BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP Gross National Product per kapita atau pendapatan masyarakat
meningkat dalam periode waktu yang panjang Sirojuzilam, 2005. Walaupun banyak mendapat tanggapan di kalangan masyarakat namun tidak dapat disangkal
bahwasanya pemerataan pembangunan merupakan salah satu indikator yang lazim digunakan oleh badan-badan dunia dalam menilai keberhasilan pembangunan yang
dilaksanakan oleh suatu Negara Todaro, 1994. Menurut Meier, pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menciptakan pendapatan riil perkapita sebuah
Negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, sejumlah orang hidup di bawah garis kemiskinan mutlak tidak naik, dan distribusi pendapatan tidak
semakin timpang Gammel, 1994. Ketimpangan pembangunan pada prinsipnya merupakan ketimpangan
ekonomi yang mengandung makna kemiskinan dan kesenjangan. Agar ketimpangan dan perkembangan antar suatu daerah dengan daerah lain tidak menciptakan jurang
yang semakin lebar maka implikasi kebijaksanaan terhadap daur perkembangan dari pembangunan haruslah dirumuskan secara tepat Suryana, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Ketimpangan, pemerataan, dan infrastruktur sebenarnya telah dikenal cukup lama di Indonesia, misalnya melatar belakangi program padat karya berbagai
pembangunan infrastruktur, seperti dalam program alam program perbaikan kampung seperti jalan, pos kampling, jalan, sungai, irigasi dan lain-lain; berbagai program
jaring pengaman sosial; pembangunan jaringan infrastruktur di pedesaan, seperti jalan, irigasi, listrik, telepon, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Ketimpangan yang paling lazim dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per
kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan atau antar wilayah. Pendapatan per kapita rata-rata suatu daerah dapat
disederhanakan menjadi Produk Domestik Regional Bruto dibagi dengan jumlah penduduk. Cara lain yang bisa digunakan adalah dengan mendasarkan kepada
pendapatan personal yang didekati dengan pendekatan konsumsi Widiarto, 2001. Dalam pengukuran ketimpangan pembangunan ekonomi regional digunakan Indeks
Williamson. Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia yang diukur dengan indeks
Williamson dari Tahun 1971 hingga Tahun 1990 berkisar antara 0,396 sampai 0,484. Hal ini menunjukkan ada peningkatan ketimpangan ekonomi regional tetapi masih
relatif sedang. Indeks ketimpangan ekonomi regional dari Tahun 1991 hingga 1997 berkisar 0,643 sampai 0,671 berarti mengalami kenaikan cukup tinggi Sjafrizal,
1997.
Universitas Sumatera Utara
Studi empiris dari Brodjonegoro 1999 dan Mahi 2000 dengan menggunakan PDRB per kapita menurut harga konstan 1993 menunjukkan bahwa
Indeks Williamson tahun 1995 tercatat sebesar 0,716. Pada tahun 1996, Indeks Williamson mengalami penurunan mecapai 0,712. Dan Tahun 1997, Indeks
Williamson mengalami kenaikan mencapai 0,713 sebagai akibat dari krisis ekonomi di Indonesia Thulus Tambunan, 2001.
Namun demikian, KabupatenKota di Indonesia yang memiliki keuntungan relatif besar dari sumber daya alam hanya 6 propinsi 20 dan dari 350
kabupatenkota tidak sampai 20 kabupatenkota 5 yang menikmati bagi hasil yang besar Simanjuntak, 2001. Gejala tersebut sesuai dengan kesimpulan dari penelitian
yang dilakukan oleh UNSFIR, yang menyatakan bahwa perbedaan yang mencolok antara kekayaan daerah dengan kesejahteraan masyarakatnya pada daerah-daerah
yang kaya sumber daya alam tersebut telah menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat terhadap sesuatu yang seharusnya dinikmati, yang disebut aspirasi
terhadap ketidakmerataan inequality. Aspirasi ini mencerminkan adanya rasa ketidak-adilan yang muncul bila tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang
kaya sama atau bahkan lebih rendah dari masyarakat Indonesia pada umumnya Tadjoeddin, 2001. Di Kalimantan Timur sebanyak 915 desa atau 72,7 persen dari
1.295 desa tergolong miskin. Sementara di Provinsi Riau 20 dari 4,2 juta penduduknya hidup dalam kondisi prasejahtera dan hampir 70 angkatan kerjanya
berpendidikan rendah Harian Kompas, 7 Mei 2002.
