson, 2005).
Secara epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan penyebab lain terbanyak adalah penyakit jantung katup (Mariyono dan Santoso, 2007).
New York Heart Association (NYHA) mengelompokkan gagal jantung dalam 4 kelas fungsional berdasarkan jumlah aktivitas fisik yang diperlukan untuk menimbulkan gejala-gejalanya (Gunawan, 2007; SIGN, 2007). Pengelompokan gagal jantung menurut NYHA dapat dilihat pada Tabel 2.2.
(29)
Tabel 2.2 Pengelompokan gagal jantung menurut NYHA Kelas Symptom
I Tidak ada limitasi aktivitas fisik, tidak timbul sesak napas, dan rasa lelah. II Sedikit limitasi aktivitas fisik, timbul rasa lelah dan sesak napas dengan
aktivitas fisik biasa, tetapi nyaman sewaktu istirahat.
III Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktivitas fisik kurang dari biasa sudah menimbulkan gejala, tetapi nyaman sewaktu istirahat.
IV Gejala-gejala sudah ada sewaktu istirahat, dan aktivitas sedikit saja akan memperberat gejala.
2.3.3 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik gagal jantung menunjukkan derajat kerusakan miokardium dan kemampuan serta besarnya respon kompensasi. Berikut adalah hal-hal yang biasa ditemukan pada gagal jantung kiri:
a. Gejala dan tanda: dispnea, oliguria, lemah, lelah, pucat dan berat badan bertambah.
b. Auskultasi: ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi jantung dan ketidaklenturan ventrikel waktu pengisian cepat).
c. EKG: takikardia
d. Radiografi dada: kardiomegali, kongesti vena pulmonalis (Price and Wilson, 2005).
2.3.4 Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP), hepatomegali, edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain fotothorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru (Mariyono dan Santoso, 2007).
(30)
2.3.5 Penatalaksanaan
Target terapi gagal jantung kronik adalah meminimalisir hingga menghilangnya gejala, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi angka rawat inap, memperlambat peningkatan keparahan penyakit, serta memperpanjang ketahanan (Sukandar, dkk., 2008). Prinsip manajemen terapi juga meliputi pengurangan beban kerja jantung, meningkatkan kinerja memompa jantung (kontraktilitas), dan juga mengontrol penggunaan garam (Andreoli, et. all., 1997).
Pemilihan obat yang tersedia untuk pengobatan gagal jantung kongestif bersifat terbatas dan terfokus terutama untuk mengontrol gejala-gejala yang terjadi. Obat sekarang telah dikembangkan baik untuk memperbaiki gejala, dan yang terpenting, memperpanjang kelangsungan hidup.
a. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEIs)
ACE inhibitor telah digunakan untuk pengobatan hipertensi selama lebih dari 20 tahun. Golongan obat ini juga telah dipelajari secara ekstensif dalam pengobatan gagal jantung kongestif. Obat-obat ini menghambat pembentukan angiotensin II, suatu hormon dengan efek yang berpotensi mempengaruhi jantung dan sirkulasi pada pasien gagal jantung. Penelitian yang dilakukan pada beberapa ribu pasien, obat ini telah menunjukkan peningkatan perbaikan gejala-gejala penyakit pada pasien, pencegahan kerusakan klinis, dan memperpanjang hidup. Selain itu, obat ini digunakan untuk mencegah perkembangan gagal jantung dan serangan jantung (Kulick, 2011).
Efek samping dari obat ini termasuk batuk kering yang mengganggu, hipotensi, memburuknya fungsi ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit, dan jarang terjadi reaksi alergi. Ketika digunakan dengan hati-hati dengan pemantauan
(31)
yang tepat, bagaimanapun, mayoritas individu dengan gagal jantung kongestif dapat mentolerir obat-obat ini tanpa masalah yang signifikan. Contoh inhibitor ACE meliputi: kaptopril, enalapril, lisinopril, benazepril dan ramipril (Kulick, 2011).
b. Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs)
Individu yang tidak mampu mentolerir dampak ACE inhibitors, dapat digunakan sebuah kelompok alternatif obat, yang disebut angiotensin receptor blockers (ARBs). Obat ini bekerja pada jalur sirkulasi yang sama dengan inhibitor ACE, tetapi kerjanya menduduki reseptor angiotensin II secara langsung Efek samping dari obat ini mirip dengan seperti penggunaan ACE inhibitors, meskipun batuk kering jarang dijumpai. Contoh golongan ini obat meliputi: losartan, candesartan, telmisartan, valsartan, irbesartan, dan olmesartan (Kulick, 2011).
c. Beta-blocker
Hormon-hormon tertentu, seperti epinefrin (adrenalin), norepinefrin, dan hormon serupa lainnya, bertindak pada reseptor beta pada berbagai jaringan tubuh dan menghasilkan efek stimulatif. Efek hormon ini pada reseptor beta di jantung adalah kontraksi yang lebih kuat dari otot jantung. Beta-blocker adalah obat yang menghalangi aksi hormon ini dengan menduduki reseptor beta dari jaringan tubuh. Karena diasumsikan bahwa menduduki reseptor beta dapat menekan fungsi dari jantung, beta-blocker secara tradisional tidak digunakan pada orang dengan gagal jantung kongestif (Kulick, 2011).
Penelitian telah menunjukkan manfaat klinis dari beta-blocker dalam meningkatkan fungsi jantung dan kelangsungan hidup pada individu dengan gagal jantung kongestif yang sedang menggunakan ACE inhibitors. Keberhasilan dalam
(32)
menggunakan beta-blocker pada gagal jantung kongestif adalah dengan memulai dari dosis rendah dan kemudian meningkatkan dosis secara lambat (Kulick, 2011). Efek samping yang mungkin termasuk retensi cairan, hipotensi, dan kelelahan serta pusing. Beta-blocker umumnya harus tidak digunakan pada orang dengan penyakit yang signifikan tertentu pada saluran napas (misalnya, asma, emfisema). Contoh golongan obat ini adalah bisoprolol, metoprolol, dan carvedilol (Kulick, 2011).
d. Glikosida jantung
Glikosida jantung menstimulasi otot jantung untuk berkontraksi lebih kuat. Dengan kata lain, glikosida jantung adalah obat yang memperkuat kontraktilitas otot jantung (efek inotropik positif), terutama digunakan pada gagal jantung (dekompensasi) untuk memperbaiki fungsi pompanya. Potensi efek samping termasuk: mual, muntah, gangguan irama jantung, disfungsi ginjal, dan kelainan elektrolit. Efek-efek samping umumnya timbul akibat dari toksisitas dalam darah dan dapat dimonitor dengan tes darah. Dosis glikosida jantung juga perlu disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan (Gunawan, 2007).
