Analisis Permintaan Kredit Konsumsi Pada Perbankan Di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS PERMINTAAN KREDIT KONSUMSI PADA PERBANKAN DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh :

ANDAYANI HADI 057018002/EP

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

ABSTRACT

Andayani Hadi, 2008, Analysis of Consumer loan demand of Banks in North Sumatera, under instruction, Murni Daulay (lead), Iskandar Syarief (member)

The objective of this research is to know of factor effecting consumer loan demand in North Sumatera. By using several theories of demand and from provious research on consumer demand, the variables observed in this research are Gross Domestic Regional Product, interest rate of consumer loan last year demand.

This research used the time series data in period of 1991-2005, as secondary data from Statistical Station Board of North Sumatera, and it is analized by using ordinary least square Method. This research used Multiple Regression Model.

This research find that factor effecting significantly the demand of consumer loan in North Sumatera are Gross Domestic Regional Product, interest rate of consumer loan exchange rate of rupiah to dollar and the consumer loan last year demand. The result of research show that the highest impact for consumer loan demand is Gross Domestic Regional Product and followed by consumer loan last year demand, exchange rate of rupiah, than interest rate of consumer loan.

Kata Kunci: Consumer loan demand, Gross Domestic Regional Product, Exchange rate of rupiah, interest rate of consumer loan, consumer loan last year demand.


(3)

ABSTRAK

Andayani Hadi, 2008, Analisis Permintaan Kredit Konsumsi Pada Perbankan di Sumatera Utara, dibawah bimbingan, Murni Daulay (Ketua), Iskandar Syarief (Anggota).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara. Dengan menggunakan beberapa teori permintaan dan dari penelitian sebelumnya terhadap permintaan kredit konsumsi, maka variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kurs rupiah terhadap dolar, tingkat bunga kredit konsumsi, nilai tukar rupiah terhadap dolar dan permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya.

Penelitian ini mengunakan data time series selama periode 1991-2005, yang merupakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara, dan dianalisis dengan menggunakan metode ordinary least squares (OLS). Penelitian ini menggunakan model persamaan regresi berganda.

Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara ialah PDRB, tingkat bunga kredit konsumsi, nilai tukar rupiah terhadap dollar dan permintaan kredit konsumsi pada tahun sebelumnya. Hasil penelitian dampak paling tinggi terhadap permintaan kredit konsumsi adalah Produk Domestik Bruto (PDRB) dan diikuti oleh permintaan kredit konsumsi pada tahun sebelumnya, nilai tukar/kurs rupiah dan tingkat bunga kredit konsumsi.

Kata kunci : permintaan kredit konsumsi, Produk Domestik Bruto (PDRB), nilai tukar/kurs rupiah, tingkat bunga kredit, permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan. tak lupa sholawat dan salam semoga tercurah pada Nabi Muhammad s.a.w.

Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis telah mendapat bimbingan, arahan dan saran dari dosen komisi pembimbing. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada ibu Dr. Murni Daulay, MSi sebagai ketua komisi pembimbing dan sekaligus sebagai Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan, bapak Drs. Iskandar Syarief, MA sebagai anggota komisi pembimbing, atas kesempatan/waktu dan fikiran yang telah diberikan, mulai dari penulisan proposal sampai selesai penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada pihak-pihak yang telah turut membantu dan berpartisipasi mulai dari awal hingga berakhirnya studi ini, yakni kepada:

1. Bapak dan ibu staf pengajar pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, yang dengan tulus dan ikhlas telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama penulis mengikuti program ini.

2. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(k) selaku rektor Universitas Sumatera Utara dan ibu Prof. Dr. Ir. Chairunnisa, MSc selaku direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.


(5)

3. Kepada rekan-rekan seperjuangan khususnya angkatan IX Program Studi Ekonomi Pembangunan.

4. Rasa terimakasih yang mendalam khususnya penulis sampaikan kepada kedua orangtua, suami tercinta, ketiga adik yang senantiasa mendo’akan dan memberi semangat, perhatian dan kasih sayang dalam menyelesaikan studi ini.

Semoga segala usaha dan niat baik yang telah kita lakukan mendapat ridha dari Allah SWT, dan akhirnya semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin ya rabbal alamin.

Medan, Maret 2008


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Andayani Hadi

Alamat : Jalan Bersama No. 255A Medan 20225

Agama : Islam

Umur : 27 Tahun

Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 02 November 1980

Jenis Kelamim : Perempuan

Warganegara : Indonesia

Nama Orang Tua Laki-laki : Dr. Ir. H. Abdul Hadi Idris Nama Orang Tua Perempuan : Hj. Elliswita

PENDIDIKAN FORMAL

1987-1993 : Lulusan SD Perguruan Islam Azizi Medan:

Berijazah

1993-1996 : Lulusan Madrasah Tsanawiyah Negeri

(MTsN) II Medan: Berijazah

1990-2004 : Lulusan Universitas Sumatera Utara, Jurusan

Sosial Ekonomi Pertanian (S1): Berijazah

2005-2007 : Sekolah Pascasarjana di USU (S2)

PENGALAMAN KERJA


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP iv DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR GRAFIK ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 7

1.3 Tujuan Penelitian 8

1.4 Manfaat Penelitian 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Literatur 2.1.1 Pengertian Bank Umum 9

2.1.2 Pengertian, Fungsi dan Jenis Kredit 10 2.2 Pertumbuhan Ekonomi 15

2.3 Teori Permintaan 16

2.4 Konsumsi dan Pendapatan nasional 18

2.5 Kredit Konsumsi 24

2.6 Penelitian terdahulu 25

2.7 Hipotesis 30

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian 31

3.2 Jenis dan Sumber Data 31

3.3 Model Analisis 31

3.4 Metode Analisis 32

3.5 Uji Kesesuaian 33

3.6 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik 33


(8)

3.6.2 Uji Multikolinieritas 34

3.6.3 Uji Autokorelasi 35

3.7 Defenisi Operasional 35

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Data Penelitian

4.1.1 Perkembangan Permintaan Kredit Kredit Konsumsi 37 4.1.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 38

4.1.3Perkembangan Tingkat Suku Bunga Kredit Konsumsi 40 4.1.4 Kurs rupiah Terhadap USD 41

4.2 Uji Kesesuaian (Goodness of Fit) 42

4.3 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

4.3.1 Uji Normalitas 45

4.3.2 Uji Multikolinieritas 46

4.3.3 Uji Autokorelasi 47

4.4 Pembahasan

4.4.1 Perkembangan Permintaan Kredit Konsumsi 48 4.4.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 50

4.4.3 Nilai Tukar Rupiah (Kurs) 51

4.4.4 Suku Bunga kredit Konsumsi (SBKK) 54

4.4.5 Permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya 56

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 59

5.2 S a r a n 60

DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan 4

Tabel 1.2 Posisi Penggunaan Kredit di Sumatera Utara (Triliun Rp) 6 Tabel 4.1 Permintaan kredit Konsumsi di Sumatera Utara tahun 1991-2005 37 Tabel 4.2 Perkembangan PDRB Sumatera Utara (Atas dasar Harga Konstan

Tahun 1991-2005) 39

Tabel 4.3 Perkembangan tingkat Bunga kredit Konsumsi di-

Sumatera Utara Tahun 1991-2005 41

Tabel 4.4 Kurs Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Tahun 1991-2005 42

Tabel 4.5 Uji Kesesuaian (Goodness of Fit) 43

Tabel 4.6 Hasil Estimasi uji Multikolinieritas (Koefisien Korelasi Parsial) 46 Tabel 4.7 Uji Autokorelasi pada Hasil Estimasi Permintaan Kredit Konsumsi 47


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Pengeluaran (C + I) dan Penentuan Pendapatan Nasional 19

Gambar 2.2 Tabungan (S) dan Investasi (I) 19

Gambar 2.3 Penurunan pengeluaran Investasi 21

Gambar 2.4 Penurunan pengeluaran Investasi 21

Gambar 2.5 Fungsi Konsumsi 23


(11)

DAFTAR GRAFIK

Hal

Grafik 1.1 Perkembangan Kredit Menurut jenis Kredit (Trilyun Dollar AS) 6

Grafik 4.1 Permintaan Kredit Baru 48

Grafik 4.2 Kredit Menurut Jenis Kredit (US Trilyun) 49


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perekonomian Indonesia pada saat ini dalam kondisi lemah tetapi aktifitas perdagangan tidak menunjukkan kelemahan tersebut. Permintaan barang dan jasa yang merupakan kebutuhan masyarakat, baik yang bersifat kebutuhan pokok (makanan, Pakaian, perumahan) maupun kebutuhan barang mewah (rumah mewah, mobil, elektronika) ataupun jasa-jasa ekonomi lainnya seperti transportasi, hotel dan restoran, pesta, hiburan dan lain sebagainya masih kuat. Hal ini merupakan fenomena masyarakat yang dapat ditelaah sebagai berikut : Pertama, dalam suasana perekonomian yang melemah para pengusaha sadar apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Para pengusaha tersebut menyusun strategi dalam melakukan penjualan. Untuk barang- barang yang nilainya tinggi dan tidak bersifat pokok mereka jual dengan sistem kredit seperti rumah, mobil, kendaraan roda dua, barang- barang elekronika atau barang-barang lain yang memungkinkan. Dari sini muncullah istilah ekonomi kredit (Credit economy). Masyarakat didorong untuk melakukan pembelian dengan cara kredit dan mencicil atas barang yang dibelinya.

Keberadaan bank merupakan hal yang penting dalam dunia usaha. Keterkaitan antara dunia usaha dengan lembaga keuangan bank memang tidak bisa dilepaskan apalagi dalam pengertian investasi dan kredit. Pihak bank akan menyalurkan kredit berupa kredit investasi, modal kerja dan konsumsi yang dibutuhkan oleh pihak dunia


(13)

usaha dan konsumen. Dalam hal ini pihak bank terus mengembangkan kompetensi yang lain dibidang kredit untuk menggalang pertumbuhan kredit yang berkesinambungan sekaligus menjalankan fungsinya sebagai jasa intermediasi keuangan (Info Bank, 2005).

Menurut Tono, dkk (2000) bahwa dengan bertambahnya peran perbankan maka peranan dari produk-produk bank menjadi semakin luas. Peranan intermediasi keuangan dalam penyaluran dana-dana dari surplus unit kepada kegiatan-kegiatan usaha yang produktif menjadi semakin berkembang.

Sebagaimana umumnya negara berkembang, sumber utama pembiayaan investasi di Indonesia masih di dominasi oleh penyaluran kredit perbankan. Lambatnya penyaluran kredit perbankan di Indonesia setelah krisis 1997 dituding sebagai salah satu penyebab lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia. walaupun sempat terjadi penurunan tajam terhadap alokasi kredit perbankan, namun pada tahun 2001 secara perlahan kredit mulai menunjukkan peningkatan.

Hal ini seiring dengan meningkatnya portofolio kredit sejak tahun 2002. (Laporan Tahunan Bank Indonesia 2000-2005).

Pada tahun 2002, kondisi makro ekonomi menunjukkan perkembangan yang kondusif. Hal ini terlihat dari terkendalinya uang primer, serta laju inflasi dan nilai tukar yang menunjukkan perkembangan yang positif.

Menurut Harmanta dan Ekananda (2005), bahwa pengaruh nilai tukar rupiah terhadap USD memiliki hubungan yang negatif terhadap permintaan kredit. Artinya melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD yang mencerminkan kondisi


(14)

perekonomian yang tidak menentu (uncertainty), menyebabkan meningkatnya resiko berusaha akan direspon oleh dunia usaha dengan menurunkan permintaan kredit.

Oleh karena itu, Bank Indonesia mulai memberikan sinyal penurunan tingkat bunga secara bertahap. Hal ini dilakukan melalui penurunan tingkat bunga instrumen moneter yang salah satunya adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Turunnya SBI diharapkan dapat semakin mendorong aktifitas perekonomian melalui penurunan suku bunga kredit perbankan.

Suku bunga kredit yang ada pada saat ini dianggap beberapa kalangan baik dari pelaku bisnis maupun pakar ekonomi belum optimal. Masih relatif tingginya suku bunga kredit ditengah masih adanya ketidakpastian prospek usaha tentu saja akan mengurangi semangat sektor dunia usaha untuk berinvestasi (Info Bank, 2005). Gejolak suku bunga dan inflasi menjadi dua faktor penting yang mempengaruhi aktifitas penyaluran kredit. Keduanya tidak hanya mendorong suku bunga kredit, tapi juga membuat risiko kredit macet menjadi besar.

Kegiatan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 akan terus meningkat, dan berpotensi mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi dari tahun 2007. perekonomian diperkirakan tumbuh sebesar 6,2-6,8 pada tahun 2008. dari keseluruhan kegiatan perekonomian, konsumsi swasta tetap sebagai mesin penggerak. Pertumbuhan konsumsi swasta terutama didorong oleh perbaikan daya beli masyarakat yang berasal dari kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Upah Minimum Propinsi (UMP). Sementara itu, investasi mulai membaik memberikan potensi pada peningkatan investasi tahun 2008. dari sisi eksternal, eksport akan tetap menunjukkan


(15)

pertumbuhan yang tinggi seiring dengan ter-diversifikasi-nya negara tujuan ekspor Indonesia dan pangsa produk non migas.

Konsumsi rumah tangga pada tahun 2008 diperkirakan tumbuh dalam kisaran 5,2-6,6% seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat (tabel 1.1). pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang pada 2006 mulai nmenunjukkan peningkatan diperkirakan terus berlanjut sepanjang tahun 2008. berlanjutnya konsumsi rumah tangga terutama didorong oleh daya beli masyarakat yang semakin meningkat. Peningkatan tersebut sejalan dengan perkiraan inflasi 2008 yang lebih rendah dibandingkan 2007. tren penurunan suku bunga di 2007 juga memberikan modal ke depan pada meningkatnya konsumsi swasta dari sisi pembiayaan.

Dari sisi pendapatan, konsumsi yang lebih tinggi juga didorong oleh kenaikan gaji PNS sekitar 20% dan peningkatan UMP. Pada 2008, dengan memperhitungkan tingkat inflasi, kenaikan gaji PNS serta UMP ini secara riil diperkirakan positif. Dengan demikian, hal ini secara langsung akan meningkatkan daya beli masyarakat. Gambaran pertumbuhan konsumsi yang positif dikonfirmasi oleh leading indicator

konsumsi, yang menunjukkan konsumsi rumah tangga berada pada fase ekspansi sejak 2006 sampai beberapa triwulan ke depan.

Tabel 1.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan


(16)

Sumber: Laporan Kebijakan Moneter – Triwulan IV-2007

Secara umum peningkatan ini didorong oleh peningkatan permintaan agregat domestik yang meningkat sangat impresif yang tumbuh hingga 2,4% dari tahun 2006 hingga 2007. Peningkatan permintaan domestik ini salah satunya disebabkan oleh konsumsi, khususnya konsumsi bukan makanan yang terus mengalami peningkatan yang sebahagian didorong oleh kredit konsumsi. Peningkatan kredit konsumsi yang umumnya berasal dari peningkatan KPR (Kredit Pemilikan Rumah), KPM (Kredit Kepemilikan Mobil), dan kartu kredit telah mendorong peningkatan konsumsi bukan makanan khususnya untuk keperluan perumahan dan konsumsi barang tahan lama seperti barang- barang elektronik

Salah satu faktor yang mendorong perkembangan konsumsi adalah kredit untuk tujuan konsumsi. Kredit konsumsi saat ini mengalami pertumbuhan yang pesat sejalan dengan pemulihan (recovery) perekonomian serta pulihnya kesehatan perbankan. Dalam masa-masa pemulihan ekonomi ini, konsumsi tetap menjadi motor


(17)

pertumbuhan ekonomi. Selain karena kontribusinya dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang sangat dominan, pertumbuhannya pun masih di atas investasi dan ekspor. Penurunan tingkat bunga dan lambatnya penyaluran kredit koperasi membuat bank-bank masih memfokuskan diri pada kredit konsumsi yang memiliki profil resiko relatif lebih terukur.

Dengan sedikitnya kredit investasi dari sektor perbankan, maka mengandalkan peran investasi pada saat ini sebagai Driving force pertumbuhan ekonomi tampaknya masih sulit diharapkan. (Mar’ie, 2006)

Kenaikan kredit konsumsi yang tidak terawasi dapat berakibat buruk terhadap perekonomian, terutama apabila pihak bank, tidak mampu menilai dengan baik potensi atau kemampuan membayar dari seorang debitur. Kenaikan kredit konsumsi yang tidak terawasi dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas keuangan Indonesia. Lebih jauh lagi, kredit konsumsi yang terlalu tinggi, dapat menyebabkan inflasi, apabila sektor produksi tidak berjalan dengan baik. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan pertumbuhan konsumsi semata tidak menjamin sisi keberlanjutannya.

Posisi penggunaan kredit di Indonesia dapat dilihat pada Grafik 1.1 berikut: Grafik 1.1 Perkembangan Kredit Menurut Jenis (Triliun Dollar AS).


(18)

Sumber: Kadin Indonesia (Data BI) Tahun 2007

Berdasarkan Gambar 1.1 di atas dapat dilihat bahwa posisi penggunaan kredit di Indonesia mengalami peningkatan untuk setiap tahunnya. Penggunaan kredit modal kerja mendominasi penggunaan kredit investasi dan konsumsi, bahkan sejak tahun 2003 hingga 2006 kredit konsumsi lebih besar porsi penggunaannya dibanding kredit investasi.

Dalam hal ini, posisi penggunaan kredit di Sumatera Utara dapat pula dilihat pada Tabel 1.2 berikut:

Tabel 1.2 Posisi Penggunaan Kredit Konsumsi di Sumatera Utara (Rp. Triliun)

Sumber: Statistik Ekonomi daerah Sumatera Utara 2007

2004 2005 2006 2006 2006 2006 2007 2007 2007 2007 2008

Uraian 12 12 3 6 9 12 3 6 9 12 1

a. Pertumbuhan

PDRB (qtq) (%) 5.74 4.5 2.89 5.7 6.5 9.63 8.58 9.03 6.53 4.01 0

b. Tingkat Inflasi

(mtm) (%) 6.82 22.51 20.24 18.43 16.36 6.08 6.69 5.73 6.92 6.6 1.14

BI Rate (%) 7.43 12.75 12.75 12.5 11.25 9.75 9 8.5 8.25 8.25 8

Suku Bunga (%) :

a. Antarbank 6.43 12 11.5 9.37 7.9 7 9.68 4.04 8.47 3.13 6.21

b. Kredit 12.74 14.71 14.91 14.94 14.53 14.26 13.22 12.94 11.8 11 11.76

- Modal

Kerja 12.72 14.91 15.40 15.26 14.97 14.37 13.15 12.90 11.55 11.51 11.42

- Investasi 12.66 14.22 13.68 13.41 13.15 13.00 12.61 11.80 10.67 11.12 11.09 - Konsumsi 12.86 14.72 14.95 15.62 14.78 15.27 14.87 14.22 13.51 13.27 13.24


(19)

Berdasarkan Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa penggunaan kredit di Sumatera Utara dari tahun 2004-2008 meningkat setiap tahunnya. Pada sejak tahun 2006 posisi kredit konsumsi lebih tinggi tingkat penggunaannya sebesar dibanding kredit odal kerja dan investasi sebesar. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Sumatera Utara cenderung lebih memilih kredit untuk konsumsi daripada melakukan kredit untuk berinvestasi.

Jika ditelusuri lebih lanjut, kredit bank terutama diberikan terutama untuk membelanjai konsumsi rumah tangga, utamanya pembelian sepeda motor atau kendaraan bermotor maupun rumah toko (ruko). Kredit ini sangat sensitif terhadap kenaikan tingkat bunga sehingga kenaikan tingkat bunga dapat meningkatkan kredit macet pada bank.

Berdasarkan latar belakang di atas serta didukung oleh data dan beberapa penelitian sebelumnya, penulis mencoba untuk mengkaji indikator-indikator ekonomi yang mempengaruhi permintaan kredit konsumsi dalam penelitian yang berjudul: Analisis Permintaan Kredit Konsumsi Pada Perbankan di Sumatera Utara.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh tingkat bunga kredit konsumsi terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara?

2. Bagaimana pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.


(20)

3. Bagaimana pengaruh Kurs (nilai tukar) rupiah terhadap dollar terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

4. Bagaimana pengaruh permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Pengaruh tingkat bunga kredit konsumsi terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

2. Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

3. Pengaruh Kurs (nilai tukar) rupiah terhadap dolar terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

4. Pengaruh permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan maupun pengambilan keputusan dalam menerapkan kebijakan perbankan di dalam perekonomian Indonesia khususnya Sumatera Utara.


(21)

2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang hubungan intermediasi keuangan dan pertumbuhan ekonomi.

3. Bahan acuan bagi peneliti lain yang berniat meneliti masalah peran intermediasi keuangan dalam menggerakkan sektor riil serta aspek-aspek yang terkait dengan intermediasi keuangan.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Literatur

2.1.1 Pengertian Bank Umum

Definisi Bank menurut UU No. 14/1967 pasal 1 tentang pokok-pokok perbankan adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Sedangkan pengertian bank menurut Undang –undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yaitu: bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.

Bank umum adalah suatu lembaga keuangan yang tujuan utamanya adalah mencari keuntungan, yaitu selisih antara pendapatan dengan biaya. Pendapatan bank bersumber dari hasil kegiatan yang berupa pemberian pinjaman dan jasa keuangan lainnya seperti: kiriman uang, kliring, garansi bank, letter of credit, surat keterangan rekomendasi dalam negeri, safe deposit box, dan lain-lain. Sedangkan biaya bersumber dari biaya bunga dana, biaya operasional, biaya pencadangan atas resiko kredit, dan lain-lain. Perbedaan bank umum dengan lembaga keuangan bank, yaitu: 1. Bank umum mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi uang beredar melalui


(23)

2. Bank umum merupakan suatu “super market” bukan spesial barang tertentu saja. Artinya bank umum tidak hanya melayani tabungan saja, tetapi juga kiriman uang, garansi bank, transaksi valuta asing, kliring, penguangan cek, dan lain-lain. Sedangkan lembaga keuangan non bank lebih merupakan toko spesial saja, hanya menjalankan suatu kegiatan (Nopirin, 2001).

2.1.2 Pengertian, Fungsi dan Jenis Kredit

Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1992 Pasal 1 ayat 12, Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

Kredit pada awal perkembangan mengarahkan fungsinya untuk merangsang kedua belah pihak untuk tujuan pencapaian kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapat kredit harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi pada kemajuan usahanya itu, atau mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya. Adapun bagi pihak yang memberikan kredit, secara material harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit, secara spiritual mendapatkan kepuasan karena dapat membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan.


(24)

Suatu kredit mencapai fungsinya, baik bagi debitur, kreditur maupun masyarakat, apabila secara sosial ekonomis membawa pengaruh yang lebih baik. Bagi pihak kreditur dan debitur, masing-masing memperoleh keuntungan dan juga mengakibatkan tambahan penerimaan Negara dari pajak, serta membawa dampak kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro.

Kredit dalam kehidupan perekonomian sekarang, dan juga dalam perdagangan, mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Meningkatkan daya guna uang

2. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang 3. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang 4. sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi 5. Meningkatkan kegairahan berusaha 6. Meningkatkan pemerataan pendapatan 7. Meningkatkan hubungan Internasional (Untung, 2005)

Jenis kredit dapat dibedakan menurut berbagai kriteria, yaitu dari kriteria lembaga pemberi-penerima kredit, jangka waktu serta penggunaan kredit, atau dari berbagai kriteria lainnya. Dari segi lembaga pemberian kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis kredit dapat digolongkan menjadi sebagai berikut:


(25)

1. Kredit Perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha, dan atau konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swata kepada dunia usaha untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup berupa barang dan jasa.

2. Kredit Likuidasi, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya. Kredit ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan pasal 29 UU Bank Sentral tahun 1968, yaitu memajukan urusan perkreditan dan sekaligus bertindak sebagai pengawas atas urusan kredit tersebut.

3. Kredit langsung, yaitu kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah, atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pengadaan pangan, atau pemberian kredit langsung kepada pertamina, atau pihak ketiga lainnya.

Dari segi tujuan penggunaannya, kredit dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Pemerintah atau Bank Swasta kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsi.

2. Kredit Produktif, baik kredit investasi maupun eksploitasi. Kredit inventasi adalah kredit yang ditujukan untuk pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung dan mesin-mesin, atau untuk membiayai rehabilitasi dan ekspansi,. Adapun jangka waktunya 5 tahun atau lebih. Kredit eksploitasi adalah kredit yang ditujukan untuk pembiayaan kebutuhan dana usaha akan modal kerja yang berupa


(26)

persediaan bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi serta piutang, dalam jangka waktu pendek.

3. Perpaduan antara kredit konsumtif dan produktif (semi konsumtif dan semi produktif).

Perbedaan jenis tingkat bunga dapat dilihat berdasarkan tingkat bunga nominal (yang tidak diperhitungkan inflasi) dan tingkat bunga riil (yang lebih diperhitungkan inflasi). Hampir sebagian besar tingkat bunga yang dilaporkan dalam surat-surat kabar adalah tingkat bunga nominal.

Jenis tingkat bunga dapat berbeda karena tiga hal, yaitu :

1. Jangka Waktu Pinjaman (terms). Beberapa jenis pinjaman memiliki jangka waktu pendek, bahkan ada yang berjangka semalam (overnight). Pinjaman lain memiliki jangka waktu tiga puluh tahun atau bahkan lebih panjang dari itu. Tingkat bunga pinjaman tergantung pada jangka waktu pinjaman, tingkat bunga pinjaman jangka panjang biasanya, namun tidak selalu, lebih tinggi daripada tingkat bunga pinjaman jangka pendek.

2. Risiko Kredit (Credit Risk). Dalam memutuskan pemberian pinjaman harus memperhitungkan probabilitas pinjaman untuk membayar kembali pinjamannya. Undang-undang memungkinkan peminjam untuk tidak membayar pinjamannya jika ia dinyatakan bangkrut menurut undang-undang. Semakin tinggi probabilitas ketidakmampuan membayar kembali pinjaman, maka tingkat bunganya semakin tinggi meskipun tidak selalu. Risiko kredit paling aman adalah pemerintah, sehingga obligasi yang dikeluarkan pemerintah cenderung memberikan tingkat


(27)

bunga yang rendah. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang memiliki keuangan kurang kuat dapat mengumpulkan dana hanya melalui penerbitan obligasi kelas bawah (Junk Bonds). Junk Bonds ini memberikan tingkat bunga yang sangat tinggi untuk mengkompensasi tingginya risiko kegagalanpembayaran kembali. 3. Pajak. Pajak akan dikenakan pada tingkat bunga berbagai jenis obligasi

berbeda-beda. Pada obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan daerah yang dinamakan municipal bonds, para pemegang obligasi tidak membayar pajak penghasilan federal untuk tingkat bunga yang diperolehnya. Oleh klarena itu,

municipal bonds hanya memberikan tingkat bunga rendah.

Jadi jika melihat dua jenis tingkat bunga yang berbeda, perbedaan dapat dijelaskan dengan melihat faktor-faktor jangka waktu pinjaman. Risiko kredit serta pajak yang dikenakan pada jenis tingkat bunga tersebut. Meskipun terdapat berbagai macam tingkat bunga dalam perekonomian, para ahli makroekonomi biasanya dapat mengabaikan perbedaan tersebut. Berbagai jenis tingkat bunga tersebut cenderung bergerak keatas atau ke bawah secara bersama-sama (Mankiw, 2000). Akan tetapi dalam ekonomi terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel “harga” uang yang lain yaitu nilai tukar juga menjadi semakin penting. Telah dikemukakan di atas bahwa kebijakan moneter mempengaruhi nilai tukar dan sistem nilai tukar fleksibel mendorong fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Gerakan nilai tukar mengubah harga relatif sehingga mempengaruhi perkembangan ekspor dan impor. Selanjutnya gerakan nilai tukar tersebut akan mempengaruhi permintaan agregat, laju pertumbuhan ekonomi, dan laju inflasi. Di berbagai Negara yang menganut nilai


(28)

tukar fleksibel menunjukkan bahwa jalur nilai tukar menjadi semakin penting dalam mentransmisikan kebijakan moneter (Sarwono dan Warjiyo,1998).

2.2 Pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan output perkapita terdiri dari dua sisi, yaitu sisi output totalnya PDB dan sisi jumlah penduduk. Pertumbuhan output total ditentukan oleh kemajuan teknologi dan pembentukan stok capital atau investasi. Oleh sebab itu perbandingan pertumbuhan jumlah penduduk dengan pertumbuhan output total akan menentukan pertumbuhan output per kapita. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa pertumbuhan

output per kapita ditentukan oleh dua faktor, yaitu tingkat kemajuan teknologi atau pertumbuhan produktifitas tenaga kerja dan pertumbuhan stok modal atau investasi.

Peningkatan output per kapita melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan tingkat tabungan. Peningkatan tingkat tabungan akan meningkatkan stock capital atau investasi per kapita, dan kemudian akan mempercepat pertumbuhan output per kapita. Di lain pihak, peningkatan output per kapita akan mendorong konsumsi per kapita. Peningkatan konsumsi per kapita memerlukan pembiayaan tunai atau kas dan menciptakan permintaan kredit. Ekspektasi pertumbuhan output per kapita dalam jangka panjang akan secara simultan mendorong stock capital atau tabungan dan konsumsi per kapita. Peranan kemajuan teknologi atau peningkatan produktifitas adalah mendorong supaya peningkatan tingkat tabungan lebih tinggi dari peningkatan tingkat konsumsi.


(29)

Dalam hal ini peranan lembaga keuangan bank dalam mendorong pertumbuhan konsumsi (sisi permintaan) lebih kecil dari pertumbuhan stock capital

(sisi penawaran) akan menciptakan stabilitas harga-harga umum. Peningkatan penawaran yang lebih besar dari peningkatan permintaan akan menciptakan penurunan harga-harga umum akan menurunkan tingkat bunga nominal, sehingga kembali mendorong permintaan kredit. Dari sisi pertumbuhan output per kapita, peningkatan pertumbuhan output perkapita akan mendorong pertumbuhan kredit perbankan, khususnya kredit konsumsi (Barro, R.J. and X Sala-I-Martin. 1995).

2.3 Teori Permintaan

Dalam analisis ekonomi diasumsikan bahwa permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh harga dari barang itu sendiri, dimisalkan faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan atau ceteris paribus. Permintaan seseorang atau sesuatu masyarakat atas sesuatu barang ditentukan oleh banyak faktor, antara lain: harga barang itu sendiri, harga barang lain yang mempunyai kaitan erat dengan barang tersebut, pendapatan masyarakat, cita rasa masyarakat, dan jumlah penduduk. Dari kondisi di atas dapat dijelaskan bahwa permintaan terhadap suatu barang sangat dipengaruhi oleh banyak variabel. Masing-masing variabel akan mempunyai pengaruh yang berbeda pula terhadap permintaan suatu barang (Sukirno, 2001).

Fungsi permintaan adalah persamaan yang menunjukkan hubungan antara jumlah permintaan suatu barag dan semua faktor-faktor yang mempengaruhinya.


(30)

Berdasarkan faktor-faktor yan gmempengaruhi permintaan seperti yang telah disebutkan di atas, maka dapat disusun fungsi permintaa umum, sebagai berikut: Qd = f ( Pq, Ps.i, Y, S, D ), dimana:

Qd = Jumlah barang yang diminta Pq = Harga barang itu sendiri

Ps.i = Harga barang-barang substitusi ( 1,2,...n)

Y = Pendapatan

S = selera

D = jumlah Penduduk

Fungsi permintaan tersebut merupakan fungsi umum sehingga belum bisa memberikan keterangan secara spesifik seberapa besar pengaruh dari masing-masing faktor tersebut. Untuk itu perlu disusun fungsi spesifik, misalnya dalam bentuk linier sebagai berikut:

Qd = ß0 + ß1Pq + ß2Ps.i + ß3Ps.2 + ß4Y + ß5S + ß6D + µ

Dengan demikian fungsi permintaan ini dapat untuk menganalisis semua faktor-faktor secara simultan atau bersama-sama sekaligus. Tentu saja fungsi ini tidak dapat digambar dalam diagram dua dimensi seperti halnya kurva permintaan (Nainggolan, dkk, 2005)

Kaidah permintaan dapat dinyatakan dalam cara yang paling sederhana sebagai berikut:

1. Pada harga tinggi, lebih sedikit barang yang akan diminta ketimbang pada harga rendah, asalkan hal-hal lain sama atau dilihat dengan cara lain:


(31)

2. Pada harga rendah, lebih banyak yang akan diminta ketimbang pada harga tinggi, asalkan hal-hal lain sama.

Jadi, kaidah permintaan mengatakan bahwa kuantitas yang diminta untuk suatu barang berhubungan terbalik dengan harga barang tersebut, asalkan hal-hal lain sama pada setiap tingkat harga (Miller dan Meiners, 2000).

2.4 Konsumsi dan Pendapatan Nasional

Kunci dari pengeluaran konsumsi adalah pendapatan. Semakin besar pendapatan maka semakin besar pengeluaran konsumsi. Konsumsi mempunyai sifat yang khusus. Pengeluaran bisa naik dikala pendapatan naik dan bahkan pengeluaran konsumsi bisa lebih cepat naikknya dari pendapatan itu sendiri. Sebaliknya konsumsi akan sulit turun di kala pendapatan turun. Ada upaya untuk tidak menurunkan pengeluaran konsumsi walau pendapatan sudah turun. Dengan kata lain, turunnya pendapatan konsumsi lebih lambat dari pendapatan (Miraza, 2006).

Keynes menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi (C) terutama tergantung dari pendapatan (Y), makin tinggi pendapatan makin tinggi konsumsi. Dalam gambar 2.1 pengeluaran konsumsi merupakan fungsi (linier) terhadap pendapatan C = a + bY. Koefisien b merupakan lereng dari garis tersebut yang menunjukkan perubahan konsumsi per unit pendapatan (∆C/∆Y) yang biasa dinamai marginal propensity to consume dan besarnya kurang dari 1 (satu). Misalnya, b = 0,6 berarti bahwa kenaikan pendapatan sebesar Rp.1000,- akan menambah pengeluaran konsumsi Rp.600,- (yang berarti pula tambahan tabungan sebesar Rp 400,-). Koefisien (konstanta)


(32)

menunjukkan besarnya konsumsi apabila pendapatan sama dengan nol, dan juga menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi C selain pendapatan. Perubahan nilai a akan menggeser garis C = a + bY.

Gambar berikut menggambarkan pengeluaran (C + I) dan penentuan pendapatan nasional.

Gambar 2.1 Pengeluaran (C + I) dan Penentuan Pendapatan Nasional

Sumbu vertikal menunjukkan pengeluaran (E) sedangkan sumbu horizontal menunjukkan tingkat produksi atau pendapatan nasional (Y). Garis pembantu yang membentuk sudut 45º menunjukkan adanya kesamaan jarak pada masing-masing sumbu, yang berarti adanya kesamaan/ keseimbangan pengeluaran (E) sama dengan pendapatan nasional (Y). Pengeluaran terdiri dari konsumsi dan investasi (yang dianggap autonomis, yang besarnya tidak tergantung dari pendapatan).


(33)

Gambar 2.2 Tabungan (S) dan Investasi (I)

Untuk sementara pengeluaran pemerintah ditiadakan. Pendapatan nasional dalam keseimbangan apabila pengeluaran total (C + 1) sama dengan produksi total (Y) keseimbangan ini ditunjukkan dengan perpotongan garis E = C + 1 dengan garis pembantu E = Y, sehingga diperoleh Y ekuilibrium.

Pada Y ekuilibrium ini maka keinginan menabung (S) sama dengan keinginan investasi (I) seperti pada gambar 2.1 Besarnya keinginan menabung ditunjukkan dengan selisih antara pendapatan dan konsumsi (S = Y – C). Dalam gambar ditunjukkan dengan selisih/perbedaan vertikal antara garis 45º dengan fungsi konsumsi. Gambar 2.2 adalah fungsi tabungan yang diperoleh dari gambar 2.1 dan ditunjukkan dengan garis S = -a + (1 + b)Y. Garis ini diperoleh dengan mengurangkan C pada Y, dimana C = a +bY.

Jadi, S = Y – C = Y – a – bY


(34)

Dimana, 1 – b adalah Marginal propensity to save (MPS), yakni tambahan tabungan yang diakibatkan oleh adanya tambahan pendapatan (∆S/∆Y).

Dalam gambar 2.2 hanya pada Y ekuilibrium maka keinginan menabung oleh sektor rumah tangga sama dengan keinginan investasi oleh perusahaan. Ada pendapatan yang lebih besar dari Y ekuilibrium maka keinginan menabung lebih besar daripada keinginan berinvestasi dan sebaliknya pada pendapatan dibawah Y ekuilibrium. Apabila tidak ada perubahan fungsi konsumsi (demikian juga fungsi tabungan) dan fungsi investasi, Y ekuilibrium akan bertahan lama. Kalau bisa bertahan lama, hal ini menunjukkan suatu keadaan yang baik, apabila Y ekuilibrium berada dalam keadaan full employment. Tetapi Keynes tidak memberikan jaminan bahwa Y ekuilibrium mesti berada dalam keadaaan full employment. Keadaan ini mungkin terjadi, tetapi hanya karena kebetulan saja, dan secara otomatis. Alasannya, pengeluaran investasi sifatnya tidak stabil. Pengusaha akan memperkecil pengeluaran investasinya manakala harapannya untuk dapat menjual output nya kecil. Akibatnya, keinginan untuk melakukan investasi turun dan dengan sendirinya pendapatan nasional juga turun. Berapa besarnya penurunan pendapatan nasional sebagai akibat turunnya pengeluarana investasi ini? Gambar 2.3 dan 2.4 menjelaskan hal ini.


(35)

Gambar 2.3 Penurunan Pengeluaran Investasi

Gambar 2.4 Penurunan Pengeluaran Investasi

Apabila pengeluaran investasi turun dari I0 menjadi I1 maka titik keseimbangan bergeser dari Z ke N dan pendapatan nasional turun dari Y0 ke Y1 (ditandai dengan AY) dan diukur dengan MN, yang besarnya sama dengan ZM, sedangkan turunnya pengeluaran investasi diukur dengan ZP (lebih kecil dari ZM). Jelas bahwa turunnya pendapatan nasional lebih besar daripada turunnya pengeluaran investasi (ZP < ZM). Secara sederhana dapat dijelaskan, dengan turunnya pengeluaran investasi akan menyebabkan turunnya pendapatan. Akibat turunnya


(36)

pendapatan ini konsumsi juga akan turun (karena konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan) sebesar bY. Karena konsumsi merupakan bagian dari pengeluaran, turunnya pengeluaran konsumsi akan menyebabkan pendapatan turun lagi dan seterusnya. Turunnya pendapatan akhirnya akan sebesar angka pengganda dikalikan besarnya penurunan investasi (Nopirin, 1992).

Rumah tangga menerima pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang mereka miliki, membayar pajak kepada pemerintah, dan kemudian memutuskan berapa banyak dari pendapatan setelah pajak digunakan untuk konsumsi dan berapa banyak yang ditabung. Pendapatan yang rumah tangga terima sama dengan output perekonomian Y. Pemerintah kemudian menarik pajak dari rumah tnagga sejumlah T. Kita mendefenisikan pendapatan setelah pajak, Y – T, sebagai pendapatan disposabel (disposable income) atau pendapatan yang bisa dibelanjakan. Rumah tangga membagi pendapatan disposabelnya di antara konsumsi dan tabungan.

Kita asumsikan tingkat konsumsi bergantung secara langsung pada tingkat pendapatan disposabel. Semakin tinggi pendapatan disposabel, semakin besar konsumsi. Jadi,

C = C (Y – T)

Persamaan ini menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari pendapatan disposabel. Hubungan antara konsumsi dan pendapatan disposabel disebut fungsi

konsumsi (Consumption function). Kecenderungan mengkonsumsi marginal

(Marginal propensity to consume, MPC) adalah jumlah perubahan konsumsi ketika pendapatan disposabel meningkat sampai 1 (satu) dollar. MPC adalah diantara nol


(37)

dan satu: naiknya pendapatan 1 dollar akan meningkatkan konsumsi, tetapi peningkatannya kurang dari 1 (satu) dollar. Jadi, jika rumah tangga memperoleh pendapatan tambahan sebesar 1 (satu) dollar, mereka akan menabung sebagian dari pendapatan tambahan tersebut. Misalnya, jika MPC adalah 0,7 maka rumah tangga mengeluarkan 70 sen dari setiap dollar tambahan dari pendapatan disposabel pada barang dan jasa dan menabung 30 sen. Gambar 2.5 memperlihatkan fungsi konsumsi.

Konsumsi, C

Fungsi Konsumsi

MPC 1

Pendapatan Disposabel, Y - T

Gambar 2.5 Fungsi Konsumsi

Fungsi Konsumsi berhubungan dengan konsumsi C pada pendapatan disposabel Y – T. Kecenderungan mengkonsumsi marginal MPC adalah jumlah kenaikan konsumsi ketika pendapatan disposabel meningkat sebesar 1 dollar.

Kemiringan fungsi konsumsi menyatakan berapa banyak konsumsi meningkat ketika pendapatan disposabel meningkat sebesar 1 dollar. Yaitu, kemiringan dari kurva konsumsi adalah MPC (Mankiw, 2000).


(38)

2.5 Kredit Konsumsi

Kredit konsumsi adalah kredit yang diberikan bank untuk membeli barang kebutuhan yang sifatnya jangka panjang seperti rumah, kendaraan bermotor (mobil dan motor) bahkan untuk peralatan rumah tang seperti kulkas, tv dan lainnya. Pemberian kredit konsumsi harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan nasabah khususnya penghasilannya (gaji dan lainnya) yang harus mampu untuk membayar cicilan tetap selama kredit berjalan. Lazimnya calon dianggap cukup mampu apabila yang dipakai untuk cicilan kredit < 40% dari gajinya. Artinya, dianggap sisa gaji sebesar 60% masih cukup untuk biaya hidup yang bersangkutan dengan keluarganya. Angka 40% tersebut tidak mutlak, karena semakin tingi penghasilan persentase tersebut dapat pula menjadi lebih rendah.

Kredit konsumsi umumnya dengan memperhitungkan suku bunga secara flat. Jadi kalau suku bunga setahun ditetapkan sebesar 10% maka untuk 5 tahun bunganya menjadi 50%. Pokok ditambah bunga dibagi jangka waktu kredit adalah cicilan yang harus dibayar debitur.

Selain dengan suku bunga flat, ada juga yang melakukan perhitungan bunga berdasarkan sisa hutang, namun tetap dengan cicilan pokok dan bunga yang sama setiap bulan (Dunil, 2005).

Aktifitas penjualan kredit sudah merupakan hal yang biasa dalam kegiatan ekonomi pada saat ini. Pada dasarnya setiap orang yang melakukan pembayaran dengan cara kredit telah mempergunakan pendapatan masa yang akan datang (income rational expectation) untuk pengeluaran saat ini (to day expenditures). Dengan


(39)

ekonomi kredit permintaan akan barang-barang konsumsi akan tetap tinggi sehingga pengeluaran konsumsi tetap bisa dipertahankan. Kedua, perbankan yang juga mengalami kesulitan dalam menjual dana yang telah mereka himpun mengadakan kerjasama dengan para pengusaha (retailers ataupun produsen) untuk bermitra dalam kegiatan masing-masing. Lembaga perbankan turut dalam berbagai kegiatan seperti pemberian kredit konstruksi dan kredit perbaikan rumah, kredit dalam penjualan motor bekas, memberi kredit tanpa agunan, penjualan kartu kredit, dan sebagainya. Kinerja bank saat ini terfokus sebagai retail banking yang memberikan kredit konsumsi. Hal inilah yang mendorong daya beli masyaakat. (Miraza, 2006).

2.6 Penelitian Terdahulu

Hadad, dkk, (2004) dari hasil penelitiannya memformulasikan dan mengestimasi tiga model utama untuk memperoleh gambaran tentang permintaan kredit konsumsi di tingkat rumah tangga; permintaan kredit konsumsi di tingkat propinsi, dan perilaku pemberian kredit konsumsi dari sisi penawaran di tingkat propinsi selama beberapa tahun terakhir. Model empiris yang digunakan untuk estimasi permintaan kredit konsumsi di tingkat rumah tangga adalah three-equation generalized Tobit. Jumlah sampel yang digunakan dalam estimasi model ini adalah 3600 rumah tangga dari 3760 rumah tangga yang disurvei dalam Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumah Tangga (SKTIR) tahun 2003. Hasil perhitungan menunjukkan terdapat kesenjangan atau gap sebesar 28.93 persen antara nilai kredit yang diinginkan dibandingkan dengan realisasinya dari semua sumber pinjaman


(40)

(perbankan, koperasi, pegadaian, lainnya). Estimasi model panel penawaran kredit di tingkat propinsi menunjukkan indikasi sudah terjadinya kejenuhan pada permintaan kredit konsumsi. Data realisasi permintaan kredit konsumsi sampai triwulan kedua tahun 2004 (6 bulan pertama) telah mencapai 64 persen terhadap nilai prediksinya untuk keseluruhan tahun 2004.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Junaidi (2006), dengan menggunakan variabel independen: bunga pinjaman, nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan PDRB terhadap variabel dependen permintaan kredit produktif, hasil estimasi diperoleh bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar berpengaruh positif terhadap permintaan kredit. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai tukar rupiah (rupiah terdepresiasi), maka permintaan kredit akan semakin meningkat. bunga pinjaman terhadap permintaan kredit berpengaruh positif tetapi tidak signifikan, sedangkan bunga pinjaman pada tahun 2003 berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap permintaan kredit di Sumatera Utara. Artinya bahwa ketika debitur merencanakan permohonan kredit, tingkat bunga pinjaman berpengaruh negatif namun setelah kebutuhan tersebut harus dipenuhi, maka tingkat bunga pinjaman hanya memperhitungkan tingkat pengembalian modal (rate of return). Pertumbuhan ekonomi yang diproxy dengan PDRB harga konstan berpengaruh positif terhadap permintaan kredit produktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin meningkat pertumbuhan ekonomi maka permintaan kredit produktif juga akan meningkat. Permintaan kredit produktif didominasi oleh industri, perdagangan, restoran dan hotel, lain-lain konsumsi, dan


(41)

pertanian, yang merupakan sektor penyumbang bagian terbesar dari PDRB Sumatera Utara. Berdasarkan uji multikolinearitas tidak ditemukan adanya multikolinearitas pada variabel-variabel independen yang digunakan.

Pada tingkat mikro Gertler dan Gilchrist (1994) menemukan bukti bahwa hambatan-hambatan terhadap kredit akan menimbulkan masalah-masalah bagi suatu perusahaan. Dampaknya seperti kesulitan bagi perusahaan-perusahaan kecil dalam mengembangkan usahanya ke tingkat usaha menengah dan besar. Seperti kebijakan moneter ketat selama resesi akan menyebabkan penurunan penjualan dan persediaan dari perusahaan kecil tersebut lebih besar dari perusahaan-perusahaan besar. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Holmstrom dan Tirole (1998) bahwa bila terjadi hambatan-hambatan kredit kepada perusahaan maka perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan untuk berkembang. Dan selanjutnya mereka juga menemukan efek dari tingkat bunga dan intensitas pengawasan tergantung dari perbedaan-perbedaan besar - kecilnya jumlah modal yang telah disalurkan tersebut.

Penelitian yang dilakukan Wulandari (2007), penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perkembangan tingkat suku bunga kredit dan perkembangan kredit bulanan umum (KRU) terutama untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perkembangan tingkat suku bunga kredit terhadap perkembangan kredit bulanan umum (KRU) pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Pamanukan Banuarta.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif analisis dimana ditentukan dua variabel yaitu variabel independen berupa perkembangan tingkat suku bunga kredit dan variabel dependen berupa perkembangan kredit bulanan umum.


(42)

Dalam penelitian ini penulis menggunakan uji statistika dan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Pearson. Dengan menggunakan korelasi Pearson diperoleh hasil bahwa perkembangan tingkat suku bunga kredit memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan kredit bulanan umum (KRU) yaitu sebesar 0,88. untuk meyakinkan bahwa kedua variabel tersebut berkorelasi atau tidak, maka dilakukan uji t dan hasilnya dibandingkan dengan t Tabel. Dari pengujian tersebut, didapat nilai t hitung = 3,209. Maka dapat disimpulkan bahwa t hitung = 3,29 > dari t tabel = 3,182. Derajat kesalahan 5% dan dk = n-2. dapat diartikan bahwa hipotesis alternatif (H1) yang diajukan diterima dan hipotesisi nol (H0) ditolak, dengan kata lain bahwa terdapat pengaruh antara perkembangan tingkat suku bunga terhadap perkembangan kredit bulanan umum (KRU). Untuk melihat besarnya perkembangan tingkat bunga kredit terhadap kredit bulanan umum ( KRU) secara kuantitatif maka penulis menggunakan koefisien determinasi (kd). hasil dari perhitungan kd = 77,44%, sedangkan sisanya sebesar 22,56% merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi kredit bulanan umum (KRU).

Charoen Pokphand Indonesia (economic and bussiness research – vice chairman office) dalam Analisisi Ekonomi Mingguan III – Juni 2007, mengemukakan bahwa kredit konsumsi ternyata bersifat inelastis terhadap perubahan suku bunga. Inelastisitas permintaan kredit konsumsi ini dapat dilihat dari adanya hubungan yang searah dengan pertumbuhan bulanan kredit konsumsi dengan perubahan tingkat bunganya selama periode Februari 2002 hingga 2007. Hal ini berarti konsumen akan tetap mengajukan pinjaman meskipun tingkat suku bunganya masih tinggi.


(43)

Perkembangan suku bunga kredit pada kuartal II-2007 diperkirakan akan terus menurun walaupun dalam kecepatan yang berbeda. Secara rata-rata suku bunga kredit konsumsi diperkirakan akan turun paling lambat namun memiliki kisaran yang lebih lebar dibandingkan suku bunga kredit modal kerja dan investasi. Kisaran yang lebar ini mengidentifikasikan keleluasaan bank dalam melakukan differensisasi suku bunga kredti konsumsi untuk segmen konsumen yang berbeda.

Note: 2007Q2* angka perkiraan

Sumber: Survey Perbankan Bank Indonesia, 2007

Inelastisitas permintaan kredit konsumsi disebabkan cukup dominannya pengaruh faktor non suku bunga terhadap keputusan konsumen. Faktor-faktor tersebut: perbaikan daya beli masyarakat, ekspektasi konsumen yang positif terhadap perbaikan pendapatan, kemampuan konsumen membayar cicilan kredit, dan promosi yang dilakukan produsen barang tahan lama seperti mobil, motor dan rumah.


(44)

2.7 Hipotesis

Dari model intermediasi perbankan yang telah diuraikan di atas dan berdasarkan penelitian terdahulu hipotesis penelitian dirumuskan, yaitu:

1. PDRB berpengaruh positif terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

2. Nilai kurs rupiah terhadap dollar berpengaruh positif terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

3. Tingkat bunga kredit konsumsi (SBKK) berpengaruh negatif terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

4. Permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

2.8 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan literatur dan penelitian terdahulu, penulis menyusun suatu kerangka pemikiran sebagai berikut:

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Tingkat Bunga Kredit Konsumsi

Permintaan Kredit Konsumsi

Permintaan Kredit Konsumsi Tahun

Sebelumnya

Kurs

(Nilai tukar rupiah terhadap dollar)


(45)

Berdasarkan gambar di atas, PDRB, tingkat bunga kredit konsumsi, kurs (mata uang) rupiah terhadap dollar, permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya berpengaruh terhadap permintaan kredit konsumsi.


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh variabel-variabel tingkat suku bunga kredit konsumsi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kurs (nilai tukar) rupiah terhadap dolar dan permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara. Objek penelitian adalah bank-bank di Sumatera Utara yaitu: Bank pemerintah, bank swasta Nasional, bank asing, bank campuran, bank perkreditan rakyat, dan bank pembangunan daerah di Sumatera Utara.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan jenis data time series dalam kurun waktu 1991-2005. sumber data diperoleh dari Bank Indonesia sebagai lembaga resmi tentang pelaporan dan perbankan nasional, Badan Pusat Statistik (BPS), jurnal-jurnal dan hasil penelitian, serta sumber bacaan lainnya yang relevan dengan variabel-variabel yang digunakan untuk keperluan penelitian ini.

3.3 Model Analisis

Model analisis yang akan digunakan untuk menganalisis permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara adalah analisis regresi berganda. Variabel yang akan


(47)

diteliti terdiri dari variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas (independent variable) terdiri dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kurs, tingkat suku bunga kredit konsumsi (SBKK) dan permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya (PKKt-1). Sedangkan variabel terikat (dependent variabel) adalah permintaan kredit konsumsi (PKK).

Permintaan kredit konsumsi pada perbankan di Sumatera Utara dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi makro dan fungsinya dapat ditunjukkan sebagai berikut:

PKK= f (PDRB, Kurs,Suku bunga kredit konsumsi, Permintaan kredit konsumsi

tahun sebelumnya)

(1)

Dari fungsi tersebut, dispesifikasikan menjadi bentuk model:

Log PKK= 0 + 1PDRB + 2Kurs + 3SBKK + 4PKK(t-1) + µ (2)

Keterangan:

PKK = Permintaan Kredit Konsumsi (Milyar rupiah) PDRB = Produk Domestik regional bruto (Milyar rupiah) Kurs = Nilai tukar rupiah terhadap US Dolar (Rupiah/USD)

SBKK = Suku Bunga Kredit Konsumsi (%)

PKK(t-1) = Permintaan Kredit Konsumsi tahun sebelumnya (Milyar rupiah).


