Kendala Atau Hambatan Yang Dihadapi Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

7.Proses Penyitaan. Barang bukti kayu dalam tindak pidana di bidang kehutanan memiliki konsep penanganan tersendiri seperti prosedur dan metode serta keahlian memiliki sertifikat pengukuran dalam sistem pengukuran dan juga membutuhkan waktu yang lama sehingga perlu diatur tersendiri. Demikian juga proses pelelangan barang bukti serta pembagiannya antara pemerintah pusat dan daerah asal kayu ilegal tersebut. Hal tersebut belum diatur dalam ketentuan pidana dalam undang-undang kehutanan.

C. Kendala Atau Hambatan Yang Dihadapi Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

Masalah kayu ilegal saat ini adalah masalah krusial yang dihadapi Indonesia karena masalah kayu ilegal semakin memperburuk kondisi hutan yang sudah buruk dan bahkan dampaknya semakin mempersulit keadaan masyarakat yang sudah sulit akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagai contoh dampak kayu ilegal adalah terjadinya banjir dimana-mana hampir diseluruh wilayah Indonesia bahkan belum lepas dari ingatan kita bagaimana dahsyatnya banjir bandang yang terjadi di Bukit Lawang di Sumatera Utara yang menelan banyak korban. Dimana pada akhirnya terungkap bahwa bencana alam yang terjadi tersebut akibat praktik kayu ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sehingga hutan tidak dapat berfungsi sebagaimana peruntukannya. G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 Kendalahambatan yang dihadapi oleh Polda Sumatera Utara dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara: 102 1.Kendala Yuridis antara lain : a. Adanya beberapa Peraturan Menteri Kehutanan antara lain Peraturan Menteri Kehutanan No. 51 dan No. 55 Tahun 2006 tentang Tata Usaha Hutan yang melindungi kayu dan pelaku kayu ilegal dimana penyelesaiannya cenderung melalui administrasi bukan melalui penyelesaian pidana pengadilan b. Sanksi pidana dalam undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal sehingga sering dimanfaatkan atau peluang KKN antara pelaku tersangka dengan aparat penegak hukum khususnya pengadilan. c. Kayu yang berasal atau bersumber dari kawasan hutan lindung tidak diperkenankan untuk dilelang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alami Hayati dan Ekosistemnya. d. Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Yo Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah 102 Wawancara dengan AKBP Manumpak Butar-Butar, Jabatan Kasat Tipiter DitResKrim Polda Sumut di Polda Sumut, tanggal 4 Mei 2009. G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Dengan keluarnya peraturan tersebut diatas maka kewenangan pelaksanaan pengamanan hutan yang terdapat pada suatu wilayah kabupatenkota menjadi kewenangan kabupatenkota. Dengan adanya kewenangan tersebut maka dalam penanganan kasus kayu ilegal yang terjadi di daerah kabupatenkota menjadi kendala karena Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara tidak dapat langsung menangani tindak pidana tersebut akan tetapi harus melalui permintaan kabupatenkota yang bersangkutan. Hal ini akan memperlambat proses penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang kehutanan yang terjadi apabila Polda Sumatera Utara melakukan kegiatan atau operasi bersama dengan Dinas kehutanan Provinsi Sumatera Utara. 1. Kendala teknis antara lain: a. Proses penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan sangat tergantung dari kesediaan para pejabat Dinas Kehutanan sebagai ahli; b. Dukungan anggaran dalam penanganan kasus kayu ilegal belum memadai terutama untuk honor saksi ahli, pengamanan barang bukti, penitipan barang bukti, perawatan barang bukti dan pengangkutan barang bukti; c. Masih kurangnya kualitas dan kuantitas penyidik terutama yang bertugas di Polres dan Polsek; G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 d. Kurangnya alat angkut pengangkutan dan sepeda motor baik untuk pengejaran penangkapan pelaku dan pengangkutan kayu dari tempat kejadian perkara ke penitipan barang bukti atau komando markas. e. Kebijakan dibidang kehutanan masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini cenderung kepada pengelolaan hutan yang eksploitatif dibanding kepada upaya konservasi dan pelestarian hutan atau kebijakan yang berorientasi pada prinsip-prinsip good governance and sustainable development. f. Lemahnya kapasitas dan integrasi penegak hukum. Hal ini berawal dari proses rekruitmen yang tidak berdasarkan prinsip- prinsip Transparan, Partisipatif dan Akuntable TPA secara profesional hingga kependidikan, kejuruan, pelatihan-pelatihan dan pembekalan-pembekalan yang kurang memadai terhadap personel penegak hukum terhadap tindak pidana kehutanan tersebut. g. Keterbatasan dana Selama ini penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan termasuk kayu ilegal tidak ditentukan anggaran atau dana tersendiri secara khusus, artinya dalam penegakan hukum tersebut sama sekali seperti tindak pidana lainnya, sementara proses penegakan hukum terhadap tindak pidana tersebut memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana umum lainnya. Sebagai contoh pengolahan Tempat Kejadian Perkara TKP yang berada di tengah hutan G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 memerlukan sarana seperti helikopter yang belum dimiliki oleh instansi Polri dan PPNS kehutanan terutama di daerah-daerah yang justru mempunyai hutan yang luas, sehingga perlu untuk menyewa helikopter dan sebagainya. 