1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Waria adalah kepanjangan dari wanita pria, pria yang berjiwa dan bertingkah laku serta mempunyai perasaan seperti wanita. Dalam pandangan
psikologi, waria berada dalam kategori Gangguan Identitas Gender GIG. Gangguan Identitas Diri GIG merupakan gangguan dimana seseorang
merasa dilahirkan dalam jenis kelamin yang salah, seorang pria yang merasa dia adalah wanita dalam tubuh pria, dan sebaliknya KBBI, 2005:
636. Dunia waria, wadham atau banci bagi banyak orang merupakan bentuk
kehidupan anak manusia yang cukup aneh. Secara fisik mereka adalah laki- laki normal, memiliki kelamin yang normal namun secara psikis mereka
merasa dirinya perempuan, tidak ubahnya seperti kaum perempuan lainnya. Akibatnya perilaku mereka sehari-hari sering tampak kaku, fisik mereka laki-
laki, namun cara berjalan, berbicara dan dandanan mereka mirip perempuan. Dengan cara yang sama dapat dikatakan bahwa jika mereka terperangkap
pada tubuh yang salah Koeswinarno, 2010: 1. Waria merupakan salah satu bagian dari masyarakat yang mengalami
proses sosial disosiatif yaitu merupakan suatu proses yang ditandai adanya suatu pertentangan atau pertikaian yang tergantung sekali pada unsur-unsur
budaya yang menyangkut struktur masyarakat dan sistem nilai-nilainya, kehadirannya di tengah-tengah masyarakat belum sepenuhnya diterima.
Keadaan mereka dianggap sebagai perilaku yang menyimpang, yaitu suatu perilaku atau tindakan di luar kebiasaan, adat-istiadat, aturan, nilai-nilai atau
norma-norma sosial yang berlaku KBBI, 2000. Jumlah waria memang tidak terlalu besar. Pada tahun 2013, berdasarkan
data Yayasan Srikandi Sejati Hamid, 2014 sebuah lembaga yang mengurusi masalah waria, jumlah waria di Indonesia mencapai 7.000.000 orang dari
259.940.857 jumlah total penduduk atau sekitar 2,69. Menurut studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 11 Januari
2015, banyak dari mereka mencari nafkah dengan berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial PSK dikehidupan dunia malam atau berprofesi sebagai
pengamen yang selalu menghabiskan waktunya di jalanan karena mereka belum mendapat pengakuan dan kesetaraan hidup yang sama oleh
masyarakat. Dalam profesinya, waria dituntut untuk berpenampilan seksi yang bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat sehingga mereka merasa
percaya diri dengan satu tujuan yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Waria yang bekerja sebagai pelacur atau pekerja seks komersial bukan
hanya didorong oleh faktor ekonomi saja melainkan lebih untuk pemenuhan kepuasan batin, maka untuk mencegah dan memberantasnya lebih sulit,
karena akan menambah konsepsi buruk tentang perbuatan prostitusi atau pelacuran yang belum dapat diterima oleh masyarakat karena telah dianggap
bertentangan dengan budaya dan nilai-nilai bangsa Indonesia. Sebanyak 5,7 juta orang terinfeksi virus HIV di Afrika Selatan. Tingkat
prevalensi dewasa adalah 17,9 menurut CIA World Fact Book statistik tahun 2013. Sebanyak 11,2 dari kejadian HIV terdapat pada anak-anak
dan pemuda yang berada di bawah usia 24 tahun. Pada kejadian HIV, anak- anak menyumbang sebanyak 11 dari jumlah total populasi penduduk.
Afrika Selatan merupakan negara terbesar dengan pengidap HIVAIDS. Fakta menunjukkan bahwa Benua Afrika didiami oleh 10 dari jumlah
populasi dunia namun disaat yang sama 60 dari jumlah populasinya mengidap AIDS CIA World Fact Book, 2013.
Di Indonesia pada triwulan I tahun 2013 dilaporkan kasus HIV baru yang terdeteksi pada periode Januari sampai Maret 2013 mencapai 5.369.
Kasus baru terdeteksi pada kelompok umur 25 sampai 49 tahun 74,2, 20 sampai 24 tahun 14,0, dan ≥ 50 tahun 4,8. Perbandingan antara
laki-laki dan perempuan adalah 1:1 http:kesehatan.kompasiana.com. Pada tahun 2014 di Indonesia diperkiraan jumlah penduduk yang hidup
dengan HIVAIDS sebanyak 55.000 sampai 150.000 atau sekitar 0,02116 hingga 0,05771 Depkes, 2014. Menurut data yang dimiliki oleh
Kemenkes RI, tahun 2009 prevalensi HIV pada waria sebesar 5,8, angkanya meningkat menjadi 8,2 di tahun 2013 Herman, 2014.
