Latar Belakang Masalah Hadis ṣalat arba’in di masjid al-nabawi al-madinah; studi kritik sanad dan matan hadis
disinonimkan dengan al- ikhrāj yang berarti mengungkapkan suatu hadis kepada
orang lain dengan mengemukakan periwayatnya. Kedua, mengeluarkan atau menampakkan hadis-hadis dari kitab induknya beserta periwayatnya. Ketiga,
bermakna al-D ilālah yaitu mengeluarkan hadis-hadis dari kitab induk dan
meriwayatkannya kembali.
7
Kajian ilmu takhrīj hadis sangat penting bagi orang yang menggeluti ilmu-
ilmu syar‟i. Mempelajari kaidah-kaidahnya dan metodenya, agar ia mengetahui
bagaimana bisa sampai kepada hadis tersebut pada sumber-sumbernya yang orisinil. Manfaat t
akhrīj amat besar, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam hadis.
8
Mahmud al-Tahhan sendiri lebih memilih bahwa t akhrīj adalah
memberikan petunjuk tentang atau letak hadis pada sumber-sumber aslinya dengan menyebutkan sanadnya kemudian menjelaskan hukum hadis tersebut bila
diperlukan.
9
Melihat fungsi dan peran ilmu t akhrīj al-hadī yang sangat penting dalam
sebuah penelitian, karena dengan ilmu ini kita dapat mengetahui apakah suatu hadis itu benar-benar bersumber dari nabi saw.? dan siapa saja yang
meriwayatkan hadis itu sampai kepada nabi saw.? Sebab itu, penulis akan mencoba meneliti dan mengkaji hadis yang
menyatakan tentang alāt arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah melalui ilmu
takhrīj al-hadī sebagaimana definisi yang Mahmud al-Tahhan sebutkan.
7
Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, Penerjemah H.S. Agil Husin dan Masykur Hakim, Semarang: Toha Putra, 1995, h. 7-9.
8
Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, h. 21.
9
Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, h. 10.
Mengingat, salah satu fenomena yang menarik untuk dicermati ketika para jamaah haji dan umrah mendapat kesempatan mengunjungi al-
Madīnah-kota nabi saw-, adalah semangat yang berapi-api mereka untuk mengejar
arba„īn, yaitu istilah untuk pelaksanaan
ṣalāt di Masjid al-Nabawī dengan durasi 40 kali tanpa putus. Jadi, dengan melaksanakan 40 kali
ṣalāt fardu berjamaah sehari semalam dan dengan pahala yang dilipatgandakan untuk setiap
ṣalātnya 1000, maka seseorang akan mendapatkan pahala sebesar 40.000. Selain itu, jaminan
terbebas dari api neraka dan kemunafikan juga menanti. Sebuah kesempatan emas yang sayang jika lewat begitu saja.
Tapi apakah ini disyariatkan dengan berlandaskan dalil yang ternilai maqb
ūlditerima? Tampaknya diperlukan adanya penelusuran lebih lanjut. Faktor lain adalah adanya teks dari kitab-kitab fikih modern
mu„ā ir yang memberikan keterangan tentang pelaksanaan
ṣalāt ini sekaligus pencantuman sebuah dalil khusus dari hadis nabi saw. Hal itu dapat kita lihat di antaranya dalam kitab yang
ditulis oleh Wahbah Zuhaili al-Fiqh al- lslāmi wa „Adillatuh
10
; dan Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf al-
Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil al- Mufīdah.
11
Namun sayang, dalil hadis terkait yang dicantumkan dalam kitab- kitab tersebut tanpa disertai dengan keterangan tentang validitasnya.
Hadis yang menjadi sandaran para pengamal alāt arba„īn, sebagai
berikut:
10
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al- lslāmi wa „ Adillatuh, Suriah: Dar al-Fikr, 1989, h. 334.
11
Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, al- Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil
al- Mufīdah, Surabaya: Dar al-‘Ulūm al-Islamiyah, 2004, cet, 3, h. 521.