Universitas Sumatera Utara
Namun perlu juga diperhatikan nasib daerah-daerah yang secara absolut memang miskin sumber daya alam dan sumber daya lainnya tenaga kerja yang
trampil, teknologi, modalinvestasi sehingga pemerintah daerah juga low profile terkesan nerimo tetapi penduduk daerah-daerah tersebut semestinya mendapat
perhatian lebih besar. Ketimpangan ekonomi antar daerah secara absolut maupun ketimpangan
relatif antara potensi dan tingkat kesejahteraan tersebut dapat menimbulkan masalah dalam hubungan antar daerah. Falsafah pembangunan ekonomi yang dianut
pemerintah jelas tidak bermaksud membatasi arus modal bahkan yang terbang ke luar negeri saja hampir tidak dibatasi. Arus modal mempunyai logika sendiri untuk
berakumulasi di lokasi-lokasi yang mempunyai prospek return atau tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dan tingkat risiko yang lebih rendah. Sehingga tidak
dapat dihindari jika arus modal lebih terkonsentrasi di daerah-daerah kaya sumber daya alam dan kota-kota besar yang prasarana dan sarananya lebih lengkap.
Di sisi lain gelombang pencari kerja juga mengalir mengejar kesempatan ke kota-kota besar, ke daerah-daerah yang kaya potensi. Hal ini menjadi masalah
kepadatan penduduk bagi daerah yang menerima pencari kerja dari daerah-daerah miskin ke kota-kota besar. Oleh karena di kota-kota besar tersebut relatif banyak
golongan ekonomi lemah dari penduduk asli ataupun dari daerah-daerah lain dapat mengakibatkan saling berebut tempat dan peluang antar kelompok daerah asal
Risfan Munir, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itulah diperlukan pembangunan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Guna meningkatkan pembangunan nasional harus didukung
dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dalam rangka mewujudkan keserasian dan keseimbangan Pembangunan Nasional.
Pembangunan pada hakekatnya merupakan upaya terencana dan terprogram yang dilakukan secara terus menerus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Pembangunan dapat dilakukan melalui pendekatan wilayah pembangunan wilayah atau pendekatan sektoral pembangunan daerah. Pembangunan daerah lebih
menekankan pada pendekatan daerah secara administrasi dan pendekatan sektoral, yang diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menserasikan laju pertumbuhan
antar daerah, antar perkotaan, antar perdesaan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan prioritas daerah serta pengembangan daerah seoptimal mungkin dengan
memperhatikan dampak pembangunan Mursid Zuhri, 1998. Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 kabupatenkota memiliki jumlah
penduduk tahun 2006 sebanyak 12.643.494 jiwa, tahun 2007 sebanyak 12.834.371 jiwa, tahun 2008 sebanyak 13.042.317 jiwa, dan tahun 2009 sebanyak 13.248.386
jiwa, menunjukkan peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya Data BPS. Pertumbuhan penduduk yang tinggi sudah pasti diikuti pertumbuhan angkatan kerja
yang tinggi pula. Pada tahun 2009 jumlah angkatan kerja di Provinsi Sumatera mencapai 5.765.643 jiwa. Salah satu permasalahan dalam pembangunan ekonomi
adalah jumlah angkatan kerja yang terus menerus meningkat yang tidak sebanding dengan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan Tambunan, 2001.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah perluasan kesempatan kerja yang dapat dilakukan antara lain melalui peningkatan investasi. Gambaran
perkembangan pembangunan daerah tidak lepas dari perkembangan distribusi dan alokasi investasi antar daerah. Sumatera Utara merupakan salah satu barometer
perekonomian Indonesia dan merupakan daerah tujuan investasi. Tetapi selain itu diperlukan juga campur tangan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan
pembangunan antar daerah. Dana bantuan pembangunan daerah merupakan salah satu sumber keuangan untuk melakukan pembangunan daerah.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu diadakan suatu kajian yang berfokus pada ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dengan judul
“Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara”.
1.2. Perumusan Masalah