103 h. Kurangnya Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang cukup dan memadai memegang peranan penting dalam rangka penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar. Dimana sarana dan prasarana tersebut dapat berupa tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lain sebagainya. Kalau hal-hal tersebut diatas tidak dapat dipenuhi, maka mustahil penegakan hukum dapat tercapai. 104 Namun kenyataan di lapangan menunjukan sarana dan prasarana yang dimiliki pelaku praktik kayu ilegal jauh lebih maju dibandingkan sarana dan prasana yang dimiliki oleh aparat penegak hukum khususnya di daerah-daerah yang justru memiliki areal hutan yang luas dan rawan terjadi praktik kayu ilegal . 105 Keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki aparat penegak hukum menjadi faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana di bidang 103 Ibid, hal 142 104 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Grafindo Persada, 2002, cetakan keempat, hal. 27 105 IGM. Nurdjana, dkk, Korupsi dan Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2005, hal. 143 G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 kehutanan. Dengan terhambatnya proses penyidikan tentu berimbas terhadap semakin maraknya tindak pidana di bidang kehutanan. i. Mentalitas aparat penegak hukum Aparat penegak hukum yang terkait langsung dalam proses penanganan tindak pidana dibidang kehutanan adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, PPNS, Polisi Kehutanan dan advokat yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberhasilan penegakan hukum dibidang kehutanan,. Penegakan hukum yang memungkinkan ditegakkannya hukum dan keadilan dibidang kehutanan apabila aparat hukum tersebut profesional dan bermental tunggal serta mempunyai integritas moral yang tinggi. Kebijakan yang terbatas sebagai ekonomy risk dan sarana prasarana hubungan sebagai political risk dalam penanganan penanggulangan kayu illegal yang potensial dengan korupsi menjadi tantangan intergritas moral penanganan supremasi hukum. j.Pengelolaan hutan masih cenderung sentralistik dan mengabaikan hak – hak masyarakat lokal atau masyarakat adat yang hidup dikawasan hutan sehingga masyarakat yang hidup di dalam dan disekitar kawasan hutan masih tetap miskin G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: 1.Tindak pidana di bidang kehutanan adalah suatu perbuatan yang dilakukan terhadap hutan tanpa hak atau tanpa ijin dari pejabat yang berwenang tanpa memenuhi ketentuan hukum yang berlaku sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan rusaknya hutan. Pada dasarnya penyidik dalam tindak pidana umum adalah Kepolisian namun dalam beberapa tindak pidana tertentu misalnya, tindak pidana dibidang kehutanan selain penyidik Polri ada juga penyidik pegawai negeri sipil PPNS yang berada di lingkungan departemen kehutanan sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 1 KUHAP dan pasal 77 ayat 2 undang-undang no 41 tahun 1999 tentang kehutanan 2 Koordinasi antara Polri selaku penyidik dengan aparatur penegak hukum lainnya antara lain, Kejaksaan, Pengadilan dan PPNS Kehutanan dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan secara umum dapat terlaksana baik dalam kegiatan preventif maupun kegiatan represif, sehingga jumlah kasus-kasus tindak pidana di bidang kehutanan semakin berkurang menurun, terutama setelah dilakukannya operasi wanalaga dan operasi hutan lestari di wilayah hukum Sumatera Utara. 3. Kendala hambatan yang dihadapi oleh Polri selaku penyidik dalam penanganan tindak pidana di bidang kehutanan di wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara G.P. Hutajulu : Kewenangan Polri Sebagai Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan, 2009 meliputi Kendala Yuridis yaitu adanya beberapa peraturan Menteri Kehutanan antara lain Peraturan Menteri Kehutanan No. 51 dan No. 55 Tahun 2006 tentang Tata Usaha Hutan yang Melindungi kayu illegal dan pelaku kayu ilegal dimana penyelesaiannya cenderung melalui administrasi bukan melalui penyelesaian pidana pengadilan dan tidak adanya ancaman hukuman minimal dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang mengakibatkan adanya peluang KKN antara pelaku dengan aparat penegak hukum terutama PengadilanHakim serta Kendala teknis yaitu, Proses penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan sangat tergantung dari kesediaan para pejabat dinas kehutanan sebagai ahli, dukungan anggaran dalam penanganan kasus kayu ilegal belum memadai terutama untuk honor saksi ahli, pengamanan barang bukti, penitipan barang bukti, perawatan barang bukti dan pengangkutan barang bukti serta masih kurangnya kualitas dan kuantitas penyidik terutama yang bertugas di Polres dan Polsek.

B. Saran