Pengaruh Kompetensi Dan Kerja Tim Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Swadana Daerah Tarutung

(1)

PENGARUH KOMPETENSI DAN KERJA TIM TERHADAP

KINERJA PERAWAT PELAKSANA RAWAT INAP DI

RUMAH SAKIT UMUM SWADANA DAERAH

TARUTUNG

TESIS

OLEH

JONGGA HUTAPEA

077013014/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

PENGARUH KOMPETENSI DAN KERJA TIM TERHADAP

KINERJA PERAWAT PELAKSANA RAWAT INAP DI

RUMAH SAKIT UMUM SWADANA DAERAH

TARUTUNG

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Progam Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JONGGA HUTAPEA

077013014/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

Judul Tesis : PENGARUH KOMPETENSI DAN KERJA TIM TERHADAP KINERJA PERAWAT

PELAKSANA RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM SWADANA DAERAH

TARUTUNG Nama Mahasiswa : Jongga Hutapea

Nomor Induk Mahasiswa : 077013014

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si) (dr. Heldy BZ, M.P.H)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 31 Desember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si Anggota : 1. dr. Heldy BZ, M.P.H

2. Siti Saidah Nasution, S.Kp, M.Kep, Sp.Mat. 3. Masnely Lubis, S.Kep, M.A.R.S


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMPETENSI DAN KERJA TIM TERHADAP

KINERJA PERAWAT PELAKSANA RAWAT INAP DI

RUMAH SAKIT UMUM SWADANA DAERAH

TARUTUNG

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 31 Desember 2009

Jongga Hutapea 077013014/IKM


(6)

THE EFFECT OF COMPETENCE AND TEAMWORK

ON NURSE’S PERFORMANCE AT THE GENERAL

HOSPITAL OF TARUTUNG

OLEH

JONGGA HUTAPEA

077013014/IKM


(7)

ABSTRAK

RSU Swadana Daerah Tarutung telah menetapkan sistim pelayanan keperawatan dengan metode tim sejak tahun 2007, namun pelaksanaanya yang tidak konsisten menyebabkan pasien merasa kurang puas atas pelayanan yang diberikan oleh perawat rumah sakit rawat inap, sehingga mereka mencari tempat pelayanan kesehatan yang lain.

Survei dengan menggunakan pendekatan analitik dengan tipe explanatory bertujuan menganalisis pengaruh kompetensi perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim (kerjasama, kepercayaan, kekompakan) terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana rawat inap berjumlah 60 orang dan sampel adalah jumlah dari keseluruhan populasi. Data diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner; data dianalisis dengan menggunakan uji regresi berganda α = 0,05.

Hasil survei menunjukkan bahwa kerjasama (p = 0,038), kepercayaan (p = 0,017) memiliki pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap, sementara itu variabel yang lain yaitu kompetensi teknis (p = 0,316), kompetensi perilaku (p = 0,108) dan kekompakan (p = 0,875) tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung.

Disarankan kepada manajemen rumah sakit agar: (1) mengimplementasikan metode tim keperawatan yang sudah ditetapkan dilaksanakan secara konsisten. (2) menetapkan standar penerimaan pegawai yang berkompetensi baik meliputi

knowledge, attitude dan skill, (3) melaksanakan ketentuan kerja sama tanpa kompetisi di ruang rawat inap, (4) mengorganisir pelatihan outbond untuk meningkatkan kerjasama, kepercayaan dan kekompakan team work yang solid, (5) menjalankan sistim punishment dan reward bagi perawat rumah sakit.


(8)

ABSTRACT

The general hospital of Tarutung has determined nurse system service namely team work method since 2007, but it didn’t run well and making those patients felt unsatisfied with nurse service, that caused them found another health service.

Survey with analytic research by using explanatory approach was done to analyze the influence of nurse’s competence (technical competence, behavior competence) and team work (cooperation, belief, togetherness) on nurse’s performance. The population for this study were 60 nurses and sample were the total population. The data for this study were obtained through questionnaire; analyzed by using multiple regression test at α= 0, 05.

The result of the survey showed that cooperation (p = 0,038), belief (p = 0,017) had an influence on nurse’s performance meanwhile technical competence (p = 0,316), behavior competence (p = 0,108) and togetherness (p = 0,875) did not have any influence on nurse’s performance at the General Hospital of Tarutung.

It is suggested to the management of the general hospital of Tarutung: (1) to implement team work method consistently, (2) to determine standard quality in receiving officials who have competence including knowledge, attitude and skill, (3) to do rules cooperation without competition at the general hospital of Tarutung, (4) to organize outbound training to increase cooperation, belief and teamwork togetherness solidarity, (5) to carry out punishment and reward system for nurses.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat dan KaruniaNya sehingga kasihNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

’’ Pengaruh Kompetensi dan Kerja Tim Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana

Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Swadana Daerah Tarutung’’

Tesis ini adalah suatu syarat akademik dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis dalam menyusun tesis ini, mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K).

Kepada Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si, selaku ketua komisi pembimbing dan dr. Heldy BZ, M.P.H, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan


(10)

dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Siti Saidah Nasution, S.Kp, M.Kep, Sp.Mat dan Masnely Lubis, S.Kep, M.A.R.S, selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

Terima kasih kepada para Dosen, Staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih juga kepada Bupati Tapanuli Utara Torang Lumbantobing yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih kepada dr. Suryadi Panjaitan, Sp.PD selaku Direktur RSU Swadana Daerah Tarutung yang telah memberikan izin penelitian, dukungan serta bimbingan dan Drs Maruap Lumbantobing, selaku Kepala Badan KB dan PKS Kabupaten Tapanuli Utara yang telah memberikan motivasi kepada penulis dan juga kepada semua teman dan sahabat selama proses hingga selesai penelitian.

Tak terhingga terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ibunda Murlan Sinaga dan keluargas, teristimewa buat istri Duma Situmeang dan putra putri tercinta Agus Rocky, Eric Pernando, Faisal Sugiarto, Ester Monika dan Noel Cristoffel yang selalu memberikan semangat.


(11)

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, 31 Desember 2009 Penulis

Jongga Hutapea 077013014/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Jongga Hutapea lahir di Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara pada tanggal 10 Oktober 1965, anak kedua dari lima bersaudara, beragama Kristen Protestan dan bertempat tinggal di Jalan Kolonel Liberty Malau Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1980 di SDN. Pansurbatu, tahun 1983 menamatkan SMP di SMPN Pansurbatu, dan tahun 1986 menamatkan SMA di SMAN. Sipoholon. Kemudian pada tahun 1996 memperoleh Sarjana Ekonomi di Fakultas Sisingamangaraja XII Tapanuli Utara .

Penulis berkerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di RSU Swadana Daerah Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara sejak tahun 1988 sampai tahun 2008, pada tahun 1988 – 1994 sebagai staf perencanaan dan program, tahun 1995- 2003 menjadi Kepala subbag keuangan dan program, tahun 2003 – 2004 sebagai ketua komite administrasi dan pada tahun 2005 – 2008 sebagai humas dan informasi di RSU Swadana Daerah Tarutung.

Mulai bulan Mei 2009 sampai sekarang bertugas di Badan KB dan PKS Kabupaten Tapanuli Utara.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Hipotesis... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 13

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Kinerja Perawat... 14

2.2. Kompentensi Perawat ... 19

2.2.1 Kompentensi Teknis ... 19

2.2.2 Kompetensi Perilaku ... 20

2.3. Kerja Tim ... 25

2.4. Kerjasama tim yang efektif ... 34

2.5. Landasan Teori... 36

2.6. Kerangka Konsep ... 39

BAB III : METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Jenis Penelitian... 44

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.3 Populasi dan Sampel ... 44

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 45

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 46

3.6 Metode Pengukuran ... 48

3.7 Metode Analisis Data... 50

BAB IV : HASIL PENELITIAN ... 51

4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian... 51


(14)

4.3. Hasil Analisa Uniavariat ... 54

4.3.1. Distribusi Kompetensi Teknis... 54

4.3.2. Distribusi Kompetensi Perilaku ... 54

4.3.3. Distribusi Kerjasama... 55

4.3.4. Distribusi kepercayaan ... 55

4.3.5. Distribusi kekompakan ... 56

4.3.6 Distribusi kinerja perawat pelaksana ... 56

4.4 Hasil Analisis Bivariat ... 57

4.4.1. Pengaruh Kompetensi Teknis Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 57

4.4.2 Pengaruh Kompetensi Perilaku Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 58

4.4.3. Pengaruh Kerjasama Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 58

4.4.4. Pengaruh Kepercayaan dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 59

4.4.5 Pengaruh Kekompakan Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 60

4.5 Hasil Analisis Multivariat ... 60

BAB V : PEMBAHASAN ... 62

5.1 Kompetensi Perawat ... 62

5.2 Kerja Tim ... 64

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1 Kesimpulan ... 70

6.2 Saran ... 70


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Aspek Pengukuran Variabel Kompetensi Perawat Dan Kerja Tim ... 49

3.2 Aspek Pengukuran Variabel Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap . 50 4.1 Distribusi karakteristik responden di ruang rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung ... 53

4.2. Distribusi Responden menurut kompetensi teknis... 54

4.3. Distribusi responden menurut kompetensi perilaku... 54

4.4. Distribusi Responden Menurut Kerjasama ... 55

4.5. Distribusi Responden Menurut Kepercayaan... 55

4.6. Distribusi responden menurut kekompakan... 56

4.7. Distribusi responden menurut kinerja perawat pelaksana... 57

4.8. Distribusi Responden Menurut Kompetensi Teknis Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 57

4.9. Distribusi Responden Menurut Kompetensi Perilaku Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 58

4.10. Distribusi Responden Menurut Kerjasama Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 59

4.11. Distribusi Responden Menurut Kepercayaan Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 59

4.12. Distribusi Responden Menurut Kekompakan Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap ... 60


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Konsep ... 40 4.1 Struktur Organisasi RSU Swadana Daerah Tarutung ... 52 5.1 Hubungan Antara Kohesi, Norma Kinerja dan Produktifitas


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuisioner Penelitian ... 74

2 Hasil Uji Validitas Reliabilitas ... 84

3 Hasil Analisis Data Univariat... 93

4 Hasil Analisis Data Bivariat... 95


(18)

ABSTRAK

RSU Swadana Daerah Tarutung telah menetapkan sistim pelayanan keperawatan dengan metode tim sejak tahun 2007, namun pelaksanaanya yang tidak konsisten menyebabkan pasien merasa kurang puas atas pelayanan yang diberikan oleh perawat rumah sakit rawat inap, sehingga mereka mencari tempat pelayanan kesehatan yang lain.

Survei dengan menggunakan pendekatan analitik dengan tipe explanatory bertujuan menganalisis pengaruh kompetensi perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim (kerjasama, kepercayaan, kekompakan) terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana rawat inap berjumlah 60 orang dan sampel adalah jumlah dari keseluruhan populasi. Data diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner; data dianalisis dengan menggunakan uji regresi berganda α = 0,05.

Hasil survei menunjukkan bahwa kerjasama (p = 0,038), kepercayaan (p = 0,017) memiliki pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap, sementara itu variabel yang lain yaitu kompetensi teknis (p = 0,316), kompetensi perilaku (p = 0,108) dan kekompakan (p = 0,875) tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung.

Disarankan kepada manajemen rumah sakit agar: (1) mengimplementasikan metode tim keperawatan yang sudah ditetapkan dilaksanakan secara konsisten. (2) menetapkan standar penerimaan pegawai yang berkompetensi baik meliputi

knowledge, attitude dan skill, (3) melaksanakan ketentuan kerja sama tanpa kompetisi di ruang rawat inap, (4) mengorganisir pelatihan outbond untuk meningkatkan kerjasama, kepercayaan dan kekompakan team work yang solid, (5) menjalankan sistim punishment dan reward bagi perawat rumah sakit.


(19)

ABSTRACT

The general hospital of Tarutung has determined nurse system service namely team work method since 2007, but it didn’t run well and making those patients felt unsatisfied with nurse service, that caused them found another health service.

Survey with analytic research by using explanatory approach was done to analyze the influence of nurse’s competence (technical competence, behavior competence) and team work (cooperation, belief, togetherness) on nurse’s performance. The population for this study were 60 nurses and sample were the total population. The data for this study were obtained through questionnaire; analyzed by using multiple regression test at α= 0, 05.

The result of the survey showed that cooperation (p = 0,038), belief (p = 0,017) had an influence on nurse’s performance meanwhile technical competence (p = 0,316), behavior competence (p = 0,108) and togetherness (p = 0,875) did not have any influence on nurse’s performance at the General Hospital of Tarutung.

It is suggested to the management of the general hospital of Tarutung: (1) to implement team work method consistently, (2) to determine standard quality in receiving officials who have competence including knowledge, attitude and skill, (3) to do rules cooperation without competition at the general hospital of Tarutung, (4) to organize outbound training to increase cooperation, belief and teamwork togetherness solidarity, (5) to carry out punishment and reward system for nurses.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Rumah sakit adalah salah satu bentuk sarana kesehatan yang berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau kesehatan rujukan serta upaya kesehatan penunjang. Pada masa kini perjalanan peran rumah sakit sebagai organisasi pelayanan kesehatan sedang memasuki lingkungan global yang kompetitif dan terus berubah. Perubahan lingkungan tersebut menurut Trisnantoro (2004), akan mendorong rumah sakit menjadi organisasi yang berciri multiproduk, sehingga membutuhkan pengelolaan yang tepat. Perkembangan terkini semakin mengarah ke kondisi rumah sakit sebagai lembaga usaha dengan berbagai konsep bisnis. Transisi ini yang mengakibatkan rumah sakit menjadi lembaga yang berkarakter sosial sekaligus ekonomi.

Kompleksnya sumber daya rumah sakit sebagai akibat meluasnya peran dan cakupan kegiatan suatu rumah sakit, memerlukan perhatian besar, perbaikan dan perubahan besar dalam sistem serta manajemennya. Jika dibandingkan dengan sumber daya lainnya, sumber daya manusia merupakan aset yang bernilai tinggi karena mempunyai potensi untuk terus tumbuh (Ilyas, 2002). Diantara SDM yang terlibat secara langsung dalam pemberian pelayanan kepada pasien rumah sakit, sekitar 40% adalah tenaga perawat dan bidan (DepKes R.I, 2002). Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan, sehingga kepentingan pelayanan keperawatan mempunyai arti penting bagi klien (pasien)


(21)

khususnya dalam proses penyembuhan maupun rehabilitasi di rumah sakit (Depkes RI, 2008). Kepuasan layanan bagi pasien di rumah sakit merupakan kinerja dari tenaga keperawatan.

Menurut As’ad (2000), kinerja adalah suatu hasil yang telah dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Sesuatu yang berpengaruh dengan yang dihasilkan seseorang dari perilaku kerjanya. Orang dengan tingkat kinerja yang tinggi disebut produktif, sebaliknya orang yang tingkat kinerjanya rendah, tidak mencapai standar dikatakan tidak produktif atau berkinerja rendah.

Kinerja sendiri dalam pekerjaan yang sesungguhnya, tergantung pada kombinasi antara kemampuan, usahanya, dan kesempatan. Kinerja ini dapat di ukur melalui keluaran atau hasilnya. Sims dan Szilagyi (1975), menyebutkan kinerja sebagai derajat atau tingkat dimana seseorang melakukan atau memutuskan pekerjaannya dalam kaitannya dengan ketentuan standar khusus atau pelaksanaan pekerjaan yang dapat diterima dari sebuah organisasi. Katz (cit. Smith dkk.,1983), mengidentifikasikan 3 tipe perilaku dasar yang harus ada agar sebuah organisasi dapat berfungsi dengan baik.

Berdasarkan uraian tersebut terdapat 2 hal yang bersangkutan dengan kinerja seseorang dalam menunjang keberhasilan fungsi organisasi, yaitu adanya kinerja yang bersangkutan dengan peran yang disyaratkan dalam organisasi, dan lain pihak ada kinerja yang di luar peran tersebut yang bersifat spontan. Podsakoff & Mac Kenzie (1993), menyebutkan konsep tersebut sebagai in-role performance.


(22)

Pengertian diatas dapat dianalogikan dengan pengertian produktivitas dan kooperasi. Produktivitas adalah berkaitan dengan fungsi formal organisasi seperti hal-hal yang menyangkut struktur otoritas, spesifikasi peran dan teknologi. Sedangkan kooperasi di satu pihak adalah perilaku yang mengacu pada pelayanan yang lebih pada pemeliharaan tujuan, untuk memelihara keseimbangan internal, termasuk didalamnya adalah perilaku prososial yang terjadi sehari-hari yang menyangkut akomodasi individual terhadap kebutuhan orang lain dalam pekerjaan yang sering disebut dengan kompetensi individu yang meliputi knowledge, skill dan attitude.

Kompetensi perawat pelaksana yaitu pengetahuan, keahlian dan perilaku pekerja akan menghasilkan mutu pelayanan yang baik. Peningkatan mutu tersebut tidak hanya penting secara internal, akan tetapi juga secara eksternal karena akan tercermin dalam interaksi organisasi dengan lingkungan yang pada gilirannya turut membentuk citra organisasi di mata berbagai pihak di luar organisasi. Tetapi secara aksiomatis bahwa SDM merupakan unsur yang paling strategik sebab memberdayakan SDM merupakan etos kerja yang sangat mendasar yang harus dipegang teguh oleh semua eselon manajemen dalam hirarki organisasi (Siagian, 2002).

Tenaga keperawatan merupakan ujung tombak dalam memberikan pelayanan di rumah sakit, karena perawat adalah provider yang selalu kontak selama 24 jam dengan pasien. Dengan demikian, peran perawat mutlak terpengaruh dengan kinerja mutu pelayanan sebuah rumah sakit. Persepsi masyarakat perawat sebagai “one of us”, yaitu orang yang berjasa, cekatan, perhatian kepada orang lain, bekerja dengan


(23)

hati, dapat dipercaya, bersahabat serta pekerja publik dan dapat dikatakan sebagai penghargaan tinggi bagi profesi perawat namun juga menjadi sebuah tanggung jawab besar untuk menjaga performance-nya dalam memberikan pelayanan kepada

customer secara profesional.

Manejemen sumber daya manusia termasuk di dalamnya tenaga perawat, pada hakikatnya merupakan bagian integral dari keseluruhan manajemen rumah sakit. Strategi manajemen sumber daya manusia adalah juga merupakan bagian integral dari strategi rumah sakit. Dengan pemahaman bahwa sumber daya manusia adalah aset utama rumah sakit, manajemen sumber daya manusia yang strategis memandang semua manajer pada tingkat apapun baik secara struktural maupun fungsional sebagai manajer sumber daya manusia, karena rumah sakit pada dasarnya merupakan organisasi layanan (Soeroso, 2003).

Keberhasilan sebuah rumah sakit sangat ditentukan oleh pengetahuan, keterampilan, kreativitas, dan motivasi staf dan karyawan. Berkaitan erat dengan upaya melakukan perbaikan secara terus menerus adalah peningkatan mutu hasil pekerjaan oleh semua orang dan segala komponen organisasi. Jika secara tradisional ditekankan pentingnya orientasi hasil untuk dianut oleh menajemen, dewasa ini lebih ditekankan lagi orientasi hasil kerja dengan mutu yang semakin tinggi. Hal ini perlu ditekankan karena ”kearipan konvensional” dalam dunia manajemen sangat ditekankan pentingnya mutu produk yang dihasilkan. Pada hal mutu tidak hanya berkaitan dengan produk yang dihasilkan dan dipasarkan, baik berupa barang maupun jasa, akan tetapi menyangkut segala jenis kegiatan organisasi terlibat. Berarti mutu


(24)

menyangkut semua jenis kegiatan yang diselenggarakan oleh semua satuan kerja, baik pelaksana tugas pokok maupun pelaksana tugas penunjang dalam organisasi.

Menurut Kehoe dan Bentley cara untuk membuat tim kerja yang baik adalah menggunakan model GRP (Goal, Roles, Procedures) = TPP yaitu Tujuan, Peranan, Prosedur sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan. Penggunaan model ini sebagai berikut: 1). Penetapan tujuan yaitu penjelasan tujuan kelompok dengan membuat kepastian atas kerja yang dicapai tim, tentukan ukuran pencapaian khususnya mengenai parameter kuantitas, kualitas, waktu, biaya atau keamanan kerja. 2). Penetapan peranan yaitu apabila tujuan sudah jelas, dipahami dan disetujui oleh semua anggota tim, selanjutnya dibuat keputuskan persetujuan atas siapa yang akan melakukan untuk membantu tim mencapai tujuanya. Para anggota tim harus jelas mengetahui tentang apa yang mereka saling harapkan diantara sesama anggota tim, sehingga setiap anggota dapat melaksanakan bagiannya dengan berhasil. 3). Penetapan prosedur yaitu mendapatkan persetujuan tentang bagaimana seharusnya tim itu berfungsi. Tentukan persetujuan tentang bagaimana keputusan-keputusan diambil, rapat-rapat apa akan dibutuhkan dan kapan, bagaimana konflik-konflik akan ditangani. Mencapai persetujuan atas bagaimana informasi yang relevan akan saling dikomunikasikan (Aditama, 2003).

Pada pelayanan kesehatan rumah sakit yang merupakan bagian integral adalah keperawatan. Sebab keperawatan adalah salah satu profesi di rumah sakit yang berperan penting dalam penyelenggaraan upaya menjaga mutu pelayanan di rumah sakit, seperti yang dikemukakan perawat legendaris Florence Nightingale bahwa


(25)

hospital should not harm the patients” dan di tahun 1859 dikatakan bahwa pelayanan keperawatan bertujuan untuk ”put patient in the best condition for nature act upon him.” Hal ini menunjukkan kepedulian yang mendalam dari seorang perawat terhadap pasien yang ditanganinya di rumah sakit (Aditama, 2003). Profesi keperawatan juga mempunyai standar dalam pekerjaan profesinya. Salah satu standar keperawatan menurut DPP PNI No.3/DPP/SK/I/1996 yaitu Standar Asuhan Keperawatan (SAK) di Rumah Sakit.

Rumah Sakit Umum Tarutung adalah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara dan satu-satunya rumah sakit yang ada di Tapanuli Utara dengan status kelas ”B” non pendidikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia No.1809/MENKES-KESSOS /SK/XII/2000, dengan jumlah tempat tidur 110 unit. Pada tahun 2003 sesuai Perda nomor 7 tahun 2003, Rumah Sakit Umum Tarutung berubah status menjadi RSU Swadana Daerah Tarutung. Status ”Swadana” sangat berpotensi menggeser rumah sakit pemerintah yang pada masa lalu hanya berorientasi pada fungsi sosial ke arah unit sosial ekonomi (Sabarguna dan Sumarni, 2003).

Tingkat penampilan rumah sakit berdasarkan standar dari Depkes RI menyebutkan nilai Bed Occupancy Rate (BOR) yang ideal adalah 60-85% (http:/www. yanmedik- depkes.or.id/kegPel/default .htmhome). RSU Swadana Daerah Tarutung berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam Medik bahwa pada tahun 2007 pencapaian BOR 90,80%, tahun 2008 berkurang menjadi 73,00%, namun masih dalam kategori ideal sesuai dengan standart Depkes RI.


(26)

Kondisi RSU Swadana Daerah Tarutung pada tahun 2008 mengalami penurunan sesuai perhitungan BOR rumah sakit sebesar 18,72% dari tahun 2007 ini diakibatkan adanya penurunan kinerja rumah sakit. Penurunan indikator kinerja RSU Swadana Daerah Tarutung sangat terpengaruh dengan kinerja pelayanan perawat, oleh karena selama 24 jam pasien rawat inap dibawah pengawasan perawat pelaksana di rumah sakit.

Penurunan kinerja RSU Swadana Daerah Tarutung menimbulkan berbagai fenomena. Fenomena yang terjadi pada RSU Swadana Daerah Tarutung didapat dari komite keperawatan bahwa masih adanya keluhan pasien, keluarga pasien tentang ketidakpuasan layanan yang diperoleh dari perawat pelaksana rawat inap seperti ketepatan pemberian obat-obatan, pemberian suntikan, kehadiran petugas tidak tepat waktu dan juga perawat pelaksana rawat inap kurang senyum dan kurang perhatian kepada pasien. Kondisi seperti ini dapat menurunkan kualitas pelayanan terhadap pasien di RSU Swadana Daerah Tarutung.

Menurut berita terbitan media cetak seperti: Aspirasi (20 Maret 2007), Metro Tapanuli (31 Mei 2008), Skala Indonesia (27 Agustus 2008) , Bonapasogit (Januari 2009) menerbitkan bahwa pelayanan RSU Swadana Daerah Tarutung pada tahun 2008 adanya penurunan, kondisi ini juga berdampak dari semakin menurunya pelayanan yang diberikan perawat pelaksana rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung. Pada sisi yang lain kualitas tenaga keperawatan tersebut berbanding lurus dengan tingkat pendidikan perawat yang ada, dimana pendidikan perawat pelaksana rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung yang berjumlah 60 orang belum ada yang


(27)

berlatar pendidikan sarjana masih memiliki tingkat pendidikan diploma III, sehingga pelayanan yang profesional tidak dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan oleh customer.

Praktek keperawatan yang ditetapkan di RSU Swadana Daerah Tarutung adalah sitim penugasan dengan metode tim, namun dalam pelaksanaanya adalah sesuai dengan kebutuhan tatanan rawat inap. Berdasarkan kebutuhan tersebut maka sitem penugasan pelayanan perawatan dengan metode tim dalam praktek pelayanan dilakukan sesuai dengan penugasan berdasarkan shift kerja yang telah ditetapkan oleh RSU Swadana Daerah Tarutung, pelaksanaan ronde keperawatan yang tidak optimal menimbulkan ronde perawat yang shift pagi tidak melaporkan secara rinci perkembangan kesehatan pasien termasuk seringnya perawat rawat inap operan hanya dilakukan di nursing station secara administrasi saja berdasarkan pengamatan penulis, hal ini menimbulkan perbedaan persepsi tentang kebutuhan pelayanan keperawatan dan pada akhirnya berdampak meningkatnya lama perawatan pasien

(lengt of stay).

Pihak manajemen diharapkan segera mengambil langkah cepat untuk merespon kondisi tersebut, hal ini mungkin diakibatkan kelemahan petugas perawat pelaksana rawat inap dalam pemberian asuhan keperawatan, pengetahuan tentang

Standard Operating Procedur (SOP) serta perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia yang belum sesuai terhadap kebutuhan rumah sakit seperti sistem


(28)

Praktek keperawatan tidak mungkin akan meningkat kecuali masalah dapat diidentifikasi dan dipecahkan. Wijono (2000), mengasumsikan bahwa karyawan sesungguhnya mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki ide-ide yang kreatif untuk memecahkan masalah-masalah dalam pekerjaannya. Untuk dapat memecahkan masalah tersebut karyawan membutuhkan cukup informasi, tanggung jawab dan wewenang serta kepercayaan dari manajer atau pimpinannya. Pada akhirnya karyawan akan merasakan kepuasan kerja dan lebih produktif bila mereka dibantu dengan menciptakan lingkungan kerja yang baik dengan mengurangi hambatan dalam pekerjaannya. Informasi-informasi yang up to date belum dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan karyawan khususnya perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung.

Menurut Gillies (2006), dalam rangka meningkatkan mutu manajemen keperawatan, maka rumah sakit seharusnya memiliki konsepsi dasar praktek manajemen keperawatan sebagai dasar praktek keperawatan yang dijabarkan dalam metode penugasan ruang rawat inap.

Pelayanan keperawatan rumah sakit secara umum menggunakan sitim penugasan yang terdiri dari metode fungsional, metode tim, metode primer, metode modular dan metode alokasi. RSU Swadana Daerah Tarutung telah menetapkan systim penugasan dengan menggunakan metode primer dimana metode primer berfungsi untuk merawat satu pasien di tangani oleh satu orang perawat mulai dirawat sampai pasien pulang, namun praktek keperawatan tidak menerapkan sistem penugasan dengan praktek keperawatan yang baku. Praktek keperawatan yang


(29)

berlangsung di RSU Swadana Daerah Tarutung adalah sesuai dengan kondisi di tatanan rawat inap, dimana terkadang menggunakan metode fungsional dan pada satu kesempatan yang lain menggunakan metode tim dan metode modular, sehingga sistim penugasan keperawatan yang kurang konsisten ini dapat menurunkan mutu pelayanan keperawatan.

Pelayanan keperawatan di rumah sakit sebaiknya melakukan sistim penugasan dengan metode Primer karena metode ini dapat mengevaluasi perkembangan asuhan keperawatan pasien secara berkesinambungan dan konsisten sehingga perawat pelaksana rawat inap bekerja secara profesional, namun metode ini dapat dilaksanakan jika perawat tersebut minimal memiliki pendidikan sarjana ataupun spesialisasi.

Penugasan perawat di RSU Swadana Daerah Tarutung belum memenuhi sitem penugasan dengan metode primer disebabkan karena jumlah SDM kurang memadai. Gambaran masalah tersebut tersirat kinerja pelayanan perawat pelaksana di rawat inap Rumah Sakit Umum Swadana Daerah Tarutung belum berjalan secara profesional. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan kompetensi keperawatan yang menjadi bagian dari kinerja perawat di rumah sakit.

Pembentukan kompetensi seseorang diyakini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu 1). faktor internal, yang merupakan faktor bawaan bersifat genetik dan 2). faktor eksternal yaitu faktor yang mempengaruhi perkembangan kompetensi seseorang secara akumulatif sejak kecil seperti pendidikan dan pengalaman yang diperoleh orang tersebut selama hidupnya. Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang


(30)

memiliki kecenderungan untuk menggunakan intelegensi dan emosi pada titik keseimbangan tertentu, sehingga pengaruh antara kompetensi dan kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi sangat bermanfaat untuk pengembangan kompetensi seseorang. Apabila seseorang ingin merubah kompetensinya, dia harus mampu merubah cara berpikirnya terutama dalam menggunakan kemampuan intelegensi serta mengendalikan emosinya. Goleman et. Al (2002), mengelompokkan kompetensi sesuai dengan wilayah kecerdasan emosi yang dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:

1. Kompetensi personal (Personal Competence) 2. Kompetensi Sosial (Social Competence).

Kedua kompetensi inilah yang mengendalikan kecerdasan intelegensi sehingga dapat memanajemen diri sendiri dan memanajemen relasi (Hutapea, 2008).

Para perawat pelaksana rawat inap di Rumah Sakit Umum Swadana Daerah Tarutung sebagai kinerja utama di bidang pelayanan pasien yang berperanan penting dalam penyelenggaraan upaya menjaga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit perlu diteliti, sebab kompetensi para perawat pelaksana merupakan interaksi manusia dengan lingkungan kerja yang akan mengefektifkan penggunaan pengetahuan dan keterampilan untuk pencapaian target kerja. Kondisi ini perlu ditangani secepat mungkin oleh komite keperawatan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam melaksanakan tugas yaitu membantu direktur menyusun standar keperawatan, pembinaan asuhan keperawatan, melaksanakan pembinaan etika profesi keperawatan dalam upaya mengantisipasi semakin banyaknya pasien mengeluh tentang pelayanan


(31)

yang diberikan perawat pelaksana rawat inap dan semakin rendahnya jumlah kunjungan pasien memilih pelayanan pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit Umum Swadana Daerah Tarutung.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas disimpulkan yang menjadi masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kompetensi perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim (kerjasama, kepercayaan, kekompakan), terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh kompetensi perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim (kerjasama, kepercayaan, kekompakan), terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung.

1.4Hipotesis

1. Ada pengaruh yang positif antara kompetensi perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung.


(32)

2. Ada pengaruh yang positif antara kerja tim (kerjasama, kepercayaan, kekompakan) terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung.

