Anas ibn Malik w 92 H

c. Murid-muridnya: tidak dikenal d. Pendapat Ulama Hadis: tidak dikenal

3. Al-Hakam ibn Musa w 232 H

19 a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. c. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.

4. Abdurrahman ibn Abi al-Rijal

20 a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. 5. Nubaith ibn Umar a. Nama lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. 6. Anas ibn Malik w 92 H 21 a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. 19 Ibnu Hajar al- ‘Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 440. 20 Ibnu Hajar al- ‘Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 169. Al-Mizzi, Tahżīb al-Kamāl,juz,17, h, 88- 89. 21 Ibnu Hajar al- ‘Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 390-392. c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. Penelitian sanad hadis di atas tentang alāt arba„īn di Masjid al-Nabawī al- Mad īnah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dan mutābi‟nya Imam al- Tabarani, setelah penulis mencari data perawi tersebut dari kitab Rijāl al-Hadī , bahwa ada dua periwayat yang tidak dikenaltidak diketahui keadaannya Nubaith ibn Umar dan Muhammad ibn ‘Ali al-Madani. Imam al-Tabarani setelah mencantumkan hadis tersebut beliau berkomentar: “Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith, dan Abdurrahman ibn Abi Al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith”. Namun ada peneliti terdahulu Al-Mundziri dalam al- Targīb wa al-Tarhīb, dan Al- Haitsami dalam Majma‟ al-Zawāid wa Manba‟ al-Fawāid nomor hadis 5878 22 , setelah mencantumkan hadis ini, keduanya berkomentar menguatkan jalur perawinya, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan al- Mu‟jam Al-Awsaṭ di atas. Masalah yang dipersoalkan dalam jalur sanadnya adalah adanya seorang perawi yang bernama Nubaith bin Umar, yang ternilai majhūl tidak diketahui keadaannya, dimana hanya Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menguatkannya dengan mendasarkan pada penilaian Ibnu Hibban dalam “Al- iqāt” 23 . Namun, di kalangan kritikus hadis, Ibnu Hibban dikenal sebagai kritikus yang dimasukkan dalam kategori mutasāhil mudah mengangkat derajat penilaian terhadap perawi yang 22 Abu al-Hasan Nur al- Din ‘Ali Ibn Abi Bakar Ibn Sulaiman al-Haitsami, Majma‟ al-Zawāid wa Manba‟ al-Fawāid, Kairo: Maktabah al-Qudsiy, 1414 H 1994 M, juz, 4, h. 8. 23 Ibnu Hibban, “al- iqāt”, Dairah al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah, juz, 5, h. 483. majhūl. Maka dalam kajian kritik hadis, keadaan perawi demikian disebut dengan majhūl „ain tidak diketahui data pribadinya sedikitpun. Sementara itu, kritikus hadis modern, Nashirudin Al-Albani dalam Silsilah al- Ahādī al-Ḍa„īfah 24 pada bab 364 dan Ḍa„īf al-Targīb wa al-Tarhīb 25 pada bab Kitāb al-Haj, mengomentari hadis di atas dengan mengatakan: “Sanad hadis ini daif, Nubaith tidak dikenal kecuali dalam hadis ini, hadis ini munkar informasi hadis hanya dari satu jalur. Sementara Muhammad Ibn ‘Ali al-Madani tidak diketahui informasinya. Dalam hal ini, 26 penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh al-Albani bahwa perawi yang bernama Nubaith ibn Umar itu majhūl „ain, tidak diketahui keadaannya dalam beberapa kitab Rijāl al-Hadī . Menurut disiplin ilmu hadis, manakala terdapat perawi yang tidak diketahui keadaannya maka sanad perawi hadis tersebut menurut jumhur ulama hadis, hukum riwayatnya tertolak dan hadisnya termasuk daif. 24 Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al- Ahādi al- Ḍaifah,Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1412 H 1992 M, juz, 1, h. 540. 25 Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ḍaif al-Targīb wa al-Tarhīb, juz, 1, h. 189. 26 Dalam hal yang lain, penulis antipati terhadap syekh al-Albani, karena banyak di dalam karya-karyanya, beliau mengidentifikasi setidaknya ada 990 hadis yang dianggap autentik oleh mayoritas sarjana Muslim, namun oleh al-Albani dianggap lemah. Memang, ia menyatakan lemah sejumlah hadis yang terdapat dalam sahih Muslim, salah satu koleksi hadis yang paling bergengsi. lihat dalam bukunya Kamarudin Amin; Menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, halaman 72. 2. Penelitian Matan Hadis Untuk mengetahui sahih atau tidaknya suatu matan hadis diperlukan suatu penelitian matan yang biasa disebut kritik matan naqd matan. Kritik matan ini adalah upaya mengkritisi materi atau pembicaraan yang disampaikan oleh sanad yang terakhir untuk diketahui ke-sahih-an matan hadis tersebut. Perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan, matan hadis dikenal adanya periwayatan secara makna riwayat bil makna. 27 Adanya periwayatan secara makna menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan tersebut terjadi karena matan tersebut terlebih dahulu telah beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi dan tidak jarang juga berbeda latar belakang budaya dan kecerdasannya, sehingga menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman dalam suatu kata ataupun istilah. Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan sangat diperlukan selain pendekatan semantik karena sangat membantu kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan. Untuk penelitian matan hadis dari segi kandungannya, acapkali diperlukan penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam. Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata memang 27 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, h. 26.