e. Diuretik
Diuretik seringkali merupakan komponen penting dalam pengobatan gagal jantung kongestif untuk mencegah atau mengurangi gejala retensi cairan. Obat ini membantu mengurangi cairan di paru-paru dan jaringan lain dengan cara menyalurkan cairan melalui ginjal. Meskipun diuretik efektif dalam menghilangkan gejala seperti sesak napas dan pembengkakan kaki, diuretik belum menunjukkan untuk memberikan dampak positif pada kelangsungan hidup jangka
(33)
panjang. Namun demikian, diuretik tetap kunci dalam mencegah memburuknya kondisi pasien. Bila diperlukan rawat inap, diuretik sering diberikan secara intravena karena absorbsi diuretik oral mungkin terganggu, ketika gagal jantung kongestif yang parah .Potensi efek samping diuretik meliputi dehidrasi, kelainan elektrolit, hipokalemia, gangguan pendengaran, dan hipotensi (Brunton and Parker, 2008).
Dalam terapi sangat penting untuk mencegah kadar kalium rendah dengan cara menambahkan suplemen. Gangguan elektrolit tersebut dapat membuat pasien rentan terhadap gangguan irama jantung yang serius. Contoh dari berbagai kelas diuretik meliputi: furosemid, hidroklorotiazid, bumetanide, torsemide, dan spironolactone. Spironolactone (Aldactone) telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai diuretik lemah dalam pengobatan berbagai penyakit. Obat ini memblokir aksi dari hormon aldosterone. Aldosteron memiliki banyak efek pada jantung dan sirkulasi pada gagal jantung kongestif (Brunton and Parker, 2008).
f. Vasodilator
Vasodilator sudah lama digunakan dalam pengobatan gagal jantung. Obat golongan ini merileksasi otot polos pembuluh darah secara langsung. Penggunaan secara kombinasi telah terbukti dapat mengurangi angka kematian pada pasien gagal jantung. Hidralazin merupakan vasodilator arteri sehingga menurunkan afterload dan isosorbid dinitrat merupakan venodilator sehingga menurunkan preload jantung (Brunton and Parker, 2008).
(34)
2.4 Hipertensi 2.4.1 Definisi
Hipertensi atau Darah tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal. Hipertensi didefenisikan sebagai tekanan darah diastolik tetap lebih besar dari 90 mmHg disertai dengan kenaikan tekanan darah sistolik (140 mmHg) (Mycek, 2001).
Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila TDS ≥ 210 mmHg dan TDD ≥ 120 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu sampai beberapa minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang diperoleh TDS ≥ 140 mmHg dan TDD 90 mmHg (Ganiswarna, 1995).
Tabel 2.3 Klasifikasi hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah
Kategori TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Normal < 130 < 85
Normal tinggi 130-139 85-89
Hipertensi:
Tingkat 1 (ringan) 140-159 90-99
Tingkat 2 (sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (berat) 180-209 110-119
Tingkat 4 (sangat berat) ≥ 210 ≥ 120
2.4.2. Etiologi
Hipertensi merupakan kondisi medis yang heterogen. Pada kebanyakan pasien, penyebab hipertensi belum diketahui secara pasti, sedangkan sebagian pasien lainnya dapat diidentifikasi penyebab terjadinya hipertensi. Berdasarkan etiologinya, hipertensi dapat di bagi atas hipertensi esensial dan hipertensi sekunder.
(35)
1. Hipertensi Esensial
Hipertensi disebut juga hipertensi primer atau idiopatik. Hipertensi esensial adalah hipertensi esensial adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab hipertensi esensial merupakan multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan dan terlihat adanya riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vaskular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi yaitu makan garam (natrium) berlebihan, stress psikis dan obesitas (Dipiro, 2007).
2. Hipertensi Sekunder
Prevalensi hipertensi sekunder ini kurang dari 10% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal atau penggunaan obat-obat tertentu
2.4.3. Manifestasi Klinik
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas. Tanda-tanda ynag bisa menjadi indicator hipertensi adalah nilai tekanan darah pasien (Dipiro, 2007).
2.4.4 Diagnosa
Tes diagnosa perlu dilakukan untuk mempertegas diagnosa karena hipertensi secara umum tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas. Pengukuran tekanan darah sebagai dasar dalam menegakkan diagnose tidak cukup dilakukan
(36)
satu kali. Diagnosa hipertensi dapat ditentukan dari rerata dua kali atau lebih pengukuran yang diambil pada waktu yang berbeda. Dari hasil pengukuran rerata tekanan darah tersebut, kemudian digunakan untuk mengklasifikasi tingkat (stage) penyakit hipertensi.
2.4.5 Penatalaksanaan
Tujuan penanganan hipertensi adalah untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan terkait hipertensi. Penurunan tekanan darah sampai nilai yang direkomendasikan tidak menjamin kerusakan organ target tidak terjadi. Namun dengan penurunan tekanan darah hingga nilai normal dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Adapun nilai tekanan darah yang direkomendasikan oleh JNC7 adalah sebagai berikut:
- Kebanyakan pasien : <140/90 mmHg - Pasien dengan diabetes : <130/80 mmHg
- Pasien dengan penyakit ginjal kronik : <130/80 mmHg (dengan nilai LFG <60 mL/menit, serum kreatinin >1,3 mg/dL pada wanita atau >1,5 mg/dL pad pria, atau albuminuria >300 mg/hari atau ≥200 mg/g kreanitin) (Dipiro, 2007).
Pemilihan obat untuk hipertensi sangat beragam. Terdapat 9 kelas
antihipertensi yang berbeda. Diuretik, penghambat β, angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs), angiotensin II receptor blockers (ARBs), dan calcium channel blockers (CaCBs) merupakan agen antihipertensi primer (Dipiro, 2007).
(37)
a. Diuretik
Diureti bekerja menurunkan tekanan drah dengan mengeluarkan garam serta mengurangi volume darah dari tubuh. Pada awalnya, diuretic mengurangi tekanan darah dengan mengurangi volume darah dan keluaran jantung.
b. Beta-Blocker
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis betabloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial. Contoh obatnya adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol.
Pada penderita diabetes melitus harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (kondisi dimana kadar gula dalam darah turun menjadi sangat rendah yang bisa berakibat bahaya bagi penderitanya). Pada orang tua terdapat gejala bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat harus hati-hati.
c. Angiotensin Converting Enzym Inhibitors (ACEIs)
Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat Angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Kaptopril. Efek samping yang mungkin timbul adalah : batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.
d. Calcium Channel Blocker (CaCB)
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah. Dengan pengobatan dan
(38)
kontrol yang teratur, serta menghindari faktor resiko terjadinya hipertensi, maka angka kematian akibat penyakit ini bisa ditekan.
Beberapa golongan antihipertensi lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.4 Golongan Obat-obat Antihipertensi
Kelas Nama Obat Dosis lazim (mg/hari ) Frek./ hari Komentar DIURETIK Thiazid Klortalidon Hidroklorotiazi d Indapamide Metolazone 6.25-25 12.5-50 1.25-2.5 0.5 1 1 1 1
Pemberian pagi hari untuk menghindari diuresis malam hari, sebagai antihipertensi gol.tiazid lebih efektif dari diuretik loop kecuali pada pasien dengan GFR rendah (± ClCr<30 ml/min); gunakan dosis lazim untuk mencegah efek samping metabolik,; hiroklorotiazid (HCT) dan klortalidon lebih disukai, dengan dosis efektif maksimum 25 mg/hari; klortalidon hampir 2 kali lebih kuat dibanding HCT; keuntungan tambahan untuk
pasien osteoporosis; monitoring tambahan untuk
pasien dengan sejarah pirai atau hiponatremia
Loop Bumetanide Furosemide Torsemide 0.5-4 20-80 5 2 2 1
Pemberian pagi dan sore untuk mencegah diuresis malam hari; dosis lebih tinggi mungkin diperlukan untuk pasien dengan GFR sangat rendah atau gagal jantung
Penahan kalium Triamteren Triamteren/ HCT 50-100 37.5-75/ 25-50 1 atau 2 1
Pemberian pagi dan sore untuk mencegah diuresis malam hari; diuretic ringan biasanya di kombinasi dengan tiazid untuk meminimalkan hipokalemia; karena hipokalemia dengan diuretic tiazid dosis rendah tidak lazim, obat-obat ini biasanya dipakai untuk pasien-pasien yang mengalami
(39)
diureticinduced hipokalemia; hindari pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (± ClCr < 30ml/min); dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama kombi nasi dengan ACEI, ARB, atau suplemen kalium)
Kelas Nama Obat Dosis lazim (mg/hari ) Frek./ hari Komentar Antagonis Aldosteron Eplerenone Spironolakton Spironolakton / HCT
50-100 25-50 25-50 / 25-50 1 atau 2 1
Pemberian pagi dan sore untuk mencegah diuresis malam hari; diuretic ringan biasanya di kombinasi dengan tiazid untuk meminimalkan hipokalemia; karena hipokalemia dengan diuretic tiazid dosis rendah tidak lazim, obat-obat ini biasanya dipakai untuk pasien-pasien yang mengalami diureticinduced hipokalemia; hindari pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (± ClCr < 30ml/min); dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama kombi nasi dengan ACEI, ARB, atau suplemen kalium) B. ACE inhibitor Benazepril Captopril Enalapril Fosinopril Lisinoril Moexipril Perindopril Quinapril Ramipril Trandolaapril 10-40 12.5-150 5-40 10-40 10-40 7.5-30 4-16 10-80 2.5-10 1-4 1 atau 2 2 atau 3 1 atau 2 1 1 1 atau 2 1 1 atau 2 1 atau 2
Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah dapat diuretik, yang kekurangan cairan, atau sudah tua sekali karena resiko hipotensi; dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau pasien yang juga mendapat diuretik penahan kalium, antagonis aldosteron, atau ARB; dapat menyebabkan gagal ginjal pada pasien dengan renal arteri stenosis; jangan digunakan pada perempuan hamil atau pada pasien dengan sejarah
(40)
Angioedema C. Penyekat reseptor angiotensin Kandesartan Eprosartan Irbesartan Losartan Olmesartan Telmisartan Valsartan 8-32 600-800 150-300 50-100 20-40 20-80 80-320 1 atau 2 1 atau 2 1 1 atau 2 1 1 1
Dosis awal harus dikurangi 50% pada pasien yang sudah dapat diuretik, yang kekurangan cairan, atau sudah tua sekali karena resiko hipotensi; dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau pasien yang juga mendapat diuretik penahan kalium, antagonis aldosteron, atau ACEI; dapat menyebabkan gagal ginjal pada
pasien dengan renal arteri stenosis; tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI; jangan digunakan pada perempuan hamil
Kelas Nama Obat Dosis lazim (mg/hari ) Frek./ hari Komentar D. Penyekat beta Kardioselektif: Atenolol Betaxolol Bisoprolol Metoprolol 25-100 5-20 2.5-10 50-200 50-200 1 1 1 1 1
Pemberhentian tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension; dosis rendah s/d sedang menghambat reseptor
β1, pada dosis tinggi menstimulasi reseptor β2;
dapat menyebabkan eksaserbasi asma bila selektifitas hilang; keuntungan tambahan pada pasien dengan atrial tachyarrythmia atau preoperatif hipertensi. Nonselektif: Nadolol Propranolol Propranolol LA Timolol Sotalol 40-120 160-480 80-320 1 2 1
Pemberhentian tiba-tiba dapat
menyebabkan rebound hypertension, menghambat
reseptor β1 dan β2 pada semua
dosis; dapat memperparah asma; ada keuntungan tambahan pada pasien dengan essensial tremor, migraine, Tirotoksikosis
(41)
Aktifitas simpatomimeti k Intrinsik: Acebutolol Carteolol Pentobutolol Pindolol 200-800 2.5-10 10-40 10-60 2 1 1 2
Pemberhentian tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension; secara parsial
merangsang reseptor β
sementara menyekat terhadap rangsangan tambahan; tidak ada keuntungan tambahan untuk obat-obat ini kecuali pada pasien-pasien dengan bradikardi, yang harus mendapat penyekat beta; kontraindikasi pada pasien pasca infark miokard, efek samping dan efek metabolik lebih sedikit, tetapi tidak
kardioprotektif seperti penyekat beta yang lain.
