Kendala Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Dari Aspek Pidana

Gubernur Sumatera Utara No. 522.51821K2003 tanggal 25 September 2003. 2. Penunjukan lokasi Pos Pengawasan Peredaran Hasil Hutan Provinsi Sumatera Utara dengan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 522816.K2002 tanggal 25 Juli 2002. 3 Operasi Wanalaga yang dilaksanakan oleh Polda Sumatera Utara dan operasi Wanabahari yang dilaksanakan oleh jajaran Angkatan Laut. 4 Melaksanakan operasi fungsional oleh Aparat Kehutanan, dan Operasi gabungan dengan Aparat Keamanan dan unsur terkait lainnya. 96

B. Kendala Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Dari Aspek Pidana

Dari uraian tentang ketentuan pidana dalam uraian di atas, maka dapat diketahui kendala dalam aspek pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan sebagai berikut: 1. Pelaku atau aktor intelektual sulit disentuh hukum Pelaku yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan kayu ilegal yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum pejabat penyelenggara negara, oknum aparat penegak 96 Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Op. Cit, hal.4. G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 hukum atau oknum pegawai negeri yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang tentang kehutanan tersebut. 97 Penerapan Pasal 55 ayat 1 KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan pidana dapat juga diterapkan dalam kejahatan kayu ilegal yang melibatkan banyak pihak. Namun demikian, beban pidana yang harus ditanggung secara bersama dalam hal terjadinya tindak pidana kayu ilegal juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidana maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 55 ayat 1 KUHP, sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditentukan. 2. Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik kepentingan. Penegak hukum yang tidak berkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan kayu ilegal . Proses peradilan mulai dari penyelidikan hingga ke persidangan membutuhkan biaya yang sangat besar, proses hukum yang panjang dan sarana prasarana yang 97 Igm Nujana dkk, Op.Cit, hal 137 G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 memadai serta membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu instansi tertentu tidak memiliki semua komponen, data informasi ataupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap kayu ilegal tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan terhadap kejahatan kayu ilegal l 98 menemukan bahwa salah satu kendala dalam pemberantasan kayu ilegal disebabkan oleh koordinasi yang kurang efektif dan efisien dari berbagai instansi terkait, dalam hal ini terdapat 11 sebelas instansi yang berada dalam satu mata rantai pemberantasan kayu ilegal yang sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan di bidang kehutanan yaitu: 1. Menkopolkam, 2. TNI AD Hankam, 3. TNI AL, 4. Polri, 5. Departemen Kehutanan, 6. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 7. Departemen Perhubungan, 8. Bea Cukai, 9. Kejaksaan, 10. Pengadilan, dan 11. Pemda Provinsi Kabupaten Kota. Koordinasi antara berbagai instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penegakan hukum terhadap kejahatan kayu ilegal yang merupakan kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari penebangan hingga ke ekspor kayu ilegal. 98 Fathoni, T., “RI-Jepang Sepakat Atasi Kayu Illegal”, Artikel Bisnis Indonesia, terbit tanggal 2 Juli 2003, hal. 1. G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 3. Masalah Pembuktian Berbicara masalah pembuktian yang dianut oleh hukum pidana Indonesia adalah sistem negatif negatif wettelijke stelsel yang merupakan gabungan dari sistem bebas dengan sistem positif. 99 Menurut Syahrani bahwa dalam sistem negatif hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah menurut hukum sehingga hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Alat bukti utama yang dapat dijadikan dasar tuntutan dalam tindak pidana kayu ilegal adalah keterangan saksi ahli untuk menjelaskan keadaan hutan yang rusak akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Proses ini memerlukan ketelitian dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari tindak pidana biasa. Pembuktian terhadap tindak pidana kayu ilegal yang masih mengacu pada KUHAP seperti tersebut di atas, adalah menjadi kewajiban penyidik dan penuntut 99 Syahrani, R., Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni, 1983, hal.129. G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 umum untuk membuktikan sangkaannya terhadap tersangka, kemudian alat-alat bukti yang juga mengacu kepada KUHAP seperti halnya tindak pidana biasa, sangat sulit untuk menjerat pelaku-pelaku yang berada dibelakang kasus tersebut. Belum mengatur mekanisme proses untuk mengakses alat-alat bukti seperti akses informasi pada bank, atau ketentuan yang memerintahkan kepada bank untuk memblokir rekening tersangka yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. 100 4.Ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit Rumusan sanksi pidana dalam Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata belum dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan kayu ilegal . Ancaman hukuman penjara paling berat 10 sepuluh tahun bagi yang melakukan kayu ilegal . Pidana denda paling banyak Rp. 15.000.000.000; lima belas miliar rupiah. Rumusan sanksi dalam undang- undang ini tidak mengatur rumusan sanksi minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi korporasi serta sanksi pidana tambahan terhadap tindak pidana pembiaran. 100 Igm Nurjana dkk, Op.Cit, hal 139 G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 5. Subjek atau Pelaku Pidana Subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana kehutanan secara tersurat hanya dapat diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan penebangan kayu ataupun pengusaha yang melakukan transaksi kayu secara ilegal. Ketentuan pidana tentang kehutanan itu belum menyentuh pelaku lain termasuk pelaku intelektual yang terkait dengan kayu ilegal secara keseluruhan seperti koorporasi, pejabat penyelenggara negara, pegawai negeri sipil, TNI Polri, pemilik sawmil dan nahkoda kapal. 101 6.Rumusan Sanksi Pidana. Rumusan sanksi pidana dalam pasal 78 Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain ternyata belum dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan kayu ilegal . Ancaman hukuman penjara paling berat 15 tahun bagi yang membakar hutan dan paling berat 10 tahun bagi yang melakukan kejahatan kayu ilegal. Pidana denda paling banyak Rp.15.000.000.000; lima belas milyar rupiah . Rumusan sanksi dalam undang- undang ini tidak mengatur rumusan sanksi minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama terhadap tindak pidana pembiaran. 101 Igm Nurjana dkk, Op.Cit, hal 141 G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 7.Proses Penyitaan. Barang bukti kayu dalam tindak pidana di bidang kehutanan memiliki konsep penanganan tersendiri seperti prosedur dan metode serta keahlian memiliki sertifikat pengukuran dalam sistem pengukuran dan juga membutuhkan waktu yang lama sehingga perlu diatur tersendiri. Demikian juga proses pelelangan barang bukti serta pembagiannya antara pemerintah pusat dan daerah asal kayu ilegal tersebut. Hal tersebut belum diatur dalam ketentuan pidana dalam undang-undang kehutanan.

C. Kendala Atau Hambatan Yang Dihadapi Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan