Pada penelitian ini, pasien Sindroma Down kebanyakan adalah laki-laki 52,4. Hal ini sesuai dengan penelitian yang juga dilakukan oleh Al Harasi
2010 di Oman, dengan persentasi laki-laki lebih banyak yaitu 57,2. Penelitian yang dilakukan oleh Hayes et al. 1997 di Irlandia juga menunjukkan bahwa laki-
laki lebih banyak 53. Tetapi pada penelitian di Qatar oleh Al Ali et al. 2006 menyebutkan jumlah perempuan lebih banyak yaitu 51,1. Dan perbedaan jenis
kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap angka mortalitas Day et al., 2005.
5.2.2. PJB pada Sindroma Down
Diagnosis PJB pada Sindroma Down pada penelitian ini paling banyak pada umur 1-12 bulan 54,8. Diagnosis PJB pada Sindroma Down memang harus sesegara
mungkin dilakukan. Hal itu dikarenakan PJB adalah kondisi yang berpengaruh langsung pada prognosis dan kelangsungan hidup pasien, dan menjadi penyebab
tertinggi dari morbiditas dan mortalitas selama dua tahun pertama kehidupan Boas et al., 2009. Menurut Weijerman et al. 2007 PJB adalah penyebab utama
dari mortalitas bayi dengan Sindroma Down terutama selama periode postneonatal 70 kasus. Pada populasi umum, mortalitas biasanya terjadi
selama periode neonatal. Pada Sindroma Down, seperti populasi umumnya, mortalitas neonatus diakibatkan oleh faktor neonatus seperti asfiksia, berat badan
lahir rendah, dan prematuritas. Peningkatan teknik bedah untuk penatalaksanaan PJB dan koreksi bedah yang dilakukan pada umur yang lebih muda akan
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada bayi dengan Sindroma Down. Pada penelitian ini, pasien Sindroma Down yang mengalami PJB
kebanyakan berjenis kelamin laki-laki 58,1. Menurut Murdoch 1985 dan Baird 1987 dalam Hayes et al. 1997 pasien Sindroma Down perempuan
dengan PJB memiliki angka ketahanan hidup yang lebih rendah. Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Hayes et al. 1997 angka ketahanan hidup pada
kedua jenis kelamin sama, meskipun lebih banyak perempuan yang mengalami PJB.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2005, 2006, dan 2007 jumlah sampel yang diperoleh terlalu sedikit sehingga tidak representatif untuk menggambarkan prevalensi PJB pada
anak dengan Sindroma Down dalam kurun waktu tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian ini hanya memfokuskan pembahasan pada prevalensi PJB pada anak
dengan Sindroma Down pada tahun 2008 dan 2009. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, prevalensi PJB pada
Sindroma Down tahun 2008 adalah 35,5 dan tahun 2009 adalah 32. Angka ini termasuk rendah dan berada di bawah batasan perkiraan yang terdapat di literatur,
yaitu PJB terjadi pada 40-60 penderita Sindroma Down Korenberg et al., 2002. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Boas et al. 2009
di Pelotas, Brazil yang menyebutkan 46,8 pasien Sindroma Down mengalami PJB. Hasil penelitian selama 13 tahun di Turki didapatkan angka kejadiannya
sangat tinggi, yaitu 77,6 Nisli et al., 2008. Penelitian di Israel oleh Mihci et al. 2010 juga menunjukkan angka kejadian yang tinggi, yaitu sebanyak 72,7
pasien Sindroma Down mengalami PJB. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Keckler et al. 2008 di Kansas menunjukkan angka yang lebih
rendah, yaitu 39,3. Sebenarnya prevalensi pada penelitian ini dapat lebih tinggi, sebab tidak
semua pasien Sindroma Down dilakukan ekokardiografi, hanya pada pasien yang memiliki gejala kelainan jantung saja. Sehingga pasien yang asimptomatik
mungkin saja memiliki PJB, tetapi tidak terdiagnosis. Menurut Hoe et al. 1990 50 pasien Sindroma Down dengan PJB tidak menunjukkan gejala. Menurut
Seale dan Shinebourne 2004 bayi Sindroma Down yang baru lahir dengan AVSD dan VSD dapat asimptomatik dan tanpa murmur. Penelitian Wells et al.
1994 juga menunjukkan beberapa anak Sindroma Down yang memiliki kelainan jantung yang parah tidak memiliki murmur, sedangkan yang memiliki murmur
tidak mempunyai kelainan jantung. Sehingga ada tidaknya murmur tidak boleh dijadikan kriteria untuk memutuskan apakah anak tersebut harus dilakukan
ekokardiogram. Oleh karena itu, semua bayi dengan Sindroma Down harus menjalani ekokardiografi sebagai skrining untuk mengetahui ada tidaknya PJB.
American Academy of Pediatrics 2001 dalam Mihci et al. 2010 juga
Universitas Sumatera Utara
merekomendasikan agar setiap neonatus Sindroma Down dilakukan pemeriksaan rutin ekokardiografi meskipun tidak ada murmur.
Jenis PJB yang paling sering pada penelitian ini adalah VSD 29. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Naples, Itali oleh
Paladini et al. 2000 dengan persentase VSD sebanyak 48. Begitu juga pada penelitian di Jepang oleh Sonoda et al. 2000 yang menunjukkan bahwa VSD
adalah jenis yang paling sering 31,3. Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan olen Vida et al. 2005 di Guatemala yang
menyebutkan jenis yang paling sering adalah PDA 54,1. Sedangkan hasil penelitian oleh Figueroa et al. 2003 di Meksiko menyebutkan jenis PJB yang
paling sering adalah ASD. Hasil yang berbeda juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Freeman et al. 1998 di Atlanta dan Wells et al. 1994 di
Birmingham yang menunjukkan bahwa AVSD merupakan tipe yang paling sering.
Menurut The National Association for Child Development NACD 2009 jenis PJB yang paling sering pada Sindroma Down adalah AVSD. Jenis kelainan
ini memang lebih sering dijumpai pada Sindroma Down, kemungkinan terjadinya AVSD ini meningkat seribu kali dibandingkan pada anak tanpa Sindroma Down
Sherman, 2007. Menurut Hayes et al. 1997 pasien Sindroma Down yang dengan AVSD memiliki prognosis yang paling buruk dan angka ketahanan hidup
pasien AVSD yang dilakukan koreksi bedah lebih baik dibandingkan dengan yang tidak dikoreksi bedah. AVSD adalah jenis defek jantung yang paling sering pada
Sindroma Down, tetapi distribusi PJB pada anak dengan Sindroma Down dapat bervariasi berdasarkan lokasi geografiknya. Pada penelitian epidemiologi di
Ameriksa Serikat dan Eropa, AVSD merupakan tipe yang paling banyak, yaitu mengenai 60 pasien. Sedangkan di Asia, VSD dilaporkan sebagai jenis yang
paling sering yaitu terdapat pada 40 pasien. Di Amerika Latin, ASD menjadi jenis yang paling sering 40 Nisli, 2009.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan