Metode Penulisan EDDI MAHMUDDIN BETA

Salah satu bentuk perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata adalah perjanjian tukar-menukar. Perjanjian tukar-menukar dalam Pasal 1541 KUH Perdata disebutkan:”Tukar-menukar ialah suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain”. Dalam pembuatan perjanjian tukar-menukar maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana perjanjian itu dibuat agar tidak menimbulkan masalah baik bagi para pihak dalam perjanjian itu sendiri maupun bagi pihak ketiga. Objek dari perjanjian tukar-menukar adalah semua barang baik bergerak maupun tidak bergerak yang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dengan demikian maka tanah hak milik dapatlah menjadi objek dalam perjanjian tukar-menukar. Hak milik atas tanah sesuai ketentuan Pasal 20 ayat 1 dan 2 UUPA yang berbunyi sebagai berikut: “Hak milik adalah Hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”

F. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan dua metode penelitian, yaitu metode penelitian kepustakaan Library Research dan metode penelitian lapangan Field Research. Metode penelitian kepustakaan Library Research merupakan pengumpulan data yang dilakukan literatur atau dari sumber bacaan berupa buku- buku, peraturan perundang-undangan dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini untuk digunakn sebagai dasar ilmiah dalam pembahasan materi. Metode penelitian lapangan Field Research penulis lakukan dengan mengambil data sekunder berupa putusan pada Pengadilan Negeri Tembilahan di Propinsi Riau yang beralamat di Jalan Prof. Yamin No. 3 Tembilahan sebagai pengadilan tingkat pertama yang memeriksa, mengadili, serta memutus Perkara Perdata No.06Pdt.G2006PN.TBH.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini mempunyai sistematika yang mempunyai kaitan atau hubungan yang erat antara yang satu dengan yang lainnya karena pada dasarnya adalah isi tulisan ini merupakan satu kesatuan. Untuk memberikan kemudahan dalam memahami isi tulisan ini, maka digunakan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I : PEDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN DAN PERJANJIAN TUKAR- MENUKAR Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan terhadap perjanjian yang meliputi pengertian perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian, asas-asas dalam perjanjian, wanprestasi dalam perjanjian, hapusnya perjanjian. Kemudian tinjauan terhadap perjanjian tukar menukar yang meliputi pengertian perjanjian tukar-menukar, subyek dan obyek dalam perjanjian tukar-menukar, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tukar-menukar, dan akibat hukum perjanjian tukar-menukar. BAB III : TINJAUAN JURIDIS TENTANG TANAH DAN HAK MILIK ATAS TANAH Pada bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum terhadap tanah yang meliputi pengertian tanah, dan jenis-jenis hak atas tanah dalam pasal 16 UU No.5 Tahun 1960. Kemudian tinjauan umum terhadap hak milik yang meliputi pengertian hak milik, sifatcirri hak milik, subyek hak milik, dan hapusnya hak milik. BAB IV:PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR BARTER TANAH ANTARA HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN HKBP TEMBILAHAN DENGAN H. EDDI MAHMUDDIN BETA Pada bab ini penulis membahas mengenai bentuk dan isi perjanjian tukar-menukar tanah antara Huria Kristen Batak Protestan HKBP Tembilahan dengan H. EDDI MAHMUDDIN BETA, kasus posisi putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No. 06Pdt.G2006PN.TBH, putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No. 06Pdt.G2006, perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian tukar-menukar tanah pada putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No. 06 Pdt.G2006PN.TBH BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan sebelumnya. 14 BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN DAN PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR A.Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian 1. Pengertian perjanjian Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut Overeenkomst. Secara yuridis pengertian perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi : Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti memberikan rumusan perjanjian sebagai berikut : “Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal “. 6 Peristiwa ini menimbulkan suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan atau dengan kata lain perjanjian itu menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan atas apa yang diucapkan atau dituliskan kedua belah pihak yaitu pihak yang berhak dan yang berkewajiban. 7 6 Subekti, Hukum PerjanjianI, Intermasa, Jakarta, 1991, hal. 1 7 Munir Fuadi, Hukum kontrak, Citra Aditya Bakti, Bandung,1999, hal. 2 Abdulkadir Muhammad, memberikan pengertian tentang perjanjian yaitu :”Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan.” 8 Hal ini dapat diketahui dari perumusan :”Satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri” sehingga terdapat consensus antara pihak-phak. Selanjutnya dikemukakannya bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut masih terdapat beberapa kelemahan, yakni: 1. Hanya menyangkut sepihak saja. 9 Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus Dalam pengertian perbuatan mencakup juga tindakan melaksanakan tugaspekerjaan orang lain tanpa kuasa zaakwaarneming. Perbuatan melawan hukum onrechtmatigdaad yang tidak mengandung suatu consensus seharusnya dipakai kata “persetujuan”. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas 8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 9 9 Bandingkan dengan pendapat J. Satrio yang menyatakan setiap orang yang membaca kalimat tersebut akan membayangkan adanya satu orang atau lebih yang terikat kepada satu orang atau lebih lainnya, jadi kesan yang timbul adalah disatu pihak ada kewajiban dan dilain pihak ada hak, yang demikian itu hanya cocok untuk perjanjian yang sepihak, sebab didalam perjanjian yang timbal balik pada kedua pihak ada baik hak maupun kewajiban, padahal perumusan Pasal 1313 KUH Perdata merupakan perumusan umum, perumusan tentang perjanjian Buku III pada umumnya, J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 23 hukum keluarga.Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. 10 Menurut M. Yahya Harahap, parjanjian atau verbintenis mengandung pengertian:”Suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melunasi prestasi”. 4. Tanpa menyebut tujuan Dalam perumusan Pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian sehingga tidak jelas tujuan atau maksud dari pihak-pihak untuk mengikatkan diri itu untuk apa. 11 Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang, dengan demikian agar suatu perjanjian tersebut Dari rumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum yang lahir dari adanya kesepakatan antara dua pihak atau lebih, dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya pada pihak yang lain untuk memenuhi kewajiban dan pihak kedua berhak untuk menuntut hak yang disepakati bersama. 2 Syarat-syarat sahnya perjanjian 10 Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain dalam arti sempit perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata, jadi hukum perjanjian sebagai bagian dari hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah bagian dari pada hukum kekayaan, maka hukum yang timbul antara para pihak di dalam perjanjian dalam lapangan hukum kekayaan, Ibid. hal. 23 11 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1998, hal. 6 dikatakan sah harus memiliki syarat-syarat berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. 12 Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, artinya setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian yang sah. Hal ini berarti bahwa seluruh perjanjian harus memenuhi keempat syarat tersebut yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dari keempat syarat tersebut, dapat dibedakan atas dua golongan,yaitu: a. Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut orang atau person yang melakukan perjanjian. b. Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif, karena mengenai perbuatan yang diperjanjikan. Dari pengelompokan di atas, tidaklah dapat dikatakan bahwa syarat objektif lebih penting dari syarat subjektif atau sebaliknya syarat subjektif lebih bernilai dibanding syarat objektif, karena pada dasarnya keempat syarat itu merupakan hal yang essensial di dalam setiap persetujuan atau perjanjian. Karena tanpa dipenuhi keempat syarat tersebut, maka perjanjian dianggap tidak pernah ada. 12 Keempat syarat tersebut lazim dipahami sebagai syarat umum. Berarti berlaku untuk semua jenis perjanjian. Lagi pula dipahami bahwa syarat itu adalah syarat minimal yaitu syarat yang sekurang-kurangnya harus ada dan dipenuhi supaya perjanjian sah. Karena merupakan syarat umum senantiasa ditambah dengan syarat khusus lainnya. Syarat khusus itu tergantung pada jenis atau macam perjanjiannya,Ibid, hal. 74 Ad.1. Sepakat Mereka Yang Mengikat Diri Yang dimaksud dengan kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri adalah bahwa para pihak untuk saling mengikatkan diri satu sama lain dalam suatu perjanjian. Artinya para pihak tersebut harus sepakat,setuju,seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. 13 a. Salah pengertian dwaling atau kekhilafan Namun untuk mengetahui sah atau tidaknya suatu perjanjian telah ditentukan oleh Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tidak dianggap sah suatu kesepakatan, jika kesepakatan itu diberikan karena: b. Paksaan dwang c. Penipuan bedrog Kesepakatan yang diberikan karena salah pengertian atau kekhilafan, paksaan, penipuan memperlihatkan adanya kecacatan dalam kesepakatan atau persetujuan itu. Terhadap persetujuan yang demikian, para pihak atau yang bukan batal demi huku m. Dalam hal kekhilafan, yang dapat batal demi hukum adalah mengenai sari pokok atau hal yang essensial dalam persetujuan tersebut.Hal ini diatur dalam Pasal 1322 KUH Perdata yang berbunyi: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan”. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi 13 Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau diam-diam. Kemauan yang bebas untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan dwang, kekhilafan dwaling atau penipuan bedrog, Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Internasa, Jakarta, 2001, hal. 134 mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan. Kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa dwaling atau kekhilafan atau salah pengertian yang menyebabkan lenyapnya persetujuan harus mengenai 1. Pokok atau maksud obyek persetujuan 2. Kedudukan hukum subyek yang membuat suatu persetujuan 3. Hak subyek hukum yang bersangkutan. 14 Perumusan dari Pasal 1324 KUH Perdata ini menurut beliau belum sempurna, harus ditambahkan bahwa yang diancam itu harus merupakan hal yang tidak diperbolehkan hukum. Mengenai pemaksaan dwang terjadi apabila orang yang dipaksa itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menyetujui persetujuan tersebut. Wiryono Prodjodikoro mengatakan: Dalam Pasal 1324 KUH Perdata paksaan itu harus sepantasnya menakutkan suatu pihak terhadap suatu ancaman, bahwa apabila ia tidak menyetujui perjanjian yang bersangkutan, maka ia akan menderita suatu kerugian yang nyata”. 15 Dalam hal penipuan, selanjutnya dikemukakannya pula bahwa satu macam pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan , melainkan harus ada suatu rangkaian pembohongan yang dalam hubungannya satu dengan yang lainnya merupakan suatu tipu muslihat. 16 14 M. Yahya Harahap, Op.cit. hal. 6 15 Wiyono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung, 1989, hal. 3 16 Ibid, hal. 32 Ada perbedaan antara tipu muslihat dengan kekhilafan, dimana bedanya terletak pada unsur kesengajaan. Pada penipuan terdapat unsur kesengajaan dari orang yang melakukannya, sedang pada kekhilafan unsur tersebut tidak ada. Ad.2. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perjanjian. Untuk sahnya suatu perjanjian memerlukan kecakapan dari subyek yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain setiap orang yang sudah dewasa, waras akal budinya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah: 1. Orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu dibatalkan dengan keluarnya SEMA No.3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka pengadilan tanpa seizin suami. Orang yang belum dewasa yang dimaksud dalam hal ini adalah seperti yang ditunjuk oleh Pasal 330 KUH Perdata yaitu mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Pasal 433 KUH Perdata menentukan mereka yang ditaruh dibawah pengampuan adalah setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap atau terlalu boros, sehingga tidak mampu bertanggungjawab atas kepentingan sendiri karena itu dalam melakukan suatu perbuatan hukum mereka diwakili oleh pengampunya curator . 17 17 Bandingkan dengan pendapat A. Qiram Syamsuddin Meliala yang menyatakan, orang yang cakap adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin. Tidak termasuk orang-orang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh pengadilan diputuskan berada di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang telah bersuami. Mengenai hal ini setelah dikeluarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertidak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka pengadilan tanpa seizing suami. Setelah dikeluarkannya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tersebut sejak saat itu beberapa pasal dalam KUH Perdata sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, antara lain Pasal 108,284 ayat 3 dan Pasal 1238 KUHPerdata, A, Qiram Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Liberty yogyakarta,1985, hal. 10 Mengenai ketentuan bagi orang-orang perempuan yang dianggap tidak cakap dalam membuat persetujuan-persetujuan, ha ini sesuai dengan Pasal 1467 KUH Perdata yang menyatakan bahwasanya antara suami istri tidak diperbolehkan melakukan persetujuan jual beli. Kemudian Pasal 1678 KUH Perdata juga menentukan bahwa antara suami istri selama dalam ikatan perkawinan dilarang mengadakan penghibaan. Namun ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah-hadiah atau pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi mengingat kemampuan si penghibah. Ad.3. Suatu Hal Tertentu Dalam hal ini undang-undang menentukan bahwa objek yang dperjanjikan haruslah dapat ditentukan, paling tidak jenisnya. Lebih lanjut Pasal 1333 KUH Perdata menjelaskan bahwa tidaklah menjadi halangan jumlah barang yang belum tentu, asal saja jumlah itu pada kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Tentang objek prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis dan praktis. Takkan ada arti dari perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal demikian. Dengan demikian dapat dimengerti, agar perjanjian itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan yang mengikat, prestasi yang menjadi objek perjanjian harus tertentu sekurang-kurangnya jenis objek itu harus tertentu. 18 18 Objek dalam perhubungan hukum ialah hal yang diwajibkan atau hal terhadap mana seorang mempunyai hak. Dalam perhubungan hukum antara seorang manusia atau suatu badan hukum dan suatu harta benda, objeknya ialah harta benda itu terhadap mana seorang manusia atau badan hukum itu mempunyai hak-hak dan atau kewajiban-kewajiban, Wiryono Projodikoro,Op.cit, hal. 40 Ad.4. Suatu Sebab Yang Halal Suatu sebab yang halal di sini tidak lain daripada perjanjian itu sendiri,sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian, pada dasarnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Memang secara logika undang-undang hukum tidak memperdulikan kenapa orang membuat perjanjian, juga undang-undang tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atas apa yang dicita-citakan, karenanya undang-undang cukup “mencampuri” pada tingkat isi yang akan mencirikan tujuan yang hendak dicapai dalam perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang itu sendiri. Tepatnya undang- undang hanya menilai dari tindakan bukan dari cita-cita. Dalam bahasa yang praktis dapat dikatakan, menurut undang-undang suatu sebab yang halal itu apabila tidak bertentangan dan dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan. Dengan kata lain sebab atau causa yang melahirkan perjanjian adalah sebab atau causa yang sah dan halal. 19 Sistem terbuka yang dianut Buku III KUH Perdata mengandung asas kebebasan dalam membuat perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 3.Sistem dan asas dalam perjanjian Buku III KUH Perdata mengenai Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian juga merupakan “hukum pelengkap”.Berarti bahwa pasal- pasal itu boleh disingkirkan, manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian, namun demikian terdapat beberapa pasal yang bersifat memaksa imperative yang tidak boleh tidak harus ada dalam suatu perjanjian, misalnya Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai sanya suatu perjanjian. 19 Bandingkan dengan pendapat Wiryono Projodikoro yang menyatakan, causa dalam perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan yang menyebabkan adanya persetujuan itu. Dengan suatu penentuan arti kata dari causa bahwa tidak mungkin ada suatu persetujuan yang tidak mempunyai causa oleh karena causa sebetulnya isi dari persetujuan, dan tiap-tiap persetujuan tentu mempunyai isi, bagaimanapun sedikit atau kecilnya. Suatu persetujuan bukanlah suatu tempat yang diisi, melainkan berupa isi itu sendiri, Wiryono Projodikoro,Ibid, hal. 35 Dengan menekankan pada perkataan “semua” maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan membuat perjanjian itu dan menjadikannya sebagai undang-undang. Perjanjian harus dibuat dengan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian seperti tercantum pada Pasal 1320 KUH Perdata sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi pihk-pihak yang membuatnya sebagai undang-undang. 20 Di dalam kamus ilmiah asas Asas-asas hukum perjanjian 21 diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamental. Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembang nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan sesama anggota. 22 1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas umum general principle yang harus diindahkan oleh setiap orang yang terlibat di dalamnya antara lain: a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini merupakan salah satu asas yang sangat terkenal dalam hukum kontrak. Berdasarkan asas ini antara pihak bebas untuk menentukan apa-apa saja yang diinginkan untuk dicantumkan dalam perjanjian. Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup : 20 Undang- Undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang- undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik,Ibid, hal. 27 21 Pius A Partanto dan M.Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Aroka, Surabaya, 1994, hal. 48 22 Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional, 1995, BPHN, Depkeh, hal. 29 2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa dia ingin membuat perjanjian 3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya 4. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian 5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian 6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional Aanvullend 23 Namun asas kebebasan berkontrak bukan tanpa batas. Asas kebasan berkontrak di batasi oleh undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, keadilan dan itikad baik serta kepatuhan. 24 Dengan kata lain, asas konsensualitas ini mensyaratkan bahwa perjanjian ini telah sah jika tercapai sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak membutuhkan lagi formalitas. Asas hukum perdata barat ini berbeda dengan hukum adat, karena hukum adat tidak mengenal asas konsensualitas melainkan asas konkrit, yang berarti untuk terjadinya perjanjian masih diperlukan lagi adanya tindak lanjut b. Asas Konsensualitas Berdasarkan asas konsensualitas ini, perjanjian sejak tercapainya konsesi atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. 23 Sutan Remi Syahdeni, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 47 24 Bandingkan dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman yang menyatakan Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia, Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1996, hal. 110 konkrit setelah adanya kesepakatan itu misalnya memberikan panjar, menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan lain-lain. Asas konsensualitas ini tercermin dalam unsur pertama dari Pasal 1320 KUH Perdata. 25 Berdasarkan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Yang dimaksud dengan itikad baik adalah niat dari pihak atau pihak-pihak dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan kepentingan umum. Niat adalah suatu pola sikap batin seseorang yang menjadi dasar perbuatan yang akan dilakukan kemudian. Niat tersebut harus merupakan niat yang jujur untuk tidak merugikan mitra janjinya. c. Asas Itikad Baik 26 25 Asas konsensualitas dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”, kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya wil, yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian,Ibid, hal. 113 26 Bandingkan dengan pendapat Salim HS, yang menyatakan asas itikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik muthlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik muthlak penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang objektif, Salim, Op. cit, hal. 11 Ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tersebut mengandung pengertian bahwa bukanlah dalam arti unsur subjektif ini, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus dengan jalan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu. Artinya pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan di atas rel yang benar, yaitu harus mengidahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ketentuan tersebut harus dipandang sebagai tuntutan keadilan, karenanya ketentuan tersebut tidak dapat disimpangi oleh para pihak. Dengan kata lain, sekalipun para pihak telah sepakat untuk dimuatnya suatu ketentuan dalam perjanjian yang bersifat berat sebelah sehingga dirasakan tidak adil, namun tetap saja ketentuan itu tidak dapat diberlakukan karena bertentangan dengan asas itikad baik itu. d. Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.Sebagaimana bunyinya dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata tersebut, asas tersebut berarti “Semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Jadi orang yang ingkar janji dalam pandangan asas ini, diartikan sebagai pengingkaran terhadap undang-undang. Asas pacta sunt servanda janji itu mengikat ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak sahnya semua perjanjian asal memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tersebut pada Pasal 1320 KUH Perdata, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 27 Dengan asas ini pihak debitur dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian e. Asas Force Majeur 27 Bandingkan pendapat Salim Hs yang menyatakan asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, Salim, Ibid, hal. 10 karena suatu keadaan atau kejadian yang terjadi setelah perjanjian itu dibuat yang berada di luar daya atau kemampuan debitur untuk dapat menghentikan, menghindari atau mengendalikan kejadian atau keadaan yang menyebabkan tidak mungkin dilaksanakannya kewajiban tersebut. Dengan demikian kejadian atau keadaan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. 28 Asas force majeur ini dikenal juga dengan istilah-istilah lain yaitu asas overmacht atau asas keadaan memaksa. 29 Menurut M.Yahya Harahap,”wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”,

4. Wanprestasi dalam perjanjian

Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana salah satu pihak tidak dapat melaksanakan prestasinya sesuai dengan apa yang telah dijanjikannya, karena kesalahannya dan ia telah diatur. 30 28 Overmacht adalah suatu keadaan memaksa yaitu suatu keadaan di luar kekuasaannya pihak debitur, yang menjadi dasar hukum untuk “memaafkan” kesalahan pihak debitur. Jadi suatu overmacht mengandung dua unsur yaitu keadaan diluar kekuasaannya pihak debitur dan bersifat memaksa dan keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian dibuat, sehingga pihak debitur tidak memikul resikonya. Dengan demikian jika terbukti adanya keadaan Overmacht ini pihak debitur akan luput dari penghukuman untuk menanggung resiko suatu perjanjian. Dengan lain perkataan Overmacht merintangi pihak debitur untuk memenuhi prestasi, Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islm Indonesia Yogyakarta, 1989, hal. 63 29 Beberapa unsur yang harus dipenuhi, sehingga suatu keadaan digolongkan sebagai keadaan memaksa yaitu peristiwa itu terjadi di luar kehendak debitur, terjadinya peristiwa itu tidak disengaja, peristiwa itu tidak dapat dikendalikan dikuasai oleh debitur, peristiwa itu berkaitan dengan obyek danatau cara pemenuhan kontrakperjanjian, peristiwa itu menyebabkan debitur tidak dapat atau terhalang memenuhi kewajibannya, Janus Sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi, Bina Media Medan, 2000, hal. 96 30 Yahya Harahap, Op.cit, ha. 60 sedangkan Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa: dikatakan ada kelalaian apabila timbulnya kerugian bagi seseorang atau barang milik orang lain disebabkan karena kurang hati-hatinya memalukan suatu perbuatan atau mengurus sesuatu sebagaimana dikehendaki oleh hukum”. 31 Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa: 32 a. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi; b. Debitur terlambat memberikan prestasinya; c. Debitur keliru di dalam melaksanakan prestasinya; d. Debitur melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukukan. Tentang tidak dipenuhinya kewajiban ingkar janji tersebut ada dua kemungkinan penyebabnya, yakni karena kesalahan baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian dan karena keadaan memaksa. Jika wanprestasi itu benar-benar menimbulkan kerugian maka pihak yang wanprestasi “wajib” mengganti kerugian yang timbul. Akan tetapi untuk itu harus ada hubungan “sebab-akibat” antara wanprestasi dengan kerugian. Sesuai dengan Pasal 1266 KUH Perdata bahwa tiap perjanjian timbal-balik selalu dianggap telah dianggap telah dibuat dengan syarat wanprestasi dari salah satu pihak akan berakibat pembatalan perjanjian, pembatalan mana yang harus diminta kepada hakim. Dalam hal wanprestasi atau kelalaian, apakah seseorang melakukan wanprestasi atau lalai, maka harus dibuktikan di muka hakim. Tidak mudah untuk menyatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali tidak diperjanjikan 31 Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1980, hal. 212 32 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Intermasa, Jakarta,1984, hal. 45 dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan suatu prestasi yang diwajibkan padanya.

5. Hapusnya perjanjian

Masalah hapusnya perjanjian biasa juga disebut hapusnya persetujuan, berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara para pihak. Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan, dengan demikian hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan, yaitu: a. Tujuan persetujuan telah tercapai; b. Karena persetujuan para pihak. Berdasarkan uraian diatas, maka : a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya perjanjian ditentukan akan berlaku untuk waktu tertentu; b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya perjanjian tersebut, misalnya Pasal 1066 ayat 3 KUH Perdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan, tetapi waktu perjanjian pada Pasal 1066 ayat 4 KUH Perdata membatasi berlakunya hanya untuk 5 tahun; c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus; d. Pernyataan penghentian persetujuan , pernyataan tersebut dapat dilakukan baik oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak, pernyataan tersebut hanya berlaku pada perjanjian kerja dan perjanjian sewa-menyewa; e. Perjanjian hapus karena putusan hakim; maksud dari berakhirnya perjanjian harus benar-benar dibedakan dengan berakhirnya perikatan. Hal ini dikarenakan suatu perikatan dapat berakhir, sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya masih tetap ada misalnya pada perjanjian jual beli. Jika semua perikatan-perikatan dalam perjanjian telah berakhir maka perjanjian akan berakhir. Perjanjian dapat pula mengakibatkan berakhirnya perikatan yaitu apabila suatu perjanjian berakhir dengan berlaku surut, misalnya sebagai akibat pembatalan karena wanprestasi. Maka semua perikatan telah menjadi berakhir, tetapi kewajiban atas pemenuhan prestasi tetap ada. B.Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Tukar-Menukar 1. Pengertian perjanjian tukar-menukar Perjanjian tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUH Perdata. Perjanjian tukar-menukar adalah “Suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya.”Pasal 1451 KUH Perdata. Algra mengartikan perjanjian tukar-menukar adalah : “Suatu perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan benda kepada satu sama lain.” 33 33 Salim H.S menyitir Algra, N.E.,dkk, Mula Hukum, Bina Cipta, Bandung,, 1983, hal. 487 Definisi ini terlalu singkat, karena yang ditonjolkan adalah saling memberikan benda antara satu sama lain. Akan tetapi menurut Salim H.S, perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian yang dibuat antar pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang ditukar. Barang yang ditukar oleh para pihak, dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Penyerahan barang bergerak cukup penyerahan nyata, sedangkan barang tidak bergerak menggunakan penyerahan secara yuridis formal. 34 a. adanya subjek, Unsur-unsur yang tercantum dalam kedua definisi di atas adalah b. adanya kesepakatan subjek hukum, c. adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak, dan d. masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar- menukar. Dalam dunia perdagangan perjanjian tukar-menukar ini juga dikenal dengan nama “barter”. Sebagaimana dapat dilihat dari rumusan tersebut diatas, perjanjian tukar-menukar ini adalah juga suatu perjanjian konsensual, dalam arti bahwa ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang menjadi objek dari perjanjiannya. 34 Salim, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 57

2. Subjek dan objek dalam perjanjian tukar-menukar

Subjek hukum dalam perjanjian tukar-menukar adalah pihak pertama dan pihak kedua, baik orang dengan orang atau orang dengan badan hukum atau badan hukum dengan badan hukum, asal mereka masing-masing adalah pemilik barang yang dijanjikan untuk diserahkan dalam tukar-menukar. Sedangkan objek tukar- menukar adalah semua barang, baik barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak Pasal 1542 KUH Perdata. Dengan syarat barang yang menjadi objek tukar-menukar tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika pihak yang satu telah menerima barang yang telah ditukarkan kepadanya, dan kemudian ia membuktikan bahwa pihak yang lain bukan pemilik barang tersebut, maka tak dapatlah ia dipaksa untuk menyerahkan barang yang telah ia janjikan dari pihaknya sendiri, melainkan mengembalikan barang yang telah ia terima Pasal 1543 KUH Perdata. Pihak yang telah melepaskan barang yang diterima dalam perjanjian tukar-menukar maka ia dapat memilih, apakah ia akan menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga dari pihak lawannya atau menuntut pengembalian barang yang telah ia berikan Pasal 1544 KUH Perdata Tuntutan itu hanya dilakukan terhadap satu alternative yang dipaparkan diatas, yaitu menuntut biaya, rugi, dan bunga atau pengembalian barang. Jadi, pihak yang menyerahkan barang tidak dapat menuntut kedua alternative tersebut di atas.

3. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tukar-menukar

Pihak pertama dan pihak kedua, masing-masing berkewajiban untuk menyerahkan barang yang ditukar sedangkan haknya menerima barang yang ditukar.Begitu pula kewajiban untuk menanggung “vrijwaring”, “warranty” akan kenikmatan tentram dan terhadap cacat-cacat tersembunyi “verborgen gebreken”, “hidden defects” berlaku bagi seorang yang telah memberikan barangnya dalam tukar-menukar. Adanya kealpaan dalam menunaikan kewajiban- kewajiban tersebut merupakan wanprestasi “breach of contract”yang merupakan alasan menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian. Jika pihak yang satu telah menerima barang yang ditukarkan kepadanya, dan kemudian dia membuktikan bahwa pihak yang lain bukan pemilik barang tersebut, maka tak dapatlah dia dipaksa menyerahkan barang yang telah dia janjikan dari pihaknya sendiri, melainkan hanya untuk mengebalikan barang yang telah diterimanya itu. Demikianlah ditetapkan oleh Pasal 1543 KUH Perdata. Siapa yang karena suatu penghukuman untuk menyerahkan barangnya kepada seorang lain, telah terpaksa melepaskan barang yang telah diterimanya dalam tukar-menukar, dapat memilih apakah ia akan menuntut ganti rugi dari pihak lawannya ataukah ia akan menuntut pengembalian barang yang telah ia berikan Pasal 1544 KUH Perdata. Ketentuan ini merupakan perwujudan dari kewajiban dari masing-masing pihak untuk menjamin kenikmatan tentram atas barang yang telah diserahkannya dalam tukar-menukar. Namun dengan sendirinya penuntutan pengembalian barang yang telah diserahkan kepada pihak lawan, hanya dapat dilaksanakan selama barang itu masih berada ditangannya dalam miliknya pihak tersebut, sebab dapat juga terjadi pihak tersebut sudah menjualnya kepada orang lain; dalam hal yang demikian tinggallah tuntutan ganti rugi yang dapat dilancarkan.

4. Akibat hukum perjanjian tukar-menukar

Pasal 1340 ayat 1 KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat selayaknya juga perjanjian tukar-menukar hanya berlaku diantara para pihak yang membuatnya. Ini berarti bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bagi para pihak yang terlibat atau yang membuat perjanjian tersebut. Jadi apa yang menjadi kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak yang satu hanya merupakan dan hanya menjadi kewajibannya sema-mata. Dalam hal terdapat seorang pihak ketiga yang kemudian melaksanakan kewajibannya, maka ini tidak berarti ia dilepaskan atau dibebaskan dari kewajibannya tersebut. Demikian jelaslah bahwa prestasi yang dibebankan oleh KUH Perdata bersifat personal dan tidak dapat dialihkan dengan begitu saja. Semua perjanjian yang dibuat dengan sah yaitu yang memenuhi keempat persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi perjanjian tersebut akan mengikat dan melahirkan perikatan bagi para pihak dalam perjanjian. Sebagai konsekuensi dari asas personalia ini, yang hanya mengikat diantara para pihak yang membuatnya, dan khususnya kewajiban para pihak yang senantiasa melekat pada dirinya pribadi hingga ia dibebaskan , Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata menentukan bahwa: “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Dengan ketentuan tersebut jelas bahwa apa yang sudah disepakati oleh para pihak tidak boleh diubah oleh siapapun juga, kecuali jika hal tersebut memang dikehendaki oleh para pihak, ataupun ditentukan demikian oleh undang-undang berdasarkan suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum atau keadaan hukum tertentu. 37 BAB III TINJAUAN JURIDIS TENTANG TANAH DAN HAK MILIK ATAS TANAH A.Tinjauan Umum Terhadap Tanah