Sedangkan menurut data yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus pada tahun 2008 hingga 2010, angka kejadian HIVAIDS di
Kabupaten Kudus mencapai angka 43 kasus, 16 diantaranya meninggal dunia. Dengan usia termuda 4 bulan hingga 54 tahun. Sedangkan jumlah
kasus kumulatif HIVAIDS di Kabupaten Kudus dari tahun 2009 hingga 2011 mencapai angka 69 dengan 28 kematian Syaiful Harahap, 2012. Data
terakhir yang terjadi pada tahun 2014 jumlah kasus HIVAIDS di
Kabupaten Kudus selama 2014 tercatat 72 kasus, 14 penderita diantaranya meninggal dunia Akhmad Nazaruddin, 2014.
Sedangkan hasil survei dari estimasi dan proyeksi HIVAIDS di Indonesia pada tahun 2014 menyebutkan bahwa jumlah infeksi HIV yang
terjadi pada waria sebanyak 1.289 dari jumlah total populasi sebanyak 80.524 penderita atau sekitar 1,6 Depkes, 2014. Secara biologi semua
waria melakukan hubungan seksual secara anal selama kehidupan seksnya dibandingkan wanita pekerja seks yang hanya 10 yang melakukan seks
anal, sehingga hampir 11 dari transeksual ditemukan positif HIV dari jumlah keseluruhan Koes Irianto, 2014: 466-467.
Faktor risiko atau cara penularan HIV pada kaum LSL atau Lelaki Seks Lelaki mencapai 7,6. Sedangkan sebanyak 88 LSL mengaku
pernah menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seks anal dengan pria. Sebesar 54 LSL menggunakan kondom pada saat hubungan
seks anal terakhir dengan pria, dan 22 menggunakan kondom secara konsisten pada seks anal 1 bulan terakhir. Kurang dari satu pertiga LSL
menggunakan kondom secara konsisten pada setiap tipe pasangan seksualnya STBP, 2011.
Secara berturut-turut praktik VCT pada tahun 2014 di Komunitas Waria Kudus mencapai 42,55, 31,92, dan 100. Sedangkan pada tahun 2015
praktik VCT mencapai 78,72, 72,34 dan 87,23. Sedangkan Pada tahun 2013 terdapat 3 waria mengidap HIVAIDS positif dan ketiganya
mengalami kematian IWAKU, 2015.
Menurut studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 17 Januari 2015, waria untuk melindungi diri dari HIVAIDS dan mencegah penularan
HIVAIDS masih sangat rendah. Salah seorang responden dari peneliti mengatakan bahwa pengetahuan menjadi salah satu kendala untuk mereka
para waria tidak melindungi dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Perilaku pencegahan penularan HIVAIDS sangat diperlukan ketika
berhubungan seksual. Jika upaya pencegahan tidak dilakukan, maka dikhawatirkan orang yang terkena infeksi HIVAIDS akan bertambah
jumlahnya. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik akan menggali serta
mengidentifikasi persepsi apa saja yang mempengaruhi perilaku pencegahan penularan HIVAIDS pada narasumber penelitian. Perilaku pencegahan
penularan HIVAIDS meliputi penggunaan kondom, penggunaan pelicin dan praktik VCT. Dari uraian diatas, peneliti akan melakukan penelitian dengan
judul
“Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan HIVAIDS pada waria pekerja seks di Kabupaten Kudus
tahun 2015 ”.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah Umum
Berdasarkan masalah yang telah ditetapkan diatas, maka peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut: Faktor-faktor apa saja yang
berhubungan dengan perilaku pencegahan penularan HIVAIDS pada waria pekerja seks di Kabupaten Kudus tahun 2015?
1.2.2 Rumusan Masalah Khusus
1 Adakah hubungan antara persepsi kerentanan yang dirasakan dengan
perilaku pencegahan penularan HIVAIDS pada waria pekerja seks di Kabupaten Kudus tahun 2015?
2 Adakah hubungan antara persepsi keseriusan yang dirasakan dengan
perilaku pencegahan penularan HIVAIDS pada waria pekerja seks di Kabupaten Kudus tahun 2015?
3 Adakah hubungan antara persepsi manfaat yang dirasakan dengan
perilaku pencegahan penularan HIVAIDS pada waria pekerja seks di Kabupaten Kudus tahun 2015?
4 Adakah hubungan antara persepsi hambatan yang dirasakan dengan
perilaku pencegahan penularan HIVAIDS pada waria pekerja seks di Kabupaten Kudus tahun 2015?
5 Adakah hubungan antara isyarat untuk bertindak dengan perilaku
pencegahan penularan HIVAIDS pada waria pekerja seks di Kabupaten Kudus tahun 2015?
6 Adakah hubungan antara keyakinan diri dengan perilaku pencegahan
penularan HIVAIDS pada waria pekerja seks di Kabupaten Kudus tahun 2015?
1.3 Tujuan Penelitian