(48)

Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah metode Ordinary Least Square (OLS). Alat Bantu untuk mengolah data sekunder, digunakan program Eviews 4.1.

3.5 Uji Kesesuaian

Uji kesesuaian (test goodness of fit) dilakukan berdasarkan perhitungan nilai koefisien determinasi (R²), uji F-statistic dan uji t-statistic. Penilaian terhadap R² bertujuan untuk melihat kekuatan variasi variabel independen dalam mempengaruhi variasi variabel dependen. Uji F-statistic dimaksudkan untuk mengetahui signifikasi statistik koefisien regresi secara simultan atau secara bersama-sama, sedangkan uji t-statistic dimaksudkan untuk mengetahui signifikasi statistik koefisien regresi secara parsial.

3.6 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

Pelanggaran terhadap asumsi klasik dari model regresi linier sehubungan dengan tipe time series data adalah uji normalitas, multikolinieritas, dan autokorelasi. Untuk memastikan bahwa asumsi multikolinieritas, autokorelasi dan linieritas terpenuhi maka pengujian empiris harus dilakukan.

3.6.1 Uji Normalitas

Uji normalitas adalah evaluasi dari disturbance term error dengan hipotesis nol: distrubance term error adalah normal. Pengujian asumsi normalitas


(49)

menggunakan Jarque-Berra [JB] Test dan membandingkannya dengan Tabel Distribusi [χ2: df = 2], yaitu:

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ + − = 24 ) 3 ( 6 2 2 K S T

JB (3.6)

dimana T = jumlah observasi pengamatan, S = skewness, dan K= kurtosis. Jika nilai maka hipotesis nol ditolak atau disturbance term error adalah

tidak normal. Sebaliknya jika maka hipotesis nol tidak ditolak

atau disturbance term error adalah normal.

2 2 χ ≥ −statistic JB 2 2 χ p statistic JB

3.6.2 Uji multikolinieritas

Interpretasi dari persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkolerasi. Dalam sebuah persamaan terdapat multikolinieritas jika besaran-besaran regresi yang didapat sebagai berikut:

1. Variasi besar (dari taksiran OLS)

2. Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar, sehingga standar error besar yang berdampak pada interval kepercayaan lebar).

3. Uji t (t-ratio) tidak signifikan. Suatu variabel bebas yang signifikan baik secara substansi maupun secara statistik jika dilakukan regresi sederhana maka terjadi bias dan tidak signifikan karena variasi besar akibat adanya kolinieritas. Bila standar error terlalu besar maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan.


(50)

4. R² tinggi, tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t.

5. Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya, sehingga dapat menyesatkan interpretasi.

Gejala multikolinearitas pada suatu model estimasi dapat dideteksi dengan menggunakan perhitungan correlation matrix yang digunakan untuk mengetahui nilai koefisien korelasi antar variabel independent.

3.6.3 Uji Autokorelasi

Autokorelasi didefenisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurut menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi, linier klasik mengasumsikan bahwa outokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi. Dengan menggunakan lambang E (µi‚ µj) = o ; I = j

Secara sederhana dikatakan bahwa model klasik mengasumsi unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain/manapun. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan uji Lagrange Multiplier Test (LM Test). Dengan membandingkan nilai X²hitung dengan X²tabel, dengan kriteria sebagai berikut :

1. jika nilai X²hitung > X²tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi dalam model empiris yang digunakan ditolak.


(51)

2. jika nilai X²hitung >X²tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi dalam model empiris yang digunakan tidak dapat ditolak.

3.7 Defenisi Operasional

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, untuk memberikan batasan penelitian dalam memudahkan analisis dijabarkan beberapa defenisi operasional variabel sebagai berikut:

a. Permintaan kredit konsumsi adalah jumlah kredit konsumsi yang telah disalurkan oleh pihak bank di Sumatera Utara dinyatakan dalam milyar rupiah.

b. PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah atau propinsi dalam jangka waktu tertentu (umumnya satu tahun), yang dinyatakan dalam milyar rupiah.

c. Kurs (Nilai Tukar) adalah harga dari satu mata uang (Rupiah) yang diukur dengan mata uang lain (Dollar) yang dinyatakan dalam ribu rupiah.

d. Tingkat bunga kredit konsumsi adalah rata-rata bunga pinjaman pada bank yang ditetapkan sebagai kewajiban nasabah (peminjam) kepada bank sebagai balas jasa atas dana atau pinjaman yang diberikan, yang dinyatakan dalam persen (%).


(52)

e. Permintaan kredit konsumsi tahaun sebelumnya adalah jumlah kredit konsumsi yang telah disalurkan oleh pihak bank di Sumatera Utara pada tahun sebelumnya dinyatakan dalam milyar rupiah.


(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Data Penelitian

4.1.1 Perkembangan Permintaan Kredit Konsumsi di Sumatera Utara

Permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara tahun 1991 sampai dengan 2005 mengalami peningkatan yang cukup pesat namun pada tahun 1998 dan tahun 1999 permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh krisis yang terjadi di Indonesia. Krisis ini mengakibatkan naiknya tingkat bunga kredit dan permintaan kredit konsumsi pun menurun. Perkembangan permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Permintaan kredit Konsumsi di Sumatera Utara tahun 1991-2005 Tahun

PKK

(miliar rupiah) % Perubahan

1991 359,426 -

1992 326,687 -9.11

1993 432,045 32.25

1994 642,536 48.72

1995 870,583 35.49

1996 1,028,358 18.12

1997 1,179,280 14.68

1998 950,455 -19.40

1999 851,367 -10.43

2000 1,331,655 56.41

2001 1,912,966 43.65

2002 2,346,402 22.66


(54)

2004 5,702,586 69.38

2005 7,762,308 36.12

Rata-rata 27.29

Sumber: Bank Indonesia, 2006

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa tren permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara untuk tahun 1991 -2005 menunjukkan yang semakin naik. Rata-rata peningkatan permintaan kredit untuk tahun 1991-2005 sebesar 27,29 persen. Permintaan kredit untuk tahun 1992 menurun sebesar 9,11 persen dibandingkan tahun 1991. Tahun 1993 naik sebesar sebesar 32,25 persen dari tahun 1992. Tahun 1994 naik sebesar 48,72 persen dari tahun 1993. Tahun 1995 naik sebesar 35,49 persen dari tahun 1994. Tahun 1996 naik sebesar 18,12 persen dari tahun 1995. Tahun 1997 naik sebesar 14,68 persen dari tahun 1996. Tahun 1998 turun sebesar 19,40 persen dari tahun 1997. Kondisi ini diakibatkan terjadinya krisis di Indonesia yang berdampak pada penyaluran kredit oleh bank. Tahun 1999 turun sebesar 10,43 persen dari tahun 1998. Tahun 2000 mulai mengalami peningkatan sebesar 56,41 persen dari tahun 1999.

Kondisi ini menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dari krisis tahun 1998-1999. Tahun 2001 meningkat sebesar 43,65 persen dari tahun 2000. Tahun 2002 naik sebesar 22,66 persen dari tahun 2001. Tahun 2003 naik sebesar 43,48 persen dari tahun 2002. Tahun 2004 naik sebesar 69,38 persen dari tahun 2003 dan tahun 2005 naik sebesar 36,12 persen dari tahun 2004.


(55)

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil pembangunan yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan rangkuman laju pertumbuhan dari berbagai sektor ekonomi yang menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi. Untuk melihat fluktuasi pertumbuhan ekonomi tersebut secra riil dari tahun ke tahun, disajikan melalui PDRB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha secara berkala. Karena dengan menggunakan harga konstan pengaruh naiknya tingkat harga setiap tahun atau tingkat inflasi dapat dihilangkan sehingga pertumbuhannya menjadi riil. Perkembangan PDRB di Sumatera Utara Tahun 1991 – 2005 dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Perkembangan PDRB Sumatera Utara (Atas dasar Harga Konstan Tahun 1991-2005)

Tahun PDRB

(Milliar rupiah)

Perubahan (%)

1991 5,935 -

1992 6,387 7.62

1993 7,104 11.23

1994 18,215 156.40

1995 19,940 9.47

1996 21,801 9.33

1997 23,715 8.78

1998 25,065 5.69

1999 22,119 -11.75

2000 22,692 2.59

2001 23,788 4.83

2002 24,672 3.72

2003 25,925 5.08


(56)

2005 28,599 5.58

Rata-rata 15.93

Sumber: BPS Sumatera Utara,2006

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Sumatera Utara untuk tahun 1991-2005 menunjukkan tren yang semakin naik. Rata-rata peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Sumatera Utara untuk tahun 1991-2005 sebesar 15,93 persen. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Sumatera Utara untuk tahun 1992 meningkat sebesar 7,62 persen dibandingkan tahun 1991. Tahun 1993 naik sebesar sebesar 11,23 persen dari tahun 1992. Tahun 1994 naik sebesar 156,40 persen dari tahun 1993. Tahun 1995 naik sebesar 9,47 persen dari tahun 1994. Tahun 1996 naik sebesar 9,33 persen dari tahun 1995. Tahun 1997 naik sebesar 8,78 persen dari tahun 1996. Tahun 1998 naik sebesar 5,69 persen dari tahun 1997. Tahun 1999 turun sebesar 11,75 persen dari tahun 1998. Kondisi ini diakibatkan terjadinya krisis di Indonesia pada tahun 1998 yang berdampak pada tahun 1999. Tahun 2000 mulai mengalami peningkatan sebesar 2,59 persen dari tahun 1999.

Kondisi ini menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dari krisis tahun 1998-1999. Tahun 2001 meningkat sebesar 4,83 persen dari tahun 2000. Tahun 2002 naik sebesar 3,72 persen dari tahun 2001. Tahun 2003 naik sebesar 5,08 persen dari tahun 2002. Tahun 2004 naik sebesar 4,48 persen dari tahun 2003 dan tahun 2005 naik sebesar 5,58 persen dari tahun 2004.


(57)

4.1.3 Perkembangan Tingkat Bunga kredit Konsumsi

Perkembangan tingkat bunga kredit konsumsi di Sumatera Utara pada tahun 1991 sampai tahun 1994 menunjukkan yang semakin menurun. Tahun 1992 tingkat bunga turun menjadi 23,93 persen dari tahun 1991 sebesar 25,23 persen atau turun sebesar 1,30 persen. Tahun 1993 tingkat bunga menjadi 20,64 persen atau turun sebesar 3,29 persen. Tahun 1994 turun sebesar 2,42 persen dari tahun sebelumnya.

Pada kondisi krisis menerpa Indonesia tahun 1998, tingkat bunga kredit naik sebesar 12,97 persen dari tahun 1997 atau 34,93 persen dibandingkan tahun 1997 sebesar 21,96 persen. Pada kondisi ini, permintaan kredit konsumsi turun sebesar 19,40 persen dibanding tahun 1997. Dari tren ini nampak bahwa peningkatan tingkat bunga kredit berdampak negatif terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara.

Perkembangan tingkat bunga kredit konsumsi di Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut:

Table 4.3 Perkembangan tingkat Bunga kredit Konsumsi di- Sumatera Utara Tahun 1991-2005

Tahun Tingkat Bunga Kredit Konsumsi (%)

1991 25,23 1992 23,93 1993 20,64 1994 18,22 1995 19,68 1996 19,49 1997 21,96 1998 34,93 1999 28,78


(58)

2000 18,16 2001 21,18 2002 23,48 2003 23,08 2004 21,06 2005 18,91 Sumber: Statistik Ekonomi Daerah bank Indonesia, 2006

4.1.4 Kurs rupiah Terhadap USD Tahun 1991-2005

Perkembangan nilai kurs rupiah terhadap USD selama periode 1991-1996 relatif stabil, yaitu berada pada kisaran Rp.2000,-an. Namun sejak tahun 1997, kurs rupiah mulai melemah terhadap USD yang berada dikisaran Rp 4650. Hal merupakan awal krisis di Indonesia. Kurs rupiah terhadap USD semakin melemah pada tahun 1998 sampai tahun 2001 yaitu dari Rp 8025 per USD tahun 1998 menjadi Rp 10400 per USD pada tahun 2001. Tahun 2002 sampai tahun 2005, kurs rupiah kembali mulai menguat seiring dengan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin pulih dari terpaan krisis. Kurs nilai tukar rupiah terhadap USD untuk tahun 1991 – 2005 dapat dilihat pada table 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Kurs Nilai Tukar Rupiah terhadap USD Tahun 1991-2005 Tahun Kurs nilai tukar rupiah terhadap USD (Rp.)

1991 1997 1992 2052 1993 2110 1994 2200 1995 2308 1996 2383 1997 4650 1998 8025


(59)

1999 7085 2000 9595 2001 10,400 2002 8940 2003 8465 2004 9290 2005 9830 Sumber: Bank Indonesia, 2006

4.2 Uji Kesesuaian (Goodness of Fit)

Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan pada permintaan kredit konsumsi, yaitu dari tahun 1991-2005, variabel yang digunakan adalah variabel PDRB atas dasar harga konstan, tingkat bunga kredit konsumsi, kurs rupiah terhadap USD dan permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya.

Berdasarkan nilai R–squared (R²) sebesar 0,975679, berarti variabel-variabel bunga kredit konsumsi, PDRB, Kurs dan permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya secara bersama-sama mampu menjelaskan variasi variabel permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara sebesar 97,56%, sedangkan sisanya sebesar 2,44% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi ini.

Tabel 4.5 Uji Kesesuaian (Goodness of Fit)

logPKK = 12.71904 + 5.342412 PDRB + 0.076127 Kurs – 0.03741 SBKK + 0.273980 PKK(t-1) Std.Error 1,325 0,021 0,013 0,049


(60)

R² = 0.975679 F-stat = 90.26280 DW = 1.805092

Sumber: Lampiran

Berdasarkan uji t-statistik (uji secara parsial), maka dapat diketahui bahwa seluruh variable independen yang digunakan (tingkat bunga kredit, PDRB, kurs, permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya), berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan kredit konsumsi (PKK) di Sumatera Utara pada tingkat keyakinan 95%.

Dari hasil analisis regresi berganda dengan model analisis Ordinary Least Squares (OLS) diperoleh bahwa nilai koefisien PDRB sebesar positif 5.342412. Artinya, bila variabel PDRB naik sebesar 1 persen, maka permintaan kredit konsumsi akan meningkat sebesar 5.342412 miliar rupiah. Hasil ini menunjukkan hubungan yang positif terhadap permintaan kredit konsumsi di Sumatera Utara. Dengan hasil analisis yang diperoleh sekaligus membuktikan bahwa hasil penelitian ini konsisten dengan teori dan penelitian yang dilakukan oleh Junaidi (2006) dan dengan demikian hipotesis tidak ditolak.

Hasil analisis juga membuktikan bahwa hubungan antara tingkat bunga kredit konsumsi terhadap permintaan kredit konsumsi menunjukkan hubungan yang negatif. Hal ini konsisten dengan teori dan hasil penelitian Junaidi (2006) yang menyatakan bahwa bila tingkat bunga kredit konsumsi turun, maka permintaan kredit konsumsi


(61)

akan naik. Hasil ini juga membuktikan bahwa hipotesis tentang pengaruh tingkat bunga kredit konsumsi terhadap permintaan kredit konsumsi tidak ditolak.

Nilai koefisien tingkat bunga kredit konsumsi sebesar negatif 0.03741. Artinya, bila tingkat bunga kredit konsumsi turun sebesar 1 persen, maka permintaan kredit konsumsi akan meningkat sebesar 0.03741 miliar rupiah. Sebaliknya, bila tingkat bunga kredit konsumsi naik 1 persen, maka permintaan kredit konsumsi akan turun sebesar 0.03741 miliar rupiah. Hasil analisis ini konsisten dengan deskripsi data yang menunjukkan bahwa pada kondisi tingkat bunga kredit konsumsi tinggi, permintaan kredit konsumsi turun seperti terjadi pada tahun 1998 dan 1999.

Variabel kurs menunjukkan bahwa hubungannya positif terhadap permintaan kredit konsumsi dengan nilai koefisien sebesar positif 0,076127. Artinya bila kurs rupiah naik terhadap USD sebesar 1 persen, maka permintaan kredit konsumsi mengalami kenaikan sebesar 0.076127 miliar rupiah. Demikian juga variabel permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya menunjukkan hasil yang positip sebesar 0.273980. Hasil ini mengisyaratkan bahwa permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya mempengaruhi permintaan kredit konsumsi tahun sekarang. Artinya, bila kredit konsumsi tahun sebelumnya naik 1 persen, maka permintaan kredit tahun sekarang akan meningkat sebesar 0,273980 miliar rupiah. Hasil ini membuktikan bahwa hipotesis tentang pengaruh kurs terhadap permintaan kredit konsumsi terbukti tidak ditolak.

Analisis secara simultan ditunjukkan melalui hasil nilai F-statistik. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel bebas yaitu PDRB, kurs, tingkat bunga


(62)

kredit konsumsi (SBKK) dan permintaan kredit konsumsi tahun sebelumnya (PKKt-1) secara simultan terhadap permintaan kredit konsumsi (PKK), maka digunakan analisis F-statistic. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai F-statistic sebesar sebesar 90,26280, sedangkan F-tabel sebesar F0,05 (3,11) = 3,59, diperoleh bahwa F-statistik > F-tabel. Hasil ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama (serentak) PDRB, kurs rupiah terhadap dollar, bunga kredit konsumsi (SBKK) dan permintaan kredit tahun sebelumnya (PKKt-1), mempengaruhi permintaan kredit konsumsi perbankan di Sumatera Utara secara signifikan pada tingkat keyakinan 95%. Hasil analisis secara simultan membuktikan bahwa hipotesis tentang pengaruh PDRB, Kurs rupiah terhadap dollar, tingkat bunga kredit konsumsi (SBKK) dan permintaan kredit tahun sebelumnya secara simultan terhadap permintaan kredit konsumsi perbankan di Sumatera Utara terbukti tidak ditolak.

4.3 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik 4.3.1 Uji Normalitas

Uji normalitas ini dilakukan untuk mengetahui normal apa tidaknya faktor pengganggu yang dapat diketahui melalui Jargue-Bera Test. Uji ini menggunakan hasil estimasi residual dan chi square Probability Distribution.

Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan dengan Uji Jargue-Bera Test, diperoleh besarnya nilai Jarque-Bera Normality sebesar 1.015263 dan bila dibandingkan dengan nilai χ2 tabel sebesar 18,3070 pada taraf keyakinan 95%, maka


(63)

dapat disimpulkan bahwa nilai Jargue-Bera test lebih kecil dari nilai χ2 tabel (JB test hitung 1.015263 < χ2 tabel 18,3070). Hal ini berarti model empiris yang digunakan dalam model ini mempunyai residual atau faktor pengganggu yang berdistribusi normal yang tidak dapat ditolak dan tidak signifikan.

4.3.2 Uji multikolinieritas

Uji multikolinieritas adalah investigasi terhadap semua variabel predetermine

apakah mengalami multikolinieritas atau kombinasi linier yang serius. Program EViews 4.1 tidak melaporkan atau tidak menyediakan pengujian multikolinieritas, sehingga untuk menguji multikolinieritas memerlukan perhitungan correlation matrix. Tabel 4.6 ditunjukkan nilai R2 hasil regresi parsial antar variable independent. Berdasarkan indikator ini disimpulkan bahwa masalah multikolinieritas yang serius tidak terjadi pada model permintaan kredit konsumsi dan tingkat bunga kredit konsumsi.

Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas dalam model estimasi yang dilakukan adalah dengan melihat nilai R² yang dihasilkan oleh model dan model estimasi angka R² yang tinggi disertai koefisien regresi yang sebagian besar tidak signifikan biasanya menandakan terdapatnya multikolinieritas.

Tabel 4.6 Hasil Estimasi uji Multikolinieritas (Koefisien Korelasi Parsial)

Variabel R² PDRB 0.587150 SBKK 0.304644


(64)

Kurs 0.537624

PKK(t-1) 0.566174

Sumber: Lampiran

Berdasarkan tabel 4.6 tersebut, bahwa mulai R² (PDRB, Kurs, SBKK, PKK (t-1)) sebesar 0.975679 lebih besar daripada nilai R² dalam regresi parsial yaitu 0.587150; 0.304644; 0.537624; dan 0.566174. berdasarkan metode ini dapat disimpulkan bahwa dalam model ini tidak ada multikolinieritas.

4.3.3 Uji Autokorelasi

Untuk mendiagnosa ada tidaknya korelasi serial (autokorelasi), dapat

dilakukan dengan menggunakan Lagrange Multiplier Test (LM-Test). Uji

nonautokorelasi adalah evaluasi korelasi serial dari disturbance term error dengan hipotesis nol: disturbance term error adalah nonautokorelasi. Pengujian asumsi nonautokorelasi menggunakan Breusch-Godfrey [BG] Test atau LM Test.

dimana p = panjang time lag dari disturbance term error dan juga merupakan derajat bebas Tabel Distribusi [χ2]. Jika statistik [T-p] × R2

≥ χ2

p maka disturbance term error mengalami autokorelasi, sebaliknya jika [T-p] × R2<χ2p maka disturbance term error tidak mengalami autokorelasi. Hasil pengujian autokorelasi ditunjukkan pada tabel 4.7 berikut:

, ]

[T p R2

statistic

BG− = − ×

Tabel 4.7 Uji Autokorelasi pada Hasil Estimasi Permintaan Kredit Konsumsi Jenis Uji Alat Uji Nilai Hitung

Obs*R²


(65)

Autokorelasi LM Test 0.001482 18,3070 Dalam model estimasi tidak ditemukan adanya autokorelasi. Sumber: Lampiran 4

Pada Tabel 4.7 ini diperoleh besarnya nilai LM Test sebesar 0.001482 dan bila dibandingkan dengan nilai X² tabel sebesar 18,3070 Pada taraf 95%, maka dapat disimpulkan bahwa nilai LM Test lebih kecil dari nilai X² table (R² 0.001482 < X² tabel 18,3070). dengan demikian hipotesis nol (H0) diterima. Artinya tidak ada autokorelasi antara permintaan kredit konsumsi dengan PDRB, Kurs, tingkat bunga kredit, dan permintaan kredit tahun sebelumnya.

