20
1 Terdapat debris menutup
tidak lebih 13 permukaan gigi
Kalkulus supragingiva
menutup tidak lebih dari 13 permukaan gigi
2 Terdapat debris menutup
lebih 13 sampai 23 permukaan gigi
Kalkulus supragingiva menutup lebih 13 sampai
23 permukaan gigi atau kalkulus subgingiva berupa
bercak hitam di sekitar leher gigi atau terdapat keduanya
3 Terdapat debris menutup
lebih dari 23 permukaan gigi.
Kalkulus supragingiva menutup lebih dari 23
permukaan gigi atau kalkulus
subgingiva merupakan cincin hitam di
leher gigi atau terdapat keduanya
Sumber: Kartiyani, 2010 Untuk menilai status gingiva, digunakan skor Gingiva Index GI
menurut Loe dan Silness. Status gingiva adalah suatu keadaan atau kondisi kesehatan gingiva yang menggambarkan gingiva dalam keadaan normal,
gingiva dengan inflamasi ringan, sedang, dan berat. Gingiva Index GI adalah hasil pembagian antara skor yang didapatkan dengan jumlah gusi
yang diperiksa. Kriteria skor GI adalah:
35
- 0 : gingiva normal. - 1 : inflamasi ringan pada gingiva yang ditandai perubahan warna,
sedikit edema, palpasi tidak terjadi perdarahan. - 2 : inflamasi gingiva sedang, warna merah, edema, berkilat, palpasi
terjadi perdarahan. - 3 : inflamasi gingiva parah, warna merah terang atau merah
menyala, edema terjadi ulserasi, perdarahan spontan.
Penggolongan keparahan inflamasi gingiva dapat ditentukan berdasarkan Gingiva Index GI sebagai berikut:
- 0,1-1,0 = inflamasi ringan - 1,1-2,0 = inflamasi sedang
- 2,1-3,0 = inflamasi berat
2.1.3.2 Efek Rokok Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut
21
Rongga mulut sebagai bagian pertama yang terpapar rokok memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan. Kebiasaan merokok
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit periodontal dan dapat menurunkan status kesehatan gigi dan mulut. Menurut Arowojolu,
2013 merokok menyebabkan perubahan warna pada gigi, membuat permukaan gigi menjadi kasar dan meningkatkan akumulasi plak. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitiannya yang menunjukkan nilai OHI-S dan GI pada perokok lebih tinggi dibandingkan non-perokok. Sehingga dapat
disimpulkan kesehatan gigi dan mulut perokok lebih rendah dibandingkan non-perokok.
24
Nilai GI yang tinggi menandakan tanda inflamasi yang nyata pada gingiva. Peningkatan inflamasi ini disebabkan penurunan aliran darah
karena pengaruh nikotin. Komponen kimia lainnya yang bersifat sitotoksik juga dapat diabsorpsi melalui membran mukosa dan pembuluh darah
sehingga mempengaruhi jaringan lunak di rongga mulut.
24,32
Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Saptorini dan Kusuma, 2013 tentang faktor risiko yang berhubungan dengan status periodontal
pada pria perokok, didapatkan hasil higienitas mulut OHIS, jumlah batang rokok yang dihisap dan lama waktu merokok sebagai faktor risiko
status periodontal. Dari 85 subjek penelitian yang merokok didapatkan higienitas mulut buruk sebanyak 81.2 dan sisanya memiliki higenitas
mulut sedang. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa merokok berhubungan dengan penyakit periodontal terkait dosis rokok yang
dikonsumsi. Jika jumlah rokok yang dihisap dan tahun lama merokok meningkat setiap hari, maka risiko periodontitis semakin tinggi.
37
Kandungan nikotin dalam asap rokok dapat menghambat perlekatan dan pertumbuhan sel fibroblast ligamen periodontal dan
merusak sel membran. Selain itu, nikotin dapat bekerja sebagai kemoatraktan yang dapat menyebabkan akumulasi netrofil dan
mengaktifkannya melepaskan granul berisi protease sel yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Perubahan panas akibat pembakaran
rokok juga dapat mengiritasi mukosa mulut secara langsung dan
22
menyebabkan perubahan vaskularisasi dan sekresi saliva. Hal ini menyebabkan peningkatan laju aliran saliva dan konsentrasi ion kalsium
sehingga dapat menyebabkan peningkatan skor kalkulus.
38,41
Kebiasaan merokok juga dapat mempengaruhi akumulasi plak dan meningkatkan karies gigi. Zinser, dkk melakukan penelitian antara
kebiasaan merokok dan karies gigi pada supir truk di Mexico. Didapatkan hasil DMFT perokok lebih tinggi dibandingkan non-perokok. Selain itu,
semakin banyak konsumsi rokok perhari maka semakin tinggi terjadinya karies. Sama halnya dengan hasil penelitian Al-Weheb, 2005 yang
didapatkan perbedaan DMFT pada perokok dan non-perokok. Hasil penghitungan Lactobacillus didapatkan lebih tinggi pada perokok
dibandingkan non-perokok. Dan terdapat hubungan antara DMFT dengan perhitungan Lactobacillus, sehingga dapat disimpulkan kemungkinan
peran Lactobacillus dalam terjadinya karies gigi.
7,39
Penurunan pH saliva yang terjadi akibat efek rokok dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Ketika pH saliva asam, maka
akan meningkatkan bakteri asidofilik dan demineralisasi enamel gigi. Dalam penelitian Voelker, dkk, kejadian karies gigi berhubungan dengan
penurunan pH saliva. Hal ini dikarenakan peningkatan aktivitas mikroorganisme akibat sisa-sisa makanan pada gigi yang berlubang.
Ketika kebiasaan merokok diikuti dengan adanya karies gigi, maka hal tersebut akan menyebabkan penurunan pH saliva menjadi semakin
asam.
8,10,18,20
2.2 Kerangka Teori