House Indeks Container Indeks 1. Karakteristik Juru Pemantau Jentik

2.1.9.3.Pengamatan Aedes aegypti Pengamatan nyamuk sangat diperlukan untuk mengetahui keadaan nyamuk dan menyusun program pengendalian maupun untuk mengevaluasi keberhasilan dari program tersebut. Pengamatan Aedes aegypti diasa dikenal dengan nama survei Aedes aegypti, yaitu: penyelidikan-penyelidikan terhadap kehidupan nyamuk termasuk kepadatan populasinya. Untuk mengetahui keadaan populasi nyamuk Aedes aegypti disuatu daerah dapat melalui survey terhadap stadium jentik – jentik atau dewasa, sebagai hasil survey tersebut didapat indeks–indeks Aedes aegypti indeks jentik, indeks ovitrap, bitting rate, dalam hal ini pengamatan yang dimaksud adalah mengenai indeks jentik yang diukur dari :

1. House Indeks

Jumlah rumah yang ditemukan jentik Aedes aegypti HI = X100 Jumlah rumah yang diperiksa

2. Container Indeks

Jumlah Kontainer yang positif jentik Aedes aegypti CI = X 100 Jumlah Kontainer yang diperiksa

1. Breatu Indeks

BI = Jumlah Kontainer yang menjadi sarang Aedes aegypti per 100 rumah disuatu daerah. Dari hasil survei jentik didapat data-data mengenai House Indeks HI, Container Indeks CI dan Breatu Indeks BI yang ditentukan setiap bulan untuk Universitas Sumatera Utara daerah-daerah pelabuhan. Cara yang tapat untuk menentukan indeks-indeks jentik adalah dengan memakai cara single larvae survey yaitu semua kontainer menjadi sarang nyamuk diteliti, bila ditemukan jentik nyamuk maka diambil seekor dari setiap kontainer untuk diperiksa. Bila ditemukan sarang nyamuk dengan investasi campuran, misalnya terdapat jentik Aedes aegypti maka dipilih jentik dari nyamuk yang sesuai dengan ciri-cirinya yaitu berwarna putih keabu-abuan, bergerak lamban dengan gerakan membentuk huruf S dan apabila terkena cahaya senter akan bergerak aktif Depkes RI, 2003.

2.2. Penanggulangan dan Pencegahan DBD

Menurut Depkes RI 2003 dalam petunjuk Teknis P2 DBD, bahwa upaya penanggulangan DBD dibagi atas: 1 Penemuan dan Pelaporan Penderita. Penyakit DBD termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah sesuai dengan UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Permenkes RI No. 560 tahun 1989 tentang tempat tinggal penderita; 2 Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD disekirar rumah penderita dengan jarak lebih kurang 100 meter keliling, serta tempat-tempat umum yang diperkirakan sumber penularan penyakit lebih lanjut; 3 Kegiatan Penanganan adalah kegiatan untuk mencegah atau membatasi penularan penyakit DBD dirumah penderita DBD dan lokasi sekitarnya yang diperkirakan dapat menjadi sumber penularan penyakit DBD lebih lanjut. Universitas Sumatera Utara Jenis kegiatan yang dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan adalah sebagai berikut: a Bila ditemukan penderita DBD lainnya atau ditemukan satu atau lebih penderita panas atau demam tanpa sebab yang jelas dan ditemukan jentik, dilakukan penyemprotan fogging fokus di rumah penderita dan sekitarnya dalam diameter 200 meter, 2 dua siklus dengan interval 1 satu minggu, penyuluhan dan pergerakan masyarakat untuk Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN-DBD. b Bila tidak ditemukan penderita tapi ditemukan jentik, dilakukan gerakan masyarakat PSN dan penyuluhan. c Bila tidak ditemukan penderita dan tidak ditemukan jentik dilakukan penyuluhan kepada masyarakat; 4 Penanggulangan lain dilakukan di desakelurahan rawan oleh petugas kesehatan dibantu masyarakatt untuk mencegah terjadinya KLB dan membatasi penyebaran penyakit wilayah lain. Jenis kegiatan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan sebagai berikut: a Desakelurahan rawan I endemis yaitu bila dalam tiga tahun terakhir setiap tahunnya terjangkit DBD; b Penyemprotan massal sebelum musim penularan yaitu penyemprotan yang dilakukan diseluruh wilayah desakelurahan rawan 1 sebelum masa penularan, untuk membatasi penularan dan mencegah KLB; c Pemeriksaan jentik berkala di rumah dan tempat-tempat umum yaitu pemeriksaan tempat-tempat penampungan air dan tempat berkembang biakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan di rumah dan tempat umum secara teratur sekurang-kurangnya 3 tiga bulan sekali untuk mengetahui populasi jentik nyamuk penular DBD dengan menggunakan indikator Angka Bebas Jentik ABJ. d Penyuluhan kepada masyarakat; e Desakelurahan rawan II sporadik yaitu apabila dalam 3 tiga tahun Universitas Sumatera Utara terakhir terjangkit DBD tetapi tidak setiap tahun; f Pemeriksaan jentik berkala di rumah dan ditempat umum; g Penyuluhan kepada masyarakat; h Desakelurahan rawan III potensial yaitu apabila dalam 3 tiga tahun terakhir tidak terdapat kasus DBD tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan wilayah lain presentase jentik yang ditemukan 15 ; i Pemeriksaaan jentik berkala di rumah dan ditempat umum; j Penyuluhan kepada masyarakat; k Pemberantasan Nyamuk Penular DBD Pemberantasan nyamuk penular DBD merupakan cara utama mengatasi penyakit DBD, karena belum ada vaksin dan obat untuk mencegah dan membasmi virusnya. Maka pemberantasan dilakukan terhadap nyamuk dan jentiknya. Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan melalui pengapasan fogging mengingat kebiasaan nyamuk yang hinggap pada benda-benda tergantung. Penyemprotan fogging dilakukan dengan 2 dua siklus dengan interval 1satu minggu untuk membasmi penularan Dengue. Pemberantasan jentik Aedes aegypti yang merupakan bagian dari Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN dapat dilakukan dengan cara kimia, biologi dan fisik. Secara kimia pemberantasan jentik dapat dilakukan dengan insektisida larvasida ini dikenal dengan abatisasi. Secara biologi dilakukan dengan memelihara ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah dan ikan gupi. Secara fisik pemberantasan jentik dilakukan dengan kegiatan menguras, menutup, mengubur tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak berkembangbiak di tempat tersebut Soegeng, 2004. Universitas Sumatera Utara

2.3. Karakteristik Juru Pemantau Jentik

2.3.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan objek yang sangat penting untuk terbentuknya prilaku terbuka overt behavior. Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng Soenaryo, 2002 Menurut Notoadmodjo 2005, Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif adalah : 1 Tahu know Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam pemgetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan. Universitas Sumatera Utara 2 Memahami comprehension Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek. 3 Aplikasi Application Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam bentuk konteks atau situasi yang lain. 4 Analisis Analysis Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen,tetapi masih dalam suatu stuktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan dan mengelompokkan. 5 Sintesis Synthesis Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Universitas Sumatera Utara 6 Evaluasi Evaluation Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kreteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Menurut Triutomo 2007, di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya mereka percaya bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mengambil langkah-langkah pencegahan atau penanggulangannya. Pengetahuan terkait dengan persiapan menghadapi bencana pada kelompok rentan bencana menjadi fokus utama. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana Priyanto, 2006. Riset yang dilakukan di New Zealand memperlihatkan bahwa perasaan bisa mencegah bahaya gempa bumi dapat ditingkatkan dengan intervensi melalui pengisian kuesioner pengetahuan tentang gempa bumi yang di-follow up dengan penjelasan-penjelasan yang ditujukan untuk menghilangkan gap atau miskonsepsi pengetahuan tentang gempa bumi. Hasil riset menunjukkan bahwa pengetahun partisipan mengenai gempa bumi berhubungan dengan tingkat kesiapannya menghadapi gempa bumi. Penemuan ini mengimplikasikan jika program-program Universitas Sumatera Utara mempertimbangkan pengetahuan saat ini dan berupaya menghilangkan miskonsepsi pengetahuan, akan meningkatkan kemampuan penduduk mempersiapkan diri dengan lebih baik atas gempa bumi atau bencana lain Priyanto, 2006.

2.3.2. Sikap

Menurut Notoadmodjo 2005, Sikap merupakan juga respons tertutup seseorang terhadap simulasi atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya. Campbell 1950 dalam Notoadmodjo 2005 sikap adalah An individual’s attitude is syndrome of response consistency with regard to object. Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak langsung dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari prilaku yang tertutup. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respons terhadap stimulus tertentu Sunaryo, 2004 Allport dalam Notoadmodjo 2005, mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan dapat bersifat negative. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan pada sikap negative terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak menyukai objek tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 komponen pokok yaitu: Kepercayaan keyakinan, ide dan konsep suatu objek; Kehidupan emosional atau Universitas Sumatera Utara evaluasi terhadap suatu objek dan Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh, dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap pada fase preparedness, berbentuk adanya perilaku yang berlebih pada masyarakat tersebut karena minimnya informasi mengenai cara mencegah dan memodifikasi bahaya akibat bencana jika terjadi. Berita yang berisi hebatnya akibat bencana tanpa materi pendidikan seringkali membuat masyarakat menjadi gelisah dan memunculkan tindakan yang tidak realistis terhadap suatu isu. Menumbuhkan sikap dan pengetahuan dalam menghadapi bencana ini semakin menjadi bagian penting khususnya di negara yang seringkali dilanda bencana seperti Indonesia Priyanto, 2006 Sikap yang baik untuk mencegah banjir yaitu: tidak membuang sampahlimbah padat ke sungai, saluran dan sistem drainase, tidak membangun jembatan dan atau bangunan yang menghalangi atau mempersempit palung aliran sungai, tidak tinggal dalam bantaran sungai; tidak menggunakan dataran retensi banjir untuk permukiman atau untuk hal-hal lain diluar rencana peruntukkannya, menghentikan penggundulan hutan di daerah tangkapan air, menghentikan praktek pertanian dan penggunaan lahan yang bertentangan dengan kaidah kaidah konservasi air dan tanah Bakornas PB, 2006. Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Kesempatan

Kesempatan merupakan peluang atau keleluasaan seseorang untuk ikut serta dalam melakukan berbagai kegiatan. Mardikanto 2003, bagian kegiatan yang diharapkan partisipasi dari masyarakat antara lain: 1. Kesempatan untuk memperoleh informasi pembanguann. 2. Kesempatan memanfaatkan dan memobilisasi sumberdaya alam dan manusia untuk pelaksanaan pembangunan. 3. Kesempatan memperoleh dan mengunakan teknologi yang tepat termasuk peralatan perlengkapan penunjangnya. 4. Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan mengunakan peraturan, perjanjian, dan prosudur kegiatan yang harus dilaksanakan. 5. Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggekkan, dan mengembangkan serta memelihara partisipasi maasyarakat juru pemantau jentik. Pemberian kesempatan pada masyarakt bukan sekadar, pemberian kesempatan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar mereka tidak melakukan tindakan- tindakan yang akan menghambat atau mengganggu tercapainya tujuan pembangunan. Tetapi pemberian kesempatan harus dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat layak diberi kesempatan karena disamping memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan, mereka juga punya hak untuk berpartisipasi dan memanfaatkan setiap kesempatan membangun dan memperbaiki mutu hidupnya Mardikanto, 2003. Universitas Sumatera Utara

2.3.4. Kemauan

Soewardi dalam Makmur 2008, menyatakan human mutivation kemauan manusia adalah kekuatan psikis dalam diri manusia. Dengan motivasi tersebut manusia meraih apa yang diinginkannya. Bila kemauan ini hilang, manusia akan melesak ke bawah, yang tersebut tergelincir. Sebaliknya bila kemauan itu timbul manusia akan melejit ke atas, yang di sebut menyongsong. Winardi dalam Makmur 2008, mengemukakan bahwa kemauan motivasi berkaitan dengan kebutuhan. Kita sebagai manusia selalu mempunyai kebutuhan yang diupayakan untuk dipenuhi. Untuk mencapai keadaan termotivasi, kita harus mempunyai tindakan tertentu, dengan demikian kebutuhan seseoranglah yang akan menjadi dasar untuk melakukan tindakan. Mardikanto 2003, menyatakan kemauan merupakan kunci utama untuk tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat juru pemantau jentik. Sebab, kesempatan dan kemampuan yang cukup belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partispasi juru pemantau jentik, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk turut membangun. Menurut Sastrohadiwiryo 2003, yang mengutip Machrani 1985, kemauan atau motivasi dapat di artikan sebagai keadaan kejiwaan dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau menggerakkan dan mengarah atau menyalurkan perilaku ke arah mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan. Sementara itu Sastrohadiwiryo 2003 yang mengutip Sagir 1985, mengemukakan juga bahwa unsur-unsur penggerak motivasi Universitas Sumatera Utara antara lain adalah : kinerja, penghargaan, tantangan, tanggung jawab, pengembangan, keterlibatan dan kesempatan. Yang dimaksut dengan kemauan adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya Siagian, 2004.

2.3.5. Kemampuan

Menurut Robbins dalam Makmur 2008, kemampuan suatu kasitas individu untuk mengerjakan berbagai btugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan seseorang pada hakikatnya tersusun dari dua perangkat faktor, kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampauan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan serupa. Dengan meeningkatnya kemampuan masyarakat juru pemantau jentik baik secara intelektual dan fisik, akan memberikan kontribusi secara maksimal terhadap penyelenggaraan program pemberantasan penyakit DBD. Kesediaan seseorang untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuannya untuk berkembang secara mandiri. Universitas Sumatera Utara Tilaar dalam Makmur 2008, mengungkapkan bahwa suatu masyarakat yang berpartisipasi adalah masyaraakat yang mengetahui potensi dan kemampunannya termasuk hambatan-hambatan karena keterbatasannya. Masyarakat yang mampu berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya termasuk kemampunnya untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat lainnya, bahkan npada tingkat nasional, regional dan internasional. Mardikanto 2003, menyatakan, kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan: 1. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun meemperbaiki mutu hidupnya. 2. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan yang dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. 3. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya dan kesempatan peluang lain yang tersedia secara optimal.

2.4. Landasan Teori

Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu host, penyebab agent dan lingkungan environment yang digambarkan sebagai segitiga. Perubahan dari sektor Universitas Sumatera Utara lingkungan akan memmikian juga dengan kejadian penyakit DBD yang berhubungan dengan lingkungan. Penyakit Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti namun dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus tetapi perannya dalam penyebaran penyakit ini sangat kecil sekali, karena nyamuk ini biasanya hidup di kebun-kebun Depkes RI, 2004. Pada perinsipnya kejadian penyakit yang digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan hubungan tiga komponen penyebab penyakit, yaitu penjamu, agen dan lingkungan seperti gambar 2.2 berikut : AGENT Vektor PENJAMU LINGKUNGAN Sumber : CDC, 2002 Gordis, 2000; Gerstman, 1998; dalam Murti, 2003 Gambar 2.2. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi Untuk memprediksikan pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen akan mengubah ketiga komponen lainnya, dengan akibat menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit. Komponen untuk terjadinya penyakit DBD yaitu : Universitas Sumatera Utara

2.3.1. Agent agen

Agent penyebab penyakit DBD adalah virus Dengue yang termasuk B arthropoda Borne Virus arbopirosis. Anggota dari genus Falvivirus, famili Flaviviridae yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan juga nyamuk Aedes albopictus yang merupakan vektor infeksi DBD.

2.3.2. Host Penjamu

Penjamu adalah manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agent dalam penelitian ini yang diteliti dari faktor penjamu adalah faktor karakteristik kader juru pemantau jentik pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kempuan dan ligkungan.

2.3.3. Environment lingkungan

Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari agen maupun penjamu, tetapi mampu mengintraksikan agent penjamu. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi lingkungan fisik jarak rumah, tata rumah, kelembapan rumah, sanitasi lingkungan, dan musim. Lingkungan biologis tanaman hias tumbuhan, indeks jentik host indeks, container indeks, breatu indeks. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan konsep penyebab penyakit disebabkan oleh agent, penjamu host dan lingkungan environment, maka pendekatan yang cocok untuk mengetahui penyebab penyakit adalah model segitiga epidemiologi yang dimodifikasi sedemikian rupa dalam bentuk kerangka tiori seperti gambar 2.3 berikut ini : FAKTOR AGENT Sosiodemografi, Depkes RI, 2004 - Umur - Jenis Kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Sosial Ekonomi - Mobilitas Lingkungan Teori Kramer, 1985 o Sanitasi Lingkungan o Bionomik Agent o Musim o Curah Hujan Teori Green, 2005 Pembentukan Prilaku - Pengetahuan - Sikap - Kebiasaan Pembentukan PartisipasiMardikanto,2003 - Kesempatan - Kemauan - Kempuan - Partisipasi PENANGGULANGAN KASUS DBD o Kelembaban Gambar 2.3. Kerangka Teori : Modifikasi faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya Dengue. Universitas Sumatera Utara

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian ini sebagai berikut : Variabel Independen Variabel Dependen Variabel Bebas Variabel Terikat Lingkungan Antara Lain : 1. Jarak antara rumah 2. Tata rumah 3. Tempat penampungan Air TPA Karakteristik Jumantik 1. Umur 2. Pendidikan 3. Pekerjaan 4. Pengetahuan 5. Sikap 6. Kesempatan 7. Kemauan 8. Kemampuan 4. Keberadaan jentik Kasus Demam Berdarah Dengue Gambar 2.4 Kerangka Konsep \ Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional study.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan pertimbangan di wilayah ini merupakan kota yang memiliki adanya kasus DBD dengan nomor urut 7 tujuh dari 23 KabupatenKota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2010.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah juru pemantau jentik jumantik yang terdapat di 5 lima kecamatan dan 51 lima puluh satu desa yang memiliki 121 orang juru pemantau jentik dan telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Langsa tahun 2009. 45 Universitas Sumatera Utara

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh juru pemantau jentik jumantik yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Langsa tahun 2009. Besar sampel adalah sama dengan populasi total sampel.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa: data primer yang diperoleh dengan melakukan observasi, melalui wawancara kuesioner tentang pengaruh karakteristik juru pemantau jentik dan kesehatan lingkungan terhadap adanya kasus DBD di Kota Langsa yang berisi sejumlah pertanyaan yang disusun secara terstruktur. Sebelum digunakan kuesioner ini diujicoba dahulu uji validitas dan reliabilitas untuk mengetahui apakah kuesioner itu shahih dan konsisten dalam mengukur apa yang hendak diukur. Data sekunder yang dikumpulkan dengan mengutip data laporan Kelurahan, Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Langsa, jumlah pasien serta data lainnya yang mendukung dalam penelitian ini. Setelah data terkumpul, selanjutnya data akan diolah sesuai dengan tahapannya, yaitu : pemeriksaan data editing, pemberian kode coding, pemasukan data ke komputer entry, dan pembersihan data data cleaning. Ujicoba validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan pada bulan Januari 2010 terhadap 20 dua puluh orang juru pemantau jentik di desa Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur. Alasan pemilihan tempat ini karena juru pemantau jentik di Desa Birem Universitas Sumatera Utara Bayeun Kabupaten Aceh Timur ini memiliki karakteristik yang sama dengan juru pemantau jentik yang ada di Kota Langsa, antara lain : status pekerjaan, kesempatan, kemauan dan lingkungannya dan latar belakang pendidikan yang relatif sama. Data yang diperoleh dari uji coba kuesioner tersebut diolah menggunakan program SPSS For Windows dengan penentuan validitas menggunakan Korelasi Pearson r dan reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach Singarimbun, 1991. Uji validitas instrumen penelitian yang digunakan adalah validitas konstruk dengan mengetahui nilai total setiap item pada analisis reliabilitas yang tercantum pada nilai correlation corrected item. Suatu pertanyaan dikatakan valid atau bermakna sebagai alat pengumpul data bila korelasi hasil hitung r–hitung lebih besar dari angka kritik nilai korelasi r-tabel, pada taraf signifikansi 95 Riduwan, 2005. Nilai r-tabel dalam penelitian ini untuk sampel pengujian 20 orang juru pemantau jentik, menggunakan df = n – 2 pada tingkat kemaknaan 5, adalah sebesar 0,444, maka ketentuan dikatakan valid, jika: nilai r-hitung variabel ≥ 0,444 dikatakan valid, dan nilai r-hitung variabel 0,444 dikatakan tidak valid. Teknik yang dipakai untuk menguji kuesioner penelitian, adalah teknik Alpha Cronbach yaitu dengan menguji coba instrumen kepada sekelompok responden pada satu kali pengukuran, juga pada taraf 95 Riduwan, 2005. Nilai r-tabel dalam penelitian ini untuk sampel pengujian 20 orang juru pemantau jentik, menggunakan df = n – 2 pada tingkat kemaknaan 5, adalah sebesar 0,444, maka ketentuan dikatakan reliabel, jika: nilai r-hitung variabel ≥ 0,444 dikatakan realiabel, dan nilai r- hitung variabel 0,444 dikatakan tidak reliabel. Universitas Sumatera Utara

3.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung tentang DBD pada rumah tangga, karakteristik juru pemantau jentik dan observasi terhadap lingkungan.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data kelurahan tentang situasi kependudukan dilokasi penelitian, Kecamatan atau Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Langsa yang relevan dengan tujuan dan permasalahan penelitian.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel terkait adalah kasus DBD sedangkan variabel bebas adalah karakteristik juru pemantau jentik umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, dan lingkungan jarak rumah, tata rumah, tempat penempungan air, keberadaan jentik.

3.5.1. Kasus DBD adalah penderita demam berdarah dengue yang dinyatakan

dengan surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter bahwa penderita tersebut telah didiagnosa DBD dan didukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium dan dilaporkan oleh responden kepada Puskesmas dan Dinas Kesehatan bahwa di desanya terdapat adanya kasus DBD.

3.5.2. Umur adalah usia responden pada saat penelitian dilaksanakan yang dilihat

dari surat tugas yang dikeluarkan oleh kepala desa dan diteruskan oleh Dinas Universitas Sumatera Utara Kesehatan dan diterbitkan Surat Keputusan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Langsa tentang penununjukan responden sebagai juru pemantau jentik.

3.5.3. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh

responden dengan mendapatkan sertifikasi kelulusanijazah.

3.5.4. Pekerjaan adalah jenis pekerjaan rutin yang dilakukan oleh responden guna

menghasilkan pendapatan setiap bulan.

3.5.5. Pengetahuan adalah tingkat pemahaman terhadap adanya kasus DBD yang

meliputi pengenalan secara umum penyebab, cara penularan, gejala, tempat perkembang biakan nyamuk Aedes aegypty, pencegahan dan penanggulangannya serta pertolongannya.

3.5.6. Sikap adalah respon atau pernyataan responden terhadap upaya pencegahan

dan penanggulangan adanya kasus DBD.

3.5.7. Kesempatan adalah peluang atau keleluasaan responden untuk ikut serta

dalam melakukan kegiatan pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan adanya kasus demam berdarah Dengue, meliputi mendapatkan informasi dan dilibatkan dalam proses kegiatan.

3.5.8. Kemauan adalah keinginan responden untuk ikut serta dalam melakukan

kegiatan program pencegahan penanggulangan adanya adanya kasus DBD, meliputi penyuluhan, penyemprotan, pemeriksaan jentik, abatesasi dan PSN- DBD. Universitas Sumatera Utara

3.5.9. Kemampuan adalah pengetahuan responden dalam kaitannya dengan aplikasi

keterampilan untuk melakukan kegiatan pencegahan dan penanggulangan adanya kasus DBD lapangan.

3.5.10. Lingkungan adalah kondisi atau faktor yang berpengaruh yang bukan bagian

dari agent maupun penjamu, tetapi mampu mengintraksikan agent penjamu.

3.5.11. Jarak antara rumah adalah adanya halaman pembatas antara satu rumah dan

rumah lainnya dengan katagori tidak baik ≤ 5 m, baik ≥ 5 m.

3.5.12. Tata rumah adalah tidak adanya barang berserakan dan kain bergantungan

dengan penilaian 1 bila ada, 2 bila tidak ada.

3.5.13. Tempat Penampungan Air TPA adalah tempat-tempat untuk menampung air

guna keperluan sehari-hari seperti : tempayan, bak mandi, bak wc, drum, bak penampungan air, ember dan lain-lain.

3.5.14. Keberadaan jentik adalah terdapatnya jentik pada tempat penampungan air

baik pada penampungan air untuk keperluan sehari-hari, atau bukan untuk keperluan sehari-hari atau tempat penampungan air alami. 3.6. Metode Pengukuran Definisi Operasional adalah variabel dalam penelitian yang bertujuan untuk mengarahkan variabel yang digunakan dalam penelitian agar sesuai dan untuk metode pengukuran di gunakan Pratomo 1986, dimana untuk pengkatagorisasinya di bagi menjadi 2 kategori antara lain seperti Tabel 3.3. berikut ini : Universitas Sumatera Utara Tabel 3.3. Metode Pengukuran dan Definisi Operasional. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur 1 2 3 4 5 6 Variabel Independen Pendidikan Pendidikan Formal tertinggi yang pernah dijalani oleh responden dengan mendapatkan ijazah Wawancara Kuesioner Ordinal 1. Rendah SD, SLTP, SLTA 2. Tinggi D-III dan PT Pekerjaan Kegiatan Pekerjaan rutin yang dilakukan oleh responden yaitu bekerja adalah responden yang mempunyai gaji secara menetap dan upah secara rutin. Wawancara Kuesioner Nominal 1. Tidak 2. Bekerja Pengetahuan Tingkat pengetahuan responden tentang upaya pencegahan dan penanggulngan kasus DBD. Wawancara Kuesioner Ordinal 1. Rendah 61 2. Tinggi ≥ 61 Sikap Persepsi pandangan responden tentang upaya pencegahan dan penanggulangan kasus DBD. Wawancara Kuesioner Nominal 1. Sangat setuju ≥60 2. Setuju 45- 60 3. Tidak setuju 10-45 Kesempatan Peluang atau keleluasan responden untuk ikut serta dalam melakukan kegiatan pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan kasus DBD Wawancara Kuesioner Nominal 1. Ada ≥61 2. Tidak 61 Kemauan Kegiatan responden untuk ikut serta dalam melakukan kegiatan program pencegahan dan penanggulangan kasus DBD, antara lain penyuluhan, penyemprotan, pemeriksaan jentik, abatesasi dan PSN- DBD Wawancara Kuesioner Nominal 1. Ya ≥61 2. Tidak 61 Kemampuan Kesanggupan responden dalam kaitannya dengan aplikasi keterampilan untuk melakukan kegiatan pencegahan dan penanggulangan kasus DBD. Wawancara Kuesioner Nominal 1. Baik ≥61 2. Kurang 61 Universitas Sumatera Utara Tabel 3.3. Lanjutan Lingkugan Antara Lain Jarak rumah Adanya halaman pembatas antara satu rumah dengan rumah lainnya. Observasi Ceklis Ordinal 1. Tidak Baik ≤ 5 m 2. Baik 5 m Tata rumah Tidak adanya barang berserakan di sekitar rumah dan kain bergantungan di pintu kamar responden Observasi Ceklis Ordinal 1. Tidak Baik bila ada 2. Baik bila tidak ada Tempat penampungan air TPA Tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan sehari-hari seperti : tempayan, bak mandi, bak WC, drum, bak penampung air, ember dan lain-lain. Observasi Ceklis Ordinal 1. Ada 2. Tidak Keberadaan Jentik Adalah terdapatnya jentik pada tempat penempungan air untuk keperluan sehari-hari, atau bukan untuk keperluan sehari hari-hari seperti tempat air alami, kaleng bekas dan lain-lain. Observasi Ceklis Nominal 1. Ada 2. Tidak Variabel Dependen Kasus DBD Orang sakit yang di tandai dengan gejala klinis DBD didukung dengan hasil test laboratorium dan telah didiagnosa positif DBD oleh rumah sakit, dan di laporkan oleh responden dicatat pada Puskesmas dan Dinas kesehatan Wawancara Kuesioner Ordinal 1. Ada 2. Tidak

3.7 Metode Analisis Data

3.7.1 Analisis Univariat

Melihat analisis univariat untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi frekuensi masing-masing variabel independen yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, Universitas Sumatera Utara kemampuan dan lingkungan serta variabel dependen yaitu adanya kasus Demam Berdarah Dengue DBD.

3.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat variabel independen pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuandan lingkungan dengan variabel dependen adanya kasus DBD menggunakan uji Chi square, jika variansnya sama, sebaliknya jika variansnya tidak sama digunakan uji Kruskal Wallis dengan menggunakan F-Test Signifikant pada tingkat kepercayaan 95 =0,05 Pratomo, 1985.

3.7.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui variabel independen pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan dan kemampuan, dan variabel lingkungan dengan variabel dependen kasus DBD berdasarkan analisis bivariat bermakna dengan menggunakan uji rekgersi logistik ganda dengan model : Multi, 2003 P In = a + b 1 X 1…….. b 1 X 1, 1 – P Dimana : p = adalah probabilitas untuk terjadi DBD a = adalah konstanta, dan b 1 = koefisien regersi yang ditaksir menggunakan metode maksimum maksimum likehood methode . X 1 = variabel Independen prediktor Universitas Sumatera Utara

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum dan Keadaan Wilayah Kota Langsa 4.1.1. Letak Geografis Kota Langsa merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur yang terletak disebelah Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada posisi sebelah Utara pulau Sumatera dengan luas wilayah 262,41 km ² yakni pada 04 º 24’35,68”-04 º33’47,03” Lintang Utara dan 97º53’14,59”-98º04’42,16” Bujur Timur dan panjang garis pantai 16 km, terletak pada daratan rendah diketinggian antara 0-25 meter diatas permukaan laut, dengan kemiringan 0-8. Kota Langsa yang sebelumnya berstatus Kota Adminitratif dibentuk dengan Undang-undang R.I Nomor 3 tahun 2001 dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negri atas nama Presiden Republik Indonesia pada Tanggal 17 Oktober 2001. Sebelumnya terdiri dari 3 tiga kecamatan yakni Kecamatan Langsa Kota, Langsa Barat dan Langsa Timur, pada tahun 2007 telah dimekarkan menjadi 5 lima kecamatan berdasarkan Qanun Kota Langsa Nomor 5 Tahun 2007 tetnang Pembentukan Kecamatan Langsa Lama dan Kecamatan Langsa Baro. Berdasarkan luas wilayah dan batas-batas administratif sebagai berikut : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur Selat Malaka - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur Aceh Tamiang - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Temiang Universitas Sumatera Utara

4.1.2. Kependudukan

Dimana jumlah penduduk Kota Langsa tahun 2009 139.267 jiwa yang terdiri dari laki-laki 68.175 jiwa dan perempuan sebanyak 72.092 jiwa, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.1 dan 4.2. Tabel 4.1. Distribusi jumlah penduduk menurut kelompok umur di Kota Langsa tahun 2009. Kecamatan 0-5 thn 6 – 12 thn 13 – 18 thn 19-24 thn 24 thn Jumlah Langsa Kota 4.921 6,752 3,832 4,184 17,789 37.478 Langsa Barat 2.478 5,926 3,369 3,283 13,895 28,951 Langsa Timur 1,002 2,127 2,101 2,110 5,053 12.393 Langsa Lama 2,270 4,861 2,519 2,276 10,469 22,395 Langsa Baro 3,771 8,381 4,404 3,984 17,510 37,867 Jumlah 14.442 28.047 16,225 15.837 64,716 39,267 Sumber : Kota Langsa Dalam Angka, 2009 Tabel 4.2. Distribusi Luas wilayah dan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin pada tiap kecamatan di Kota Langsa tahun 2008. Kecamatan Jenis Kelamin yang dijalanditamatkan Luas Laki-Laki Perempuan Jumlah Langsa Kota 43,62 18.058 19.420 37.478 Langsa Barat 40.06 14.144 14.807 28.951 Langsa Timur 65.57 6.048 6.345 12.393 Langsa Lama 49.67 11.409 11.986 22.395 Langsa Baro 63,49 18,516 19,534 38,050 Jumlah 262.41 68.175 72.092 39.267 sumber : Kota Langsa Dalam Angka, 2009 Universitas Sumatera Utara

4.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel independen terhadap variabel dependen yaitu adanya kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Langsa. Hasil penelitian menunjukkan beradasrkan kelompok umur terdapat 30,58 responden berumur 20-30 tahun, 69,35 umur 31-45 tahun, dengan tingkat pendidikan SD dan SLTP 26,45, SLTA 66,12, AkademiPT 7,42. Status pekerjaan responden dalam penelitian ini dibagi dalam 2 dua yaitu bekerja dan tidak bekerja. Tabel 4.3. Distribusi Karakteristik Juru Pemantau Jentik umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. No Karakteristik Jumantik Jumlah Orang Persentase 1. Umur tahun a. 20 - 30 37 30,58 b. 31 - 45 84 69,42 Total 121 100 2. Jenis Kelamin a. Laki-laki 2 1,65 b. Perempuan 119 98,35 Total 121 100 3. Pendidikan a. Rendah 32 26,45 b. Sedang 80 66,12 c. Tinggi 9 7,43 Total 121 100 4. Pekerjaan a. Bekerja 30 24,79 b. Tidak Bekerja 91 75,21 Total 121 100 Pengetahuan responden yang memiliki pengetahuan rendah terhadap pencegahan dan penanggulangan adanya kasus DBD sebanyak 73 orang 60,33 Universitas Sumatera Utara dan yang tinggi sebanyak 48 orang 39,67. Untuk sikap, responden yang tidak setuju terhadap pencegahan dan penanggulangan kasus DBD sebanyak 73 orang 63,33, yang responden bersikap setuju sebanyak 44 orang 36,36, dan responden yang bersikap sangat setuju terhadap pencegahan dan penanggulagan kasus DBD sebanyak 4 orang 3,31. Untuk kesempatan, reponden yang memiliki kesempatan melakukan pencegahan dan penanggulangan kasus DBD sebanyak 97 orang 80,17 dan yang responden tidak mempunyai kesempatan terhadap pencegahan dan penanggulangan kasus DBD sebanyak 24 orang 19,83. Berdasarkan kemauan, responden yang tidak ada kemauan dalam hal pencegahan dan penanggulangan kasus DBD sebanyak, 68 orang 56,20 dan yang memiliki kemauan dalam hal pencegahan dan penanggulangan kasus DBD sebanyak 53 orang 43,80. Kemampuan, responden yang tidak mempunyai kemampuan sebanyak 101 orang 83,47 dan yang mampu dalam mengaplikasikan penanggulangan dan pencegahan kasus DBD senyak 20 orang 37,19. Jarak rumah, responden yang jarak rumahnya kurang dari 5 lima meter 76 orang 62,8 dan reponden yang jarak rumahnya lebih dari 5 lima meter 45 orang 37,19. Berdasarkan tata rumah, responden yang menata rumah dengan kurang baik sebanyak 66 orang 54,55 yang responden menata rumah dengan baik sebanyak 55 orang 45,45. Berdasarkan tempat penampungan air, responden yang menutup tempat penampungan air dengan baik sebanyak 109 orang 90,8 yang mempunyai tempat penampungan air dan di tutup dengan rapi sebanyak 12 orang 9,20. Untuk keberadaan jentik, responden yang rumah dan sekitarnya dijumpai jentik sebanyak 70 Universitas Sumatera Utara orang 57,85 dan yang rumahnya tidak dijumpai jentik di rumah sebanyak 51 orang 42,15. Analisis univariat yang dilihat dalam variabel independen karakteristik juru pemantau jentik adalah distribusi frekuensi berdasarkan pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan, jarak rumah, tata rumah, tempat penampungan air, keberadaan jentik, seperti yang tertera pada tabel 4.4. berikut ini : Tabel 4.4 : Distribusi Karakteristik Juru Pemantau Jentik Pengetahuan, Sikap, Kesempatan, Kemauan, Kemampuan, Jarak Rumah, Tata Rumah, Tempat Penampungan Air, dan Keberadaan Jentik Terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Langsa No Pengetahuan Jumlah orang Persentase Pengetahuan a. Rendah 73 60,33 b. Tinggi 48 39,67 Jumlah 121 100 Sikap a. Tidak setuju 73 60,33 b. Kurang Setuju 44 36,36 c. Setuju 4 3,31 Jumlah 121 100 Kesempatan a. Tidak Ada 97 80,17 b. Ada 24 19,83 Jumlah 121 100 Kemauan a. Tidak Ada 68 56,20 b. Ada 53 43,80 Jumlah 121 100 Kemampuan a. Kurang 101 83,47 b. Baik 20 16,53 Jumlah 121 100 Universitas Sumatera Utara Tabel 4.4. Lanjutan Jarak Antara Rumah a. Tidak Baik 76 62,81 b. Baik 45 37,19 Jumlah 121 100 Tata Rumah a. Tidak Baik 66 54,55 b. Baik 55 45,45 Jumlah 121 100 Tempat Penampungan Air a. Tidak Ada 109 90,08 b. Ada 12 9,92 Jumlah 121 100 Keberadaan Jentik a. Ada 70 57,85 b. Tidak Ada 51 42,15 Jumlah 121 100 Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, di Kota Langsa terdapat 127 orang adanya kasus DBD yang tersebar di beberapa desa yang ada dalam wilayah Kota Langsa, namun dari 121 orang responden juru pemantau jentik yang ada di Kota Langsa sebanyak, 73 orang 60,33 responden yang ada penderita atau adanya kasus DBD di desanya, sedangkan sebanyak 48 orang 39,67 responden tidak menjumpai atau tidak adanya kasus DBD di desanya.

4.3. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang bermakna antara karakteristik juru pemantau jentik umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan, jarak rumah, tata rumah, tempat penampungan air, keberadaan jentik dengan adanya kasus DBD di Kota Universitas Sumatera Utara Langsa. Pengujian analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan Uji Chi Square. Alasan pemilihan analisis menggunakan Uji Chi Square, disebabkan variabel independennya katagorik dan variabel dependennya juga katagorik. Analisis ini dikatakan bermakna signifikan bila hasil analisis menunjukkan adanya hubungan bermakna secara statistik antara variabel, yaitu dengan nilai p0,05. Variabel karakteristik juru pemantau jentik yang dianalisis yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan, jarak rumah, tata rumah, tempat penampungan air, keberadaan jentik, seperti yang tertera pada tabel 4.6. berikut ini. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.6 : Rekapitulasi Hasil Uji Chi Square Pengaruh Karakteristik Juru Pemantau Jentik Terhadap Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota Langsa No Uraian + - Jumlah P Umur 0,606 a. Rendah 27 57,4 20 42,6 73 60,33 b. Tinggi 46 62,2 28 37,8 48 39,67 Jumlah 73 48 121 100 Pendidikan 0,022 a. Rendah 58 55,8 46 44,2 77 63,64 b. Tinggi 15 88,2 2 11,8 44 36,36 Jumlah 73 48 121 100 Pekerjaan 0,131 a. Tidak Ada 21 72,4 8 27,6 97 80,17 b. Ada 52 56,5 40 43,5 24 19,83 Jumlah 73 48 121 100 Pengetahuan 0,021 a. Rendah 32 74,4 11 25,6 73 60,33 b. Tinggi 41 52,6 37 47,4 48 39,67 Jumlah 73 48 121 100 Sikap 0,001

a. Tidak setuju 27

93,1 2 6,9 73 60,33 b. Setuju 46 50,0 46 50,0 48 39,37 c. Jumlah 73 48 121 100 Kesempatan 0,008 a. Tidak Ada 14 41,2 20 58,8 97 80,17 b. Ada 59 87,8 28 32,2 24 19,83 Jumlah 73 48 121 100 Kemauan 0,018 a. Tidak Ada 34 73,9 12 26,1 68 56,20 b. Ada 39 52,0 36 48,0 53 43,80 Jumlah 73 48 121 100 Kemampuan 0,000 a. Kurang 37 97,4 1 2,6 101 83,47 b. Baik 36 43,4 47 56,6 20 16,53 Jumlah 73 48 121 100 Jarak Antara Rumah 0,924 a. Kurang 45 60,0 30 40,0 76 62,81 b. Baik 28 60,9 18 38,1 45 37,19 Jumlah 73 48 121 100 Universitas Sumatera Utara Tabel 4.6. Lanjutan Tata Rumah 0,993 a. Tidak Baik 32 60,4 21 39,6 66 54,55 b. Baik 41 60,3 27 39,7 55 45,45 Jumlah 73 48 121 100 Tempat Penampungan Air 0,003 a. Ada 48 52,2 44 47,8 109 90,08 b. Tidak ada 25 88,2 4 13,8 12 9,92 Jumlah 73 48 121 100 Keberadaan Jentik 0,000 a. Ada 39 90,7 4 9,3 70 57,85 b. Tidak Ada 34 43,6 44 56,4 51 42,15 Jumlah 73 48 121 100 Berdasarkan tabel 4.6. hasil uji statistik Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh umur terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistis bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara umur dengan adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistis bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara pendidikan dengan adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pekerjaan terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara pekerjaan dengan adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini Universitas Sumatera Utara menunjukkan secara statistik bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara pengetahuan dengan adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh sikap terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara sikap terhadap adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh kesempatan terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara kesempatan terhadap adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh kemauan terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara kemauan terhadap adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh kemampuan terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara kemampuan terhadap adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh jarak rumah terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara jarak rumah terhadap adanya kasus DBD. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil analisis Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh tata rumah terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara tata rumah terhadap adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh tempat penampungan air terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara tempat penampuangan air terhadap adanya kasus DBD. Berdasarkan hasil analisis Chi Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh keberadaan jentik terhadap adanya kasus DBD, diperoleh nilai p0,05. Hal ini menunjukkan secara statistik bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara keberadaan jentik terhadap adanya kasus DBD.

4.4. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk mentukan variabel independen umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan, jarak rumah, tata rumah, tempat penampungan air, keberadaan jentik yang paling berpengaruh terhadap adanya kasus DBD. Dalam uji ini semua variabel yang berhubungan signifikan pada uji bivariat α = 5 0,05 akan dimasukkan secara bersama-sama ke dalam uji multivariat. Uji yang digunakan dalam analisis multivariat ini adalah Uji Regresi Logistik. Alasan pemilihan analisis Regresi Logistik, disebabkan variabel independen dan variabel dependennya. Universitas Sumatera Utara Tahapan analisis multivariat diawali dengan pemilihan variabel kandidat multivariat, pembuatan model dan uji interaksi. Pemilihan variabel kandidat multivariat dilakukan dengan cara memilih dari seluruh variabel independen pada uji bivariat yang menggunakan uji Chi Square. Variabel yang dapat dijadikan kandidat model multivariat adalah variabel yang mempunyai nilai uji G ratio log-likelihood memiliki p0,25. Pembuatan model bertujuan untuk mendapatkan model yang terbaik dalam menentukan pengaruh karakteristik juru pemantau jentik terhadap adanya kasus DBD, dilakukan dengan cara semua variabel kandidat multivariat dicobakan secara bersama-sama. Variabel yang dapat dijadikan model dipertimbangkan dengan dua penilaian, yaitu nilai signifikansi ratio log-likelihood p0,05 dan nilai dua p0,05. Pemilihan model dilakukan dengan cara hirarki terhadap semua variabel independen untuk dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel yang value tidak signifikan dikeluarkan dari model secara berurutan dimulai dari value yang terbesar Hastono, 2001.

4.4.1. Pemilihan Variabel Kandidat Multivariat

Dalam penelitian ini terdapat 12 dua belas variabel independen karakteristik juru pemantau jentik yaitu: umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan, jarak rumah, tata rumah, tempat penampungan air, keberadaan jentik. Sebagai variabel dependen adalah kasus DBD di Kota Langsa. Variabel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan kedalam uji multivariat, ditentukan dari hasil analisis uji bivariat dimana bila hasil analisis bivariat didapat Universitas Sumatera Utara nilai p 0,25 maka variabel tersebut akan dimasukkan ke dalam uji multivariat dan sebaliknya bila nilai p0,25 maka variabel tersebut tidak dimasukkan atau dikeluarkan dari uji multivariat. Hasil analisis uji bivariat tersebut dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut ini: Tabel 4.7. Hasil Analisis Uji Bivariat Untuk Identifikasi Variabel Independen Yang Dimasukkan Ke Dalam Uji Multivariat No Variabel Independen Log-likelihood P 1. Umur 162,273 0,606 2. Pendidikan 155,102 0,022 3. Pekerjaan 160,132 0,131 4. Pengetahuan 156,828 0,021 5. Sikap 142,094 0,001 6. Kesempatan 155,385 0,008 7. Kemauan 156,657 0,018 8. Kemampuan 122,849 0,000 9. Jarak Rumah 162,530 0,924 10. Tata Rumah 162,539 0,993 11. Tempat Penampungan Air 150,634 0,003 12. Keberadaan Jentik 133,460 0,000 Berdasarkan tabel 4.7 bahwa ada 9 sembilan variabel dari 12 dua belas variabel yang p0,25 yaitu: variabel pendidikan, pengetahuan, sikap, pekerjaan, kesempatan, kemauan, kemampuan, tempat penampungan air, dan keberadaan jentik. Dengan demikian ke-9 sembilan variabel tersebut layak masuk ke model multivariat. Setelah melalui tahapan pemilihan variabel kandidat multivariat didapat 4 empat variabel yang akan dimasukkan kedalam model yaitu: pengetahuan, sikap, kemampuan, dan keberadaan jentik, dengan cara semua variabel kandidat multivariat dicobakan secara bersama-sama. Variabel yang dapat dijadikan model Universitas Sumatera Utara dipertimbangkan dengan penilain, yaitu nilai signifikansi p0,05 dan nilai signifikansi independen yang telah lulus seleksi dimasukkan kedalam model, kemudian variabel yang tidak signifikasi dikeluarkan dari model secara berurutan dimulai dari yang terbesar. Hasil analisis Regresi Logistik tersebut dapat dilihat pada tabel 4.8. berikut ini : Tabel 4.8. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Pengaruh Karakteristik Juru Pemantau Jentik Pengetahuan, Sikap, Kemampuan, Keberadaan Jentik Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kasus DBD di Kota Langsa No Variabel Independen B P Exp B 1. Pengetahuan 1,678 0,016 5,352

2. Sikap

2,730 0,003 15,326 3. Kemampuan 4,412 0,000 82,452 4. Keberadaan Jentik 3,497 0,000 33,009 Berdasarkan tabel 4.8 dapat dilihat bahwa secara signifikan p0,05 ada 3 tiga variabel yaitu: sikap, kemampuan dan keberadaan jentik. Dengan demikian 3 tiga variabel yang masuk ke pembuatan model multivariat berikutnya. Hasil analisis Regresi Logistik tersebut dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini: Tabel 4.9. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Pengaruh Karakteristik Juru Pemantau Jentik Sikap, Kemampuan, Keberadaan Jentik Terhadap Kasus DBD di Kota Langsa No Variabel Independen B P Exp B 1. Sikap 2,879 0,001 17,801 2. Kemampuan 4,375 0,000 79,427 3. Keberadaan Jentik 2,908 0,000 18,280 Berdasarkan tabel 4.9. Dapat dilihat bahwa baik untuk variabel sikap, kemampuan, dan keberadaan jentik mempunyai value signifikan p0,05, ke 3 tiga Universitas Sumatera Utara variabel tersebut yang mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap kasus demam berdarah Dengue di Kota Langsa, dan perlu mendapat pemecahan masalah yang sesuai situasi dan kondisi yang terjdi di lapangan.

4.4.2. Penentuan Variabel Yang Paling Berpengaruh

Untuk menentukan variabel yang paling berpengaruh terhadap adanya kasus demam berdarah Dengue di Kota Langsa, maka semua variabel yang telah memenuhi syarat dimasukkan kedalam uji multivariat menggunakan regresi logistik yang dianalisis secara bersamaan, dimana variabel yang p0,05 akan dikeluarkan secara berurutan dimulai dari yang terbesar. Hasil akhir analisis tersebut dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut ini: Tabel 4.10. Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel Independen Paling Berpengaruh Terhadap Kasus DBD di Kota Langsa No Variabel Independen B P Exp B 1. Kemampuan 122,849 0,000 64,886 2. Keberadaan Jentik 133,460 0,000 17,206 Berdasarkan hasil analisis multivariat pada tabel 4.10 Menggambarkan bahwa nilai B; variabel kemampuan 122,849, keberadaan jentik 133,460. Berarti kedua variabel dapat dinyatakan sebagai variabel yang paling berpengaruh terhadap adanya kasus demam berdarah Dengue di Kota Langsa. Untuk mengetahui pengaruh semua variabel secara bersama- sama, maka dilakukan analisis multivariat yaitu dengan menggunakan uji regresi logistik ganda. Universitas Sumatera Utara

BAB 5 PEMBAHASAN

5. 1. Karakteristik Juru Pemantau Jentik

5.1.1. Hubungan Umur Responden Dengan Kasus DBD

Hubungan umur responden dengan adanya kasus DBD dalam pencegahan dan penanggulangan kasus DBD pada analisis bivariat di peroleh hasil uji Chi Square yakni p=0,606. Nilai ini secara statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara umur responden dengan adanya kasus demam berdarah Dengue. Hasil ini sama dengan hasil penelitian Syahrul 2002, yang melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristis umur responden dengan kasus demam berdarah Dengue. Namun hasil itu betantangan dengan temuan hasil penelitian yang dilakukan Idwar 2000 yang menyimpulkan bahwa secara statistik umur responden mempunyai hubungan yang bermakna terhadap pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah Dengue, semakin dewasa umur responden semakin merasa bertanggung jawab juga kepada masalah yang akan timbul di lingkungannya, sedangkan semakin muda usia responden semakin kurang kepedulian terhadap masalah yang terjadi dilingkungannya. Perbedaan tersebut karena responden berumur 20-30 tahun posisinya lebih rendah bila dibandingkan dengan yang berumur 31-45 tahun, umur yang lebih tua cendrung lebih mau untuk melakukan kegiatan pencegahan dan penanggulangan Universitas Sumatera Utara kasus demam berdarah dengue dan lebih memiliki pengalaman pencegahan dan penanggulangan kasus DBD dibandingan responden yang umurnya lebih muda. Mengacu pada hasil penelitian mengembarkan bahwa umur 31-45 tahun memiliki kesadaran yang lebih rendah dari pada umur, 20-30 tahun untuk melakukan pemantauan jentik dari rumah ke rumah. Hal ini sama dengan pendapat Hurlock 2004, yang mengatakan bahwa pola pikir perilaku kedua kelompok umur 20-30 tahun kurang menerima konsep-konsep nilai-nilai dan norma-norma baru yang diperoleh lewat pembelajaran dan pengalaman dibandingkan kelompok yang 31-45 tahun dalam menjalankan perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari, selain itu kelompok usia 31-45 tahun lambat dalam belajar dibandingkan orang yang lebih muda dan hasilnya cendrung kurang memuaskan sedangkan dalam penerapan konsep- konsep di lapangan umur 31-45 lebih bisa dibanding yang usia 20-30 tahun..

5.1.2. Hubungan Pendidikan Dengan Kasus DBD

Hubungan tingkat pendidikan terhadap adanya kasus demam berdarah Dengue DBD pada analisis bivariat yang telah dilakukan didapat hasil uji Chi Square yaitu p=0,022. Nilai tersebut secara statistik berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan adanya kasus DBD. Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Khatab 2006, dimana dalam penelitiannya melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan responden dengan kasus demam berdarah dengue. Namun hasil itu ditolak oleh Muchlis 2006 Universitas Sumatera Utara dan Herawati 2007, dimana mereka menyatakan bahwa ada hubungan pendidikan terhadap adanya kasus demam berdarah Dengue. Peningkatan pemahaman responden tentang DBD dan dapat dilakukan melalui pendidikan atau bimbingan teknis dalam hal memberikan penyuluhan perorangan atau kelompok, melaksanakan pemberantasan jentik di rumah rumahbangunan meningkatkan pengawasan masyarakat dalam PSN-DBD dan membuat catatanrekapitulasi hasil pemeriksaan jentik, melaporkan hasil pemeriksaan setiap satu bulan sekali. Hasil ini dapat dijelaskan dengan pendapat Singaribuan 1988, yang mengemukakan bahwa pendidikan yang bermutu dapat meningkatkan kematangan intlektual seseorang dan merupakan faktor penting dalam penyerapan informasi, pengetahuan wawasan dan cara berpikir yang selanjutnya akan memberikan dampak terhadap pengetahuan, persepsi nilai-nilai dan yang akan menentukan seseorang dalam mengambil keputusan atas tanggung jawabnya terhadap keluarganya, termasuk tanggung jawab atas kesehatan dan kelangsungan hidup keluarga. Berdasarkan pernyataan diatas, dapat dijelaskan bahwa pendidikan adalah sebagai wadah dalam penyerapan dan penerimaan konsep tatalaksana pencegahan dan pemberantasan kasus DBD oleh responden, yang dapat menentukan seseorang untuk melakukan perubahan-perubahan perilaku atau tindakan terhadap hidup sehat. Dari penelitian ini didapat bahwa umumnya juru pemantau jentik berpendidikan rendah, tidak baik dalam melakukan hidup bersih dan sehat, sedangkan dengan pendidikan tinggi ditemukan baik dalam melakukan hidup bersih dan sehat. Universitas Sumatera Utara Perilaku kesehatan berasal dari proses sosialisasi dalam sistem keluarga melalui proses pendidikan maupun sebagai dampak penyebaran informasi, sebaliknya bila informasi kesehatan tidak tersedia responden diam ditempat Beliawati, 2004. Pendidikan juga berperan dalam pemberantasan dan penanggulangan kasus DBD, tidak dapat dipungkiri kenyataan teori ini di masyarakat terbukti dengan dengan semakin membaiknya tingkat pendidikan keluarga maka kecendrungan untuk berbuat menjaga keluarga dari kesehatan semakin meningkat pula.

5.1.3. Hubungan Pekerjaan Dengan Kasus DBD

Hubungan pekerjaan responden dengan adanya kasus demam berdarah Dengue pada analisis bivariat diperoleh hasil Chi Square yaitu p= 0,131. Nilai ini secara statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan responden dengan adanya kasus demam berdarah Dengue. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Widyana 1998 dalam Nawar 2005, yang menemukan bahwa sebagai besar responden berstatus tidak bekerja memiliki kasus demam berdarah Dengue di desanya, dibandingkan responden yang berkerja, Berdasarkan hasil penelitian ini, responden yang bekerja tidak dapat melakukan tindakan pemantauan jentik secara berkala, untuk mendukung pencegahan dan penanggulangan penyakit demam berdarah Dengue, dengan aktif menjalankan tugas jumantiknya di masyarakat dimana dia tinggal, dan merupakan Mitra Dinas Kesehatan di tingkat paling bawah. Universitas Sumatera Utara Hal ini bisa terjadi karena semua responden adalah, tidak secara langsung menambah informasi tentang kesehatan. Hasil penelitian ini sama dengan yang dikemukakan oleh Syafrizal 2002, bahwa tidak ada perbedaan antara responden yang bekerja dengan yang tidak bekerja.

5.1.4. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kasus DBD

Hubungan pengetahuan responden dengan adanya kasus demam berdarah Dengue pada analisis bivariat diperoleh hasil uji Chi Square yaitu p= 0,021. Nilai ini secara statistik menunjukkan ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kasus demam berdarah Dengue sejalan dengan hasil penelitian Idwar 2000, yang menyimpulkan secara statistik bahwa pengetahuan mempunyai hubungan bermakna dengan adanya kasus DBD pengaruh yang bermakna antara variabel pengetahuan terhadap kasus DBD yang terjadi selama ini. Hasil penelitian diketahui bahwa pengetahuan responden tentang PSN-DBD mayoritas berpengetahuan rendah serta belum pernah mendapat penyuluhan tentang bagaimana cara melakukan PSN-DBD dan apa manfaatnya bagi juru pemantau jentik dan masyarakat disekitar tempat tinggalnya. Keadaan ini menggambarkan bahwa penyuluhan kesehatan merupakan suatu kegiatan yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku. Diberikan penyuluhan untuk mendapatkan pembelajaran yang menghasilkan suatu perubahan dari yang semula belum diketahui menjadi diketahui, yang dulu belum dimengerti sekarang dimengerti. Hal ini sesuai dengan tujuan akhir Universitas Sumatera Utara dari penyuluhan agar masyarakat dapat mengetahui, menyikapi dan melaksanakan hidup bersih dan sehat Depkes RI, 2002. Notoatmodjo 1993, menjelaskan dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang disadari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dari pada yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers 1974, mengatakan seseorang yang berperilaku baru melalui tahapan-tahapan kesadaran, tertarik, menilai, mencoba dan mengadopsi prilaku tersebut sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya. Pengetahuan merupakan hasil dari suatu proses penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku individu atau masyarakat. Pengetahuan itu sendiri sebagian besar diperoleh dari pendengaran dan penglihatan Notoatmodjo, 1993. Peningkatan pengetahuan kesehatan akan menentukan seseorang untuk berperilaku baik dalam memelihara kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan adalah promosi kesehatan berupa social sport, antara lain dengan penyebarluasan informasi kesehatan kepada responden atau masyarakat. Adanya pengetahuan responden tentang konsep penyakit DBD dan upaya pencegahannya akan menumbuhkan pengetahuan positif dalam pelaksanaan program pemberantasan dan penanggulangan kasus DBD. Informasi kesehatan yang disampaikan pada responden terkait dengan konsep penyakit DBD meliputi: pengertian DBD, tanda-tanda utama penyakit DBD, penyebab, cara penularan, ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti, siklus hidup nyamuk Aedes aegypti antara: lain telur, jentik, kepompong, nyamuk, dan tempat berkembang Universitas Sumatera Utara nyamuk Aedes aegypti. Pencegahan dan penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit DBD tersebut kepada masyarakat. Untuk peningkatan pengetahuan tentang DBD dapat pula dilakukan penyebarluasan informasi kesehatan tentang bahanya penyakit DBD itu sendiri. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Hayani 2004, di Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah bahwa ada peningkatan pengetahuan setelah mendapat pelatihan PSN-DBD.

5.1.5. Pengaruh sikap Terhadap Kasus DBD

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa sikap mempunyai nilai p = 0,000. Nilai ini secara statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara variabel pengetahuan terhadap adanya kasus demam berdarah Dengue yang terjadi di Kota Langsa. Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan tindakan, tapi merupakan salah satu faktor yang mempermudah untuk terjadi tindakan, sikap responden yang baik dalam pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah Dengue. Dari analisis data penelitian menunjukkan bahwa pembentukkan sikap responden yang positif terhadap jalannya program pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah Dengue masih perlu ditingkatkan karena responden yang mempunyai sikap yang baik masih rendah. Upaya yang dapat dilakukan untuk membentuk sikap tersebut adalah dengan peningkatan pemberdayaan tenaga kesehatan untuk memberi pemahaman tentang pentingnya pencegahan dan Universitas Sumatera Utara penanggulangan kasus demam berdarah Dengue kepada masyarakat. Sikap yang positif akan menghasilkan yang baik dalam mencegah dan menanggulangi kasus demam berdarah Dengue. Secara rinci, kegiatan-kegiatan yang mungkin dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk memenuhi upaya tersebut adalah dengan juru pemantau jentik, menyelenggarakan penyuluhan secara terpadu disuatu tempat yang mudah dijangkau, dan menyebarluaskan informasi masalah pencegahan dan penanggulangan demam berdarah Dengue secara berkala, serta berupaya dengan optimal untuk terbentuknya sikap yang positif pada masyakat dan khususnya responden tentang pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah Dengue. Sikap yang positif pula dapat diwujudkan melalui usaha tenaga kesehatan untuk menanam keyakinan pada responden terhadap pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah Dengue, seperti menyampaikan pada responden agar segera melaporkan jika ada gejala yang mengarah pada adanya kasus demam berdarah Dengue, mendorong responden agar mengajak masyarakat yang ada disekitarnya untuk menjaga kebersihan lingkungan dari tempat bersarangnya nyamuk Aedes aegypti yang merupakan sangat perlu.

5.1.6. Pengaruh Kesempatan Terhadap Kasus DBD

Kesempatan merupakan peluang atau keleluasaan seseorang untuk ikut serta dalam melakuan kegiatan Mardikanto 2003. Hasil analisis uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa variabel kesempatan berpengaruh secara signifikan Universitas Sumatera Utara terhadap kasus demam berdarah Dengue yang yang terjadi, dimana nilai p=0,008. Kurangnya kesempatan responden dalam hal melakukan pemantauan jentik, pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah Dengue di Kota Langsa karena rendahnya pengetahuan responden dan tidak mendapat insentif atau upah dari pemerintah sukarela, untuk melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kasus DBD disekitarnya. Untuk membantu dan mengatasi keadaan ini di masyarakat, hendaknya petugas kesehatan dapat memberikan informasi kepada responden tentang cara-cara pencegahan dan penanggaluangan timbulnya kasus DBD, pada saat datang ke rumah penduduk untuk melakukan pemantau jentik berkala PJB. Dengan demikian responden tidak merasa kekurangan informasi yang akan disampaikan kepada masyarakat disekitarnya tentang cara pencegahan penyakit DBD yang sering terjadi akhir-akhir ini. Selain itu responden diharapkan segera melaporkan ke petugas kesehatan ketika adanya kasus DBD di desanya. Dengan demikian petugas kesehatan dapat langsung turun ke lokasi untuk melakukan PWS Pemantauan Wilayah Setempat, agar adanya kasus DBD tersebut tidak menyebar ke masyarakat lainnya. Ditjen PPPL Depkes RI 2005, mengemukakan bahwa pelaksanaan program pencegahan penyakit DBD seharusnya melibatkan masyarakat, sehingga denga adanya keterlibatan masyarakat dalam tim pelaksanaan kegiatan akan dapat menggerakkan masyarakat lainnya untuk melakukan pencegahan penyakit DBD. Universitas Sumatera Utara Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Diana 1998, di Kelurahan Mampang Prapatan Jakarta yang menyatakan bahwa keterlibatan ibu-ibu dalam perencanaan dan pelaksanaan program merupakan hal yang positif, karena para warga sendirilah yang paling mengetahui keadaan lingkungan tempat hidupnya, sedangkan para pelaksana program di lapangan pada kenyataan belum mampu melaksanakan pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD ini. Penelitian Pandjaitan 2000, di Kecamatan Tambun Bekasi menyatakan bahwa sebanyak 75 tingkat kesempatan responden dalam proses perencanaan menunjukkan korelasi yang cukup kuat, artinya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan sangat berkaitan erat dengan pelaksanaan program. Asngari 2001, menyatakan bahwa penanggulangan partisipasi dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena di antara orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peserta semua pihak itu di perlukan: 1 terciptanya suasana yang bebas atau demokrasi, dan 2 terbinanya kebersamaan. Selanjutnya Slamet 2003, menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Ndraha 1990, menyatakan bahwa dalam menggerakkan perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat, maka perencanaan partisipasi harus dilakukan dengan usaha: 1 perencanaan harus di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata felt neet, 2 dijadikan stimulasi terhadap masyarakat yang Universitas Sumatera Utara berfungsi mendorong timbulnya jawaban response, dan 3 dijadikan motovasi terhadap masyarakat, yang berfungsi membangkitkan tingkah laku behavior. Dalam perencanaan yang turut berperan serta secara aktif baik dalam hal penyusunan yang partisipatif partisipatory planning, masyarakat dianggap sebagai mitra dalam perencanaan yang turut berperan secara aktif baik dalam hal penyusunan maupun implementasi rencana, karena walau bagaimanapun masyarakat merupakan stakeholder terbesar dalam penyusunan sebuah produk rencana.

5.1.7. Pengaruh Kemauan Terhadap Kasus DBD

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai p= 0,018, nilai ini secara statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara variabel kemauan terhadap adanya kasus demam berdarah Dengue yang selama ini terjadi di Kota Langsa. Berdasarkan hasil penelitian Winardi dalam Makmur 2008, mengemukakan bahwa kemauan motivasi berkaitan dengan kebutuhan. Manusia selalu mempunyai kebutuhan yang diupayakan untuk dipenuhi. Kemauan juga merupakan faktor pendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan tertentu faktor pendorong prilaku seseorang. Kemauan sangat dipengaruhi oleh persepsi diri yang di miliki oleh seseorang, dan persepsi itu muncul dari satu rangkaian peroses yang terus menerus dalam diri individu seseorang dalam menghadapi lingkungan sekitarnya. Rendahnya kemauan responden dalam pemantau jentik untuk pencegahan kasus DBD di Kota Langsa diduga antara lain disebabkan kurangnya pengetahuan, Universitas Sumatera Utara kemampuan dan kesempatan responden untuk melakukan berbagai tindakan pencegahan penyakit DBD. Ross dalam Notoatmodjo 2006, berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhnya kemauan, yaitu: 1 mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah, 2 Mempunyai kemauan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar untuk mengambil keputusan, 3 Kemampuan untuk mengambil tindakan dan bertindak efektif. Mardikanto 2003, menyatakan kemauan untuk kemauan merupakan kunci utama untuk tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Sebab kesempatan dan kemampuan yang cukup belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya minat masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk turut membangun. Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Arif 2005 di Cipayung dimana ibu memiliki kemauan motivasi tinggi dan berpeluang untuk mempunyai kemauan dalam PSN-DBD dibandingkan para ibu yang tidak memiliki kemauan motivasi. Untuk mengatasi dan meningkatkan kemauan responden dalam, melakukan dan melaksanakan pemantauan jentik dalam hal pencegahan penyakit DBD secara berkelanjutan, guna mengubah perilaku responden dalam menumbuhkan kemauan responden untuk melakukan berbagai tindakan pencegahan kasus DBD ini. Untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemauan responden di Kota Langsa perlu juga Universitas Sumatera Utara dilakukan pengawasan dan sweeping jentik ke setiap rumah, serta memberikan sangsi kepada responden dan masyarakat yang rumahnya ditemukan jentik nyamuk DBD, dan perlu juga adanya insentif bagi juru pemantau jentik untuk memotivasi atau dorongan kemauan responden dari pemerintah secara positif terhadap responden dengan mengadakan perlombaan kesehatan lingkungan, perlombaan desa bersih dan rumah bebas jentik nyamuk DBD. Menurut Parmadi dalam Makmur 2008, kemauan merupakan dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu, baik yang positif maupun yang negatif. Kemauan dapat diklasifikasikan menjadi dua: 1 kemauan intrinsik, yaitu kemauan internal yang timbul dari dalam diri pribadi seseorang itu sendiri, seperti sistem nilai yang dianut, harapan, minat, cita-cita, dan aspek lain yang secara internal yang secara internaal melekat pada seseorang; dan 2 kemauan ekstrinsik yang muncul dari luar diri pribadi seseorang, seperti kondisi lingkungan, adanya ganjaran berupa hadiah reward bahkan karena merasa takut oleh hukuman punishment merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi.

