dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.
43
c. Bahan hukum tersier:
Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum,
kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah.
44
Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier
sebagai sumber penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata
yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui angket, pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya.
45
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk
mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang- undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan
putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.
43
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, 2005, hal 141.
44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, 1990, hal. 14.
45
Riduan, Metode Teknik Menyusun Tesis, Bandung, 2004, hal. 97.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
5. Metode analisis Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian
konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori- kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.
46
Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa peraturan perundang-
undangan, putusan-putusan pengadilan, serta hasil wawancara diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum
konseptualisasi yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ;
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis
atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah kewenangan Polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang
kehutanan; c.
Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ;
d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau
peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.
46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, 2006, hal. 225.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
BAB II KEWENANGAN POLRI SEBAGAI PENYIDIK DALAM PENANGANAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN A.
Eksistensi kayu Ilegal 1. Praktik kayu Ilegal
Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ke tiga dunia setelah Brazil dan Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120, 35
juta ha, atu 63 persen luas daratan.
47
Hutan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi
Indonesia, dengan sumbangan yang cukup tinggi bagi pendapatan ekspor, lapangan kerja serta sumber pendapatan masyarakat lokal. Sekitar 300.000 orang
bekerja pada industri pengelolaan kayu dan paling tidak 14 juta orang menggantungkan hidupnya secara langsung pada hutan. Hasil hutan mencakup
lebih dari 11 persen dari pendapatan ekspor selama 1994-1999. Walaupun begitu besar sumbangan hutan pada kesejahteraan sosial dan ekonomi, akan tetapi
manfaat ini dihasilkan tanpa mempertimbangankan kelestarian hutan.
48
Laju perusakan hutan Indonesia juga sangat besar mencapai 1,6 juta hingga 2,1 juta ha
per tahun dan salah satu penyebab kerusakan hutan ini adalah kayu ilegal.
49
Kayu Ilegal hingga saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang sulit untuk diberantas dan masih terjadi hampir di seluruh dunia. Yang paling parah
47
Herdiman, V., Memutuskan Mata Rantai Illegal Logging, Majalah Lingkungan Hidup OZON, Vol.4, No. 3, Jakarta: Yayasan Cahaya Reformasi Semesta, Desember 2003, hal. 22.
48
Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia, Edisi I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
49
Herdiman, V., Loc. Cit.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
justru banyak dilakukan dikawasan Asia Pasifik, khususnya di negara-negara Amerika Latin, Benua Afrika dan negara-negara dalam Association of South East
Asian Nation ASEAN. Indonesia termasuk salah satu sasaran operasi kayu ilegal yang merupakan suatu kejahatan yang mempunyai jaringan sindikat dalam skala
internasional. Hasil kayu ilegal itu banyak di ekspor keluar negeri seperti RRC, Malaysia, Singapura bahkan ke Eropa, yang kemudian kayu yang diekspor ini
ternyata kembali diekspor negara-negara tersebut ke Indonesia dalam bentuk olahan.
50
Praktik-praktik kayu ilegal merupakan permasalahan yang berdampak multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya ekologi
lingkungan. Data dari Departemen Kehutanan
51
bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah kehilangan
Rp.83 miliar per hari akibat kayu ilegal . Kerugian yang dialami negara tersebut merupakan angka kerugian minimum oleh karena kerugian yang disebutkan di
atas belum termasuk punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, bencana banjir dan erosi yang ditimbulkan serta biaya-biaya yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan dan sebagainya. Kerugian secara ekologis berupa hilangnya jenis spesies keanekaragaman hayati tidak
50
Tim BEINEWS, “Jalan Berliku Membasmi Kayu Ilegal”, Dikutip dari www.bexi.co.idartikelkomoditasjalan.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
51
Menteri Kehutanan RI, “Enforcement Economic Program Conservation International- Indonesia EEPCI”, Dikutip dari www.mofrinet.cbn.net.idinformasiumum, Diakses tanggal 20 Mei
2009.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
dapat dihitung secara finansial. Menurut data Greenomics
52
, kerugian ekologis akibat kayu ilegal , khususnya untuk menangkal banjir saja, setidaknya
pemerintah harus mengeluarkan dana yang mencapai Rp. 15 triliun per tahun. Angka itu tentu saja akan lebih besar lagi jika memperhitungkan tambahan
anggaran masing-masing daerah. Biaya tersebut biasanya dilakukan untuk menanggulangi banjir yang tiap tahun terus terjadi karena kerusakan hutan yang
semakin meningkat tiap tahunnya, sementara dana dari pemerintah pusat hanya berupa stimulasi.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kayu Ilegal
Belum adanya kesepahaman dalam memberikan definisi liar ilegal dalam rangka menjustifikasi setiap kasus tentang kayu ilegal antara pemerintah pusat
dan daerah akan menimbulkan tanggapan atau penilaian tersendiri oleh masing- masing pihak terhadap kayu ilegal . Kondisi ini diperburuk dengan adanya
kontradiksi kebijakan antara pusat dan daerah yang semakin mengaburkan konsep legalitas konsesi pengusahaan dan pemanfaatan hutan.
Namun demikian, jika dilihat dari pengertian tentang kayu llegal yang bertitik tolak dari prilaku yang dapat merusak hutan maka praktik kayu ilegal ini
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:
52
Herdiman, V., Op. Cit., hal.2.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
a. Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai izin yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual
kepada penadah hasil hutan, dan b Kayu ilegal yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai izin namun
dalam melakukan kegiatan usahanya itu cenderung merusak hutan yaitu melakukan penebangan di luar konsesinya over cutting, melanggar
persyaratan seperti yang ditetapkan dalam konsesinya, kolusi dengan pejabat atau aparat, pemalsuan dokumen dan manipulasi kebijakan.
Pandangan tentang faktor penyebab terjadinya kayu ilegal ini pun bervariasi tergantung pendekatan yang digunakan masing-masing pihak. Kayu
Ilegal berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal,
lemahnya penegakan hukum, tumpang tindih regulasi dan pemutihan kayu yang terjadi di luar daerah tebangan
53
. Namun dari berbagai pandangan itu tampaknya persamaan yang selalu ada dalam setiap pandangan yaitu memandang bahwa
kasus kayu ilegal merupakan suatu proses dalam kegiatan ekonomi sehingga faktor ekonomi adalah merupakan faktor utama yang menjadi penyebab dari kayu
ilegal .
53
Haba, J., “Illegal Logging, Penyebab dan Dampaknya”, Dikutip dari www.kompas.comkompascetakopini.htm, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Menurut Dudley bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan suburnya kayu ilegal pada tingkat lokal dan yang memungkinkan kayu ilegal meluas dengan
cepat, yaitu:
54
1 Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi
penduduk di desa-desa dekat hutan; 2
Faktor-faktor ekonomi supply dan permintaan normal yang berkaitan dengan industri penebangan kayu; dan
3 Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya serta kolusi dengan para politisi dan pemimpin setempat.
Ketiga faktor di atas saling mempengaruhi, saling mendukung dan saling melengkapi. Hasil penelitian Dudley, yang relevan dengan praktik kayu ilegal di
Papua, dari ketiga faktor tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
55
Pertama, Faktor-faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi penduduk di desa-desa dekat hutan dipengaruhi oleh unsur-unsur: 1.
Kebutuhan lapangan kerja dan pendapatan; 2. Pengaruh tenaga kerja lain yang sudah bekerja secara ilegal; 3. Ketidakpuasan lokal atas kebijakan kehutanan
pusat; 4. Dukungan terhadap pengelolaan hutan lestari. Pada tingkat masyarakat, yang paling penting adalah tersedianya lapangan
pekerjaan dan pendapatan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Kesedian
54
Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Op. Cit., hal. 448-450.
55
Ibid., hal. 438-439.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
masyarakat bekerja secara melanggar hukum ilegal dipengaruhi kuat oleh kenyataan bahwa anggota masyarakat yang lain bekerja demikian. Faktor lain
yang sangat berpengaruh seperti di Papua adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah pusat dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Ketidakpuasan dan kebencian masyarakat di Papua merupakan dampak dari kebijakan pemerintah pusat di masa lalu yang mengeksploitasi hutan di Papua dan
kemudian hasilnya dibawa ke pusat sementara hanya sedikit sekali dikembalikan ke Papua, sehingga pembangunan di Papua jauh tertinggal dari provinsi-provinsi
lain di Indonesia. Pemerintah pusat dalam era pengelolaan hutan yang sentralistik seringkali memberikan konsesi kepada perusahaan-perusahaan besar dengan
mengabaikan hak-hak adat masyarakat Papua pribumi, sementara militer dan polisi yang menjaga konsesi-konsesi tersebut tentu mempunyai kecenderungan
untuk membela perusahaan pengelola kayu karena dibayar untuk menjaganya. Konflik antara perusahaan kayu pemegang konsesi dari pusat dengan masyarakat
adat setempat tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan, sehingga keterlibatan aparat militer dan polisi dalam sistem pengelolaan hutan, baik sebagai protektor
bagi perusahan maupun sebagai pemegang saham dan pengelola hutan seringkali menimbulkan pelangaran-pelangaran Hak Asasi Manusia HAM
56
. Kondisi demikian pada akhirnya menanamkan rasa kebencian dan ketidakpuasan
56
Asia Report No39, “Indonesia: Sumber Daya dan Konflik Papua, Rangkuman dan Rekomendasi”, Dikutip dari www.crisisweb.orghome , Diakses tanggal 20 Mei 2009, hal. 2.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
masyarakat adat setempat atas kebijakan pengelolaan hutan yang sentralistik tersebut.
Kedua, Faktor-faktor ekonomi supply dan permintaan normal berkaitan dengan industri penebangan kayu dipengaruhi oleh beberapa unsur, yaitu:
1 Kebutuhan kapasitas terpasang industri dalam negeri dan permintaan kayu
dari luar negeri; 2
Kemampuan pasokan kayu dan kebijakan jatah kayu tebangan; 3
Tinggi rendahnya laba dari perusahaan industri kayu. Besarnya kapasitas industri kayu di daerah akan menimbulkan naiknya
permintaan akan pasokan kayu yang mengarah kepada pemanenan kayu yang berlebihan. Kemampuan pasokan kayu dan kemampuan penyediaan industri
perkayuan yang legal yang tidak sebanding dengan tingginya permintaan kemudian menimbulkan permintaan tambahan akan kayu yang diambil dari hasil
kayu ilegal . Tingginya permintaan atau rendahnya persedian kayu menurunkan laba dari perusahaan kayu, sehingga untuk mempertahankan laba itu,
dimungkinkan untuk membeli kayu ilegal yang lebih murah dan resikonya rendah.
57
Ketidakseimbangan antara kebutuhan demand dan pasokan supply diperkirakan, kebutuhan Industri akan kayu mencapai 60 juta meter kubik per
tahun, sementara supply hanya sebesar 22 juta meter kubik per tahun, jadi defisit
57
Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Op. Cit., hal.455.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
kayu sebesar 30-40 juta meter kubik per tahun.
58
Jalan termudah untuk memenuhi defisit kayu tersebut adalah melalui kayu ilegal . Permintaan akan kayu ini juga
menimbulkan permintaan akan tenaga kerja dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Dengan demikian faktor ini kemudian mempengaruhi
maupun dipengaruhi oleh faktor yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat dan situasi penduduk disekitar hutan.
Ketiga, Faktor-faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya pada, serta kolusi dengan, para politisi dan pemimpin setempat dipengaruhi oleh
unsur-unsur seperti : a
Keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha kayu; b
Besarnya pengaruh pengusaha kayu terhadap pejabat lokal; c
Besarnya partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan kayu ilegal; dan d
Banyaknya kerjasama ilegal yang dilakukan oleh pengusaha dengan penguasa atau pejabat lokal.