1.5Manfaat Penelitian

1. Bagi manajemen rumah sakit yaitu mendapatkan informasi tentang kompetensi perawat (kompetensi teknis, kompetensi perilaku) dan kerja tim (kerjasama, kepercayaan, kekompakan) perawat pelaksana rawat inap RSU Swadana Daerah Tarutung yang masih perlu ditingkatkan untuk mencapai indikator pelayanan dalam asuhan keperawatan.

2. Bagi peneliti adalah menambah wawasan dalam aplikasi keilmuan di bidang administrasi khususnya keperawatan RSU Swadana Daerah Tarutung.

3. Bagi peneliti selanjutnya, secara ilmiah hasil penelitian ini diharapkan sebagai referensi.


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja Perawat

Kinerja secara umum dipahami sebagai suatu catatan keluaran hasil pada suatu fungsi jabatan kerja atau seluruh aktivitas kerjanya, dalam suatu periode waktu tertentu. Secara lebih singkat kinerja disebutkan sebagai suatu kesuksesan di dalam melaksanakan suatu perkerjaan (As’ad, 2000).

Kinerja sendiri dalam pekerjaan yang sesungguhnya, tergantung pada kombinasi antara kemampuan, usahanya, dan kesempatan. Kinerja ini dapat di ukur melalui keluaran atau hasilnya. Sims dan Szilagyi (1975), menyebutkan kinerja sebagai derajat atau tingkat dimana seseorang melakukan atau memutuskan pekerjaannya dalam kaitannya dengan ketentuan standar khusus atau pelaksanaan pekerjaan yang dapat diterima dari sebuah organisasi.

Katz (cit. Smith dkk., 1983) mengidentifikasikan 3 tipe perilaku dasar yang harus ada agar sebuah organisasi dapat berfungsi dengan baik, yaitu: 1). Seseorang harus dibuat untuk memasuki dan selalu berada dalam sistem 2). Mereka harus menjalankan peran-peran khusus yang disyaratkan dengan cara-cara yang telah ditentukan, 3). Harus ada aktivitas spontan dan inovatif yang berjalan diluar peran yang telah ditentukan.

Berdasarkan uraian tersebut terdapat 2 hal yang bersangkutan dengan kinerja seseorang dalam menunjang keberhasilan fungsi organisasi, yaitu adanya kinerja


(34)

yang bersangkutan dengan peran yang disyaratkan dalam organisasi, dan lain pihak ada kinerja yang di luar peran tersebut yang bersifat spontan.

Podsakoff & Mac Kenzie (1993) menyebutkan konsep tersebut sebagai in-role performance, yang dapat dianalogikan dengan pengertian produktivitas dan koperasi. Produktivitas adalah berkaitan dengan fungsi formal organisasi seperti hal-hal yang menyangkut struktur otoritas, spesifikasi peran, dan teknologi. Sedangkan kooperasi di satu pihak adalah perilaku yang mengacu pada pelayanan yang lebih pada pemeliharaan tujuan, untuk memelihara keseimbangan internal, termasuk didalamnya adalah perilaku prososial yang terjadi sehari-hari yang menyangkut akomodasi individual terhadap kebutuhan orang lain dalam pekerjaan. Terminologi yang kemudian digunakan dalam mendeskripsikan kooperasi ini adalah

Organizational citizenship behaviour atau perilaku anggota organisasi. Sehubungan dengan sifatnya yang berada di luar peran formal yang disyaratkan dalam organisasi, maka tidaklah mudah untuk memaksakan pelaksanaannya kepada seseorang melalui ancaman sanksi. Lebih dari itu, pengembangan dan pengendaliannya tidak dapat dengan mudah dilakukan melalui perencanaan insentif individual, karena perilaku-perilaku tersebut sering sulit digambarkan dan sulit diukur secara pasti.

Organ (cit. Podsakoff dkk., 1990) menyebutkan ada lima macam perilaku yang diidentifikasi sebagai perilaku anggota organisasi, yaitu : 1). Mementingkan orang lain (alturism) yaitu perilaku kehendak hati yang memiliki perasaaan ingin membantu orang lain yang mempunyai kesulitan atau masalah yang berkaitan dengan organisasi. 2). Ketelitian (conscientiousness) yaitu perilaku kehendak hati pada


(35)

sebagian karyawan yang bekerja dengan baik melebihi ketentuan peran minimum organisasi, dalam hal kehadiran, mematuhi aturan, pengambilan istirahat, dan sebagainya. 3). Lapang dada (sportmanship) yaitu kemauan karyawan menerima keadaan kurang ideal tanpa mengeluh, menghindari pengaduan, balas dendam, dan menghindari keributan. 4). Keramahan (courtesy) yaitu perilaku kehendak hati pada sebagian karyawan yang mengarah pada mencegah persoalan dengan orang lain yang berkaitan dengan pekerjaannya. 5). Kesopanan (civic virtue) yaitu perilaku pada sebagian karyawan yang menunjukkan bahwa ia mau berpartisipasi dan terlibat di dalam, atau peduli tentang jalannya organisasi.

Smith dkk. (1983), menyebutkan beberapa faktor penentu perilaku anggota organisasi tersebut, antara lain adalah : tingkat kepuasan kerja seseorang, dan perilaku pendukung yang diberikan atasannya. Sedangkan perbedaan-perbedaan individu, maupun lingkungan terlihat tidak berpengaruh secara langsung, namun melalui kepuasan kerja. Hal ini dikemukakan pula oleh Podsakoff & Mac Kenzie (1993). Namun peneliti lain, yaitu Basu & Green (1997), menyatakan bahwa perilaku pemimpin yang transformasional mempunyai pengaruh yang negatif terhadap perilaku inovatif bawaan, Smith dkk.(1993) dikategorikan sebagai anggota organisasi.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa nampaknya bawahanpun dapat dibedakan menjadi transformasional dan transaksional, sebagai bagian dari pimpinannya, namun peneliti-peneliti lain menyebutkan bahwa tidak dapat dibedakan antara dua konsep tersebut.


(36)

Berdasarkan beberapa pendapat ahli yang telah diuraikan diatas, maka disimpulkan bahwa perilaku pemimpin adalah karakteristik atau perilaku seseorang yang menyebabkan ia dapat menjadi efektif dalam menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin. Selain itu konsep perilaku pemimpin transformasional dan transaksional bukanlah suatu konsep yang berlawanan satu sama lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, melainkan saling melengkapi.

Faktor struktural menunjukkan pengaruh kinerja. Diantara faktor yang lebih menonjol adalah persepsi peran, norma, ketidakselarasan status, ukuran kelompok, susunan demografinya, tugas kelompok, dan kohesivitas. Sehingga ada pengaruh positif antara persepsi peran dan evaluasi kinerja terhadap karyawan. Kadar keselarasan yang ada antara karyawan dan atasannya mengenai persepsi atas pekerjaan karyawan itu mempengaruhi kadar sejauh mana karyawan itu akan dinilai sebagai pekerja yang efektif oleh atasannya. Selama persepsi peran karyawan itu memenuhi pengharapan peran dari sang atasan, karyawan itu akan menerima evaluasi kinerja yang lebih tinggi.

Norma mengendalikan perilaku anggota kelompok dengan menegakkan standar-standar mengenai apa yang benar dan salah. Jika para manajer mengetahui norma kelompok tertentu, perilaku anggota-anggotanya bisa lebih dipahami. Bila norma mendukung output yang tinggi, para manajer dapat mengaharapkan kinerja individual akan lebih jauh lebih tinggi dari pada bila norma kelompok bertujuan membatasi output. Sama halnya, norma-norma yang mendukung perilaku antisosial meningkatkan kemungkinan para individu terkait ke dalam kegiatan kinerja yang


(37)

menyimpang dan ketidaksetaraan status menciptakan frustasi dan dapat berakibat buruk dalam mempengaruhi produktivitas dan keinginan untuk tetap berada dalam organisasi. Diantara individu-individu yang peka terhadap kesetaraan ( equity-sensitive), sangat mungkin bahwa ketidakselarasan (koigmensi) akan menyebabkan surutnya motivasi dan meningkatnya pencarian cara-cara untuk mewujudkan kesetaraan.

Pada organisasi rumah sakit, perawat adalah salah satu pemegang peran utama dalam penentuan keberhasilan organisasi. Keberhasilan pelayanan rumah sakit akan ditentukan oleh kinerja perawat yang merupakan faktor penentu keberhasilan akhir dari pelayanan yang diterima oleh pasien. Dalam kaitannya dengan budaya adi layanan, maka peran kinerja perawat yang dapat memenuhi kriteria tersebut, akan sangat mendukung keberhasilan rumah sakit.

Tugas utama seorang perawat sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan organisasi adalah melaksanakan asuhan keperawatan kepada pasien, sesuai dengan standar asuhan keperawatan (Depkes RI, 1994). Di dalam penjabarannya disebutkan: asuhan keperawatan yang diberikan haruslah sesuai dengan falsafah keperawatan, menggunakan pendekatan proses keperawatan dan pelaksanaan pemenuhan kebutuhan pasien. Untuk menilai sejauh mana perawat telah menjalankan tanggung jawab dan untuk memberikan umpan balik bagi perawat, maka perlu dilakukan pengukuran tehadap kinerja perawat. Namun kesemuanya itu harus diarahkan untuk meningkatkan motivasi kerja perawat.


(38)

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah suatu catatan tentang hasil seluruh aktivitas kerja seseorang dalam periode waktu tertentu. Kinerja seseorang dalam menunjang keberhasilan organisasi dapat dibedakan menjadi kinerja berkaitan dengan peran formalnya dalam organisasi dan kinerja yang tidak berkaitan langsung dengan peran atau di luar peran formalnya dalam organisasi.

2.2. Kompentensi Perawat

Kompetensi perawat terdiri dari kompetensi teknis dan kompetensi perilaku. Agar seseorang memiliki kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya, dia harus memanfaatkan secara optimal kedua komponen utama kompetensi tersebut. Sehingga ia memiliki kompetensi yang sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh pekerjaannya. Apabila dilihat kompetensi teknis atau kompetensi perilaku secara terpisah, dengan hanya memiliki salah satu kompetensi tersebut belumlah cukup bagi seseorang untuk mampu melakukan pekerjaan dengan prestasi yang luar biasa secara konsisten. Seseorang yang memiliki kompetensi teknis yang baik mampu mengerjakan suatu perkerjaan secara teknis, namun hal tersebut belum menjamin orang tersebut dapat berprestasi secara berkesinambungan, karena untuk melaksanakan perkerjaan dengan baik orang juga mampu berinteraksi dengan lingkungan di sekitar pekerjaan tersebut (Hutapea, 2008).


(39)

Kompetensi teknis adalah kompetensi yang berfokus pada pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan profesi yang dimiliki. Bila kompetensi teknis ini tidak dimiliki oleh karyawan maka pekerjaan tidak dapat dilakukan secara profesional. Selain kompetensi teknis yang dimiliki maka kompetensi perilaku harus juga dimiliki karyawan. Karena seseorang yang memiliki kompetensi pengetahuan dan keterampilan saja maka dia mampu melakukan pekerjaan. Kemampuan tersebut tidak termasuk kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja, menerima tantangan kerja dan berperilaku produktif (Hatikah, et.al, 2004).

2.2.2 Kompetensi Perilaku

Perilaku yang digambarkan dalam kompetensi adalah perilaku kerja produktif (bukan perilaku umum) dan seseorang dapat memiliki dan memeragakan perilaku tersebut pada saat melaksanakan perkerjaan, dapat disimpulkan bahwa penerapan kompetensi perilaku tersebut sudah mencakup keseluruhan komponen utama kompetensi. Perilaku produktif di tempat kerja, seseorang harus memiliki kemampuan teknis untuk melaksanakan pekerjaannya. Apabila orang tersebut tidak mampu mengerjakan pekerjaannya secara teknis, maka akan mengalami kendala untuk memeragakan kompetensi perilakunya. Sebagai contoh, perilaku berorientasi pada pencapaian hasil adalah sebuah kompetensi perilaku, yang berarti keinginan yang kuat untuk bekerja dengan baik atau berkompetensi untuk mencapai hasil dengan standar terbaik. Keinginan tersebut harus tercermin dalam perilakunya pada


(40)

saat melaksanakan pekerjaan. Perilaku tersebut bukan merupakan perilaku yang umum, melainkan perilaku kerja produktif, yaitu perilaku yang muncul dari orang-orang yang memiliki kompetensi berorientasi pada pencapaian hasil pada saat mereka bekerja. Agar mampu menunjukkan keinginan kuat mereka untuk mencapai hasil yang terbaik pada saat mereka bekerja, tentunya orang-orang tersebut harus telah memiliki kompetensi dasar yang lain, yaitu pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan teknisnya. Jika tidak, bagaimana mereka bisa menunjukkan sikap ”beriorentasi untuk mencapai hasil yang terbaik” apabila mereka belum mampu mengerjakan pekerjaan mereka secara teknis.

Permasalahan yang sering terjadi di perusahaan menggunakan kompetensi perilaku tanpa menata terlebih dahulu sistem sumber daya manusia yang mereka miliki saat itu. Misalnya dengan memastikan lebih dulu apakah semua karyawannya telah memenuhi persyaratan jabatan atau pekerjaan secara teknis atau belum. Apabila belum, kekurangmampuan mereka secara teknis akan mengakibatkan sipemangku jabatan tidak mampu memunculkan perilaku produktifnya (Hutapea, 2008).

Perilaku yang sifatnya umum seperti sikap setia dan jujur adalah bukan perilaku kerja produktif karena perilaku tersebut tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan prestasi kerja. Perilaku jujur dan setia tidak selalu dimiliki oleh orang yang produktif dan tidak ada kaitannya dengan prestasi seseorang. Ada orang jujur dan setia namun tidak berprestasi dalam bekerja. Ada pula orang yang berprestasi dalam bekerja tetapi tidak berperilaku jujur atau setia (Robbins, 2003).


(41)

Kompetensi teknis dan kompetensi perilaku bagi perawat pada rumah sakit dituntut harus profesional. Makan pengetahuan tentang asuhan keperawatan, dalam menentukan dan meningkatkan mutu Asuhan Keperawatan diperlukan suatu alat ukur yaitu Standar Asuhan Keperawatan (SAK) yang baku. Melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 660 /Menkes /SK/XI/1987, diperkuat SK Dirjen Yanmed No.YM.00.03.2.6.7637 tanggal 18 Agustus 1993 dan SK Depkes 1997 mulai diberlakukannya Standar Asuhan Keperawatan sebagai proses asuhan keperawatan. Standar Asuhan Keperawatan terdiri atas 3 instrumen, yaitu Instrumen A untuk menilai kelengkapan pendokumentasian Asuhan Keperawatan yang dilakukan perawat, Instrumen B digunakan untuk menilai persepsi pasien/keluarga terhadap mutu asuhan keperawatan di Rumah Sakit dan Instrumen C digunakan untuk mengobservasi pelaksanaan kegiatan keperawatan yang sedang dilakukan perawat.

Indikator standar asuhan keperawatan adalah pemberdayaan proses keperawatan meliputi standart: 1) Pengkajian perawatan: data di anamnesa, untuk menegakkan diagnosa keperawatan, 2) Diagnosa keperawatan: respon pasien yang dirumuskan berdasarkan data status kesehatan pasien, 3) Perencanaan keperawatan: disusun sebelum melaksanakan tindakan, 4) Implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan : ditentukan dengan maksud agar kebutuhan pasien dipenuhi secara maksimal, 5) Evaluasi Perawat : dilakukan secara periodik dari semua tindakan dan rencana tindakan yang tidak terlaksana (Retnowati, 2005).


(42)

1. Pengkajian

Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta merumuskan diagnosis keperawatan. Data yang dikumpulkan berguna untuk menentukan aktivitas keperawatan dan juga sebagai sumber data bagi profesi yang lain. Pertukaran data antar profesi sangat penting dalam peningkatan kualitas dan keabsahan pelayanan kesehatan. Perawat sering mengutamakan pengkajian fisiologis dan mengabaikan fisikologis, sosiobudaya, perkembangan, spiritual dan interaksi. Dari kelima area pengkajian tersebut sangat diperlukan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan klien serta dalam membantu klien mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Keliat, 1994).

Perawat harus mempunyai kemampuan : Komunikasi efektif, observasi yang sistematik, pemeriksaan fisik, interpretasi masing masing gejala indentifikasi pola interaksi, untuk dapat melakukan pengkajian yang akurat.

2. Diagnosa keperawatan.

Setelah melakukan pengkajian langkah selanjutnya adalah penegakan diagnosa keperawatan berdasarkan data yang telah didapatkan. Diagnosa keperawatan adalah pernyataan menjelaskan status kesehatan atau masalah yang ada pada pasien baik aktual, resiko tinggi dan potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mensintetis data klinis dan menentukan tindakan keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan atau mencegah masalah kesehatan klien yang ada pada tanggung jawabnya (Carpenito, 1983).


(43)

3. Perencanaan tindakan keperawatan

Setelah merumuskan diagnosis keperawatan, maka tindakan dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang terdiri dari: 1. Menentukan prioritas diagnosis keperawatan. 2. Menetapkan sasaran (goal) dan tujuan objektif. 3. Menetapkan kriteria evaluasi. 4. Merumuskan tindakan dan aktivitas keperawatan (Keliat, 1994). Tindakan keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien. Pendekatan dalam penyusunan dan tindakan keperawatan berorientasi pada tujuan, rencana tindakan dan rasional.

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah aplikasi dari rencana tindakan keperawatan yang disusun oleh perawat dan dilakukan pada klien, yang menjadi petunjuk pada pelaksanaan adalah sebagai berikut: 1). Tindakan dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi. 2). Keterampilan interpersonal, intelektual dan teknikal dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat. 3). Keamanan fisik dan psikologis dilindungi. 4). Dokumentasi tindakan dan renspon klien (Keliat, 1994).

5. Evaluasi

Evaluasi dilakukan setelah seluruh tindakan keperawatan yang telah disusun pada perencanaan telah dilakukan pada pasien. Untuk mengukur kemajuan dan keberhasilan tindakan keperawatan yang telah dilakukan apakah berhasil atau


(44)

tidak terhadap status kesehatan pasien maka dapat dinilai melalui proses perawatan dengan metode evaluasi.

Evaluasi adalah penilaian atau pengukuran tentang status kesehatan pasien setelah tindakan perawatan dilaksanakan (Keliat, 1994). Pendekatan evaluasi proses perawatan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu; 1). Evaluasi formatif yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat proses perawatan masih berlangsung artinya evaluasi ini dilakukan pada saat tindakan masih berlangsung. 2). Evaluasi sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat proses keperawatan telah selesai semua dilakukan artinya seluruh tindakan yang ada telah dilakukan terhadap pasien kemudian dilaksanakan evaluasi. Tehnik pelaksanaan evaluasi beriorentasi kepada data subjektif, data objektif, analisa dan perencanaan / tindak lanjut. Dengan demikian secara teknis yang dituliskan pada pendokumentasian proses perawatan pada tahap evaluasi adalah semua data subjektif, data objektif, analisa (kesimpulan dari data subjektif dan objektif) serta perencanaan berdasarkan hasil analisa.

2.3 Kerja Tim

Kerja tim adalah keefektipan didalam realitas kesalingtergantungan atau sinergi. Ekologi adalah kata yang pada dasarnya menggambarkan sinergisme dalam alam dan segalanya berpengaruh dengan yang lain. Didalam pengaruh inilah kekuatan kreatif dimaksimumkan seperti pengaruh dari bagian-bagian juga merupakan kekuatan didalam menciptakan budaya sinergistik di dalam sebuah keluarga atau


(45)

organisasi. Sebab semakin murni keterlibatan tersebut, semakin tulus dan terus-menerus partisipasinya dalam menganalisis dan memecahkan masalah, semakin besar pelepasan kreatifitas setiap orang dan komitmen mereka pada apa yang mereka ciptakan. Jadi sinergi adalah kerja tim, pembinaan tim, pengembangan kesatuan dan kreatifitas dengan manusia lain (Stephen, 1994).

Menurut William (2000), kerja tim adalah kemampuan untuk bekerja sama menuju suatu visi yang sama, kemampuan mengarahkan pencapaian individu kearah sasaran organisasi. Itulah rangsangan yang memungkinkan orang bisa mencapai hasil yang luar biasa.

Menurut Kasali (1998), teamwork (kerjasama) dalam kelompok adalah suatu pengembangan dari manajemen strategi yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau insitusi. Kelompok merupakan unit yang fundamental dari unit organisasi dalam pengertian manajemen disebut sebagai dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Sifat saling mempengaruhi ini bisa formal dan informal, yang bersifat formal sebahagian besar meliputi kelompok komando yang terdiri dari manajer dan bawahannya. Sedangkan yang bersifat informal timbul secara spontan dalam lingkungan organisasi formal, tanpa dorongan manajemen.

Sebahagian orang menyatakan bahwa dalam lingkungan organisasi atau lingkungan kerja jarang terjadi bahwa keberhasilan merupakan hasil dari bakat satu individu saja. Dalam konsep manajemen yang berlaku adalah getting done with and through people. Secara gambling, pimpinan mencapai tujuan bersama dengan dukungan bawahan. Pada suatu organisasi keberadaan tim struktural dan fungsional


(46)

merupakan suatu jalan untuk meningkatkan produktifitas pendayagunaan sumberdaya secara efektif, penghematan biaya, peningkatan mutu dan sebagainya. Disebutkan bahwa kelompok akan lebih merasakan keberhasilannya apabila bekerja dan menjadi unit yang lebih produktif yaitu tim atau kelompok kerja.