Campuran
penyakat α dan β: Karvedilol Labetolol 12.5-50 200-800 2 2
Pemberhentian tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension; penambahan
penyekat α meng akibatkan
hipotensi ortostatik
Kelas Nama Obat Dosis lazim (mg/hari ) Frek./ hari Komentar E. Antagonis kalsium Dihidropiridin: Amlodipin Felodipin Isradipin Lekarnidipin Nicardipin SR Nifedipin LA Nisoldipin 2.5-10 5-20 5-10 5-20 60-120 30-90 10-40 1 1 2 1 2 1 1
Dihidropiridin yang bekerja cepat (long-acting) harus dihindari, terutama nifedipin dan nicardipin; dihidropiridin adalah vasodilator perifer yang
kuat dari pada nondihidropiridin dan dapat menyebabkan pelepasan simpatetik refleks (takhikardia), pusing, sakit
kepala, flushing, dan edema perifer; keuntungan tambahan pada sindroma Raynaud
Non-dihidropiridin Diltiazem SR
180-360 1 1
Produk lepas lambat lebih disukai untuk hipertensi; obat-obat ini menyekat slow
(42)
(Sumber : Dipiro, 2007)
BAB III
Verapamil SR channels di jantung dan
menurunkan denyut jantung; dapat menyebabkan heart block; keuntungan tambahan untuk pasien dengan atrial Takhiaritmia
(43)
PEMANTAUAN TERAPI OBAT 3.1 Data pasien
Identitas penderita
Nama : Ny.E
:
Usia : 55 tahun Alamat : Cisangkan Hilir
Status pasien : Tidak Mampu (Gakinda)
Ruang Rawat : kelas 3 (7-4) Sub Bagian : Penyakit Dalam No. Rekam Medik : 0001162088 Tgl. Masuk : 23 April 2012 Tgl. Keluar :
Status pulang : Perbaikan Dokter : dr. x Apoteker : S,apt
Data Klinis Awal
Kesadaran : sakit sedang
:
Tekanan darah : 160/100 mmHg Nadi : 100 x/menit Respirasi : 26 x/menit Suhu : 370C
Gizi : malnutrisi sedang Tinggi Badan : 155 cm
Berat badan : 49 kg
Diabetes Melitus tipe 2, hipertensi
Riwayat Penyakit Dahulu :
Glibenklamid, Captopril, ibuprofen, parasetamol, asam salisilat (NSAID)
Riwayat Konsumsi Obat :
Tidak ada
Alergi :
Alasan Masuk RS/Keluhan Utama
Sesak nafas
: Anamnesis
Sejak 1 minggu pasien mengeluh sesak nafas, semakin lama semakin memberat dan tidak membaik dengan istirahat. Keluhan disertai batuk berdahak berwarna putih tanpa mengi atau panas badan. Pasien merasa nyaman tidur dengan posisi ½ duduk. Tidak ada nyeri dada atau keringat dingin. Bengkak tungkai ada dan perut.
:
2 bulan SMRS, pasien dirawat di RSHS karena keluhan lemas dan BAB hitam dan sesak nafas. Saat itu pasien dikatakan menderita kencing manis dan jantung bengkak. Pasien tidak kontrol dan 1 bulan SMRS pasien tidak minum obat, namun insulin tetap digunakan.
2 bulan SMRS keluhan BAB hitam ada, minum jamu ada, obat antinyeri ada, sejak 6 bulan pasien mengeluh sesak kalau berjalan jauh dan berkurang dengan istirahat. PUD (+), orthpnea (+), udema tungkai (+).
Riwayat hipertensi (+) 6 tahun SMRS. TD tertinggi 250/.... mmHg. Tidak kontrol.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
DM (+) 6 tahun SMRS, GD tertinggi 700 mg/dL. Tidak rutin kontrol. Keluhan baal pada kaki dan tangan (+). Keluhan pandangan kabur (+).
Riwayat Keluarga : - Alergi : -
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 23 April 2012:
Pemerikasaan Penunjang Awal:
(44)
3.2 Metode SOAP (Subjective-Objective-Assessment-Planning) 3.2.1 Parameter Subjektif (Subjective)
1. Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran, hanya mengalami sakit sedang. 2. Sesak nafas
3. Batuk berdahak yang berwarna putih 4. Bengkak pada tungkai dan perut 5. Feses berwarna hitam
3.2.2 Parameter Objektif (Objective)
Ureum = 45 mg/dL Kreatinin = 0,97 mg/dL MCV = 69 fl
MCH = 22,1 pg MCHC = 32 % Natrium = 138mEq/L Kalium = 4,6 mEq/L GDS = 202 mg/Dl
CAD OMI anteroseptal DC ki-ka FC IV
Diagnosis Utama :
DM tipe 2 dengan komplikasi neuropati, retinopati diabetikum. Hipertensi stage 2
Diagnosis tambahan
Efusi pleura bilateral ec decomp cordis dd/ hipoalbuminuria.
:
Gastropati erosive berdarah ec NSAID dd/ulkus peptikum. Anemia ec occult GI bleeding
EKG : SK + poor R progression
Pemeriksaan Selanjutnya:
Rontgen thorax : kardiomegali dengan efusi pleura bilateral Atherosklerosis aorta
(45)
Tabel 3.1 Data laboratorium tanggal 23/4/2012 Parameter
Hasil Nilai Normal Unit Hematologi
Darah lengkap
Hemoglobin 6,7 12,0 – 16,0 g/dl
Hematokrit 21 35 – 47 %
Trombosit 264.000 150.000-450.000 / mm3
Leukosit 4.800 4400 – 11.300 /mm3
Indeks Eritrosit
MCV 69 80-100 fL
MCH 22,1 26-34 Pg
MCHC 32 32-36 %
Kimia Klinik
Natrium 138 135 – 145 mEq/L
Kalium 4,6 3,6 – 5,5 mEq/L
Ureum 45 15-50 mg/dL
Kreatinin 0,97 P: 0,5 – 0,9 mg/dL
Glukosa darah sewaktu 202 < 140 mg/dL
Tabel 3.2. Data laboratorium tanggal 24/4/2012 Parameter
Hasil Nilai Normal Unit Kimia Klinik
Albumin 2,6 3,4 - 4,8 g/dL
Protein total 5,2 6,6 – 8,7 g/dL
Kolesterol total 108 <200 mg/dL