1. Pengertian tanah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut: Atas dasar hak menguasai negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah , yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian , yang dimaksud istilah tanah dalam pasal di atas adalah permukaan bumi. 35 34 Permukaan bumi memberikan suatu interpretasi autentik tentang apa yang diartikan oleh pembuat UUPA dengan istilah “tanah”, lihat Sudargo Gautama, Op cit, hal. 94. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan hukum. Oleh karena itu, hak-hak yang timbul diatas hak atas permukaan bumi hak atas tanah termasuk di dalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat diatasnya merupakan suatu persoalan hukum. Persoalah hukum yang dimaksud adalah persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara tanah dengan tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya. Menurut Boedi Harsono, dalam hukum tanah negara-negara dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas “perlekatan”.Makna asas perlekatan, yakni bahwa bangunan-bangunan dan benda-benda tanaman yang terdapat diatasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian, yang termasuk pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dangan pihak lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 500 dan 517. Sedangkan A.A. Oka Mahendra dalam makalahnya yang disampaikan pada simposium Bidang Pertanahan yang diselenggarakan oleh DPR Golkar di Jakarta pada tanggal 11-14 September 1990 menyatakan bahwa : “Tanah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat bahkan kehormatan. Karena itulah tanah bukan saja dilihat dalam hubungan ekonomis sebagai salah satu faktor produksi, tetapi lebih dari itu tanah mempunyai hubungan emosional dengan masyarakat. Tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga dan bernilai dalam kehidupan masyarakat. 36 36 A.A. Oka Mahendra,Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan Sosial Dalam Kebijaksanaan Pembangunan Pertanahan, disampaikan pada Simposium Bidang Pertanahan, DPP Golkar11-14 September 1990, hal. 3

2. Jenis-jenis hak atas tanah dalam UU No.5 Tahun 1960

Yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “mempergunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan. Atas dasar ketentuan Pasal 4 ayat 2 UUPA, kepada pemegang hak atas tanah diberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan , demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Hak-hak atas tanah termuat di dalam Pasal 16 ayat 1 UUPA yang bebunyi:”Hak –hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1, ialah: a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53”. 37 Hak Milik Pengertian hak milik dalam UUPA diatur dalam Pasal 20 yang berbunyi: “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Hak milik adalah hak turun-temurun, artinya hak itu dapat diwariskan berturut- turut tanpa perlu diturunkan derajatnya ataupun hak itu menjadi tiada atau memohon haknya kembali ketika terjadi perpindahan tangan. 37 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Op cit, hal. 520 Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak “muthlak”, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lain, yaitu untuk menunjukan, bahwa diantara hak-hak atas tanah yang yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang “ter” artinya paling kuat dan terpenuh. Oleh karena di dalam UUPA semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Pasal 6 UUPA, hal ini berbeda dengan pengertian hak eigendom yang dirumuskan dalam Pasal 571 KUH Perdata, disebutkan bahwa hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kemilikan atas segala apa yang ada diatasnya dan di dalam tanah. Di atas tanah bolehlah pemilik mengusahakan segala tanaman dan mendirikan setiap bangunan yang disukai. Hak Guna Usaha HGU Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak Guna Usaha hanya diberikan kepada orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan pertanian saja. Berlainan dengan hak milik, tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan hak guna usaha terbatas, yaitu pada usaha pertanin, perikanan dan peternakan. Hak Guna Usaha diatur dalam Pasal 28-34 UUPA. Ketentuan Terhadap Hak Guna Usaha adalah sebagai berikut: a. HGU hanya dapat diberikan guna keperluan usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. b. HGU jangka waktunya terbatas, pada suatu waktu pasti berakhir. HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun. c. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu HGU dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 25 tahun. d. Diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus mempergunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik. e. HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, sepanjang jangka waktu berlakunya HGU belum berakhir. f. HGU dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak-hak tanggungan, sepanjang jangka waktu berlakunya HGU tersebut belum habis. g. HGU tergolong hak atas tanah yang kuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap penggunaan pihak lain. Oleh karena itu maka, HGU termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan. h. HGU dapat juga dilepaskan oleh yang empunya, hingga tanahnya menjadi tanah negara. Sesuai dengan ketentuan UUPA, yang dapat menjadi Pemegang Hak Guna Usaha adalah: a. Warga Negara Republik Indonesia. b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia Pasal 31 UUPA Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah, sesuai dengan Pasal 31 UUPA. Hak Guna Bangunan HGB Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Dengan demikian Hak Guna Bangunan adalah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Berlainan dengan HGU, Hak Guna Bangunan tidak mengenai tanah pertanian, karena itu tanah yang dapat diberikan Hak Guna Bangunan meliputi baik tanah yang merupakan milik orang atau pihak lain maupun tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35-40 UUPA. Ketentuan Mengenai Hak Guna Bangunan, yaitu: a. HGB jangka waktuya terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir. HGB diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, HGB dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun. b. HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain sepanjang jangka waktu berlakunya HGB tersebut belum habis. c. HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sepanjang jangka waktu berlakunya HGB tersebut belum habis. d. HGB tergolong hak yang kuat, artinya tidak mudah dihapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu, HGB termasuk salah satu hak yang wajib didaftarkan. e. HGB dapat juga dilepaskan oleh yang empunya hingga tanahnya menjadi tanah negara. Terjadinya HGB terbagi 2 sesuai dengan siapa yang memberikan HGB tersebut yaitu: a. Di atas tanah negara: terjadi karena Penetapan Pemerintah. b. Di atas tanah milik orang lain: terjadi karena perjanjian yang berbentuk autentik, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut, antara pemilik tanah dan orang yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu. Yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan adalah: a. Warga Negara Republik Indonesia. b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak Pakai Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan danatau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Hak pakai merupakan hak atas tanah baik untuk tanah bangunan maupun tanah pertanian. Hak pakai dapat diberikan oleh Pemerintah tetapi dapat pula diberikan oleh pemilik tanah. Hak pakai diatur dalam Pasal 41- 43 UUPA. Ketentuan Mengenai Hak Pakai, yaitu: a. Hak Pakai diberikan atas tanah yang dikuasai oleh negara maupun tanah milik seseorang atau badan hukum. b. Hak Pakai atas tanah negara diberikan sesuai dengan keputusan pejabat yang berwenang maupun sesuai perjanjian antara pemilik tanah dengan pihak yang akan mendapat Hak Pakai. c. Perjanjian pemberian Hak Pakai tidak boleh bertentangan dengan UUPA. d. Hak Pakai diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. e. Hak Pakai dapat diberikan secara cuma-cuma, dengan pembayaran, atau pemberian jasa apa pun. f. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Mengenai terjadinya hak pakai terbagi menjadi 2 sesuai dengan siapa yang memberikan Hak Pakai tersebut, yaitu: a. Di atas tanah negara: terjadi sesuai dengan keputusan pejabat yang berwenang untuk memberikan Hak Pakai atas tanah negara. b. Di atas tanah milik orang lain: terjadi karena perjanjian yang bersifat autentik, yang bermaksud menimbulkan Hak Pakai, antara pemilik tanah dan orang yang akan memperoleh Hak Pakai itu Sesuai ketentuan UUPA maka yang dapat menjadi Pemegang Hak Pakai adalah: a. Warga Negara Indonesia, b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia, c. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, atau d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Hak Sewa Menurut ketentuan Pasal 44 ayat 1 UUPA seseorang mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Prof. Dr. A. P Parlindungan, SH menyebutkan bahwa: “Persewaan ini adalah bersifat perseorangan artinya menyewa dari seseorang yang telah mempunyai sesuatu hak atas tanah, sehingga tidak dimungkinkan persewaan tanah yang dikuasai oleh negara, oleh karena negara bukan pemilik tanah”. 38 Pengertian hak milik dapat pula diartikan hak yang dapat diwariskan secara turun-temurun secara terus-menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak milik diartikan hak yang terkuat Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan Menurut Penjelasan Pasal 46 UUPA hak membuka tanah dan memungut hasil hutan adalah hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah, hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas dari pada kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan. Selain hak-hak yang telah disebutkan di atas, masih terdapat lagi hak-hak lain yang disebutkan oleh UUPA yaitu seperti hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, kemudian hak-hak lain yang bersifat sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

