Pengaruh Karakteristik Juru Pemantau Jentik Dan Kesehatan Lingkungan Terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Langsa

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK JURU PEMANTAU JENTIK DAN KESEHATAN LINGKUNGAN TERHADAP KASUS

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA LANGSA

TESIS

Oleh

K A S A D 077023005/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


(2)

PENGARUH KARAKTERISTIK JURU PEMANTAU JENTIK DAN KESEHATAN LINGKUNGAN TERHADAP KASUS

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA LANGSA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

K A S A D 077023005/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK JURU PEMANTAU JENTIK DAN KESEHATAN LINGKUNGAN TERHADAP KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA LANGSA Nama Mahasiswa : Kasad

Nomor Induk Mahasiswa : 077023005

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si) (drh. Hiswani, M.Kes) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 15 November 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes

2. dr. Surya dharma, M.P.H 3. drh. Rasmaliah, M.Kes


(5)

SURAT PERNYATAAN

PENGARUH KARAKTERISTIK JURU PEMANTAU JENTIK DAN KESEHATAN LINGKUNGAN TERHADAP KASUS

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA LANGSA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernahg ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2010


(6)

ABSTRAK

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan nyamuk Aedes aegypti. Kota Langsa merupakan salah satu daerah endemis DBD dengan Insidens Rate (IR) 2006, (6,89 per 100.000, penduduk) sedangkan untuk Case Fatality Rate (CFR) 1,20 %. Kota Langsa berada di posisi nomor urut 7 (tujuh) daerah endemis DBD dari 23 (dua puluh tiga) kabupaten/kota yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional, bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik juru pemantau jentik dan kesehatan lingkungan terhadap kasus demam berdarah Dengue (DBD) di Kota Langsa. Populasi seluruh juru pemantau jentik, dengan jumlah sampel sebanyak 121 orang. Data dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan

Regresi Logistik.

Berdasarkan hasil penelitian, variabel yang berpengaruh terhadap kasus demam berdarah Dengue di Kota Langsa adalah: pendidikan (p=0,022), pekerjaan (p=0,131), pengetahuan (p=0,021), sikap (p=0,001), kesempatan (p=0,008), kemauan (p=0,018), kemampuan (p=0,000), tempat penampungan air (p=0,003), dan keberadaan jentik (p=0,000).

Dinas Kesehatan Kota Langsa diharapkan dapat meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah Dengue, melakukan kerjasama dan koordinasi dengan dinas terkait (dinas kebersihan, dinas tata kota). Kepada puskesmas dalam wilayah Kota Langsa (puskesmas Langsa Kota, Langsa Timur, Langsa Barat, Langsa Lama, dan Langsa Baro), agar meningkatkan intensitas penyuluhan, pelatihan tentang PSN-DBD, penyediaan media informasi tentang pencegahan dan penanggulangan DBD. Masyarakat juga diharapkan ikut serta dalam menjaga kebersihan rumah dan lingkungan dari sampah/wadah barang-barang bekas yang bisa menjadi media untuk tempat nyamuk berkembang biak.


(7)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhage Fever (DHF) is a contagious disease caused by the

Dengue virus and spread by Aedes aegypti. The City of Langsa is one of the DHF

endemic areas with the Incidence Rate (IR) in 2006 of 6.89 per 100.000 population and Case Fatality Rate (CFR) of 1.20%. The City of Langsa is on the seventh position of the DHF endemic areas in 23 districts/cities of the Province of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

The purpose of this study with cross-sectional design is to analyze the influence of the characteristics of mosquito larva monitor and environmental health on the cases of Dengue Hemorrhage Fever (DHF) in the City of Langsa. The population of this study were 121 mosquito larva monitors and all of them were selected to be samples of this study through total sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interview. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that the variables which influenced the cases of Dengue Hemorrhage Fever (DHF) in the City of Langsa were: education (p= 0.022), occupation (p= 0.131), knowledge (p=0.021), attitude (p=0.001), opportunity (p= 0.008), determination (p= 0.018), ability (p= 0.000), water container (p= 0.003), and the existence of mosquito larva (p= 0.000).

It is expected that Langsa City Health Office increase the attempt to prevent and manage the cases of Dengue Hemorrhage Fever (DHF), to cooperate and make coordination with related agencies (Sanitary Service, Town Planning Service). Health Centers which located in the City area of Langsa (Health Centre Langsa Kota, Langsa Timur, Langsa Barat, Langsa Lama, and Langsa Baro) should increase the intensity of extension, training on Mosquito's Breeding place Control Dengue Hemorrhage Fever, provision of media of information on the prevention and coping with Dengue Hemorrhage Fever. The members of community are also expected to participate in maintaining home and environmental sanitary by keeping them away from garbage and used stuff that can be the media for the mosquitoes to multiply.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal tesis dengan judul “Pengaruh Karakteristik Juru Pemantau Jentik dan Kesehatan Lingkungan terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Langsa “.

Proses penulisan Tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar – sebesarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (USU) dan Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.Si selaku Ketua Komisi pembimbing dalam penulisan Tesis ini.

4. drh. Hiswani, M. Kes selaku anggota Pembimbing dalam penulisan Tesis ini. 5. Junaidi, S.K.M. M.Kes. selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Langsa Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalm (NAD).

6. Rekan-rekan mahasiswa Program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Angkatan Tahun 2007


(9)

7. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Alm. Ayahanda Tgk. H. Ading, Ibunda Hj. Siti Halimah, Istri tercinta, Adinda Sri Media Utama, buah hati yang tercinta; Ananda Hambali Lutfi Dafiqiin, Abyan Daffa Hawary, dan Khadijah Talita Shaci yang sangat berarti dalam hidup penulis, atas pengorbanan, dukungan dan kasih sayangnya mereka sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Penulisan menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi bahasa maupun isinya, sehingga saran dan masukan sangat diharapkan untuk kesempurnaan tesis ini.

Medan , Desember 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Kasad, lahir di Mesir pada tanggal 15 Desember 1975, anak keenam dari Alm. Ayahanda Tgk. H. Ading dan Ibunda Hj. Siti Halimah yang saat ini bertempat tinggal di Jalan Lokop Peunaron Kecamatan Serbajadi Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pendidikan formal penulis dimulai tahun 1984 Sekolah Dasar Negri Bunin Kecamatan Serbajadi tamat tahun 1989, Sekolah menengah Pertama di SMP Negri 1 Serbajdi Lokop tamat tahun 1992, Sekolah Perawat Kesehatan DepKes RI Kota Langsa tamat tahun 1995, D-III Keperawatan Pemda Lhokseumawe tamat tahun 2001, dan S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh tamat tahun 2006, dan Penulis mengikuti Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2007.

Penulis menikah tahun 1998 dan mempunyai 3 (tiga) orang anak. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil dari tahun 1997 sampai 2001, staf Puskesmas Serbajadi Lokop, tahun 2002 sampai 2003, Kepala Puskesmas Serbajadi Lokop, tahun 2004, staf Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, tahun 2005 sampai tahun 2007 staf Dinas Kesehatan Kota Langsa, tahun 2008 sampai 2009 sebagai Kepala Panti Asuhan Taman Harapan Kota Langsa, tahun 2010 sampai saat ini berkerja sebagai Dosen tetap pada Poltekkes DepKes RI Kota Langsa.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP...v

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR...x

BAB 1. PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Permasalahan ...8

1.3. Tujuan Penelitian ...8

1.4. Hipotesis...8

1.5. Manfaat Penelitian ...9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...10

2.1. Demam Berdarah Dengue...10

2.1.1. Epidemiologi Penyakit DBD...12

2.1.2. Etiologi...15

2.1.3. Patogenesis dan Patofisiologi...15

2.1.4. Tanda dan Gejala Klinik ...17

2.1.5. Manipestasi Penularan ...20

2.1.6. Nyamuk Penular DBD ...21

2.1.7. Ekologi Vektor ...25

2.1.8. Lingkungan ...26

2.1.9. Morfologi dan Siklus Hidup ...26

2.2. Penanggulangan dan Pencegahan DBD...29

2.3. Landasan Teori...32

2.3.1.Agent...33

2.3.2.Host (Penjamu) ...33

2.3.3.Environment (Lingkungan) ...33

2.4. Kerangka Konsep ...35

BAB 3. METODE PENELITIAN...36

3.1. Jenis Penelitian...36


(12)

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ...39

3.6. Metode Pengukuran ... 41

3.7. Metode Analisis Data...43

3.6.1. Analisis Univariat...43

3.6.2. Analisis Bivariat...44

3.6.3. Analisis Multivariat...44

BAB 4. HASIL PENELITIAN...45

4.1. Gambaran Umum dan Keadaan Wilayah Kota Langsa ...45

4.1.1. Letak Giogafis...45

4.1.2. Kependudukan ...46

4.2. Analisis Univariat ...47

4.3. Analisis Bivariat...51

4.4. Analisis Multivariat...55

4.4.1. Pemilihan Variabel Kandidat Multivariat ...56

4.4.2. Penentuan Variabel Yang Paling Berpengaruh...59

BAB 5. PEMBAHASAN...60

5.1. Karakteristik ...60

5.1.1. Pengaruh Umur Terhadap Kasus DBD ...60

5.1.2. Pengaruh Pendidikan Terhadap Kasus DBD ...61

5.1.3. Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kasus DBD...63

5.1.4. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kasus DBD...64

5.1.5. Pengaruh Sikap Terhadap Kasus DBD ...66

5.1.6. Pengaruh Kesempatan Terhadap Kasus DBD...67

5.1.7. Pengaruh Kemauan Terhadap Kasus DBD ...70

5.1.8. Pengaruh Kemampuan Terhadap Kasus DBD...72

5.1.9. Pengaruh Lingkungan Terhadap Kasus DBD...75

5.2. Faktor Yang Paling Dominan Hubungan dengan Kasus DBD ...79

5.3. Keterbatasan Penelitian...80

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN...81

6.1. Kesimpulan ...81

6.2. Saran... 81

DAFTAR PUSTAKA ...83


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.3. Definisi Operasional Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur dan

Hasil Ukur...42 4.1. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur

di Kota Langsa...47 4.2. Distribusi Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Berdasarkan

Jenis Kelamin Pada Tiap Kecamatan di Kota Langsa ...47 4.3. Distribusi Karakteristik Juru Pemantau Jentik (Umur, Jenis

Kelamin, Pendidikan, dan Pekerjaan di Kota Langsa ...48 4.4. Distribusi Karakteristik Juru Pemantau Jentik (Pengetahuan,

Sikap, Kesempatan, Kemauan, Kemampuan, Jarak Rumah, Tata Rumah, Tempat Penampungan Air, dan Keberadaan Jentik) Dalam Pencegahan

dan Penanggulangan Kasus DBD di Kota Langsa ...50 4.5. Distribusi Responden Menurut Kasus Demam Berdarah

Dengue di Kita Langsa...52 4.6. Rekapitulasi Hasil Uji Chi Square Pengaruh Karakteristik Juru Pemantau

Jentik (Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan, Sikap, Kesempatan, Kemauan, Kemampuan, Jarak Rumah, Tata Rumah, Tempat Penampungan Air, dan Keberadaan Jentik) Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kasus DBD di Kota Langsa ... 53 4.7. Hasil Analisis Uji Bivariat Untuk Identifikasi Variabel

Independen Yang Dimasukkan Kedalam Uji Multivariat...58 4.8. Hasil analisis Multivariat Regresi Logistik Pengaruh Karakteristik Juru

Pemantau Jentik (Pengetahuan, Sikap, Kemampuan, dan Keberadaan Jentik) Dalam Pencegahan dan Penanggulan Kasus DBD di Kota Langsa ...59 4.9. Hasil analisis Multivariat Regresi Logistik Pengaruh Karakteristik


(14)

4.10. Hasil analisis Multivariat Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel Independen Paling Berpengaruh Terhadap Kasus DBD


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti... 28 2.2. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi ... 33 2.3. Kerangka Teori Modifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Terjadinya Dengue... 35 2.4. Kerangka Konsep Penelitian ... 36


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ...86

2. Master Hasil Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian...98

3. Hasil Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian...99

4. Master Tabel Data Penelitian ...110

5. Master Tabel ...112

6. Hasil Uji Univariat, Bivariat ...131

7. Hasil Uji Multivariat ...151


(17)

ABSTRAK

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan nyamuk Aedes aegypti. Kota Langsa merupakan salah satu daerah endemis DBD dengan Insidens Rate (IR) 2006, (6,89 per 100.000, penduduk) sedangkan untuk Case Fatality Rate (CFR) 1,20 %. Kota Langsa berada di posisi nomor urut 7 (tujuh) daerah endemis DBD dari 23 (dua puluh tiga) kabupaten/kota yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional, bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik juru pemantau jentik dan kesehatan lingkungan terhadap kasus demam berdarah Dengue (DBD) di Kota Langsa. Populasi seluruh juru pemantau jentik, dengan jumlah sampel sebanyak 121 orang. Data dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan

Regresi Logistik.

Berdasarkan hasil penelitian, variabel yang berpengaruh terhadap kasus demam berdarah Dengue di Kota Langsa adalah: pendidikan (p=0,022), pekerjaan (p=0,131), pengetahuan (p=0,021), sikap (p=0,001), kesempatan (p=0,008), kemauan (p=0,018), kemampuan (p=0,000), tempat penampungan air (p=0,003), dan keberadaan jentik (p=0,000).

Dinas Kesehatan Kota Langsa diharapkan dapat meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah Dengue, melakukan kerjasama dan koordinasi dengan dinas terkait (dinas kebersihan, dinas tata kota). Kepada puskesmas dalam wilayah Kota Langsa (puskesmas Langsa Kota, Langsa Timur, Langsa Barat, Langsa Lama, dan Langsa Baro), agar meningkatkan intensitas penyuluhan, pelatihan tentang PSN-DBD, penyediaan media informasi tentang pencegahan dan penanggulangan DBD. Masyarakat juga diharapkan ikut serta dalam menjaga kebersihan rumah dan lingkungan dari sampah/wadah barang-barang bekas yang bisa menjadi media untuk tempat nyamuk berkembang biak.


(18)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhage Fever (DHF) is a contagious disease caused by the

Dengue virus and spread by Aedes aegypti. The City of Langsa is one of the DHF

endemic areas with the Incidence Rate (IR) in 2006 of 6.89 per 100.000 population and Case Fatality Rate (CFR) of 1.20%. The City of Langsa is on the seventh position of the DHF endemic areas in 23 districts/cities of the Province of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

The purpose of this study with cross-sectional design is to analyze the influence of the characteristics of mosquito larva monitor and environmental health on the cases of Dengue Hemorrhage Fever (DHF) in the City of Langsa. The population of this study were 121 mosquito larva monitors and all of them were selected to be samples of this study through total sampling technique. The data for this study were obtained through questionnaire-based interview. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that the variables which influenced the cases of Dengue Hemorrhage Fever (DHF) in the City of Langsa were: education (p= 0.022), occupation (p= 0.131), knowledge (p=0.021), attitude (p=0.001), opportunity (p= 0.008), determination (p= 0.018), ability (p= 0.000), water container (p= 0.003), and the existence of mosquito larva (p= 0.000).

It is expected that Langsa City Health Office increase the attempt to prevent and manage the cases of Dengue Hemorrhage Fever (DHF), to cooperate and make coordination with related agencies (Sanitary Service, Town Planning Service). Health Centers which located in the City area of Langsa (Health Centre Langsa Kota, Langsa Timur, Langsa Barat, Langsa Lama, and Langsa Baro) should increase the intensity of extension, training on Mosquito's Breeding place Control Dengue Hemorrhage Fever, provision of media of information on the prevention and coping with Dengue Hemorrhage Fever. The members of community are also expected to participate in maintaining home and environmental sanitary by keeping them away from garbage and used stuff that can be the media for the mosquitoes to multiply.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma pembangunan kesehatan yang harus lebih mengutamakan upaya promotif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Dengan demikian pemberantasan penyakit menular merupakan program yang penting, dalam pembangunan untuk meningkatkan kesehatan dan kemampuan hidup bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya. Peningkatan kesehatan yang ditandai dengan penduduknya yang berperilaku, lingkungan sehat, serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. Untuk meningkatkan derajat kesehatan salah satunya dengan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian (Depkes RI, 2004).

