Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

37 bukan kretek, jenis rokok kretek dengan tidak merokok dan jenis rokok bukan kretek dengan tidak merokok p= 0,038; 0,001; 0,012. 4.1.5 Analisis Multivariat Indeks Brinkman, Jenis Rokok dan Konsumsi Kopi dengan Derajat Keasaman pH Saliva Tabel 4.5 Analisis Multivariat Indeks Brinkman, Jenis Rokok, dan Konsumsi Kopi dengan pH Saliva Variabel p value S.E Wald ExpB IK 95 Minimum Maksimum Indeks Brinkman Berat 600 Sedang 201-600 0.20 0.56 0.90 0.66 1.63 0,34 3.16 1.47 0.54 0.40 18.52 5.39 Jenis Rokok Kretek Bukan kretek 0.01 0.20 0.86 0.68 7.93 1.68 11.20 2.40 2.09 0.64 60.22 9.05 Konsumsi Kopi 2 gelas 0.52 0.63 0.41 1.50 0.43 5.18 Berdasarkan hasil analisis bivariat, dilakukan analisis multivariat regresi logistik antara penurunan pH saliva ≤6 sebagai variabel bebas dengan indeks Brinkman, jenis rokok serta konsumsi kopi sebagai variabel terikat. Variabel yang bermakna berpengaruh terhadap penurunan pH saliva ≤6 adalah jenis rokok kretek p= 0.01. Kekuatan hubungan dari yang terbesar hingga terkecil adalah jenis rokok kretek, indeks Brinkman berat, jenis rokok bukan kretek, konsumsi kopi dan indeks Brinkman sedang. Sehingga penurunan pH saliva ≤6 pada penelitian ini lebih dipengaruhi oleh jenis rokok dan indeks Brinkman berat dibandingkan konsumsi kopi.