Faktor ketiga ini dapat terjadi oleh karena pejabat lokal mempunyai kekuasaan untuk memberikan kontrak akses pada lahan hutan dan memastikan
bahwa berbagai peraturan perundang-undangan ditegakkan atau diabaikan. Kemudian para pengusaha memiliki modal atau dana yang diperoleh dari
keuntungan bisnis kayu. Peristiwa hukum yang terjadi di sini adalah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme KKN.
58
Herdiman, V., Op.Cit., hal. 23.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Menurut Dudley bahwa semakin kuatnya pengaruh pengusaha kayu terhadap pejabat lokal akan meningkatkan partisipasi pejabat lokal dalam kerja
sama ilegal yang kemudian berpengaruh kepada peningkatan laba bagi pengusaha kayu.
59
Ketika kayu ilegal meningkat dan potensi pendapatan masyarakat menjadi jelas, maka kegiatan kayu ilegal juga semakin di terima oleh masyarakat,
bahkan masyarakat menjadi tergantung pada kegiatan tersebut dan melihat bahwa kegiatan tersebut akan tetap terjadi meskipun tanpa keterlibatan masyarakat.
Kolusi yang terjadi antara pejabat lokal dengan pengusaha bisa terjadi karena adanya permintaan yang datangnya dari pengusaha dan penawaran dari
pihak pejabat atau birokrat. Melihat dari motif yang menjadi orientasi suatu kegiatan bisnis adalah
untuk mendapatkan keuntungan yang ditambah dengan rasio pendapatan yang diinginkan oleh oknum pejabat di atas pendapatan gaji rata-rata, sehingga
memungkinkan terjadinya suap-menyuap. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa praktik-praktik kolusi dalam
dunia bisnis di bidang kehutanan menjadi sangat rentan apabila kekuatan sistem hukum tidak mampu untuk mengatasi masalah tersebut. Proses kegiatan kayu
ilegal di atas akan terus berjalan jika kekuatan sistem hukum tidak dapat menanggulangi.
59
Colfer, C.J.P., dan Reksosudarmo, I.A.P., Op. Cit., hal. 453.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009
Akan tetapi ketika kekuatan sistem hukum diperkuat maka akan berpengaruh terutama akan mengurangi partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan
ilegal yang kemudian menurunkan hasil atau keuntungan bagi pengusaha kayu yang pada akhirnya melemahkan pengaruh pengusaha-pengusaha kayu tersebut
bagi pejabat lokal. Maka di sinilah letak pentingnya kekuatan sistem hukum dalam menanggulangi kegiatan kayu ilegal . Kekuatan sistem hukum dalam tentu harus
didukung oleh unsur-unsur seperti; instrumen hukum yang efektif, penegak hukum yang profesional dalam arti memiliki integrasi moral, pendidikan dan
kesejahteraan yang baik, sarana dan prasarana yang memadai, dana operasional yang cukup, konsistensi aturan yang terkait dengan kehutanan, koordinasi antar
instansi terkait yang sinergis dan dukungan dari berbagai stakeholder terutama pemerintah dan seluruh masyarakat.
B. Pelaku Dan Modus Operandi Kayu Ilegal
Permasalahan mendasar dari sulitnya memberantas kayu ilegal dari perspektif penegak hukum Polri yang dikemukakan oleh Komisaris Jenderal
Polisi Erwin Mappaseng, dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: pertama, bahwa kayu llegal termasuk kategori “kejahatan terorganisir organized crime”.
60
Kegiatan ini melibatkan banyak pelaku yang terorganisir dalam suatu jaringan yang sangat solid, luas rentang kendalinya, kuat dan mapan. Di antara pelaku yang
terlibat adalah buruh penebang kayu, pemilik modal cukong, penjual, pembeli
60
Herdiman, V., Op. Cit., hal. 22-23.
G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009