Sepanjang perjalanan, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di wilayah Asia Tenggara. Terdapat peningkatan besar - besaran frekuensi dan jumlah kejadian luar biasa. Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD). Secara umum dapat disebutkan bahwa sekitar 2,5 sampai 3 milyar orang diperkirakan berisiko terkena infeksi virus Dengue. Virus ini dapat terinfeksi pada semua kelompok umur terutama anak-anak, dengan kematian


(20)

muncul pertama kali pada tahun 1953 di Filiphina dan selanjutnya mulai menyebar ke banyak negara yang tercakup di wilayah WHO SEA (WHO South East Asia) dan wilayah WHO Western Pacific (WP). Demam Berdarah Dengue (DBD), dapat menimbulkan wabah. Penyakit ini berkembang sangat cepat dan bahkan dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya. Pada saat ini belum ditemukan obat atau vaksin bagi pengobatan penyakit DBD (Depkes RI, 2003).

Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue

ditularkan nyamuk Aedes aegypti. Sampai saat ini DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan dampak sosial dan ekonomi serta berkaitan dengan perilaku masyarakat. Penyakit DBD ini muncul pertama kali pada tahun 1953 di Filiphina dan selanjutnya menyebar kebanyak Negara di dunia, termasuk di Indonesia (Depkes RI, 2005).

Di Asia Tenggara tahun 2003 diperkirakan bahwa terdapat sekurang – kurangnya 100.000.000 kasus demam berdarah Dengue pertahun dan 500.000 kasus yang memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, dimana 90% penderita adalah anak – anak dibawah usia 15 tahun. Angka kematian (CFR) rata – rata sekitar 5%, terjadi tiap tahunnya (Depkes RI, 2003).

Kasus DBD semakin menyebar luas karena virus Dengue dan nyamuk penularnya Aedes aegypti tersebar luas baik dirumah maupun di tempat – tempat umum diseluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya melebihi 1000 meter dipermukaan laut. Dewasa ini penyebaran penyakit DBD sudah menjangkit di seluruh Propinsi di Indonesia (Suroso, 1992).


(21)

Penyebaran nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya terutama keadaan lingkungan fisik, seperti kebersihan halaman rumah, jenis kontainer, perilaku dan sosial ekonomi masyarakat. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah kurang lebih 1000 meter, nyamuk ini tidak dapat berkembang biak pada ketinggian tersebut, suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk untuk berkembang biak (Depkes RI, 2003).

Secara epidemiologi dapat dilihat bahwa, kasus DBD dapat menyerang semua golongan umur, jenis kelamin, terutama anak – anak. Tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan porsi penderita DBD pada golongan dewasa. Ksus DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim penghujan atau bebarapa minggu setelah musim hujan, maka kasus DBD memperlihatkan siklus 5 (lima) tahun sekali (Depkes RI, 2004).

Peningkatan kasus diprediksikan akibat lemahnya surveilans epidemiologi dan upaya pemberdayaan masyarakat untuk memantau jentik sebagai upaya pencegahan kurang terlaksana secara optimal. Demikian juga dengan angka kematian meningkat akibat keterlambatan mendapat pertolongan, perilaku masyarakat membersihkan sarang nyamuk masih kurang (Depkes RI, 2003).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan angka incidence kasus DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hasil penelitian Isnuwadani (2000) banyak terdapat tempat penampungan air, baik kaleng bekas, ban bekas dan tempat


(22)

Aedes aegypti. Tempat penampungan air yang berjentik lebih besar kemungkinan terjadi DBD dibandingkan tempat penampungan air yang tidak berjentik. (Nur Hamidah dkk, 2003).

Kasus DBD di Indonesia pertama kali dilaporkan KLB di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968, dimana tercatat 54 kasus dengan 24 kematian Case Fatality Rate (CFR) 41,5%, pada tahun berikutnya kasus DBD menyebar ke lain kota yang berada di wilayah Indonesia dan dilaporkan meningkat setiap tahunnya. Kejadian luar biasa kasus DBD terjadi disebagaian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan (Soegijanto, 2003).

Komfermasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970 di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969, dan pada tahun 1994 DBD telah menyebar keseluruh Indonesia. Pada saat ini DBD sudah menjadi endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 telah terjangkit di daerah pedesaan (Soedarmo, 2005). Awal kejadian luar biasa kasus DBD setiap lima tahun selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecendrungan peningkatan infeksi virus Dengue pada bulan - bulan tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan 1) perubahan iklim dan kelembabapan nisbi; 2) terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan infeksi virus Dengue ke daerah endemis, kasus DBD dari pedesaan ke perkotaan; 3) meningkatnya kantong - kantong jentik nyamuk Aedes aegypti di perkotaan terutama daerah kumuh pada bulan - bulan tertentu (Soegijanto, 2003).


(23)

Kasus DBD telah menyebar luas keseluruh wilayah provinsi dengan jumlah kabupaten/ kota terjangkit sampai dengan tahun 2005 sebanyak 330 kabupaten/ kota (75% dari seluruh kab/ kota). Insidens Rate (IR) DBD secara nasional berfluktuasi dari tahun ketahun. Awalnya pola endemik terjadi setiap lima tahunan, namun dalam kurun waktu lima belas tahun terkhir mengalami perubahan dengan priode antara 2–5 tahunan, sedangkan Case Fatality Rate (CFR) cendrung menurun. Perkembangan IR dan CFR DBD dari tahun 2000 – 2005 terjadi peningkatan. Tahun 2000 IR 10,17 per 100.000 penduduk dengan CFR 2% dan sampai dengan tahun 2005, IR 43,42 per 100.000 penduduk dengan CFR 1,36% (Profil Kesehatan Depkes RI, 2007).

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri dari 23 kabupaten/ kota, Insidens Rate (IR) DBD 12,4 per 100.000 penduduk dengan CFR 1,90% dari jumlah kabupaten/ kota tersebut empat diantaranya yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireun, Kota Lhokseumawe, , Kabupaten Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Kota Langsa merupakan daerah endemis dan setiap tahun terjadi peningkatan kasus. Kota Langsa merupakan Kabupaten/ kota dengan jumlah kasus DBD berada di pringkat 7 (tujuh) dari 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Profil Dinkes Provinsi NAD, 2007)

Selain itu penyebaran kasus DBD disebabkan oleh meningkatnya mobilitas penduduk antar daerah, sehingga mempengaruhi Herd immunity penduduk, dan berpotensi terhadap penularan virus Dengue di kota Langsa, yang tinggi angka insiden DBD dari beberapa kabupaten/kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


(24)

banyak kasus yang berulang. Sebagian besar penduduk yang tinggal di kota Langsa merupakan pekerja swasta, sehingga mempunyai mobilitas tinggi karena lokasi kerjanya sebagian besar di luar Kota Langsa yaitu; di Medan, dan kota Lhokseumawe dimana kota tersebut merupakan daerah endemis DBD. Disamping itu rata – rata jumlah anggota keluarganya sebanyak 5 orang, hal ini menjadi salah satu faktor resiko tertularnya penyakit DBD dalam keluarga tersebut (Propil Dinkes Kota Langsa, 2008).

Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di kota Langsa dalam kurun waktu tahun 2005–2009 terjadi peningkatan secara fluktuatif, merupakan daerah endemis DBD, dengan jumlah kasus pada tahun 2009 mencapai 127 orang. Pemutusan mata rantai penularan penyakit DBD dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN-DBD), abatesasi selektif, Fogging atau pengasapan massal pada semua desa tampa kecuali lokasi kasus terjangkit dan penyuluhan pegerakan masyarakat, (Profil Dinkes Kota Langsa, 2008)

Insiden Rate (IR) kasus DBD tahun 2005 sebesar 5,76 per 100.000 penduduk, meningkat menjadi 6,89 per 100.000 tahun 2006. Daerah yang termasuk daerah KLB adalah kota Banda Aceh dan kota Lhokseumawe, dimana kematian (Case Fatality Rate) sebesar 1,20 %, hal ini mengindikasikan CFR tersebut melebihi dari indikasi Nasional, yaitu 1 %. Di kota Langsa, tahun 2005 jumlah kasus DBD sebanyak 58 kasus dan tahun 2006 meningkat menjadi 99 kasus yang tersebar dibeberapa kecamatan, kemudian tahun 2007 meningkat menjadi 108 kasus, dan pada tahun 2008 menjadi 118 kasus, sedangkan tahun 2009 ini kasus DBD yang tercatat di Dinas


(25)

kesehatan kota Langsa mencapai 127 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kasus DBD di Kota Langsa masih tinggi, dan membutuhkan upaya pencegahan dan penaggulangan yang lebih intensif, (Laporan Dinkes Kota Langsa, 2009).

Upaya penaggulangan kasus DBD juga dilakukan di Kota Langsa. Dalam pelaksanaannya berdasarkan prosedur tetap penanggulangan mordibitas DBD dan KLB DBD, yang dimulai dengan pelacakan kasus, penyelidikan epidemiologi, penanganan kasus/penderita (diobati/dirujuk), melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN-DBD) dengan 3 M plus (menguras, menutup dan menimbun) tempat penampungan air, abatesasi selektif ke daerah endemis dan melakukan

fogging fokus sesuai dengan indikasi. (Profil Dinkes Kota Langsa, 2009).

Hasil evaluasi penanggulangan DBD di Kota Langsa. Diketahui tahun 2005 jumlah desa yang dilakukan penyelidikan epidemiologi sebanyak 36 desa. Abatisasi terhadap 1000 rumah. Kelemahan yang ada adalah pelaksanaan PSN-DBD masih belum optimal dan kontinue, hal ini terlihat dari rendahnya Angka Bebas Jentik (ABJ). Tahun 2005 yakni 75%, ini menunjukkan masih berada dibawah indikator Nasional (95%) untuk daerah endemis (Profil Dinkes Kota Langsa, 2009). Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik Juru Pemantau Jentik seperti umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan, jarak rumah, tata rumah, tempat penampungan air, keberadaan jentik terhadap adanya kasus DBD di Kota Langsa.


(26)

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh karakteristik juru pemantau jentik (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan dan lingkungan) terhadap kasus demam berdarah Dengue di kota langsa.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh karakteristik juru pemantau jentik (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan dan lingkungan) terhadap adanya kasus DBD di Kota Langsa.

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh karakteristik juru pemantau jentik dan Kesehatan lingkungan berpengaruh terhadap adanya kasus DBD di Kota Langsa.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Sebagai bahan informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Langsa dalam rangka melakukan evaluasi cakupan penanggulangan kasus Demam Berdarah Dengue

(DBD), sebagai masukan untuk kebijakan operasional program penanggulangan kasus DBD secara efesian, efektif dan komprehensif di kota Langsa.


(27)

1.5.2 Sebagai informasi tambahan mengenai faktor risiko penyakit DBD di Kota Langsa bagi peneliti lain, dapat diketahuinya variabel apa saja yang dapat mempengaruhi tingginya kasus DBD di Kota Langsa.

1.5.3 Bagi Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat , hasil penelitian ini dapat berguna sebagai rujukan dan dapat dikembangkan dalam penelitian-penelitian lebih lanjut, khususnya tentang pengaruh karakteristik juru pemantau jentik dan kesehatan lingkungan terhadap adanya kasus DBD.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut disertai dengan manifestasi perdarahan bertendensi menimbulkan syok dan dapat menyebabkan kematian, umumnya menyerang anak < 15 tahun, namun tidak tertutup kemungkinan menyerang orang dewasa. Tanda-tanda penyakit ini adalah demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda-tanda perdarahan di kulit (petechiae), lebam (echymosis)

atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Depkes RI, 2003).

Menurut WHO tahun 1997 dikenal penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD), yaitu penyakit akut yang disebkan oleh virus dengan gejala seperti sakit kepala, sakit pada sendi, tulang dan otot. Sedangkan DBD ditunjukkan oleh 4 (empat) manifestasi klinis yang utama, demam tinggi, fenomena perdarahan, sering dengan hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah (Depkes RI, 2005).

Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue

dan disebarkan oleh nyamuk Aedes. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh nyamuk, yang ditandai dengan panas mendadak yang disertai dengan pendarahan aegypti dan Aides albopictus yang ditandai dengan panas mendadak disertai pendarahan, dan bila tidak segera mendapat


(29)

pertolongan, dapat menyebabkan kematian penderita dalam waktu beberapa hari. (Depkes RI, 1995).

Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang ditandai dengan : (1) demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, (2) manifestasi perdarahan, perdarahan kunjungtiva, epitaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, melena, hematuri termasuk uji Torniquet (remple Leede) positif, (3) jumlah trombosit ≤ 100.000/µl, (4) peningkatan hemotokrit ≥ 20%, (5) disertai pembesaran hati (Depkes RI, 2005).

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau DengueHaemorhagic Fever (DHF) di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 581/ MENKES/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue

diidentifikasikan sebgai berikut : “adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak 2 - 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda pendarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam

(ecchymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock). Menteri Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan Keputusan No. 581/MenKes/SK/VII/1992 tanggal 27 Juli 1992 tentang Pemberantasan penyakit DBD sebagai pedoman yang telah dijabarkan dalam petunjuk teknis yang ditetapkan melalui Keputusan Dirjen PPM&PLP No. 914/PD.03.04/BP/1992, (Depkes, 2003).


(30)

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut disertai dengan manifastasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan syok dan dapat menyebabkan kematian, dapat terjadi pada semua golongan umur. Penyakit ini pada umumnya ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti namun dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus yang peranannya dalam penyebaran penyakit ini sangat kecil, ini biasanya hidup di kebun-kebun (Depkes RI, 2003).

2.1.1. Epidemiologi Penyakit DBD

2.1.1.1 Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes terutama Aedes aegypti yang sering menimbulkan wabah dan kematian. Menemukan kasus DBD secara dini bukanlah hal yang mudah, karena pada awal perjalanan penyakit gejala dan tandanya tidak spesifik, sehingga sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya. Penegakan diagnosis DBD (secara klinis) sesuai dengan kriteria World Health Organization (WHO), sekurang-kurangnya memerlukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan yang di harapkan adalah trombosit dan hematokrit secara berkala, (Depkes RI, 2010).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat menyerang semua umur, walaupun sampai saat ini lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat cendrung kenaikan porporsi pada kelompok dewasa, sejalan


(31)

dengan perkembangan transportasi yang lancar, dan pesatnya pertumbuhan penduduk sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus Dengue lebih besar (WHO, 1998).

Jenis kelamin pernah ditemukan perbedaan nyata antara laki-laki dan perempuan. Beberapa negara melaporkan bahwa banyak kelompok wanita dengan

Dengue Shock Syndrome (DSS), menunjukkan dimana angka kematian yang tinggi adalah laki-laki. Singapore dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian infeksi di antara kelompok etnik. Kelompok penduduk Cina banyak terserang DBD dari pada yang lain, dijumpai pada awal epidemi (Soegijanto, 2003).

2.1.1.2 Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat

Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah siklus perkembangan Aedes aegypti tidak sempurna (Depkes RI, 2007).

Sejak kurun waktu 30 tahun ditemukan virus Dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit meningkat pesat. Saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa dengan insiden rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-7 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 (Depkes RI, 2005).


(32)

pemukiman baru, dan adanya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta ada empat tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun (Depkes RI, 2003). 2.1.1.3. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu

Menurut Depkes RI (2003), pola berjangkitnya infeksi virus Dengue

dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32ºC) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus Dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

2.1.1.4. Pola Epidemiologi Penyakit DBD

Memahami situasi yang muncul terhadap infeksi virus (penjamu), perlu mengenali beberapa aspek intraksi virus penjamu. Aspek-aspek tersebut meliputi : (a) Infeksi Dengue jarang menimbulkan kasus ringan pada anak; (b) Infeksi Dengue pada seorang dewasa sering menimbulkan gejala, akan tetapi beberapa starain virus mengakibatkan kasus yang sangat ringan baik pada anak maupun orang dewasa yang sering tidak di kenali sebagai kasus Dengue dan menyebar tanpa terlihat didalam masyarakat; (c) Infeksi primer maupun skunder Dengue pada orang dewasa mungkin menimbulkan perdarahan gastrointestinal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.