5.1.8. Pengaruh Kemampuan Terhadap Kasus DBD

Berdasarkan hasil hasil uji statistik menunjukkan nilai p=0,000. Nilai ini secara statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara variabel kemampuan terhadap adanya kasus demam berdarah Dengue yang terjadi di Kota Langsa selama ini. Universitas Sumatera Utara Mardikanto 2003, menyatakan kemampuan masyarakat untuk berbuat sesuatu untuk mencegah dan melakuakan penanggulangan kasus demam berdarah dengue merupakan kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan- kesempatan untuk membangun. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan dipengaruhi oleh pendidikan, penegetahuan dan keterampilan yang dimiliki dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Rendahnya kemauan responden dalam melakukan pemantau jentik dan pencegahan penyakit DBD karena lebih dominan memiliki kemampuan yang kurang. Ini dapat dilihat dimana tingkat pendidikan masyarakat yang menjadi responden sebagaian besar adalah SLTA, SLTP. Dengan kemampuan yang di miliki oleh masyarakat untuk bertindak dalam pencegahan dan penanggulangan kasus DBD, di Kota Langsa cara pikir yang rasional, sehingga dapat mengambil keputusan yang berhubungan dengan dirinya termasuk upaya untuk menjaga kesehatan akan dilakukan subjektif mungkin masih sangat kurang. Penelitian ini sama dengan dilakukan Achmad 1997 di Wonosari Kabupaten Gunung Kidul, yang menyatakan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan dan kemampuan cendrung ikut berpartisipasi dalam PSN-DBD. Program pencegahan penyakit DBD akan dapat terlaksana dengan baik apabila semua komponen yang ada di lingkungan masyarakat sama-sama mendukung. Seseorang yang mempunyai kemampuan yang lebih baik akan cenderung melakukan berbagai tindakan dan pemikiran yang lebih baik pula dalam pencegahan penyakit DBD ini. Universitas Sumatera Utara Diharapkan dengan meningkatnya kemampuan masyarakat baik secara intelektual dan fisik, akan memberi kontribusi secara maksimal terhadap penyelenggaraan program pemberantasan penyakit DBD. Kesedian seseorang untuk berbuat sesuatu merupakan tanda adanya kemampuannya untuk berkembang secara mandiri. Tilaar dalam Makmur 2008, mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang berpartisipasi adalah masyakat yang mengetahui potensi dan kemampuannya termasuk hambatan-hambatan yang dimiliki karena keterbatasannya. Mardikanto 2003, menyatakan kemampuan responden merupakan: 1 Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun pengetahuan tentang peluang untuk membangun memperbaiki mutu hidupnya, 2 Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan yang dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, 3 Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, menggunakan sumber daya dan kesempatan peluang yang tersedia secara optimal. Craig dan Mayo dalam Yustina 2003, mengatakan Empoworment is road to participation. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu kemampuan dalam masyarakat. Belum adanya kemampuan aktif dalam masyarakat untuk menciptakan konndisi yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum berdayanya sebagaian masyarakat kita. Keberdayaan memang menjadi syarat untuk suatu kemampuan, karena merupakan sesuatu yang sulit bagi masyarakat ketika mereka dikehendaki untuk punya kemampuan, namun tidak mempunyai pengetahuan Universitas Sumatera Utara yang cukup tentang segala aktivitas yang mendukung proses pencegahan dan penanggulangan kasus DBD. Untuk meningkatkan kemampuan responden dalam tindakan pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan dengan melaksanakan sosialisasi dalam hal program pencegahan penyakit DBD secara berkelanjutan yang dilakukan oleh semua pihak yang terkait, antara lain Dinas Kesehatan, Puskesmas dan perangkat desa kelurahan. Selain itu perlu juga dilakukan pemutaran film-film dokumenter yang bersifat memperkenalkan bagaimana cara yang tepat dalam pencegahan penyakit DBD.

5.1.9. Lingkungan Antara Lain

5.1.9.1.Pengaruh jarak rumah terhadap kasus DBD Berdasarkan hasil penelitian variabel jarak rumah dengan adanya kasus DBD diperoleh nilai p=0,924, artinya bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara jarak rumah satu dengan rumah yang lain terhadap kasus demam berdarah dengue yang terjadi di Kota Langsa. Maka dengan itu jarak rumah yang dimiliki oleh masyarakat bukan merupakan pengaruh terdapatnya kasus demam berdarah dengue pada masyarakat yang jarak rumah satu dengan yang lainnya kurang dari 5 lima meter dengan jarak rumah yang lain dimiliki oleh masyarakat lebih besar dari 5 lima meter dengan tetangga sebelah. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa jarak antara rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah kerumah lain, semakin dekat Universitas Sumatera Utara jarak rumah semakin mudah nyamuk menyebar dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya Haryanto, 1989.

5.1.9.2. Pengaruh Tata Rumah Terhadap Kasus DBD

Penelitian terhadap variabel tata rumah dilihat dari kebiasaan menggantung pakaian dan pengaturan barang-barang yang ada di rumah, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa terdapat 41 orang 33,88 yang tidak menata rumah dengan baik dan 80 orang 66,12 yang menata rumah dengan baik. Berdasarkan analisis pengaruh antara tata rumah dengan kasus DBD diperoleh nilai p=0,924 artinya bahwa tidak ada perbedaan risiko terkena DBD pada masyarakat yang tata rumahnya baik dengan yang tata rumahnya tidak baik di Kota Langsa. Hal ini kemungkinan disebabkan karena persentase yang menata rumah dengan baik lebih besar dibandingkan dengan yang menata rumah dengan tidak baik. Menurut Haryanto 1989, mengatakan bahwa kebiasaan menggantung pakaian dibelakang pintu merupakan tempat-tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap istirahat selama menunggu waktu bertelur, lembab dan sedikit angin. Nyamuk Aedes aegypti biasa hinggap dibaju- baju yang bergantungan dan benda- benda lain didalam rumah.

5.1.9.3. Pengaruh Tempat Penampungan Air TPA Terhadap Kasus DBD

Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa semua responden memiliki TPA data homogen. Karena sistem penyediaan air dimasyarakat Universitas Sumatera Utara bermacam-macam baik melalui perpipaan maupun sumber lain seperti sumur gali, bak penampungan air yang besar, derum, tempayan dan lain – lain. Tempat penampungan air merupakan media untuk berkembangbiak nyamuk Aedes aegypti seperti kaleng bekas, ban bekas, plastik dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap bertambahnya jentik Aedes aegypti yang otomatis membuka peluang terhadap kejadian kasus demam berdarah dengue. Ban mobil bekas merupakan tempat perkembangbiakan utama Aedes aegypti didaerah perkotaan Suroso, 2000. Untuk menghindari agar nyamuk tidak meletakkan telur- telurnya pada tempat penampungan air, melakukan pengurasan tempat penampungan air maksimal 1satu kali seminggu sehingga telur nyamuk tidak dapat berkembangbiak menjadi nyamuk dewasa yang siap menularkan virus yang ada pada manusia sebagai penderita kasus demam berdarah dengue, kepada orang yang sehat dan berada dilokasi tempat tinggal yang sama. Berdasarkan hasil penelitian yang dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus lebih banyak ditemui jentik pada tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari pada lingkungan rumahnya yaitu: 70 rumah 57,85, sedangkan yang tidak ditemui tempat penampungan air untuk keperluan sehari- hari dilingkungan rumahnya sebanyak 51 rumah 42,15. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dengan adanya kasus DBD, dengan nilai p=0,000 dan artinya Universitas Sumatera Utara kemungkinan orang yang menderita DBD dilingkungan rumahnya terdapt tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan penelitian Sitorus di Kota Medan tahun 2005 yang mengatakan bahwa ada perbedaan kemungkinan resiko terkena DBD pada lingkungan yang tidak bersih dari sampah berserakan yang dapat menampung air seperti kaleng bekas, ban bekas, plastik bekas dengan lingkungan yang terta dengan rapi dan bersih dari tempat-tempat yang bisa dijadikan sarang nyamuk Aedes aegypti. 5.1.9.4.Pengaruh Keberadaan Jentik Terhadap Kasus DBD Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa keberadaan jentik dengan kejadian DBD memiliki nilai p= 0,000 yaitu: artinya bahwa ada pengaruh yang bermakna terkena DBD pada masyarakat lingkungan rumahnya ada jentik dengan lingkungan rumahnya tidak da jentik di Kota Langsa, bermaknanya variabel keberadaan jentik ini karena responden tidak menyadari bahaya penyakit DBD dan kurangnya kesadaran untuk melakukan kegitan 3M yaitu Menguras, Menutup dan Menimbun TPA yang ada sehingga pada saat survei berlangsung keberadan jentik pada TPA masih tinggi. Namun secara persentase pada kasus DBD, jumlah rumah yang ditemui ada jentik lebih besar yaitu 60,33 dibanding rumah yang tidak ditemui jentik yaitu 39,67. Hal ini menyatakan bahwa keberadaan juru pemantau jentik belum bisa ditiadakan sama sekali sehingga kemungkinan penularan DBD masih tetap berlangsung. Universitas Sumatera Utara Sejalan dengan penelitian Sitorus tahun 2005, yang mengatakan bahwa ada kemungkinan resiko terkena DBD pada lingkungan rumah yang tidak ada jentiknya. Kenyataan tersebut diatas didukung dengan hasil survai yang menunjukkan bahwa Angka Bebas Jentik ABJ adalah 39,67. Hal ini tidak memenuhi Angka Bebas Jentik Indikator Nasional yaitu 95. 5. 2. Faktor Yang Paling Dominan Pengaruhnnya Terhadap Kasus DBD Setelah dilakukan uji regresi logistik ganda, diketahui bahwa pengaruh variabel dengan adanya kasus DBD yang paling dominan adalah variabel, kemampuan dan keberadaan jentik. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa penyebab munculnya KLBwabah DBD antara lain disebabkan karena rendahnya kemampuan masyarakat dan adanya keberadaan jentik dilingkungan sekitar masyarakat itu berada Depkes RI, 2003. Secara epidemiologi penyakit DBD merupakan salah satu penyakit menular yang penularannya relatif tinggi karena padatnya jentik nyamuk Aedes aegypti di tengah padatnya penduduk, dan kurangnya kemampuan masyarakat dalam melakuakan pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah dengue. Ada tempat perindukan nyamuk penular DBD. Menurut Wahidin 2003 dalam Nawar 2008 kemampuan dan keberadaan jentik yang tinggi diantara lingkungan masyarakat merupakan suatu masalah penting sehingga menjadi prioritas dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kasus demam berdarah dengue. Universitas Sumatera Utara Demikian juga hasil penelitian Adisasmito 2007, mengatakan bahwa faktor lingkungan sangat berperan besar dalam penyebaran kasus demam berdarah dengue, dimana penyebaran habitat nyamuk disebabkan lingkungan yang memadai dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan lingkungannya masing- masing.

5. 3. Keterbatasan Penelitian