Sejak saat itulah amanat kepemimpinan menjadi keputusan dalam pemilihan pemimpin. Jika seorang pemimpin ingin menunjuk seseorang menjadi pemimpin
sesudahnya, ia harus memeras otak mencari siapa yang paling berhak terhadap posisi tersebut dan paling lengkap kriteria-kriterianya. Jika keputusannya telah jatuh pada
seseorang ia memikirkannya secara serius, dan melakukan pembaiatan langsung terhadap penggantinya selama penggantinya bukanlah dari putra atau ayah dari imam
tersebut. Namun jika hal ini terjadi maka harus diambil langkah-langkah pengambilan sumpah atas persetujuan dewan pemilih dan pemimpin sebelumnya.
Dewan pemilih merupakan yang memiliki peran dalam memilih pemimpin negara. Adapun untuk pengangkatan pemimpin di daerah seperti bupati, walikota,
camat, lurah dan sebagainya , maka itu wewenang kepala negara dengan mengangkat orang yang memiliki kapabilitas dan amanat serta bisa membantu pemimpin pusat
untuk menjalankan roda pemerintahan. Wewenang inilah yang dijadikan sebagai hak bagi kepala negara, kemudian kepala negara tersebut menunaikannya dengan cara
memilih orang yang memiliki kemampuan dan amanat untuk menduduki jabatan tersebut.
4.7. Analisis Pandangan Salafiyah Terhadap Pemilihan Umum
Salafiyah dalam kajian sosiologis dapatlah dikategorikan sebuah kelompok keagamaan ataupun sekte keagamaan dalam Islam. Setiap agama tentunya memiliki
sebuah tata cara ataupun metode tertentu yang mengatur kehidupan pengikutnya secara mekanis berdasarkan apa yang mereka pahami seperti tata cara berpakaian,
pergaulan dan tentunya tata dan sistem perpolitikan dan hal inilah yang tampak jelas
Universitas Sumatera Utara
dalam salafiyah keterikatan dan fanatik agama terlihat jelas, dan ini mendukung tentang apa yang dinyatakan bahwa masyarakat dan manusia dalam menganut agama
atau beragama punya ciri-ciri yang fanatik, mensakralkan sesuatu. Berdasarkan teori JP Wiliams dalam Robertson, 1988 yang menyatakan kategori tingkatan hubungan
agama dan negara, maka salafiyah termasuk dalam sebuah tingkat denominasi agama. Dimana suatu agama pada tingkat denominasi dinyatakan individu mempunyai
keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai oleh individu lainnya dalam suatu kelompok besar, dan penyebarannya tidaklah dilakukan secara privat ataupun
rahasia sehingga negara mengetahui penyebaran agama tersebut. Lebih lanjut seperti apa yang dipahami Roland Robertson 1988 tentang
agama didefenisikan menjadi inklusif dan enklusif. Maka dari pengertian keduanya salafiyah dikategorikan sebagai sistem kepercayaan yang bersifat enklusif, dimana
salafiyah menolak adanya gabungan pemikiran-pemikiran seperti liberalisme, nasionalisme dan kemonisme dalam sebuah pemahaman agama, salafiyah meyakini
bahwa sistem agama tidaklah akan ataupun harus berubah sebagaimana ajara Islam saat dibawa oleh utusanNYA begitulah agama hingga akhir. Termasuk dicontohkan
bagaimana pandangan dan sikap salafiyah terhadap pemilihan umum khususnya dan sistem perpolitikan umumnya tentunya salafiyah sangat menolak dengan keras
tentang paham perpolitikan yang tidaklah berdasarkan dari sumber hukum Islam dimana mereka berpandangan sistem-sistem tersebut justru akan memusnahkan nilai
Islam didalam masyarakat dan peerjuangan keagamaan tidaklah harus digabungkan dari nilai-nilai diluar Islam.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan mereka didalam pemilu tidaklah terlepas sikap rasionalitas yang dimiliki pada sebuah pendangan kelompok kegamaan, dimana tindakan ini berkaitan
dengan interaksi sosial seperti apa yang dikatakan Weber bahwa tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial, sesuatu tidak akan dikatakan tindakan sosial jika
individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan tersebut dan nantinya tindakan-tindakan sosial individu tersebut membentuk bangunan dasar
struktur sosial yang lebih besar. Dari hal inilah salafiyah selaku aktor dalam tindakan sosial tampaknya menyadari betul konsekuensi apa yang mereka dapati dari tindakan
dan sikap mereka terhadap pemilu, salafiyah terus bertindak berpandangan negatif terhadap pemilu dimana nantinya diharapkan bahwa pergerakan mereka mampu
memperngaruhi sistem perpolitikan itu sendiri baik itu terciptanya kemajuan ataupun kehancuran perpolitikan yang ada. Salafiyah berupaya mengatur tindakan
pengikutnya berdasarkan kesadaran dan pemahaman mereka sendiri, dalam kata lain salafiyah berupaya membangun rasionalitas pengikutnya terhadap pemilu dari nilai-
nilai yang terus disosialisasikan dan dikomparasikan terhadap perkembangan kehidupan bermasyarakat tanpa perlu memberikan sebuah ajakan langsung dan inilah
merupakan gamabaran dari sebuah tindakan rasionalitas instrumental dimana tindakan rasipnal instrumental sangat menginginkan tujuan dari tindakan tersebut.
Beberapa kalangan di Indonesia menyatakan bahwa sikap salafiyah diatas merupakan sebuah pergerakan radikalisasi dan fundamentalisasi Islam, dimana
berfokus pada pengembalian sistem Islam seperti dahulunya dapat diterapkan di Indonesia namun hal ini menjadi benturan tersendiri bagi sebahagian pemeluk Islam
di Indonesia mengingat kebiasaan masyrakat muslim Indonesia yang moderat dan
Universitas Sumatera Utara
juga terkadang bersifat adanya akulturasi budaya dengan agama. Sikap perpolitikan ini adalah salah satu contohnya, dimana sebagian muslim di Indonesia menganggap
sistem pemilihan ataupun demokrasi yang ada saat ini merupakan salah satu reperentasi nilai Islam yang erat kaitannya dengan musyawarah dan salafiyah justru
memandang seballiknya. Pemikiran-pemikiran ini jugalah yang terkadang memunculkan sikap apatis salafiyah terhadap politik saat ini dimana ini bukanlah
menjadi nilai dari sendi-sendi Islam yang yang harus diprioritaskan untuk diperjuangkan dalam menegakkan Islam, maka salafiyah justru mementingkan
bagaimana sebuah sistem Islam itu dicapai haruslah disesuaikan dengan mengikuti bagaimana jalan Islam yang telah diatur yang diawali dengan berupaya mewujudkan
dan mengimplementasikan sebuah metode beragama berdasarkan pemahaman dan pengamalan kaum muslim pada masa awal penyebarannya dari sisi keyakinan dan
ritual peribadatan. Mementingkan sebuah rasionalitas berpikir juga didapati pada bagaimana
salafiyah berusaha untuk tetap memposisikan pemerintahan yang syah untuk didukung sepenuhnya dalam hal kebaikan, dimana mereka menyadari bahwa
hubungan simetris dan timbal balik antara masyarakat dan pemimpinnya akan memiliki sebuah kebaikan bermasyarakat kan tercipta. Dicontohkan pada sebuah
pemimpin akan tercermin pada kondisi masyarakatnya. Sikap-sikap yang berlandaskan nilai agama yang diwujudkan oleh merekan nantinya diharapkan akan
diikuiti dengan terciptanya pemimpin suatu negara yang adilkan terbentuk atau bahkan sebaliknya. Dan disini juga menggambarkan bagaimana sebuah kontrol sosial
anatara masyarakat dan pemimpinnya dilaksanakan,
Universitas Sumatera Utara
4.8. Analisis Statistik Deskriptif Data Kuantitatif