Agama dan Politik KAJIAN PUSTAKA

- Tingkat denominasi, individu mempunyai keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai oleh individu-individu lainnya dalam suatu kelompok besar, dan karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau privat. - Tingkat masyarakat, individu memiliki keyakinan kegamaan dari warga masyarakat tersebut.

2.2. Agama dan Politik

Agama dan politik adalah institusi sosial yang berbeda secara fungsi dan peranannya. Namun sebuah institusi yang berbeda tidaklah menutup kemungkinan untuk bersatu saat sebuah nilai-nilai dalam agama mampu diwujudkan dalam membentuk sebuah sistem yang lebih tidak hanya terbatas pada urusan peribadatan pemeluknya. Nilai-nilai pada agama tidaklah menutup kemungkinan baginya untuk dijadikan sandaran politik. Roland Robertson Alford mengatakan bahwa hubungan antar politik dan agama muncul sebagai masalah pada bangsa-bangsa yang tidak homogen secara agama, ia juga menambahkan pemikir politik klasik seperti Aristoteles menegaskan bahwa homogenitas agama adalah suatu kondisi kestabilan politik. Apabila kepercayaan-kepercayaan berlawanan dengan nilai-nilai tertinggi masuk ke arena politik, mereka akan mulai bertikai dan makin jauh dari kompromi Alford, 1988:379. Dari segi sikap negara terhadap agama dibagi menjadi empat bagian, yaitu negara agama, negara yang punya agama tertentu, negara membantu pembangunan agama dengan bersikap adil terhadap agama-agama bangsanya, dan negara sekuler Universitas Sumatera Utara baik yang bersifat moderat juga ekstrim dimana memisahkan urusan negara dari agama. Teori kedaulatan Tuhan merupakan pengaruh agama dalam kehidupan politik, dimana dalam teori ini dikatakan bahwa kepala negara harus bertakwa kepada Tuhan. Yang mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu yang memiliki atau ada pada Tuhan. Teori ini berkembang pada abad pertengahan, yaitu antara abad ke V sampai abad ke XV. Di dalam perkembangannya teori ini sangat erat hubugannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu, yaitu agama kristen, yang kemudian diorganisir dalam suatu oraganisasi keagamaan, yaitu gereja, yang dikepalai oleh seorang Paus. Jadi pada waktu itu lalu ada dua organisasi kekuasaan, yaitu : organisasi kekuasaan negara yang diperintah oleh seorang raja, dan organisasi kekuasaan gereja yang dikepalai oleh seorang Paus, karena pada waktu itu organisasi gereja tersebut mempunyai alat-alat perlengkapan yang hampir sama dengan alat-alat perlengkapan organisasi negara. Ini adalah pendapat dari Thomas Aquinas. Para sosiolog memang tidak memandang dengan sebelah mata berbagai peran yang dapat dimainkan agama dalam proses-proses politik di tengah masyarakat. Peter Berger, misalnya yang mencoba menyintesiskan pandangan-pandangan Marx, Weber, dan Durkhiem, menggambarkan agama sebagai kekuatan world maintaning dan world shaking 1967. Dengan dua kekuatan itu, agama mampu melegitimasi atau menentang kekuasaan dan privilese. Meski demikian, para sosiolog menekankan berkurangnya signifikansi agama dalam kehidupan publik seiring proses sekularisasi dan privatisasi. Menurut Berger, sekularisasi mengantarkan pada demonopolisasi tradisi-tradisi keagamaan dan meningkatkan peran orang-orang awam. Berbagai Universitas Sumatera Utara pandangan keagamaan berbaur dan bersaing dengan pandangan dunia non-agama, sehingga organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan de- birokratisasi. Hal yang sama dikemukakan Talcott Parsons, sosiolog terkemuka dari pendekatan fungsional. Menurut Parsons, dalam masyarakat multi-religius proses- proses politik yang berlangsung akan menjadi semacam diferensiasi yang menyediakan agama pada tempat yang lebih sempit tetapi jelas dalam sistem sosial dan kultural. Karena keanggotaan dalam suatu organisasi kemasyarakatan bersifat sukarela, maka konten dan praktik keagamaan dengan sendirinya mengalami privatisasi dan menyebabkan perkembangan civil religion. http:unisosdem.org

2.3. Teori Pilihan Rasional