(33)

2.1.2 Etiologi

Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk kelompok B anthropida borne virus (Arboviruses). Dikenal sebagai genus Flavivirus, famili

Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotype, yaitu : DEN–1, DEN–2, DEN–3 dan DEN–4. Salah satu infeksi serotype akan menimbulkan antibodi terhadap serotype

yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotype lain dan sangat kekurangan, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan terhadap serotype yang lain. Keempat serotype virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinis berat. Serotype DEN–3 berasal dari Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imunitas rendah dengan tingkat penyebaran yang tinggi, sudah diketahui sejak 300 tahun yang lalu penanggulangannya belum juga tuntas (Depkes RI, 2004).

2.1.3. Patogenesis dan Patofisiologi

Fenomena patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan membedakan demam berdarah Dengue, dengan klasik tingginya permabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia. Meningginya nilai hematokrit pada penderita dengan renjatan menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak dengan mengakibatkan menurunnya volume plasma dan


(34)

patogenesis demam berdarah Dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi Dengue

pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus Dengue yang berlainan dalam jangka waktu tertentu yang diperkirakan antara 6 (enam) bulan sampai 5 (lima) tahun. Virus Dengue masuk kedalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti

atau Aedes albopictus (Depkes RI, 2003).

Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai penjamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan penjamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi perlawanan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes RI, 2001).

Organ yang menjadi sasaran dari virus adalah organ hepar, nodus limfatikus, sumsum tulang, serta paru-paru. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2003).

Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi didalam sel tersebut. Infeksi virus Dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk kemponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus.


(35)

Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan virus DEN terjadi disitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotype virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotype virus tersebut, tapi tidak ada

”cross protective” terhadap serotype virus yang lain (Soegijanto, 2003).

Patogenesis Demam Berdarah Dengue (DBD) terhadap dua perubahan patofisiologi yang menyolok yaitu : meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal yang terjadi singkat (24-48 jam), hipovolemia dan terjadi syok. Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia dan koagulopati, mendahului terjadinya manisfestasi perdarahan (Depkes RI, 2003).

2.1.4 Tanda dan Gejala Klinik

Menurut Depkes RI (2003), secara klinis ditemukan demam, suhu pada umumnya antara 39o-40o C, pada fase awal demam terdapat ruam yang tampak di muka, leher dan dada. Selanjutnya pada fase penyembuhan suhu turun dan timbul petekia yang menyeluruh pada tangan dan kaki. Pendarahan pada kulit pada DBD terbanyak adalah uji tornique positif. Penyakit DBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa. Sedangkan masa inkubasi DBD biasanya berkisar antara 4-7 hari. Prognosis DBD sulit di ramalkan dan pengobatan yang spsifik untuk DBD tidak ada, karena obat terhadap virus Dengue belum ada. Prinsif dasar


(36)

pengobatan penderita DBD adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Depkes RI, 2005).

Pencegahan dan penanggulangan infeksi Dengue diutamakan pada pemberantasan vektor penyakit karena vaksin yang efektif masih belum tersedia. Pemberantasan vektor ini meliputi pemberantasan sarang nyamuk dan pembasmian jentik. Pemberantasan sarang nyamuk meliputi pembersihan tempat penampungan air bersih yang merupakan sarana utama perkembangbiakan nyamuk, diikuti penimbunan sampah yang bisa menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Tempat air bersih perlu dilindungi dengan ditutup yang baik. Pembasmian jentik dilakukan melalui kegiatan larvaciding dengan abate dan penebaran ikan pemakan jentik di kolam-kolam (Soegijanto S, 2004).

Menurut Soegijanto (2003) gejala klinik utama pada penyakit DBD adalah demam dan manifestasi perdarahan baik yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet. Adapun gejala klinik DBD antara lain : 1) Mendadak panas tinggi selama 2-7 hari, tampak lemah lesu suhu badan antara 38°C - 40°C atau lebih; 2) Tampak binti-bintik merah pada kulit dan jika kulit direnggangkan bintik merah itu tidak hilang; 3) Kadang-kadang perdarahan di hidung ( mimisan); 4) Mungkin terjadi muntah darah atau berak darah; 5) Tes Torniquet positif ; 6) Adanya perdarahan, akimosis atau purpura; 7) Kadang-kadang nyeri ulu hati, karena terjadi perdarahan di lumbung bila sudah parah, penderita gelisah, ujung tangan dan kaki dingin, berkeringat perdarahan selaput lendir mukosa, alat pencernaan gastrointestinal, tempat suntikan atau ditempat lainnya; 8) Hematemesis atau melena; 9)


(37)

Trombositopenia (=100.000/mm3); 10) Pembesaran plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah, yang ditandai dengan munculnya satu atau lebih dari: a) Kenaikan nilai 20% hematokrit atau lebih tergantung umur dan jenis kelamin; b) Menurunnya nilai hematokrit dari nilai dasar 20 % atau lebih sesudah pengobatan; c) Tanda-tanda pembesaran plasma yaitu efusi pleura, asites, hipo-proteinaemia; d) Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembang biak diselokan/got atau kolam yang airnya langsung berhubungan dengan tanah; e) Biasanya menggigit manusia pada pagi atau sore hari; f) Mampu terbang sampai 100 meter.

Diagnosa penyakit DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosa WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis, ini dimaksudkan untuk mengurangi daiagnosa yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosa). Kriteria klinis tersebut seperti demam tinggi tanpa sebab yang jelas yang berlangsung 2-7 hari. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji tornique positif, petekia, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematimesis dan melena perbesaran hati. Adanya syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan penderita tampak gelisah. Kirteria laboratorium seperti trombositopenia 100.000 / ul atau kurang dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat peningkatan hemotokrit 20% atau lebih. Dua Kriteria klinis ditambah hematokrit cukup untuk menegakkaan diagnosis klinis DBD, (Depkes RI, 2005).


(38)

Menurut WHO (2002) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) derajat, yaitu sebagai berikut :

Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi perdahan ialah uji tourniquet positif.

Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain. Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,

tekanan jadi menurun ( < 20 mmHg ) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.

Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur.

2.1.5. Manipestasi Penularan

Seseorang didalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber penularan penyakit DBD. Virus Dengue berada dalam darah selama 4 hari sampai dengan 7 hari mulai 1 sampai 2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya (Depkes RI, 2004).

Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus Dengue ini akan menjadi penular (infektif)


(39)

sepanjang hidupnya. Penularan terjadi setiap nyamuk menusuk (menggigit), sebelum menghisap darah, nyamuk akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya

(proboscis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus

Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Depkes RI, 2004).

2.1.6. Nyamuk Penular DBD

Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Yang paling berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti karena hidupnya didalam rumah, sedangkan Aedes albopictus hidupnya di kebun-kebun sehingga lebih jarang kontak dengan manusia. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali ditempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter diatas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak (Depkes RI, 2004).

Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti: 1) Berwarna hitam dan belang-belang (loreng) putih pada seluruh tubuh; 2) Berkembangbiak di Tempat Penampungan Air (TPA) dan barang-barang yang memungkinkan air tergenang seperti: bak mandi, tempayan, drum, vas bunga, ban bekas, dan lain-lain; 3) Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembangbiak diselokan/got atau kolam yang airnya langsung berhubungan dengan tanah; 4) Biasanya menggigit manusia pada pagi atau sore hari; 5) Mampu


(40)

2.1.6.1. Nyamuk Penular

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) didalam atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung seperti baju, biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Nyamuk betina akan meletakkan telurnya didinding bak penampungan air dan sedikit di atas permukaan air. Telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah terendam air. Jentik kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Depkes RI, 2005).

Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah Dengue. Virus Dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan


(41)

tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1(satu) minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus Dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Depkes RI, 2004).

2.1.6.2. Akibat Penularan Virus Dengue.

Orang yang kemasukan virus Dengue, maka dalam tubuhnya akan terbentuk zat anti yang spesifik sesuai dengan type virus Dengue yang masuk. Tanda atau gejala yang timbul ditentukan oleh reaksi antara zat anti yang ada dalam tubuh dengan antigen yang ada dalarn virus Dengue yang baru masuk (Depkes RI, 2004).

Orang yang kemasukkan virus Dengue untuk pertama kali, umumnya hanya menderita sakit demam Dengue atau demam yang ringan dengan tanda/gejala yang tidak spesifik atau bahkan tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sama sekali

(asymptomatis). Penderita demam Dengue biasanya akan sembuh sendiri dalam waktu 5 hari tanpa pengobatan. Tanda-tanda demam berdarah Dengue ialah demam mendadak selama 2-7 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 (tiga) yang kemudian


(42)

sebelumnya sudah pernah kemasukkan virus Dengue kemudian memasukkan virus

Dengue dengan tipe lain maka orang tersebut dapat terserang penyakit demam berdarah Dengue (teori infeksi skunder) (Depkes RI, 2003).

2.1.6.3. Tempat Potensial Bagi Penularan DBD

Penularan demam berdarah Dengue dapat terjadi disemua tempat yang terdapat nyamuk penularan. Adapun tempat yang potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah : 1) Wilayah yang banyak kasus DBD (Endemis); 2) Tempat-tempat umum merupakan Tempat-tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus

Dengue cukup besar di tempat-tempat umum antara lain: a) Sekolah; b) Rumah Sakit atau Puskesmas dan Sarana pelayanan kesehatan lainnya; c) Tempat umum lainnya seperti : hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah dan lain-lain. 3) Pemukiman baru dipinggir kota. Karena dilokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah dimana kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau karier (Depkes RI, 2004).

Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia, biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada pagi hari. Aktivitas menggigit biasanya (pukul 9.00-10.00 wib) dan petang hari (16.00-17.00 wib). Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah (Depkes RI, 2003).


(43)

Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) didalam atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Disini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina akan meletakkan telurnya didinding tempat perkembangbiakan, sedikit diatas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah terendam air, kemudian jentik lalu menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Depkes RI, 2003).

2.1.7. Ekologi Vektor

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antar vektor dengan lingkungannya. Eksistensi nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lingkungan biologik. Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Lingkungan fisik mempengaruhi eksistensi nyamuk antara ketinggian tempat, curah hujan, temperature dan kecepatan angina. Ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti pada ketinggian tersebut suhu terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk (Depkes RI, 1998).


(44)

2.1.8. Lingkungan

Lingkungan ada bermacam-macam misalnya tata rumah, macam kontainer, ketinggian tempat dan iklim (Depkes RI, 1998). (1) Jarak antara rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah kerumah lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin mudah nyamuk menyebar ke rumah sebelah. Bahan-bahan pembuat rumah, kontruksi rumah, warna dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk. (2) Macam kontainer, disini adalah jenis/bahan kontainer, letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup dan asal air mempengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur. (3) Ketinggian tempat, pengaruh variasi ketinggian terhadap syarat-syarat ekologis yang diperlukan oleh vektor penyakit di Indonesia nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopiktus dapat hidup pada daerah dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (Depkes RI, 1998)

Lingkungan yang mempengaruhi penularan DBD terutama adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan, yang mempengaruhi kelembaban, pencahayaan didalam rumah, merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap dan beristirahat (Soegijanto, 2003).

2.1.9. Morfologi dan Siklus Hidup 2.1.9.1. Morfologi nyamuk Aedes aegypti

Telurnya berwarna hitam berukuran 0,80 mm bentuk oval mengapung satu persatu pada permukaan air bersih atau menempel pada dinding tempat penampungan


(45)

air. Larva (jentik), ada 4 (empat) tingkat larva sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut. Larva 1 berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm, larva II berukuran agak besar mencapai 5 mm. Pupa (kepompong) berbentuk seperti koma dengan ukuran badannya lebih kecil dibandingkan dengan nyamuk lain. Nyamuk Aedes aegypti dewasa ukuran badannya lebih kecil dibandingkan nyamuk lain, warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki (Depkes RI, 2004).

2.1.9.2. Siklus Hidup

Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna yaitu dari telur jentik, kepompong sampai menjadi nyamuk. Stadium telur, jentik, kepompong hidup didalam air. Telur akan menetas menjadi jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium pupa (kepompong) berlangsung 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa mencapai 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes RI, 2004).

Nyamuk Dewasa

Telur Nyamuk

Pupa (Kepompong)

Jentik


(46)

2.1.9.3.Pengamatan Aedes aegypti

Pengamatan nyamuk sangat diperlukan untuk mengetahui keadaan nyamuk dan menyusun program pengendalian maupun untuk mengevaluasi keberhasilan dari program tersebut. Pengamatan Aedes aegypti diasa dikenal dengan nama survei Aedes aegypti, yaitu: penyelidikan-penyelidikan terhadap kehidupan nyamuk termasuk kepadatan populasinya.

Untuk mengetahui keadaan populasi nyamuk Aedes aegypti disuatu daerah dapat melalui survey terhadap stadium jentik – jentik atau dewasa, sebagai hasil survey tersebut didapat indeks–indeks Aedes aegypti (indeks jentik, indeks ovitrap, bitting rate), dalam hal ini pengamatan yang dimaksud adalah mengenai indeks jentik yang diukur dari :

1. House Indeks

Jumlah rumah yang ditemukan jentik Aedes aegypti

HI = X100 % Jumlah rumah yang diperiksa

2. Container Indeks

Jumlah Kontainer yang positif jentik Aedes aegypti

CI = X 100 % Jumlah Kontainer yang diperiksa

1. Breatu Indeks

BI = Jumlah Kontainer yang menjadi sarang Aedes aegypti per 100 rumah disuatu daerah.

Dari hasil survei jentik didapat data-data mengenai House Indeks (HI), Container Indeks (CI) dan Breatu Indeks (BI) yang ditentukan setiap bulan untuk


(47)

daerah-daerah pelabuhan. Cara yang tapat untuk menentukan indeks-indeks jentik adalah dengan memakai cara single larvae survey yaitu semua kontainer menjadi sarang nyamuk diteliti, bila ditemukan jentik nyamuk maka diambil seekor dari setiap kontainer untuk diperiksa.

Bila ditemukan sarang nyamuk dengan investasi campuran, misalnya terdapat jentik Aedes aegypti maka dipilih jentik dari nyamuk yang sesuai dengan ciri-cirinya yaitu berwarna putih keabu-abuan, bergerak lamban dengan gerakan membentuk huruf S dan apabila terkena cahaya senter akan bergerak aktif (Depkes RI, 2003).

2.2. Penanggulangan dan Pencegahan DBD

Menurut Depkes RI (2003) dalam petunjuk Teknis P2 DBD, bahwa upaya penanggulangan DBD dibagi atas: 1) Penemuan dan Pelaporan Penderita. Penyakit DBD termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah sesuai dengan UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Permenkes RI No. 560 tahun 1989 tentang tempat tinggal penderita; 2) Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD disekirar rumah penderita dengan jarak lebih kurang 100 meter keliling, serta tempat-tempat umum yang diperkirakan sumber penularan penyakit lebih lanjut; 3) Kegiatan Penanganan adalah kegiatan untuk mencegah atau membatasi penularan penyakit DBD dirumah penderita DBD dan lokasi sekitarnya yang diperkirakan dapat menjadi sumber penularan penyakit DBD lebih lanjut.


(48)

Jenis kegiatan yang dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan adalah sebagai berikut: a) Bila ditemukan penderita DBD lainnya atau ditemukan satu atau lebih penderita panas atau demam tanpa sebab yang jelas dan ditemukan jentik, dilakukan penyemprotan (fogging fokus) di rumah penderita dan sekitarnya dalam diameter 200 meter, 2 (dua) siklus dengan interval 1 (satu) minggu, penyuluhan dan pergerakan masyarakat untuk Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN-DBD). b) Bila tidak ditemukan penderita tapi ditemukan jentik, dilakukan gerakan masyarakat PSN dan penyuluhan. c) Bila tidak ditemukan penderita dan tidak ditemukan jentik dilakukan penyuluhan kepada masyarakat; 4) Penanggulangan lain dilakukan di desa/kelurahan rawan oleh petugas kesehatan dibantu masyarakatt untuk mencegah terjadinya KLB dan membatasi penyebaran penyakit wilayah lain.

Jenis kegiatan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan sebagai berikut: a) Desa/kelurahan rawan I (endemis) yaitu bila dalam tiga tahun terakhir setiap tahunnya terjangkit DBD; b) Penyemprotan massal sebelum musim penularan yaitu penyemprotan yang dilakukan diseluruh wilayah desa/kelurahan rawan 1 sebelum masa penularan, untuk membatasi penularan dan mencegah KLB; c) Pemeriksaan jentik berkala di rumah dan tempat-tempat umum yaitu pemeriksaan tempat-tempat penampungan air dan tempat berkembang biakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan di rumah dan tempat umum secara teratur sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali untuk mengetahui populasi jentik nyamuk penular DBD dengan menggunakan indikator Angka Bebas Jentik (ABJ). (d) Penyuluhan kepada masyarakat; e) Desa/kelurahan rawan II (sporadik) yaitu apabila dalam 3 (tiga) tahun


(49)

terakhir terjangkit DBD tetapi tidak setiap tahun; f) Pemeriksaan jentik berkala di rumah dan ditempat umum; g) Penyuluhan kepada masyarakat; h) Desa/kelurahan rawan III (potensial) yaitu apabila dalam 3 (tiga) tahun terakhir tidak terdapat kasus DBD tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah lain presentase jentik yang ditemukan 15 %; i) Pemeriksaaan jentik berkala di rumah dan ditempat umum; j) Penyuluhan kepada masyarakat; k) Pemberantasan Nyamuk Penular DBD Pemberantasan nyamuk penular DBD merupakan cara utama mengatasi penyakit DBD, karena belum ada vaksin dan obat untuk mencegah dan membasmi virusnya. Maka pemberantasan dilakukan terhadap nyamuk dan jentiknya. Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan melalui pengapasan

(fogging) mengingat kebiasaan nyamuk yang hinggap pada benda-benda tergantung. Penyemprotan (fogging) dilakukan dengan 2 (dua) siklus dengan interval 1(satu) minggu untuk membasmi penularan Dengue.

Pemberantasan jentik Aedes aegypti yang merupakan bagian dari Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dapat dilakukan dengan cara kimia, biologi dan fisik. Secara kimia pemberantasan jentik dapat dilakukan dengan insektisida

(larvasida) ini dikenal dengan abatisasi. Secara biologi dilakukan dengan memelihara ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah dan ikan gupi. Secara fisik pemberantasan jentik dilakukan dengan kegiatan menguras, menutup, mengubur tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak berkembangbiak di tempat tersebut (Soegeng, 2004).


(50)

2.3. Karakteristik Juru Pemantau Jentik 2.3.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan objek yang sangat penting untuk terbentuknya prilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Soenaryo, 2002)

Menurut Notoadmodjo (2005), Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif adalah :

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam pemgetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.


(51)

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam bentuk konteks atau situasi yang lain.

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen,tetapi masih dalam suatu stuktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan dan mengelompokkan.

5) Sintesis ( Synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru


(52)

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kreteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Menurut Triutomo (2007), di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya mereka percaya bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mengambil langkah-langkah pencegahan atau penanggulangannya.

Pengetahuan terkait dengan persiapan menghadapi bencana pada kelompok rentan bencana menjadi fokus utama. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana (Priyanto, 2006).

Riset yang dilakukan di New Zealand memperlihatkan bahwa perasaan bisa mencegah bahaya gempa bumi dapat ditingkatkan dengan intervensi melalui pengisian kuesioner pengetahuan tentang gempa bumi yang di-follow up dengan penjelasan-penjelasan yang ditujukan untuk menghilangkan gap atau miskonsepsi pengetahuan tentang gempa bumi. Hasil riset menunjukkan bahwa pengetahun partisipan mengenai gempa bumi berhubungan dengan tingkat kesiapannya menghadapi gempa bumi. Penemuan ini mengimplikasikan jika program-program


(53)

mempertimbangkan pengetahuan saat ini dan berupaya menghilangkan miskonsepsi pengetahuan, akan meningkatkan kemampuan penduduk mempersiapkan diri dengan lebih baik atas gempa bumi atau bencana lain (Priyanto, 2006).

2.3.2. Sikap

Menurut Notoadmodjo (2005), Sikap merupakan juga respons tertutup seseorang terhadap simulasi atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Campbell (1950) dalam Notoadmodjo (2005) sikap adalah An individual’s attitude is syndrome of response consistency with regard to object.

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang tertutup. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respons terhadap stimulus tertentu (Sunaryo, 2004)

Allport dalam Notoadmodjo (2005), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negative. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan pada sikap negative terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 komponen pokok yaitu:


(54)

evaluasi terhadap suatu objek dan Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh, dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting.

Sikap pada fase preparedness, berbentuk adanya perilaku yang berlebih pada masyarakat tersebut karena minimnya informasi mengenai cara mencegah dan memodifikasi bahaya akibat bencana jika terjadi. Berita yang berisi hebatnya akibat bencana tanpa materi pendidikan seringkali membuat masyarakat menjadi gelisah dan memunculkan tindakan yang tidak realistis terhadap suatu isu. Menumbuhkan sikap dan pengetahuan dalam menghadapi bencana ini semakin menjadi bagian penting khususnya di negara yang seringkali dilanda bencana seperti Indonesia (Priyanto, 2006)

Sikap yang baik untuk mencegah banjir yaitu: tidak membuang sampah/limbah padat ke sungai, saluran dan sistem drainase, tidak membangun jembatan dan atau bangunan yang menghalangi atau mempersempit palung aliran sungai, tidak tinggal dalam bantaran sungai; tidak menggunakan dataran retensi banjir untuk permukiman atau untuk hal-hal lain diluar rencana peruntukkannya, menghentikan penggundulan hutan di daerah tangkapan air, menghentikan praktek pertanian dan penggunaan lahan yang bertentangan dengan kaidah kaidah konservasi air dan tanah (Bakornas PB, 2006).


(55)

2.3.3. Kesempatan

Kesempatan merupakan peluang atau keleluasaan seseorang untuk ikut serta dalam melakukan berbagai kegiatan. Mardikanto (2003), bagian kegiatan yang diharapkan partisipasi dari masyarakat antara lain:

1. Kesempatan untuk memperoleh informasi pembanguann.

2. Kesempatan memanfaatkan dan memobilisasi sumberdaya alam dan manusia untuk pelaksanaan pembangunan.

3. Kesempatan memperoleh dan mengunakan teknologi yang tepat (termasuk peralatan perlengkapan penunjangnya).

4. Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan mengunakan peraturan, perjanjian, dan prosudur kegiatan yang harus dilaksanakan.

5. Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggekkan, dan mengembangkan serta memelihara partisipasi maasyarakat (juru pemantau jentik).

Pemberian kesempatan pada masyarakt bukan sekadar, pemberian kesempatan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat atau mengganggu tercapainya tujuan pembangunan. Tetapi pemberian kesempatan harus dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat layak diberi kesempatan karena disamping memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan, mereka juga punya hak untuk berpartisipasi dan memanfaatkan setiap


(56)

2.3.4. Kemauan

Soewardi dalam Makmur (2008), menyatakan human mutivation (kemauan manusia) adalah kekuatan psikis dalam diri manusia. Dengan motivasi tersebut manusia meraih apa yang diinginkannya. Bila kemauan ini hilang, manusia akan melesak ke bawah, yang tersebut tergelincir. Sebaliknya bila kemauan itu timbul manusia akan melejit ke atas, yang di sebut menyongsong.

Winardi dalam Makmur (2008), mengemukakan bahwa kemauan (motivasi) berkaitan dengan kebutuhan. Kita sebagai manusia selalu mempunyai kebutuhan yang diupayakan untuk dipenuhi. Untuk mencapai keadaan termotivasi, kita harus mempunyai tindakan tertentu, dengan demikian kebutuhan seseoranglah yang akan menjadi dasar untuk melakukan tindakan.

Mardikanto (2003), menyatakan kemauan merupakan kunci utama untuk tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat (juru pemantau jentik). Sebab, kesempatan dan kemampuan yang cukup belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partispasi juru pemantau jentik, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk turut membangun.

Menurut Sastrohadiwiryo (2003), yang mengutip Machrani 1985, kemauan atau motivasi dapat di artikan sebagai keadaan kejiwaan dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau menggerakkan dan mengarah atau menyalurkan perilaku ke arah mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan. Sementara itu Sastrohadiwiryo (2003) yang mengutip Sagir 1985, mengemukakan juga bahwa unsur-unsur penggerak motivasi


(57)

antara lain adalah : kinerja, penghargaan, tantangan, tanggung jawab, pengembangan, keterlibatan dan kesempatan.

Yang dimaksut dengan kemauan adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2004).

2.3.5. Kemampuan

Menurut Robbins dalam Makmur (2008), kemampuan suatu kasitas individu untuk mengerjakan berbagai btugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan seseorang pada hakikatnya tersusun dari dua perangkat faktor, kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampauan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan serupa. Dengan meeningkatnya kemampuan masyarakat (juru pemantau jentik) baik secara intelektual dan fisik, akan memberikan kontribusi secara maksimal terhadap penyelenggaraan program pemberantasan penyakit DBD. Kesediaan seseorang untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuannya untuk berkembang secara mandiri.


(58)

Tilaar dalam Makmur (2008), mengungkapkan bahwa suatu masyarakat yang berpartisipasi adalah masyaraakat yang mengetahui potensi dan kemampunannya termasuk hambatan-hambatan karena keterbatasannya. Masyarakat yang mampu berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya termasuk kemampunnya untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat lainnya, bahkan npada tingkat nasional, regional dan internasional.

Mardikanto (2003), menyatakan, kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan:

1. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (meemperbaiki mutu hidupnya).

2. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan yang dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.

3. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.

2.4. Landasan Teori

Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Perubahan dari sektor


(59)

lingkungan akan memmikian juga dengan kejadian penyakit DBD yang berhubungan dengan lingkungan.

Penyakit Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti namun dapat juga ditularkan oleh nyamuk

Aedes albopictus tetapi perannya dalam penyebaran penyakit ini sangat kecil sekali, karena nyamuk ini biasanya hidup di kebun-kebun (Depkes RI, 2004).

Pada perinsipnya kejadian penyakit yang digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan hubungan tiga komponen penyebab penyakit, yaitu penjamu, agen dan lingkungan seperti gambar 2.2 berikut :

AGENT

Vektor

PENJAMU LINGKUNGAN

Sumber : CDC, 2002 Gordis, 2000; Gerstman, 1998; dalam Murti, 2003

Gambar 2.2. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi

Untuk memprediksikan pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen akan mengubah ketiga komponen lainnya, dengan akibat menaikkan atau


(1)

PEKRJ * KASUS DBD Crosstabulation

21 8 29

72,4% 27,6% 100,0%

52 40 92

56,5% 43,5% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Bekerja

Tdk Bekerja PEKRJ

Total

Ada Tidak Ada KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

2,327b 1 ,127

1,710 1 ,191

2,407 1 ,121

,191 ,094

2,308 1 ,129

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed

a. only for a 2x2 table 0 cells (,0%

b. ) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,50.

Crosstabs

PENGETAHUAN * KASUS DBD Crosstabulation

32 11 43

74,4% 25,6% 100,0%

41 37 78

52,6% 47,4% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Tinggi

Rendah PENGETAHUAN

Total

Ada Tidak Ada KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

5,532b 1 ,019

4,656 1 ,031

5,711 1 ,017

,021 ,015

5,486 1 ,019

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed o

a. nly for a 2x2 table 0 cells (,0%

b. ) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,06.


(2)

SIKAP * KASUS DBD Crosstabulation

27 2 29

93,1% 6,9% 100,0%

46 46 92

50,0% 50,0% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Tahu

Tdk Tahu SIKAP

Total

Ada Tidak Ada KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

17,117b 1 ,000

15,363 1 ,000

20,444 1 ,000

,000 ,000

16,976 1 ,000

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0% 11,50.

b. ) have expected count less than 5. The minimum expected count is

Crosstabs

SIKAP * KASUS DBD Crosstabulation

27 2 29

93,1% 6,9% 100,0%

46 46 92

50,0% 50,0% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Tahu

Tdk Tahu SIKAP

Total

Ada Tidak Ada

KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

17,117b 1 ,000

15,363 1 ,000

20,444 1 ,000

,000 ,000

16,976 1 ,000

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0% 11,50.


(3)

KESEMPATAN * KASUS DBD Crosstabulation

14 20 34

41,2% 58,8% 100,0%

59 28 87

67,8% 32,2% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Ada

Tdk Ada KESEMPATAN

Total

Ada Tidak Ada

KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

7,249b 1 ,007

6,179 1 ,013

7,154 1 ,007

,012 ,007

7,189 1 ,007

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,49.

b.

Crosstabs

KEMAUAN * KASUS DBD Crosstabulation

34 12 46

73,9% 26,1% 100,0%

39 36 75

52,0% 48,0% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Mau

Tdk Mau KEMAUAN

Total

Ada Tidak Ada

KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

5,721b 1 ,017

4,842 1 ,028

5,882 1 ,015

,022 ,013

5,673 1 ,017

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b.


(4)

KEMAMPUAN * KASUS DBD Crosstabulation

37 1 38

97,4% 2,6% 100,0%

36 47 83

43,4% 56,6% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Baik

Kurang KEMAMPUAN

Total

Ada Tidak Ada

KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

31,753b 1 ,000

29,537 1 ,000

39,690 1 ,000

,000 ,000

31,491 1 ,000

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed o

a. nly for a 2x2 table 0 cells (,0%

15,07.

b. ) have expected count less than 5. The minimum expected count is

Crosstabs

JARAK RUMAH * KASUS DBD Crosstabulation

45 30 75

60,0% 40,0% 100,0%

28 18 46

60,9% 39,1% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Tdk Baik

Baik JARAK RUMAH

Total

Ada Tidak Ada KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

,009b 1 ,924

,000 1 1,000

,009 1 ,924

1,000 ,540

,009 1 ,925

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,25.


(5)

TATA RUMAH * KASUS DBD Crosstabulation

32 21 53

60,4% 39,6% 100,0%

41 27 68

60,3% 39,7% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Tdk Baik

Baik TATA RUMAH

Total

Ada Tidak Ada KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

,000b 1 ,993

,000 1 1,000

,000 1 ,993

1,000 ,571

,000 1 ,993

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0% 21,02.

b. ) have expected count less than 5. The minimum expected count is

Crosstabs

TMP PENAMPUNGAN AIR * KASUS DBD Crosstabulation

48 44 92

52,2% 47,8% 100,0%

25 4 29

86,2% 13,8% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Ada

Tdk Ada TMP PENAMPUNGAN

AIR

Total

Ada Tidak Ada

KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

10,671b 1 ,001

9,296 1 ,002

11,905 1 ,001

,001 ,001

10,583 1 ,001

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is b.


(6)

Crosstabs

KEBERADAAN JENTIK * KASUS DBD Crosstabulation

39 4 43

90,7% 9,3% 100,0%

34 44 78

43,6% 56,4% 100,0%

73 48 121

60,3% 39,7% 100,0%

Count Row % Count Row % Count Row % Tdk Ada

Ada KEBERADAAN

JENTIK

Total

Ada Tidak Ada KASUS DBD

Total

Chi-Square Tests

25,702b 1 ,000

23,772 1 ,000

29,079 1 ,000

,000 ,000

25,490 1 ,000

121 Pearson Chi-Square

Continuity Correction a

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,06.