Uji penyimpangan asumsi klasik di atas membuktikan model permintaan kredit konsumsi dan tingkat bunga kredit konsumsi memenuhi asumsi model regressi linier. Dengan kata lain model permintaan kredit konsumsi dan tingkat bunga kredit konsumsi dapat digunakan untuk analisis struktural, peramalan dan evaluasi kebijakan.

4.4 Pembahasan

4.4.1 Perkembangan Permintaan Kredit Konsumsi

Secara umum permintaan masyarakat terhadap kredit baru pada triwulan II-2007 mengalami peningkatan yang diindikasikan angka netto tertimbang 92,8% (grafik 4.1). Meningkatnya kebutuhan pembiayaan dan penurunan suku bunga kredit merupakan Fktor utama yang mendorong meningkatnya permintaan kredit baru. Peningkatan ini terutama pada jenis kredit modal kerja sementara secara sektoral


(66)

terjadi pada sektor lainnya, sektor jasa dunia usaha dan sektor perdagangan. Sebagian besar permintaan kredit konsumsi berupa credit card dan kredit kepemilikan rumah. Dan seluruh aplikasi permohonan kredit yang diterima, sekitar 13,0% tidak disetujui oleh bank, meningkat dibandingkan triwulan lalu (11,5%). Sementara itu, mayoritas permohonan kredit baru yang disetujui merupakan kelompok nasabah baru.

Grafik 4.1 Permintaan Kredit Baru

Sumber: Laporan Ekonomi Bulan Mei 2007 – Kamar Dagang Industri

Lemahnya dukungan kredit perbankan terhadap sektor riil mengemuka dengan kenyataan bahwa ekspansi kredit lebih mengarah ke sektor konsumsi. setelah sempat melemah pada tahun 2006, kredit konsumsi kembali meningkat pada tahun 2007. Dari kenaikan total kredit sebesar 0,87%, kenaikan kredit investasi tercatat sebesar 0,7% dan kenaikan kredit modal kerja sebesar 0,37%, sedangkan kenaikan kredit konsumsi mencapai 2,21%.

Grafik 4.2


(1)

Untung, B. 2005.

Kredit Perbankan di Indonesia

. Andi Offset. Yogyakarta.

Jurnal-jurnal, Buletin, Hasil-hasil Penelitian, dan Sumber bacaan lain:

Bank Indonesia.

Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia

. Berbagai Edisi.

Statistik Ekonomi Daerah Sumatera Utara. 2007. Badan Pusat Statistik Sumatera

Utara.

Harmanta dan Ekananda, 2005.

Disintermediasi Fungsi Perbankan di Indonesia

Pasca Krisis 1997: Faktor Permintaan atau Penawaran Kredit, Sebuah

Pendekatan dengan Model Disequilibrium

. Buletin Ekonomi Moneter dan

Perbankan.

Laporan Kebijakan Moneter. Triwulan IV. 2007

Mari’e, M. 2006. Kolom: Transparansi.or.id.

Ekonomi Indonesia telah Berjalan

,

Edisi Senin 30 Oktober 2006. Bisnis Indonesia. Jakarta.

Sarwono, A. H. dan P. Warjiyo. 1998.

Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam

Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di

Indonesia.

Buletin Ekonomi Moneter. Jakarta.


(2)

Lampiran

Dependent Variable: LOGPKK Method: Least Squares Date: 02/18/08 Time: 14:53 Sample(adjusted): 1992 2005

Included observations: 14 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 12.71904 0.372419 34.15252 0.0000

PDRB 5.342412 1.325044 4.031877 0.0030

KURS 0.076127 0.020926 3.637926 0.0054

SBKK -0.037741 0.012772 -2.955075 0.0161

PKK(-1) 0.273980 0.049153 5.573981 0.0003 R-squared 0.975679 Mean dependent var 14.11796

Adjusted R-squared 0.964870 S.D. dependent var 0.914865 S.E. of regression 0.171474 Akaike info criterion -0.416320 Sum squared resid 0.264629 Schwarz criterion -0.188085 Log likelihood 7.914240 F-statistic 90.26280 Durbin-Watson stat 1.805092 Prob(F-statistic) 0.000000 Estimation Command:

=====================

LS LOGPKK C PDRB KURS SBKK PKK(-1) Estimation Equation:

=====================

LOGPKK = C(1) + C(2)*PDRB + C(3)*KURS + C(4)*SBKK + C(5)*PKK(-1) Substituted Coefficients:

=====================

LOGPKK = 12.71903518 + 5.342412043*PDRB + 0.07612726554*KURS - 0.03774120706*SBKK + 0.273980186*PKK(-1)


(3)

UJI MULTIKOLINEARITAS

a.

Regresi Antar Variabel bebas

Dependent Variable: PDRB Method: Least Squares Date: 02/18/08 Time: 14:55 Sample(adjusted): 1992 2005

Included observations: 14 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.204341 0.061025 3.348482 0.0074

KURS 0.007667 0.004366 1.755903 0.1096

SBKK -0.002217 0.002966 -0.747494 0.4720

PKK(-1) 0.012827 0.011007 1.165362 0.2709 R-squared 0.587150 Mean dependent var 0.229319

Adjusted R-squared 0.463295 S.D. dependent var 0.055860 S.E. of regression 0.040923 Akaike info criterion -3.319292 Sum squared resid 0.016747 Schwarz criterion -3.136705 Log likelihood 27.23505 F-statistic 4.740627 Durbin-Watson stat 0.858045 Prob(F-statistic) 0.026271

Dependent Variable: KURS Method: Least Squares Date: 02/18/08 Time: 14:56 Sample(adjusted): 1992 2005

Included observations: 14 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -6.479499 5.241629 -1.236161 0.2446

PDRB 30.73883 17.50600 1.755903 0.1096

SBKK 0.231055 0.178636 1.293437 0.2249

PKK(-1) 0.816625 0.696457 1.172541 0.2682 R-squared 0.537624 Mean dependent var 6.180429

Adjusted R-squared 0.398912 S.D. dependent var 3.342275 S.E. of regression 2.591262 Akaike info criterion 4.977123 Sum squared resid 67.14639 Schwarz criterion 5.159711 Log likelihood -30.83986 F-statistic 3.875812 Durbin-Watson stat 0.728004 Prob(F-statistic) 0.044794


(4)

Dependent Variable: SBKK Method: Least Squares Date: 02/18/08 Time: 14:56 Sample(adjusted): 1992 2005

Included observations: 14 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 22.83581 5.734268 3.982341 0.0026

PDRB -23.86625 31.92836 -0.747494 0.4720

KURS 0.620288 0.479566 1.293437 0.2249

PKK(-1) -1.505114 1.120116 -1.343712 0.2087 R-squared 0.304644 Mean dependent var 18.90643

Adjusted R-squared 0.096038 S.D. dependent var 4.465553 S.E. of regression 4.245710 Akaike info criterion 5.964652 Sum squared resid 180.2606 Schwarz criterion 6.147240 Log likelihood -37.75256 F-statistic 1.460378 Durbin-Watson stat 1.182558 Prob(F-statistic) 0.283616

Dependent Variable: PKK(-1) Method: Least Squares Date: 02/18/08 Time: 15:15 Sample(adjusted): 1992 2005

Included observations: 14 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.390318 2.392769 0.163124 0.8737

PDRB 9.321484 7.998789 1.165362 0.2709

KURS 0.148009 0.126229 1.172541 0.2682

SBKK -0.101615 0.075622 -1.343712 0.2087 R-squared 0.566174 Mean dependent var 1.521501 Adjusted R-squared 0.436026 S.D. dependent var 1.468975 S.E. of regression 1.103174 Akaike info criterion 3.269216 Sum squared resid 12.16993 Schwarz criterion 3.451804 Log likelihood -18.88451 F-statistic 4.350235 Durbin-Watson stat 0.941659 Prob(F-statistic) 0.033202

b.

Matrik Korelasi

Correlations Matrix

PDRB KURS SBKK PKK(-1)

PDRB 1.000000 0.654915 -0.329601 0.676823 KURS 0.654915 1.000000 -0.015270 0.573616 SBKK -0.329601 -0.015270 1.000000 -0.430873 PKK(-1) 0.676823 0.573616 -0.430873 1.000000


(5)

UJI AUTOKORELASI

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.000847 Probability 0.977495 Obs*R-squared 0.001482 Probability 0.969290 Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 02/18/08 Time: 15:26

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.003069 0.408822 0.007507 0.9942

PDRB -0.004059 1.412250 -0.002874 0.9978

KURS 0.000225 0.023501 0.009570 0.9926

SBKK -0.000118 0.014142 -0.008365 0.9935

PKK(-1) -0.000964 0.061759 -0.015604 0.9879 RESID(-1) 0.013711 0.471121 0.029104 0.9775 R-squared 0.000106 Mean dependent var -8.88E-16

Adjusted R-squared -0.624828 S.D. dependent var 0.142675 S.E. of regression 0.181866 Akaike info criterion -0.273569 Sum squared resid 0.264601 Schwarz criterion 0.000313 Log likelihood 7.914981 F-statistic 0.000169 Durbin-Watson stat 1.813949 Prob(F-statistic) 1.000000

UJI LINEARITAS

Ramsey RESET Test:

F-statistic 10.33528 Probability 0.008143 Log likelihood ratio 19.24243 Probability 0.000066 Test Equation:

Dependent Variable: LOGPKK Method: Least Squares Date: 02/18/08 Time: 15:29 Sample: 1992 2005

Included observations: 14

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -868.6680 317.8391 -2.733044 0.0292

PDRB -579.0928 216.4817 -2.675020 0.0318 KURS -8.341074 3.154978 -2.643782 0.0332 SBKK 4.128868 1.571906 2.626663 0.0341

PKK(-1) -29.70136 11.52001 -2.578240 0.0366 FITTED^2 7.767324 2.704437 2.872067 0.0239 FITTED^3 -0.182611 0.058643 -3.113948 0.0170 R-squared 0.993847 Mean dependent var 14.11796 Adjusted R-squared 0.988574 S.D. dependent var 0.914865 S.E. of regression 0.097793 Akaike info criterion -1.505065 Sum squared resid 0.066945 Schwarz criterion -1.185536 Log likelihood 17.53545 F-statistic 188.4542


(6)

UJI NORMALITAS

0 1 2 3 4 5 6

-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2

Series: Residuals Sample 1992 2005 Observations 14

Mean -8.88E-16

Median 0.025180

Maximum 0.196950

Minimum -0.296853

Std. Dev. 0.142675

Skewness -0.605313

Kurtosis 2.475751

Jarque-Bera 1.015263