Kasali (2000), menyatakan bahwa” teamwork is the ability to work together toward a common vision; The ability to direct individual accomplishment toward organizational objectives. It is the fuel that allows common people to attain uncommon rezulf”. Hasil kerja sebuah tim biasa menjadi tidak lagi seperti biasa, artinya bisa istimewa atau sebagai hasil yang dramatis. Keberhasilan sebuah tugas akan lebih meningkat produktivitasnya apabila orang bersedia bekerja dalam sebuah tim, dengan menetapkan iklim hingga orang bersedia memberikan yang terbaik dari dirinya. Ada beberapa hal yang menunjukkan betapa posisi anggota dari sebuah tim bias disebut antara lain:

1. Para anggota mengerti dengan baik tujuan tim dan hanya dapat dicapai dengan baik pula dengan bersama dan oleh karena itu mempunyai rasa saling ketergantungan, rasa saling memiliki tim dengan tugas pekerjaanya.

2. Para anggota menyumbang keberhasilan tim dengan menerapkan bakat dan pengetahuannya untuk sasaran tim, dapat bekerja secara terbuka, dapat mengekpresikan gagasan, opini dan ketikdaksepakatan, peranan dan pertanyaannya disambut dengan baik.


(47)

3. Para anggota berusaha mengerti sudut pandang satu sama lain, didorong untuk mengembangkan keterampilannya dan menerapkan pada pekerjaan, untuk itu mendapat dukungan dari tim.

4. Para anggota mengakui bahwa konflik adalah hal yang normal, atau hal yang biasa, dan berusaha memecahkan konflik tersebut dengan cepat dan konstruktif (bersifat memperbaiki).

5. Para anggota berpartsipasi dalam keputusan tim, tetapi mengerti bahwa pemimpin mereka harus membuat peraturan akhir setiap kali tim tidak berhasil membuat suatu keputusan dan peraturan akhir itu bukan merupakan persesuaian.

Menurut Robert (2005), komponen kerja tim terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu:

1. Kerjasama

Kerjasama dalam tim kerja menjadi sebuah kebutuhan dalam mewujudkan keberhasilan kinerja dan prestasi kerja. Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi suatu daya dorong yang memiliki energi sinergitas bagi individu-individu yang tergabung dalam kerja tim. Tanpa kerja sama yang baik tidak akan memunculkan ide-ide cemerlang. Keberhasilan suatu tim maupun individu sangat berpengaruh erat dengan kerja sama tim yang dibangun dengan kesadaran pencapaian prestasi dan kinerja. Dalam kerja sama akan muncul berbagai penyelesaian yang secara individu tidak terselesaikan. Keunggulan yang dapat diandalkan dalam kerja sama pada kerja tim adalah munculnya berbagai penyelesaian secara sinergi dari berbagai individu yang tergabung dalam kerja tim. Individu dikatakan bekerja


(48)

sama jika upaya-upaya dari setiap individu secara sistematis terintegrasi untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Semakin besar integrasinya semakin besar tingkat kerjasamanya.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), kerja sama memiliki 3 (tiga) keunggulan yaitu: 1). Kerja sama lebih unggul dibandingkan dengan kompetisi dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas. 2). Kerja sama lebih unggul dibandingkan upaya-upaya individualistis dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas. 3). Kerja sama tanpa kompetisi antar kelompok dapat meningkatkan prestasi dan produktivitas lebih tinggi dari pada kerja sama dengan kompetisi antar kelompok.

2. Kepercayaan

Kepercayaan sangat kuat di dalam sebuah perusahaan, orang-orang tidak akan berbuat terbaik jika mereka tidak percaya bahwa mereka akan diperlakukan secara adil, bahwa tak ada kronisme dan setiap orang memiliki sasaran yang nyata. Satu-satunya cara yang diketahui untuk menciptakan kepercayaan semacam itu adalah dengan menyusun nilai-nilai dan kemudian melakukan apa yang telah dibicarakan. Anda harus mengerjakan apa yang anda katakan akan anda buat, secara konsisten, sepanjang waktu.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005), ada beberapa cara untuk membangun dan menjaga kepercayaan, yaitu: 1). Komunikasi, menjaga agar anggota tim dan para karyawan mendapatkan informasi dengan menjelaskan kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan serta memberikan umpan balik yang akurat. Berterus


(49)

teranglah tentang masalah dan keterbatasan seseorang, katakan sebenarnya. 2). Dukungan, selalu bersedia dan mau didekati. Berikan bantuan, saran, nasehat dan dukungan untuk ide-ide anggota tim. 3). Rasa hormat, delegasi, dalam bentuk kewenangan pembuatan keputusan yang sebenarnya, merupakan ekspresi terpenting dari penghormatan manajerial. Secara aktif mendengarkan ide-ide orang lain adalah ekspresi terpenting kedua. (Pemberian kewenangan tak mungkin tanpa kepercayaan). 4). Keadilan, cepat dalam memberikan pujian dan pengakuan kepada individu yang berhak mendapatkan. Pastikan semua penilaian dan evaluasi kinerja objektif dan tidak memihak (tidak berat sebelah). 5). Dapat diprediksi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konsisten dan dapat diramalkan dalam masalah sehari-hari. Penuhi janji-janji anda baik yang ter-ucap maupun yang tersirat. 6). Kompetensi, singkatkan kredibilitas anda dengan memperlihatkan pemahaman bisnis yang lain, kemampuan teknis, dan profesionalisme.

Kepercayaan sangat kuat didalam sebuah perusahaan. Orang-orang tidak akan berbuat yang terbaik jika mereka percaya bahwa mereka akan diperlukan secara adil, tak ada kronisme dan setiap orang memiliki sasaran yang nyata. Satu-satunya cara untuk menciptakan kepercayaan semacam itu adalah dengan menyusun nilai-nilai yang patut sebagai bentuk tanggung jawab.

Menurut Williams (2000), bahwa ”Kepercayaan adalah keyakinan timbal balik pada niat dan perilaku orang lain”. Ketika melihat orang lain bertindak dengan cara-cara yang menyatakan bahwa mereka mempercayai kita, kita


(50)

menjadi lebih cenderung ingin bertimbal-balik dengan lebih mempercayai mereka. Sebaliknya, kita menjadi tidak mempercayai mereka yang tindakan-tindakannya tampak melanggar kepercayaan kita atau tidak mempercayai kita.

Kecenderungan untuk percaya, sebuah sifat kepribadian yang melibatkan keinginan umum seseorang untuk mempercayai orang lain. Kecenderungan akan mempengaruhi seberapa banyak kepercayaan yang dimiliki seseorang untuk orang yang dipercayai sebelum data pada orang tersebut tersedia. Orang-orang dengan pengalaman berkembang yang berbeda sangat berbeda dalam kecenderungan mereka untuk memberikan kepercayaan.

3. Kekompakan

Kekompakan (cohesiveness) adalah sebuah proses dimana rasa kebersamaan muncul untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dan motif-motif individual. Anggota-anggota dari kelompok yang kompak saling mendukung satu sama lain. Mereka enggan untuk meninggalkan kelompok. Para anggota kelompok terpadu melekat bersama untuk satu atau dua alasan berikut :

a. Karena mereka menikmati kebersamaan satu dengan yang lain, atau

b. Karena mereka membutuhkan satu sama lain untuk menyelesaikan sasaran bersama.

Alasan kedua kekompakan kelompok diidentifikasikan para psikologi menjadi dua, yaitu 1). Kekompakan Sosio-Emosional (Socio-Emotional Cohesiveness) adalah sebuah rasa kebersamaan yang berkembang ketika individu-individu mendapatkan kepuasan emosional dari partisipasi kelompok. 2). Kekompakan


(51)

Instrumental (Instrumental Cohesiveness) adalah sebuah rasa kebersamaan yang berkembang ketika para anggota kelompok sama-sama bergantung satu dengan yang lain karena mereka percaya bahwa mereka tak dapat mencapai sasaran kelompok dengan bertindak secara terpisah.

a. Pengaruh antara kekompakan kelompok dengan kinerja dan prestasi kerja, yaitu :

b. Terdapat sebuah dampak kekompakan sehingga kinerja yang kecil, namun secara statistik signifikan.

c. Dampak kekompakan kepada kinerja lebih kuat bagi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan kelompok pada dunia nyata (dibandingkan dengan kelompok-kelompok yang tersusun didalam penelitian).

d. Dampak kekompakan kinerja menjadi lebih kuat ketika orang bergerak dari kelompok bukan militer ke kelompok militer sampai ke tim olah raga.

e. Komitmen terhadap tugas yang dihadapi (berarti individu melihat standar-standar kinerja sebagai suatu hal yang berlaku) memiliki dampak paling kuat atas pengaruh kekompakan dan kinerja.

f. Pengaruh kinerja dengan kekompakan lebih kuat daripada pengaruh kekompakan dengan kinerja, jadi keberhasilan cenderung mengikat anggota-anggota kelompok atau tim bersama, lebih dari kelompok-kelompok yang terjalin erat yang lebih menjadi berhasil.

g. Kebalikan dengan pandangan umum, kekompakan bukan sebuah minyak pelicin, yang memperkecil gesekan karena kerikil manusia didalam sistem.


(52)

Pada dunia usaha, penggunaan kerja tim seringkali merupakan solusi terbaik untuk mencapai suatu kesuksesan. Kerja tim yang solid akan memudahkan manajemen dalam mendelegasikan tugas-tugas organisasi. Namun demikian untuk membentuk sebuah tim yang solid dibutuhkan komitmen yang tinggi dari manajemen. Hal terpenting adalah bahwa teamwork harus dilihat sebagai suatu sumber daya yang harus dikembangkan dan dibina sama seperti sumber daya lain yang ada dalam perusahaan. Proses pembentukan, pemeliharaan dan pembinaan

teamwork harus dilakukan atas dasar kesadaran penuh dari tim tersebut sehingga segala sesuatu berjalan secara normal sebagai suatu aktivitas sebuah teamwork,

meskipun pada kondisi tertentu manajemen dapat melakukan intervensi. Secara umum perkembangan suatu tim dapat dibagi 4 (empat) tahap, yaitu :

1. Forming, adalah tahapan dimana para anggota setuju untuk bergabung dalam suatu tim. Karena kelompok baru dibentuk maka setiap orang membawa nilai-nilai, pendapat dan cara kerja sendiri-sendiri. Konflik sangat jarang terjadi, setiap orang masih sungkan, malu-malu, bahkan seringkali ada anggota yang merasa gugup. Kelompok cenderung belum dapat memilih pemimpin (kecuali tim yang sudah dipilih ketua kelompoknya terlebih dahulu).

2. Storming, adalah tahapan dimana kekacauan mulai timbul di dalam tim. Pemimpin yang telah dipilih seringkali dipertanyakan kemampuannya dan anggota kelompok tidak ragu-ragu untuk mengganti pemimpin yang dinilai tidak mampu. Faksi-faksi mulai terbentuk, terjadi pertentangan karena masalah-masalah pribadi, semua ngotot dengan pendapat masing-masing. Komunikasi


(53)

yang terjadi sangat sedikit karena masing-masing orang tidak mau lagi menjadi pendengar dan sebagian lagi tidak mampu berbicara secara terbuka.

3. Norming, adalah tahapan dimana individu-individu dan sub-group yang ada dalam tim mulai merasakan keuntungan bekerja bersama dan berjuang untuk menghindari tim tersebut dari kehancuran (bubar). Karena semangat kerjasama sudah mulai timbul, setiap anggota mulai merasa bebas untuk mengungkapkan perasaan dan pendapatnya kepada seluruh anggota tim. Mekanisme kerja dan aturan-aturan main ditetapkan dan ditaati seluruh anggota.

4. Performing, tahapan ini merupakan titik kulminasi dimana tim sudah berhasil membangun sistem yang memungkinkannya untuk dapat bekerja secara produktif dan efisien. Pada tahap ini keberhasilan tim akan terlihat dari prestasi yang ditujukan. Ada dua keterampilan utama seharusnya dimiliki oleh anggota sebuah

tim work, yaitu 1). Keterampilan managerial (managerial skills), termasuk kemampuan dalam membuat rencana kerja, menentukan tujuan, memantau kinerja, memonitor perkembangan dan memastikan pekerjaan telah dilakukan secara benar, dan lain-lain. 2). Keterampilan interpersonal (interpersonal skills), termasuk kemampuan berkomunikasi, saling menghargai pendapat orang lain dan kemampuan menjalin pengaruh interpersonal dengan orang lain.

2.4 Kerjasama tim yang efektif

Tim adalah kumpulan orang. Apabila orang bergabung menjadi sebuah tim akan memiliki kebutuhan tertentu. Menurut Chang (2001), bahwa kebutuhan tersebut


(54)

mencakup : komunikasi yang efektif dan mendengarkan aktif, menyelesaikan konflik yang pasti muncul ketika orang bekerja dalam kelompok, dan menjaga motivasi diantara semua anggota tim.

Faktor-faktor yang disebutkan di atas belum mencakup semua faktor yang mempengaruhi dinamika anggota tim. Meskipun demikian, dengan memfokuskan pada faktor-faktor tersebut di atas, maka sebuah tim akan berada pada jalur yang tepat untuk mendapatkan semua manfaat dari sebuah tim kerja.

1. Komunikasi yang efektif;

Komunikasi adalah inti dari keberhasilan kerja sama tim. Komunikasi yang efektif adalah titik awal dari pemahaman, penafsiran, dan tindakan. Di lain pihak, komunikasi tim yang tidak efektif bisa mengarah pada kesalahpahaman, salah penafsiran, dan kekeliruan tindakan.

2. Mendengarkan aktif;

Komunikasi tim yang efektif melibatkan dua pihak yang bertanggung jawab pengirim dan penerima pesan. Teknik mendengarkan aktif seperti melakukan parafrase, merenungkan implikasi pesan, mengundang kontribusi, dan merenungkan perasaan yang mendasari pesan berkontribusi untuk menutup lingkaran komunikasi, memastikan bahwa anggota tim tidak hanya saling mendengar satu sama lain, tetapi juga mengkonfirmasikan pemahaman mereka, dan sebagai hasilnya, mengambil tindakan yang sesuai.


(55)

3. Mengatasi konflik;

Anggota tim sering memiliki pendekatan dan insting tersendiri dalam mengatasi konflik. Beberapa orang berusaha menghindari konflik, ada yang menghadapinya secara objektif, dan adapula yang menanggapinya secara emosional. Ketika anggota dalam suatu tim menggunakan campuran dari berbagai pendekatan ini, hasilnya bisa kontra produktif, sering hasilnya bukan mengatasi konflik, justru memperburuk konflik. Solusinya adalah tim harus menggunakan pendekatan yang efektif dan konsisten.

4. Keragaman anggota tim

Keragaman latar belakang anggota tim menghasilkan tantangan sekaligus peluang. Tantangan muncul ketika anggota tim keliru menafsirkan pesan atau tindakan orang lain atau memberi tanggapan dengan cara yang tidak diiinginkan. 5. Motivasi tim

Motivasi adalah spark plug kinerja tim yang menjadi inspirasi komitmen, inovasi, dan efektifitas tim, tetapi motivasi tidak bisa muncul begitu saja. Pemimpin dan anggota tim perlu menyadari faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi dan teknik yang bisa mereka gunakan untuk memajukan dan mempertahankan tingkat motivasi.

2.5 Landasan Teori

Perawat adalah seseorang yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan melaksanakan asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan


(56)

keperawatan. Untuk menghasilkan tenaga profesi telah dikembangkan program pendidikan yaitu program pendidikan D-III keperawatan menghasilkan ahli madya keperawatan sebagai profesional pemula atau tenaga profesi pemula yang memiliki sikap, tingkah laku dan kemampuan melaksanakan praktik keperawatan profesional dasar sederhana (basic professional nursing practice). Pendidikan pada tahap ini lebih menekankan penguasaan sikap dan keterampilan dalam bidang keprofesian dengan landasan pengetahuan yang memadai sehingga mampu melaksanakan asuhan keperawatan umum kepada masyarakat dengan berpedoman pada etika keperawatan. Dengan terciptanya pengaruh profesional perawat-klien, maka perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan atau praktisi keperawatan akan mendapat suatu kepercayaan (professional trust), dengan adanya kepercayaan tersebut perawat telah menunjukkan kemampuan dan kompetensinya kepada klien berupa kemampuan intelektual, keterampilan teknis dan sikap yang dilandasi etika profesi sehingga mampu membuat keputusan (judgement) secara profesional.

Malkemes, L.C (1983), mengatakan bahwa praktik keperawatan profesional (professional nursing practice) adalah suatu proses ketika nurse terlibat dengan klien, dan melalui kegiatan ini masalah kesehatan klien diindentifikasi dan diatasi.

Kompetensi yang tepat merupakan faktor menentukan keunggulan prestasi, dapat dimiliki oleh organisasi apabila organisasi tersebut memiliki fondasi yang kuat, yang tercermin pada seluruh proses yang terjadi dalam organisasi atau organisasi harus memiliki kompetensi inti (core competency) yang kuat dan sesuai dengan


(57)

bisnis inti (corebusiness) -nya. Kompetensi inti adalah kompetensi yang selayaknya dimiliki oleh semua anggota organisasi yang membuat organisasi tersebut berbeda dari organisasi lainnya. Kompetensi inti biasanya merupakan komponen pembentuk misi dan budaya organisasi. Kompetensi inti harus diperkuat oleh kompetensi departemen atau bagian yang ada di organisasi.

Kompetensi inti yang kuat, solid, serta sesuai dengan bisnis perusahaan akan mampu meningkatakan keunggulan kompetitif (competitive advantage) perusahaan serta menciptakan daya kreasi, inovasi, dan adaptasi perusahaan terhadap lingkungan. Tentunya hal ini harus didukung oleh pemilikan kompetensi individu yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan individu tersebut. Dalam dunia bisnis yang dinamis ini, individu tidak hanya dituntut untuk memiliki kompetensi teknis yang kuat, tapi juga kompetensi perilaku yang lebih menentukan kemampuan individu untuk berinteraksi dalam situasi lingkungan yang sering berubah tersebut (Hutapea, 2008).

Kemampuan individu atau kinerja individu dipengaruhi oleh faktor-faktor pengetahuan keterampilam, motivasi, dan peran individu yang bersangkutan. Kinerja individu mempengaruhi organisasi. Kinerja kelompok juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan karekteristik tim. Sementara kinerja organisasi dipengaruhi oleh beragam karakteristik organisasi. Untuk itu dalam menciptakan sistem manajemen kinerja yang efektif, peran menejer sangat menentukan (Mangkuprawira & Hubeis, 2007).


(58)

2.6. Kerangka Konsep

Peneliti untuk menghindari persepsi yang berbeda-beda terhadap beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu pembatasan variabel yaitu :

Variabel bebas dimana variabel bebas memiliki 2 sub variabel dan 1 variabel terikat. Variabel bebas; kompetensi perawat pelaksana rawat inap di RSU Swadana Daerah Tarutung. Sub variabel bebas; 1. Kompetensi teknis tentang asuhan keperawatan. 2. Kompetensi perilaku tentang asuhan keperawatan di RSU Swadana Daerah Tarutung.

Variabel terikat; kinerja perawat pelaksana rawat inap pada RSU Swadana Daerah Tarutung.

Kompetensi perawat pelaksana rawat inap adalah interaksi manusia dengan lingkungan kerja yang akan mengefektifkan penggunaan pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai terget kerja. Kompetensi perawat dan kerja tim saling mempengaruhi karena kerja tim adalah organisasi yang melibatkan anggota dari kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam hal inilah peranan kualitas asuhan keperawatan diharapkan dapat ditingkatkan, sebab perawat dapat mendemonstrasikan tanggung jawab dan tanggung gugatnya yang merupakan salah satu ciri profesi.


(59)

Gambar 2.1. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat

Sumber : Kompetensi plus, Hutapea Parulian,2006 dan Perilaku Organisasi, Robbins, stephen, 2006 (diolah) 2009.

Pengetahuan dan keterampilan tentang pelaksanaan tentang asuhan keperawatan merupakan kompetensi perawat yang disebut faktor kompetensi teknis yang dapat mempengaruhi kinerja perawat pelaksana dalam melaksanakan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa perawatan, perencanaan perawatan, pelaksanaan perawatan dan evaluasi. Selain kompetensi teknis maka kompetensi perilaku mempengaruhi kinerja tim sehinggga kompetensi ini dapat memberikan kontribusi dalam tugas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Kerja tim memiliki prosfektif untuk meningkatkan kemungkinan pemecahan masalah yang kreatif sehingga akan mempengaruhi kinerja. Kinerja tim dilihat dari 3 faktor yaitu kerjasama, kepercayaan dan kekompakan.

1. Kerjasama yaitu perbuatan melakukan suatu kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil dan prestasi kerja secara sistematis terintegrasi untuk mencapai suatu tujuan bersama. Kerjasama memiliki 3 keunggulan, menurut

-KOMPETENSI PERAWAT;

1. Kompetensi Teknis.

2. Kompetensi Perilaku. KINERJA PERAWAT

PELAKSANA RAWAT INAP

- KERJA TIM; 1. Kerjasama. 2. Kepercayaan. 3. Kekompakan.