4.2 Pembahasan

Penelitian dengan 55 sampel perokok dan 31 sampel non-perokok ini memiliki karakteristik subjek penelitian dengan rerata usia 43,44 tahun untuk kelompok perokok dan 37,42 tahun untuk kelompok non-perokok. Didapatkan rerata usia perokok lebih tinggi dibandingkan non-perokok. Rentang usia terbanyak pada kedua kelompok adalah sama yaitu berkisar 45-55 tahun. Hal ini cukup sesuai dengan data yang dilaporkan Riskesdas tahun 2013, bahwa 38 didapatkan 31,4 perokok dengan usia 45-55 tahun setiap harinya di Indonesia. Angka ini mewakili urutan ketiga setelah kelompok usia 30-34 tahun 33,4 dan 35-39 tahun 32,2. 3 Berdasarkan pendidikan, tidak ditemukan perbedaan bermakna antara perokok dan non-perokok. Pada kedua kelompok ini didapatkan tingkat pendidikan terbanyak pada lulusan SMA yaitu 54,5 dan 58,1 Tabel 4.1. Hal ini bersesuaian dengan hasil Riskesdas 2013, bahwa kelompok perokok di Indonesia memiliki pendidikan terbanyak yaitu lulusan SMA. 3 Sebagian besar subjek penelitian mengkonsumsi kopi setiap harinya. Kelompok perokok 36,4 mengkonsumsi kopi 2 gelas perhari, sedangkan pada kelompok non-perokok 90,3 mengkonsumsi kopi 0-2 gelas perhari Tabel 4.1. Terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok, bahwa kelompok perokok mengkonsumsi kopi lebih banyak dibandingkan non-perokok. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadi perubahan pH saliva yang diakibatkan oleh kebiasaan konsumsi kopi. Seperti penelitian Andriany, dkk yang menyatakan pengaruh konsumsi kopi Ulee Kareng terhadap penurunan pH saliva yang signifikan. Penurunan pH saliva tersebut dikarenakan kopi mengandung karbohidrat sederhana yang tinggi dan fermentasinya di dalam mulut oleh bakteri menghasilkan asam sehingga dapat menurunkan pH saliva sampai di bawah 5,5. 19 Penelitian ini memfokuskan melihat perbedaan pH saliva akibat konsumsi rokok. Didapatkan hasil yang bermakna pada pH saliva antara perokok dan non- perokok p= 0.001. Hal ini menunjukkan bahwa pH saliva perokok lebih rendah dibandingkan non-perokok. Peran rokok terhadap pH saliva pada penelitian ini dilihat dari kebiasaan merokok yang dikategorikan menggunakan indeks Brinkman. Didapatkan jumlah yang sama antara indeks Brinkman ringan dan sedang yaitu sebesar 36,8 Tabel 4.2. Setelah dilakukan uji statistik, pH saliva perokok berat berbeda bermakna dengan perokok ringan p= 0,027. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama konsumsi rokok dan semakin banyak jumlah batang rokok yang dikonsumsi setiap harinya berpengaruh terhadap perubahan pH saliva yang terjadi pada kelompok perokok. Serupa dengan penelitian Singh, dkk yang menyatakan penurunan pH saliva pada perokok 6,30 ± 0,36 dibandingkan non-perokok 7,10 ± 0,24. Pada 39 penelitian tersebut digunakan subjek perokok dengan konsumsi rokok 10-15 batang perhari selama 6 bulan untuk melihat efek paparan rokok yang lama. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Kanwar, dkk bahwa didapatkan pH saliva perokok lebih rendah dibandingkan non-perokok. 9,20 Hal tersebut berkebalikan dengan penelitian Al-Weheb, 2005 yang melihat efek rokok terhadap karies gigi dan faktor saliva. Didapatkan pH saliva perokok 7,32 ± 0,40 lebih tinggi dibandingkan non-perokok 7,24 ± 0,42. Hal ini terjadi kemungkinan karena perbedaan sampel saliva yang digunakan, dimana pada penelitian tersebut digunakan saliva dengan stimulasi. Sama halnya dengan penelitian Palomares et.al, dimana tidak didapatkan hasil bermakna antara pH saliva perokok dan non-perokok p= 0,160, p 0,05. Namun, didapatkan hasil bahwa pH saliva perokok lebih rendah dibandingkan non-perokok. 7,21 Selain lamanya paparan rokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi, jenis rokok juga berpengaruh terhadap penurunan pH saliva subjek perokok pada penelitian ini. Terdapat perbedaan bermakna pH saliva antara jenis rokok kretek dan bukan kretek p= 0,038. Hal ini sejalan dengan penelitian Arta, 2014, bahwa didapatkan penurunan pH saliva yang lebih signifikan pada perokok kretek dibandingkan perokok putih p= 0,003. Penyebab terjadinya penurunan pH tersebut karena perbedaan kandungan antara kedua jenis rokok. Rokok kretek mengandung kadar tar yang lebih tinggi dibandingkan jenis rokok lainnya. Selain itu jenis rokok kretek umumnya tidak menggunakan filter pada bagian yang akan dihisap, sehingga berhubungan dengan kadar komponen kimia yang dapat mempengaruhi pH saliva. 22,23,29 Umumnya, kebiasaan merokok tak lepas dari kebiasan mengkonsumsi kopi. Penelitian ini mendapatkan hasil hubungan antara pH saliva dengan konsumsi kopi p= 0,006. Namun setelah dilakukan analisis multivariat, didapatkan hasil akhir bahwa konsumsi kopi memiliki kekuatan hubungan yang tidak besar dengan penurunan pH saliva p= 0,52. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan pH saliva yang terjadi pada penelitian ini diakibatkan karena peran rokok dan jenis rokok yang dikonsumsi. Selain mempengaruhi pH saliva, pada penelitian ini juga membuktikan bahwa rokok mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Terlihat dari nilai OHIS 40 yang tinggi pada kelompok perokok 2,64 ± 0,65. Indeks ini didapat dari hasil penilaian Calculus Index CI dan Debris Index DI. Didapatkan hasil bermakna pada OHIS dan CI antara perokok dan non-perokok p= 0,021; 0,014. Sejalan dengan Arowojolu tahun 2013 bahwa terdapat perbedaan bermakna pada OHIS dan GI antara perokok dengan non-perokok p 0,05. 24 Kebiasaan mengkonsumsi rokok dalam waktu yang lama dengan jumlah batang rokok perhari yang banyak dapat mempengaruhi fungsi saliva, salah satunya menurunkan pH saliva. Selain itu, rokok juga dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Penurunan pH saliva yang terjadi juga dilaporkan berhubungan dengan indeks DMFT yang merupakan penilaian terhadap karies gigi. Kebiasaan merokok yang diikuti kebiasaan minum kopi dapat semakin menurunkan pH saliva. Sehingga sebaiknya menghindari kebiasaan merokok yang diikuti kebiasaan minum kopi. Dengan dibuktikannya efek rokok terhadap rongga mulut dan saliva, diharapkan dapat mengurangi kebiasaan merokok penduduk dunia di mana saja.

4.3 Aspek Keislaman