Kolesterol HDL 23 >45 mg/dL
Kolesterol LDL 158 <130 mg/dL
Trigliserida 96 <135 mg/dL
Gula Darah Puasa 197 70 – 100 mg/dL
(46)
Tabel 3.3. Data laboratorium tanggal 25/4/2012 Parameter
Hasil Nilai Normal Unit Hematologi
Darah lengkap
Hemoglobin 6,0 12,0 – 16,0 g/dl
Hematokrit 21 35 – 47 %
Trombosit 302.000 150.000-450.000 / mm3
Leukosit 5.100 4400 – 11.300 /mm3
Eritrosit 2,75 3,6 – 5,8 Juta/µ
L
Indeks Eritrosit
MCV 75,3 80-100 fL
MCH 21,5 26-34 Pg
MCHC 28,6 32-36 %
Morfologi Darah Tepi
Eritrosit Hipokrom anisopoikilositosis ( target cell, cigar shape)
Leukosit Tidak ada kelainan morfologi
Trombosit Tersebar
Kimia Klinik
AST (SGOT) 11 P: s/d 31 U/L
37oC
ALT (SGPT 9 P: s/d 31 U/L
37oC
Ureum 64 15-50 mg/dL
Kreatinin 1,26 P: 0,5 – 0,9 mg/dL
Glukosa darah 2 jam PP 230 < 140 mg/dL
HbA1c - 4,8 – 5,9 %
Kolesterol total 109 <200 mg/dL
Kolesterol HDL 23 >45 mg/dL
Kolesterol LDL 67 <130 mg/dL
Trigliserida 93 P: <135 mg/dL
(47)
Tabel 3.4 Data laboratorium tanggal 26/4/2012 Parameter
Hasil Nilai Normal Unit Hematologi
Darah lengkap
Hemoglobin 5,7 12,0 – 16,0 g/dl
Hematokrit 20 35 – 47 %
Trombosit 283.000 150.000-450.000 / mm3
Leukosit 4.200 4400 – 11.300 /mm3
Eritrosit 2,68 3,6 – 5,8 Juta/µ
L
Indeks Eritrosit
MCV 75,4 80-100 fL
MCH 21,3 26-34 Pg
MCHC 28,2 32-36 %
Hematologi PT-INR
Masa Protrombin 17,5 10,9 – 14,9 Detik
INR 1,50 0,61 – 1,2 Detik
APTI 33,1 19,8 – 39,8 Detik
Fibrinogen 256,5 200 – 400 mg/dL
Kimia Klinik
Ureum 66 15-50 mg/dL
Kreatinin 1,33 P: 0,5 – 0,9 mg/dL
Natrium 140 135 – 145 mEq/L
Kalium 2,7 3,6 – 5,5 mEq/L
Kalsium 4,56 4,7 – 5,2 mEq/L
Gula darah 2 jam PP 137 < 140 mg/dL
Tabel 3.5 Data laboratorium tanggal 27/4/2012 Parameter
Hasil Nilai Normal Unit Kimia Klinik
Ureum 63 15-50 mg/dL
Kreatinin 1,44 P: 0,5 – 0,9 mg/dL
Gula darah 2 jam PP 191 <140 mg/dL
(48)
Tabel 3.6 Data laboratorium tanggal 28/4/2012 Parameter
Hasil Nilai Normal Unit Hematologi
Darah lengkap
Hemoglobin 8,5 12,0 – 16,0 g/dl
Hematokrit 28 35 – 47 %
Trombosit 277.000 150.000-450.000 / mm3
Leukosit 7500 4400 – 11.300 /mm3
Eritrosit 3,62 3,6 – 5,8 Juta/µ
L
Indeks Eritrosit
MCV 77,6 80-100 fL
MCH 23,5 26-34 Pg
MCHC 30,2 32-36 %
Kimia Klinik
Glukosa darah 2 jam PP 208 < 140 mg/dL
Tabel 3.7 Data laboratorium tanggal 1/5/2012 Parameter
Hasil Nilai Normal Unit Kimia Klinik
Ureum 50 15-50 mg/dL
Kreatinin 1,22 P: 0,5 – 0,9 mg/dL
Glukosa darah puasa 211 70 – 110 mg/dL
Natrium 142 135 – 145 mEq/L
Kalium 3,2 3,6 – 5,5 mEq/L
(49)
Tabel 3.8 Data Pemeriksaan Penunjang
Jenis
Pemeriksaan Hasil
Roentgen thorax PA
CTR sdn, apeks sdn, segmen aorta tidak melebar, segmen pulmonal tidak menonjol, tampak kranialisasi, tidak tampak infiltrasi di kedua lapngan paru, sinus cortophrenicus tumpul.
Kesan Ro: kardiomegali disertai efusi pleura bilateral, ateroskeloris aorta.
EKG Irama sinus, aksis normal, QRS rate 100x/menit, P wave 0,08”-10mV;PR
interval 0,16”, QRS duration 0,08”, Q patologis (-), ST seg isoelektrik, T inv (-), R/S di V1 <1, V½ +R V5/6<35, poor R prog (+), S V3 + R aVL <
20mm.
Kesimpulan EKG: sinus ritme, poor R prog ec DD/OMI anteroseptal DCM
(50)
Tabel 3.9 Rekapitulasi pemeriksaan fisik pasien Pemeriksaan Tanggal/Bulan (2012)
23/4 24/4 25/4 26/4 274 28/4 29/4 30/4 01/5 02/5
Kesadaran Sakit
sedang CM
CM, sakit sedang
CM, sakit sedang
CM, sakit sedang
CM
CM, sakit sedang
CM, sakit sedang
CM, sakit sedang
CM, sakit sedang Tekanan
Darah (mmHg)
160/100 150/90 140/80 140/90 130/70 150/90 150/90 150/90 140/90 140/80 Nadi
(x/menit) 100 88 97 90-96 92 88 88 92 87 93
Suhu Badan
(o C) 37 Afebris 37 Afebris 36,8 36,6 36,7 Afebris Afebris Afebris Respirasi
(51)
Tabel 3.10. Rekapitulasi rekaman pengobatan penderita
No
Nama Obat dan
Dosis Rute Pemberian Obat per Hari Keterangan
Bentuk
Sediaan 24/4 25/4 26/4 27/4 28/4 29/4 30/4 01/5 02/05
√: obat yang disediakan dari rumah sakit.
√: obat yang dibawa pasien dari rumah
1 Omeprazole 2x20 mg p.o √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Sucralfat 4x10 cc p.o √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Furosemide 1x40 mg i.v √ √ √ √ √ √ √ √ √
4 Captopril 3x25 mg p.o √ √ √ √ √ √ √ √ √
5 Simvastatin 0-0-40 mg p.o √ √ √ - - - -
6 Simvastatin 0-0-20 mg p.o - - - √ √ √ √ √ √
7 Insulin 4-4-4 s.c √ √ √ √ √ √ √ √ √
8 KSR 1x600 mg p.o - - - √ √
9 Bisoprolol 1x1,25 mg p.o - - - √ √
(52)
3.2.3 Penilaian (Assessment)
Berdasarkan parameter subjektif dan objektif, dilakukan analisis untuk menilai keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan kemungkinan adanya masalah baru terkait obat.
1.Indikasi
Tabel 3.11 Indikasi Obat
Nama Obat Indikasi (literatur) Indikasi (pasien) Ket.