(60)

(Kreitner dan Kinichi, 2005) yaitu : 1). Kerjasama lebih unggul dibandingkan dengan kompetensi dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas. 2).Kerjasama lebih unggul dibandingkan upaya-upaya individualistis dalam meningkatkan prestasi dan produktivitas. 3). Kerjasama tanpa kompetisi antara kelompok dapat meningkatkan prestasi dan produktivitas lebih tinggi dari pada kerjasama dengan kompetisi antara kelompok.

2. Kepercayaan adalah suatu proses ketergantungan historis yang didasarkan pada sampel-sampel pengalaman yang relevan namun terbatas. Ada 5 kunci yang melandasi konsep kepercayaan yaitu 1). Integritas. 2) Kompetensi. 3) Konsistensi. 4). Loyalitas. 5). Keterbukaan.

3. Kekompakan/kepaduan (Cohesiveness) adalah sebuah proses dimana rasa kebersamaan muncul untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dan motif-motif individual atau sejauhmana para anggota tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap didalam kelompok, maka pengaruh kepaduan dengan produktivitas tergantung pada norma-norma yang berkaitan dengan kinerja yang dibangun oleh kelompok. Apabila norma yang berpengaruh dengan kinerja itu tinggi, kelompok terpadu akan lebih produktif daripada kelompok yang kurang padu. Tetapi jika kepaduan itu rendah dan norma kinerja tinggi, produktivitas akan rendah, jika kepaduan rendah dan norma kinerja tinggi produktivitas meningkat, tetapi lebih sedikit dibanding dalam situasi dimana kepaduan tinggi, norma tinggi dan ketika kepaduan dan norma yang berpengaruh dengan kinerja rendah, produktivitas akan


(1)

2.

Analisis Pengaruh Kompetensi Perilaku dan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat

Inap.

Kategori Kompetensi Perilaku dan Kategori Kinerja Perawat Pelaksana Rawat

Inap.

Crosstabulation

Kategori Kinerja Perawat Tidak

Pernah Pernah Sering Sangat

Sering Selalu

Total

Count 0 0 0 0 0 0

Expected Count 0 0 0 0 0 0

Tidak

Pernah % within Kategori

Kompetensi Perilaku 0 0 0 0 0 0

Count 0 0 4 0 0 4

Expected Count 0 0 2,7 1,0 ,3 4,0

Pernah

% within Kategori

Kompetensi Perilaku 0 0 100,0% ,0% ,0% 100,0%

Count 0 0 28 10 1 39

Expected Count 0 0 26,0 9,8 3,3 39,0 Sering

% within Kategori

Kompetensi Perilaku 0 0 71,8% 25,6% 2,6% 100,0%

Count 0 0 8 3 1 12

Expected Count 0 0 8,0 3,0 1,0 12,0 Sangat

Sering % within Kategori

Kompetensi Perilaku 0 0 66,7% 25,0% 8,3% 100,0%

Count 0 0 0 2 3 5

Expected Count 0 0 3,3 1,3 ,4 5,0

Kategori Kompetensi Perilaku

Selalu

% within Kategori

Kompetensi Perilaku 0 0 ,0% 40,0% 60,0% 100,0%

Count 0 0 40 15 5 60

Expected Count 0 0 40,0 15,0 5,0 60,0 Total

% within Kategori

Kompetensi Perilaku 0 0 66,7% 25,0% 8,3% 100,0%

Chi-Square Tests

Value

df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square

23,518(a)

6

,001

Likelihood Ratio

19,267

6

,004

Linear-by-Linear Association

14,294

1

,000


(2)

3.

Analisis Pengaruh Kerjasama dan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap

Kategori Kerjasama dan Kategori Kinerja Perawat Perawat Pelaksana Rawat

Inap.

Crosstabulation

Kategori Kinerja Perawat Tidak

Pernah Pernah Sering Sangat Sering Selalu

Total

Count 0 0 0 0 0 0

Expected Count 0 0 0 0 0 0

Sangat baik

Sekali % within Kategori

Kerjasama 0 0 0 0 0 0

Count 0 0 0 1 1 2

Expected Count 0 0 1,3 ,5 ,2 2,0

Sangat

Baik % within Kategori

Kerjasama 0 0 ,0% 50,0% 50,0% 100,0%

Count 0 0 37 4 3 44

Expected Count 0 0 29,3 11,0 3,7 44,0 Baik

% within Kategori

Kerjasama 0 0 84,1% 9,1% 6,8% 100,0%

Count 0 0 3 10 1 14

Expected Count 0 0 9,3 3,5 1,2 14,0

Tidak

baik % within Kategori

Kerjasama 0 0 21,4% 71,4% 7,1% 100,0%

Count 0 0 0 0 0 0

Expected Count 0 0 0 0 0 0

Kategori Kerjasama

Sangat Tidak

baik % within Kategori

Kerjasama 0 0 0 0 0 0

Count 0 0 40 15 5 60

Expected Count 0 0 40,0 15,0 5,0 60,0 Total

% within Kategori

Kerjasama 0 0 66,7% 25,0% 8,3% 100,0%

Chi-Square Tests

Value

Df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square

28,972(a)

4

,000


(3)

4.

Analisis Pengaruh Kepercayaan dan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap

Kategori Kepercayaan dan Kategori Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap.

Crosstabulation

Kategori Kinerja Perawat Tidak

Pernah Pernah Sering Sangat Sering Selalu

Total

Count 0 0 0 0 0 0

Expected Count 0 0 0 0 0 0

Tidak

Pernah % within Kategori

Kepercayaan 0 0 0 0 0 0

Count 0 0 3 1 0 4

Expected Count 0 0 2,7 1,0 ,3 4,0

Pernah

% within Kategori

Kepercayaan 0 0 75,0% 25,0% ,0% 100,0%

Count 0 0 31 9 0 40

Expected Count 0 0 26,7 10,0 3,3 40,0 Sering

% within Kategori

Kepercayaan 0 0 77,5% 22,5% ,0% 100,0%

Count 0 0 6 2 1 9

Expected Count 0 0 6,0 2,3 ,8 9,0

Sangat

Sering % within Kategori

Kepercayaan 0 0 66,7% 22,2% 11,1% 100,0%

Count 0 0 0 3 4 7

Expected Count 0 0 4,7 1,8 ,6 7,0

Kategori Kepercayaan

Selalu

% within Kategori

Kepercayaan 0 0 ,0% 42,9% 57,1% 100,0%

Count 0 0 40 15 5 60

Expected Count 0 0 40,0 15,0 5,0 60,0 Total

% within Kategori

Kepercayaan 0 0 66,7% 25,0% 8,3% 100,0%

Chi-Square Tests

Value

df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square

30,195(a)

6

,000

Likelihood Ratio

26,886

6

,000

Linear-by-Linear Association

20,021

1

,000


(4)

5.

Analisis Pengaruh Kekompakan dan Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap

Kategori kekompakan dan Kategori Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap.

Crosstabulation

Kategori Kinerja Perawat Tidak

Pernah Pernah Sering Sangat Sering Selalu

Total

Count 0 0 0 0 0 0

Expected Count 0 0 0 0 0 0

Tidak

Pernah % within Kategori

kekompakan 0 0 0 0 0 0

Count 0 0 12 3 1 16

Expected Count 0 0 10,7 4,0 1,3 16,0

Pernah

% within Kategori

kekompakan 0 0 75,0% 18,8% 6,3% 100,0%

Count 0 0 25 8 0 33

Expected Count 0 0 22,0 8,3 2,8 33,0

Sering

% within Kategori

kekompakan 0 0 75,8% 24,2% ,0% 100,0%

Count 0 0 3 3 3 9

Expected Count 0 0 6,0 2,3 ,8 9,0

Sangat

Sering % within Kategori

kekompakan 0 0 33,3% 33,3% 33,3% 100,0%

Count 0 0 0 1 1 2

Expected Count 0 0 1,3 ,5 ,2 2,0

Kategori Kekompakan

Selalu

% within Kategori

kekompakan 0 0 ,0% 50,0% 50,0% 100,0%

Count 0 0 40 15 5 60

Expected Count 0 0 40,0 15,0 5,0 60,0

Total

% within Kategori

kekompakan 0 0 66,7% 25,0% 8,3% 100,0%

Chi-Square Tests

Value

df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square

18,167(a)

6

,006

Likelihood Ratio

17,279

6

,008

Linear-by-Linear Association

9,247

1

,002


(5)

Lampiran 5

HASIL ANALISIS DATA MULTIVARIAT

Regression

Variables Entered/Removed(b)

Model Variables Entered Variables Removed Method

1

Kategori kekompakan, Kategori Kerjasama, Kategori Kompetensi Perilaku, Kategori Kompetensi Teknis, Kategori Kepercayaan(a)

. Enter

a All requested variables entered.

b Dependent Variable: Kategori Kinerja Perawat

Model Summary(b)

a redictors: (Constant), Kategori kekompakan, Kategori Kerjasama, Kategori Kompetensi Perilaku, Kategori Kompetensi Teknis, Kategori Kepercayaan

b ependent Variable: Kategori Kinerja Perawat

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson


(6)

ANOVA(b)

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 10,994 5 2,199 8,738 ,000(a)

Residual 13,589 54 ,252

Total 24,583 59

a Predictors: (Constant), Kategori kekompakan, Kategori Kerjasama, Kategori Kompetensi Perilaku, Kategori Kompetensi Teknis, Kategori Kepercayaan

b ependent Variable: Kategori Kinerja Perawat

Coefficients(a) Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

(Constant) 1,376 1,034 1,332 ,189

Kategori Kompetensi Teknis

-,207 ,205 -,143 -1,012 ,316

Kategori Kompetensi Perilaku

,180 ,110 ,201 1,634 ,108

Kategori

Kerjasama ,294 ,138 ,219 2,123 ,038

Kategori

Kepercayaan ,320 ,129 ,381 2,473 ,017

1

Kategori

kekompakan ,018 ,111 ,020 ,159 ,875

a Dependent Variable: Kategori Kinerja Perawat

Collinearity Diagnostics(a)

Variance Proportions Model

Dime nsion

Eigen value

Condition Index

Consta nt)

Kategori Kompetensi Teknis

Kategori Kompetensi Perilaku

Kategori Kerjasama

Kategori Keper cayaan

Kategori kekompaka n

1 1 5,843 1,000 ,00 ,00 ,00 ,00 ,00 ,00

2 ,087 8,200 ,00 ,05 ,02 ,02 ,05 ,09

3 ,029 14,200 ,00 ,02 ,50 ,02 ,00 ,55

4 ,021 16,622 ,00 ,00 ,35 ,01 ,57 ,31