اَنَ ث دَح مَكَحْا
نحب ىَسو م
َلاَق و بَأ
دحبَع نَحْ رلا
دحبَع ه للا
ه تحع َََو اَنَأ
حن م مَكَحْا
نحب ىَسو م
اَنَ ث دَح دحبَع
نَحْ رلا نحب
بَأ لاَجِرلا
نَع طحيَ ب ن
نحب َرَم ع
حنَع سَنَأ
نحب ك لاَم
حنَع ِ ب نلا
ى لَص ه للا
هحيَلَع َم لَسَو
ه نَأ َلاَق
حنَم ى لَص
ف ي د جحسَم
َي عَبحرَأ ة َََص
َل ه تو فَ ي
ة َََص حتَب ت ك
هَل ةَءاَرَ ب
حن م را نلا
ةاََََو حن م
باَذَعحلا َئ رَبَو
حن م قاَفِ نلا
“Telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Abu Abdurrahman Abdullah: Aku mendengar dari Hakam bin Musa dimana telah
menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasannya beliau bersabda: Barangsiapa
melaksanakan alāt sebanyak 40 kali alāt di masjidku dengan tidak tertinggal
satu pun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa, dan terhindar dari kemunafikan
” H R. Ahmad
12
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya dan mutābi‟nya al-Imam Al-Thabarani dalam kitab Mu‟jam al-Awsāṭ dengan jalur dari
Abu Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik secara
marfū‟ sampai ke nabi saw. Setelah mencantumkan hadis tersebut. Al- Thabarani berkomentar: Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali
Nubaith, dan Abdurrahman bin Abi al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith. Al-Mundzir dalam al-
Targīb wa al-Tarhīb, dan Al-Haitsami dalam Majma‟ al-Zawāid, setelah mencantumkan hadis ini, keduanya berkomentar
menguatkan jalur perawinya, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan Mu‟jam al-Awsāṭ di atas. Juga menyebut bahwa al-Imam Tirmidzi meriwayatkan
sebagiannya.
Masalah yang diperdebatkan dalam jalur sanadnya adalah adanya seorang perawi bernama Nubaith bin Umar yang ternilai ma
jhūl tidak diketahui
12
Abū ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Muasasah al-Risalah, 2001, juz, 20, h. 40.
keadaannya, di mana hanya Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menguatkannya dengan mendasarkan pada penilaian Ibnu Hibban dalam
“Al- iqāt”. Namun, di kalangan kritikus hadis , Ibnu Hibban dikenal sebagai kritikus yang dimasukkan
dalam kategori mutasāhil mudah mengangkat derajat penilaian terhadap perawi
yang majhūl. Pun dalam kitab-kitab biografi para perawi, tidak akan kita
temukan data perawi ini. Matan isi hadis yang diriwayatkannya juga berbeda sendiri dengan apa yang diriwayatkan oleh para perawi lain dari Anas bin Malik
ra. Maka dalam kajian kritik hadis, keadaan perawi demikian disebut dengan majhūl al-„ain tidak diketahui data pribadinya sedikitpun. Sementara itu,
kritikus hadis modern , Naṣirudin al-Albani dalam Silsilah Al-Ḍaīfah dan Ḍaīf al-
Targīb, mengomentari hadis di atas dengan munkar informasi hadis hanya dari satu jalur.
Kendatipun banyak digunakan dikalangan jamaah haji atau umrah, serta materinya banyak menghiasi pengajian di masyarakat. Tidak menutup
kemungkinan para jamaah haji atau umrah, kurang mengetahui kualitas hadis tersebut.
Penulis mencoba untuk menelitinya dengan mencari sumber hadis tersebut melalui beberapa kamus hadis seperti kitab al-
Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al- Hadīs al-Al-Nabawī karya A.J. Wensinck, melalui kata kunci atau kata kerja dan
kitab Kanz al- „Ummāl karya muhammad al-Sa’idi Ibn Basyūni dan kitab kamus
hadis lain yang dibutuhkan apabila tidak ditemukan dalam dua kamus tersebut di atas.
Oleh karena alasan di atas, penulis ingin menuangkan ini kedalam sebuah karya ilmiah dengan judul
“Hadis Ṣalāt Arba n di Masjid Al-Nabaw Al- Mad nah; Studi kritik Sanad dan Matan Hadis.