Omeprazole Pengobatan jangka pendek (4-8 minggu)
1. Tukak duodenum aktif 2. Tukak lambung benigna aktif
3. Heartburn atau gejala lain yang berhubungan
dengan Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD)
4. Esofagitis erosive
Penggunaan unlabelled
1. Tukak karena penggunaan NSAID
(Lacy et al, 2009)
Pengobatan gastropati erosive berdarah karena penggunaan NSAID Sesuai
Sukralfat Pengobatan jangka pendek (≤ 8 minggu)
1. Pengobatan dan terapi pemeliharaan tukak
duodenum
Penggunaan Unlabelled
1. Tukak lambung
2. Kerusakan mukosa lambung karena
penggunaan NSAID (Lacy et al, 2009).
Pengobatan gastropati erosive berdarah karena penggunaan NSAID Sesuai
Furosemide 1. Edema terkait gagal jantung congestive dan
penyakit ginjal atau hati.
2. Penggunaan tunggal atau dalam kombinasi
dengan antihipertensi lain untuk pengobatan hipertensi
(Lacy et al, 2009)
1. Hipertensi 2. Decompensatio
cordis kiri-kanan
fc IV
3. Efusi pleura ec decompensatio cordis
4. Edema tungkai
dan perut
Sesuai
Captopril 1. Hipertensi
2. Disfungsi ventrikel kiri setelah terjadi infark miokard
3. Nefropati diabetik (Lacy et al, 2009).
1. Hipertensi 2. Decompensatio
cordis kiri-kanan
fc IV
(53)
2. Dosis
Dosis obat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh karena itu, perlu berbagai pertimbangan agar dosis tepat untuk pengobatan pasien.
Tabel 3.12 Dosis Obat
Nama Obat Dosis (literatur) Dosis (resep) Ket.
Omeprazole - Tukak duodenum aktif : 20 mg/hari selama 4-8
minggu
- Tukak lambung : 40 mg/hari selama 4-8 minggu
(Lacy et al, 2009)
20 mg 2 kali sehari
Sesuai
Sukralfat - Tukak duodenum : 1 g, 4 kali sehari
(Lacy et al, 2009)
10 cc (1g/10cc) 4 kali sehari
Sesuai
Nama Obat Dosis (literatur) Dosis (resep) Ket.
Furosemide i.m dan i.v : 20-40 mg/dosis dapat ditingkatkan 20 40 mg Sesuai
Nama Obat Indikasi (literatur) Indikasi (pasien) Ket.
Simvastatin 1. Pencegahan sekunder kejadian kardiovaskuler
pada pasien hiperkolesterolemia dengan penyakit jantung koroner (PJK) atau yang berisiko tinggi terkena PJK.
2. Hiperlipidemia: mengurangi elevasi total
kolesterol, kolesterol LDL, apolipoprotein B, dan trigliserida, serta meningkatkan kolesterol HDL pada pasien hiperlipidemia primer.
(Lacy et al, 2009)
3. Stablisasi plak pada pasien CAD (Cuccurullo et al,2006)
1. CAD (stabilisasi
plak)
Sesuai
Insulin 1. Diabetes mellitus tipe 1
2. Diabetes mellitus tipe 2 3. (Lacy et al, 2009)
Diabetes mellitus tipe 2
Sesuai
KSR Pencegahan dan pengobatan hipokalemia
(Lacy et al, 2009)
Pencegahan hipokalemia
Sesuai
Bisoprolol Hipertensi, baik penggunaan tunggal maupun
kombinasi.
Penggunaan unlabelled
1. Angina stabil kronik 2. Ariitmia supraventrikular 3. Gagal jantung
(Lacy et al, 2009)
1. Hipertensi 2. Decompensatio
cordis
Sesuai
Calos ® 1. Hipokalsemia
2. Hiperfosfatemia 3. Osteodistrofi ginjal
(Lacy et al, 2009)
Pengobatan dan pencegahan
hipokalsemia
(54)
mg/dosis sampai efek yang diharapkan tercapai. Interval dosis 6-12 jam (Lacy et al, 2009).
1 kali sehari
Captopril Hipertensi :
- Dosis awal 12,5 – 25 mg 2-3 kali sehari. Dapat ditingkatkan menjadi 50 mg 3 kali sehari, dosis maksimal 150 mg 3 kali sehari, tambahkan diuretic sebelum peningkatan dosis lebih lanjut.
- Rentang terapi (JNC 7): 25-100 mg dalam 2 dosis terbagi.
Congetive Heart Failure (CHF):
- Dosis awal: 6,25-12,5 mg 2-3 kali sehari dengan pemberian bersama dengan glikosida dan diuretik
(Lacy et al, 2009)
25 mg 3 kali sehari
Sesuai
Simvastatin Hiperkolesterolemia:
- 40 mg/hari pada malam hari atau 80 mg 3 kali sehari (20mg-20mg-40mg pada malam hari) Pencegahan penyakit kardiovaskular,
hiperlipidemia: - 20-40 mg/hari
Pasien dengan CHD atau berisiko terkena CHD: - 40 mg/hari
(Lacy et al, 2009)
Untuk stabilitas plak: 40 mg/hari disertai dengan diet yang baik.
(Cuccurullo et al, 2006)
40 mg 1 kali sehari pada
malam hari. Kemuadian diturunkan
menjadi 20 mg 1 kali sehari
Sesuai
Insulin 0,15-0,2 unit/kg/hari (Lacy et al, 2009) 4 Unit
3 kali sehari
KSR - Hipokalemia ringan: 40-100 mEq/hari dalam 2-5
dosis terbagi. Umumnya batasan dosis yang direkomendasikan adalah 20-25 mEq/dosis
- Hipokalemia sedang: 120-240 mEq/hari dalam 3-4 dosis terbagi. Batasan dosis 3-40-60 mEq/dosis.
(Lacy et al, 2009)
600 mg (8 mEq) 1 kali sehari
Tidak sesuai
Bisoprolol 2,5-5 mg/hari dapat ditingkatkan menjadi 10 mg/hari.
- Hipertensi (JNC 7) : 2,5-10 mg/hari
- Gagal jantung (unlabelled use): dosis awal 1,25 mg/hari, dapat ditingkatkan menjadi 10 mg/hari
(Lacy et al, 2009)
1,25 mg 1 kali sehari
Sesuai
Calos® Direkomendasikan 500-2000 mg/hari 3x500 mg sehari Sesuai
3. Efek Samping dan Interaksi Obat
Tabel 3.13 Efek samping dan interaksi obat
Jenis Obat Efek Samping Interaksi Obat Omeprazole Sakit kepala, diare, mual, a. Obat-obat:
(55)
nyeri abdomen. (Lacy et al, 2009)
Kombinasi kaptopril atau
inhibitor ACE lain dengan loop aman dan efektif, tetapi dosis pertama menyebabkan hipotensi (pusing dan pingsan dapat terjadi, terutama jika dosis diuretik yang dan tinggi. Gangguan ginjal dan bahkan gagal ginjal akut telah dilaporkan (Stockley, 2008).
Insulin + sucralfate/ furosemide/ Captopril:
Efikasi dari obat hipoglikemia atau insulin dapat diturunkan dengan pemberian obat-obat lain seperti suspense oral sukralfat, diuretic dan ACEI.
Omeprazole + simvastatin:
Pemberian omeprazole dapat
meningkatkan konsentrasi plasma
simvastatin sehingga meningkatkan risiko myopathy.
KSR + ACEIs:
Pemberian KSR bersama ACEI dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia. Oleh karena itu, perlu dipantau kadar kalium pasien.
(Stockley,2008)
Omeprazole + Gingko biloba/St john’s wart:
Kombinasi keduanya dapat menginduksi metabolism omeprazole sehingga munurunkan
efikasi omeprazole. (stockley, 2008).
b. Obat- makanan:
Furosemid + Makanan
Konsentrasi furosemid menurun dengan adanya makanan.Hindari dong quai, efedra, yohimbe, ginseng(memperparah hipotensi), bawang putih (dapat
Sucralfate Diare, mual, muntah, mulut kering.
(drug.com)
Furosemid Hipotensi, serangan jantung, pusing, hipokalemia,
hiokalemia, dermatitis (Depkes RI, 2007)
Captopril
Takikardia, hipotensi, sakit kepala, rhinitis, mual, batuk kering, hiperkalemia, hiponatremia (Lacy et al, 2009)
Simvastatin
Konstipasi, flatulensi, dyspepsia, peningkatan transaminase, peningkatan CPK, nyeri abdomen, myopathy, mual, muscle tenderness.
(Lacy et al, 2009)
Insulin
Palpitasi, takikardia, sakit kepala, hipoglikemia, hipokalemia, mual, mulut kering
(Lacy et al,2009)
KSR
Ruam kulit, hiperkalemia, nyeeri abdomen, diare, mual, muntah
(Lacy et al,2009)
Bisoprolol
Nyeri dada, aritmia, asma, bradikardia, mual, muntah (Lacy et al,2009)
Calos ®
Kardiovaskular: bradikardia. Disritmia
GI: anoreksia, konstipasi, diare, flatulensi, muntah Metabolime: hiperkalsemia, lemah otot, koma, skait
(56)
(Lacy et al, 2009) batasi penggunaan licorice (Depkes RI, 2007).
Captopril + makanan
Absorpsi captopril dapat berkurang dengan adanya makanan. Oleh karena itu, pemberian captopril harus pada saat perut kosong.
(Stockley, 2008)
4. Drug Related Problems (DRPs)
Dalam pengobatan pasien, ada masalah-masalah yang terjadi terkait dengan obat yang diberikan. Pada pasien Ny. E dengan diagnosis Coronary Atrery Disease (CAD) + Decompensatio Cordis Kiri-Kanan fc IV + Diabetes Melitus tipe 2 dengan komplikasi neuropati dan retinopati + hipertensi stage 2, dengan diagnosa tambahan efusi pleura bilateral eclausa Decompensatio cordis + Gastropati erosive berdarah eclausa NSAID + Anemia eclausa Occult GI bleeding, pasien menerima regimen obat lebih dari 3 jenis obat. Untuk memastikan terapi obat aman, efektif dan rasional bagi pasien maka dilakukan pemantauan terapi obat (PTO). Salah satu metode yang dapat digunakan dalam PTO adalah dengan metode SOAP (Subjective Objective Assesment Planning). Setelah melakukan metode SOAP, kita dapat menentukan masalah yang terkait dengan obat (Drug Related Problems), sehingga diharapkan tujuan terapi tercapai yaitu pasien dapat sembuh dari penyakitnya dan mencegah kegagalan terapi dengan meminimalkan masalah-masalah baru yang dapat timbul akibat pengobatan yang salah. Masalah-masalah yang terkait obat tersebut adalah sebagai berikut:
(57)
Ada indikasi tidak diobati Ada Tidak ada indikasi tetapi diobati Tidak ada
Pemilihan obat yang tidak tepat Tidak ada
Dosis rendah Tidak ada
Dosis tinggi Tidak ada
Efek samping (ROTD) Ada
Interaksi obat Ada
Ketidakpatuhan pengobatan Ada
3.2.4 Perencanaan (Planning)
- Pemberian Rekomendasi kepada pasien, dokter dan perawat perlu dilakukan sebagai tindak lanjut apoteker untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi pasien.
- Memantau tekanan darah pasien - Memantau kadar gula darah pasien. - Memantau serum kalium pasien. - Memantau munculnya efek samping.
- Pemantauan terhadap dosis dan waktu pemberian obat.
(58)
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien masuk ke RSUP dr. Hasan Sadikin melalui instalasi gawat darurat (IGD) pada tanggal 23 April 2012 dengan keluhan sesak nafas. Hal ini dialami pasien sejak satu minggu ini dan sesak nafas semakin memberat dan tidak membaik dengan istirahat. Pasien mengalami batuk berdahak berwarna putih sejak satu minggu terakhir sebelum masuk rumah sakit. Pasien tampak mengalami gejala kaki dan bagian perut bengkak.
Pasien masuk melalui instalasi gawat darurat, kemudian diperiksa oleh dokter, diagnosa pasien Coronary Atrery Disease (CAD) + Decompensatio Cordis Kiri-Kanan fc IV + Diabetes Melitus tipe 2 dengan komplikasi neuropati dan retinopati + hipertensi stage 2, dengan diagnosa tambahan efusi pleura bilateral eclausa Decompensatio cordis + Gastropati erosive berdarah eclausa NSAID + Anemia eclausa Occult GI bleeding. Lalu keluarga pasien mengisi biodata di bagian informasi dan melengkapi berkas administrasi untuk pasien tidak mampu (Gakinda), dan untuk pemeriksaan selanjutnya pasien menjalani rawat inap di Ruang rawat Melati (Kelas 3) sub bagian penyakit dalam kamar 7-4.
Selama dirawat, pasien mendapat terapi obat-obatan. Pasien menjalani pemeriksaan laboratorium patologi klinik, pemeriksaan EKG dan rontgen thorax. Dari pemeriksaan EKG dan rontgen thorax dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami Coronary Artery Disease (CAD) + Decompensation cordis Kiri-Kanan fc IV yang menyebabkan terjadinya efusi pleura bilateral. Berdasarkan hasil wawancara, pasien telah lama mengalami hipertensi stage 2 dan Diabetes Melitus
(1)
4.7 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi a. Rekomendasi kepada pasien:
• Memberikan informasi bahwa pasien tidak boleh lupa minum obat dan meminum obat sesuai dengan dosisnya, serta tidak boleh berhenti meminum obat walaupun kondisi sudah membaik.
• Segera beritahukan ke dokter jika pasien mengalami mual ataupun kondisi yang tidak enak.
• Menganjurkan pasien untuk istirahat yang cukup
• Memberitahukan kepada pasien mengenai efek yang akan terjadi selama pemberian obat-obatan, seperti pemberian furosemid yang akan menyebabkan peningkatan pengeluaran urin dan pemberian captopril dapat menyebabkan batuk kering
b. Rekomendasi kepada Perawat:
• Memberi informasi mengenai interaksi obat yang terjadi. Untuk itu, perlu adanya selang waktu pemberian obat.
• Memberi informasi tentang waktu pemberian obat yang benar dan tepat kepada pasien.
• Menganjurkan agar perawat selalu memeriksa rekam medik agar instruksi obat dari dokter sesuai dengan KOP.
c. Rekomendasi kepada Dokter :
• Memberitahukan mengenai indikasi anemia yang tidak terobati.
• Memberitahukan mengenai adanya potensi interaksi obat yang terjadi selama penatalaksanaan.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penilaian rasionalitas penggunaan obat dan analisis drug related problems (DRPs) pada pasien dengan diagnosa Coronary Atrery Disease (CAD) + Decompensatio Cordis Kiri-Kanan fc IV + Diabetes Melitus tipe 2 dengan komplikasi neuropati dan retinopati + hipertensi stage 2, dengan diagnosa tambahan efusi pleura bilateral eclausa Decompensatio cordis + Gastropati erosive berdarah eclausa NSAID + Anemia eclausa Occult GI bleeding. Adapun kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung adalah:
a. Terdapat 1 indikasi yang tidak terobati, yaitu anemia yang diderita pasien. Anemia perlu penanganan selain untuk memperbaiki kondisi pasien juga untuk meningkatkan efektivitas obat lainnya. Hal ini berkaitan dengan distribusi obat dalam tubuh manusia (sirkulasi darah). Jika hemoglobin dan hematokrit pasien rendah, bisa mempengaruhi volume distribusi obat.
b. Efek samping pengobatan yang terjadi adalah akibat pemberian diuretik kuat (furosemide) yaitu penurunan kadar elektrolit tubuh (kalium dan kalsium). Efek samping tersebut diatasi dengan pemberian suplemen kalium dan kalsium.
(3)
5.2Saran
Adapun saran yang diberikan terkait penilaian rasionalitas penggunaan obat dan analisis DRP adalah:
a. Diharapkan agar dilakukan monitoring kadar gula darah serta pemeriksaan laboratorium lainnya secara rutin untuk memaksimalkan terapi dan rencana terapi lanjutan untuk perbaikan pasien.
b. Diharapkan pasien memahami pentingnya pengobatan dan efek samping serta interaksi obat yang mungkin terjadi, sehingga pasien dapat meningkatkan kepatuhannya terhadap pengobatan.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Andreoli, T.A., Charles, C.J.C., J. C. Bennet, & Plum, F., (1997). Cecil Essentials of Medicine. 4th Edition. USA : WB Saunders Company. Hal. 33 – 39. Brunton, L.L., dan Parker, K.L. (2008). Goodman and Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics.. New York: Mc Graw Hill. Hal. 563 – 579.
Corwin, E.J., (2008). Handbook of Pathophysiology. 3rd Edition. USA : Lippincott Williams and Wilkins.
Cuccurullo, C et al. (2006). Suppression of Rage as a Basis of Simvastatin-Dependent Plaque Satbilization in Type 2 Diabetes. American Heart Society.
Depkes RI. (2004). Keputusan Menteri RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Depkes RI., (2006). Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Depkes RI., (2008). Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient Safety). Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Dipiro, J.T., Robert, L.T., Gary, C.Y., Gary, R.M., Barbara, G.W., L.Michael P. (2007). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 7th Edition. New York: Mc Graw Hill. Hal 139-274, 1205-1237.
Frank, J. (2008). Managing Hypertension Using Combination Therapy. Am Fam Physician. (77).9
Ganiswarna, S. G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Jakarta; Gaya Baru.
Gilman, A.G. (2007). Dasar Farmakologi Terapi. Volume 2. Penerjemah: Cucu Aisyah. Jakarta: Penerbit EGC. Halaman 688-689, 1146-1164 dan 1648-1680.
(5)
Holt and Kumar (2010). ABC of Diabetes. Sixth edition. UK: Wiley-Blackwell. Halaman 1-5, 34-37, dan 64-66.
Katzung, B.G., (2007). Basic and Clinical Pharmacology. 10th Edition. USA: McGraw-Hill Companies.
Kulick, D. L., (2011). Congestive Heart Failure (CHF)
Lanza, f et al (2009). Guidelines for Prevent of NSAID-related Ulcer Complications. American College of Gastroenterology.
Mariyono, H.H. & Santoso, A., (2007) Gagal Jantung. Jurnal Penyakit Dalam. Volume 8 Nomor 3 Bulan. September 2007
Mehta, D. K. (2009). British National Formulary. 57th Edition. London: British Medical Association and Royal Pharmaceutical Society of Great Britain. Mycek, M.J. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi Kedua. Jakarta:
Widya Medika. Hal:153
Pramudianto, A., dan Evaria. (2009). MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer.
Price, S.A. & Wilson, L.M., (2005) Patofisiologi. Konsep klinis dan proses penyakit. Edisi Keenam. Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 594 – 609.
Scobie, Ian. (2007). Atlas of Diabetes Mellitus. Third edition. UK: Informa Healthacer. Halaman 1-33 dan 69-75.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network (2007) Management of Chronic Heart Failure. A National Clinical Guideline. NHS-Quality Imporovement Scotland.
Seto, S., Nita, Y., dan Triana, L. (2004). Manajemen Farmasi. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 295-297.
Siregar, Charles. (2004). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Soegondo, Sidartawan., dkk. (2004). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Penerbit FKUI. Halaman 7-17, 281-285 dan 293- 298.
Soufer, R. (2005). Heart Failure. Chapter 14. USA : Yale University School of Medicine Heart Book.
(6)
Stockley, I. H (2008). Drug Interaction, A Source Book of Interactions, Their Mechanism, Clinical, Importance and Management. Seventh Edition. London: Pharmaceutical Press.
Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Adnyana, I.K., Setiadi A.P., & Kusnandar., (2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta: Penerbit ISFI. Hal. 92 – 106, 488 – 496. Tatro,David S.(2003).A to Z Drug Facts. Facts and Comparison. San Fransisco.