B. Tinjauan Umum Terhadap Hak Milik 1. Pengertian hak milik

38 Prof. A. P. Parlindungan,SH,Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1991, hal. 179 diantara sekian hak-hak yang ada. Dalam Pasal 570 KUH Perdata, hak milik ini dirumuskan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasar atas undang-undang dan pembayaran ganti rugi. Dalam Undang-undang Pokok Agraria, pengertian akan hak milik seperti yang dirumuskan di dalam Pasal 20 UUPA ayat 1: ”hak milik adalah hak turun- temurun, terkuat dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah”. Hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh, di dalam penjelasan pasal demi pasal bahwa dalam Pasal 20 UUPA disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Menurut A.P. Parlindungan, kata-kata terkuat dan terpenuh itu dimaksudkan untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan lain-lainnya, yaitu untukmenunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang, hak miliklah yang “ter”paling kuat dan penuh. 39 Hak milik adalah suatu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak milik merupakan hak paling sempurna

2. Sifat dan ciri hak milik

39 Ibid, Hal. 124 diantara hak-hak atas tanah lainnya. Pengertian sebagai hak turun-temurun adalah bahwa hak milik tidak hanya berlangsung selama hidup orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia. Pengertian terkuat berkaitan dengan 2 hal, yaitu:a jangka waktu hak milik tidak terbatas:dan b hak milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan kepada orang yang mempunyai hak milik atas tanah diberi “tanda bukti hak”, yang berarti mudah dipertahankan secara muthlak terhadap pihak lain. Istilah terpenuh dan terkuat tidak berarti tidak terbatas, tetapi dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan orang lain. Di luar batas-batas itu, seorang pemilik mempunyai wewenang yang paling luas, ia paling bebas dalam mempergunakan tanahnya dibandingkan dengan pemegang hak-hak yang lain. Ciri khas ketiga dari hak milik adalah terpenuh. Terpenuh memiliki beberapa maksud, antara lain: a. Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak yang lain. b. Hak milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya. Artinya seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang kuat daripada hak milik:menyewakan, membagihasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. c. Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain, karena hak milik adalah hak yang paling penuh, sedangkan hak-hak lain itu kurang penuh. d. Dilihat dari “peruntukannya” hak milik tidak terbatas. Peruntukan hak milik bisa digunakan untuk usaha pertanian dan bisa untuk bangunan. 40 Ciri hak milik lainnya adalah: 1. mempunyai fungsi sosial tanah. 2. Penggunaan tanah hak milik oleh orang yang bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tangguangan. 4. Semua warga negara Indonesia sama haknya untuk memiliki tanah hak milik tanpa memandang jenis klamindan ras.

3. Subjek hak milik

Ketentuan mengenai subjek hak milik diatur dalam Pasal 21 UUPA, yang berbunyi: Pasal 21 1. Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. 2. Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syarat-syarat. 3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraannya itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. 4. Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak 40 Efendi Perangin, SH, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria,Rajawali Pers, Jakarta, 1994, hal. 237 milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. 41 Namun jika seseorang warganegara Indonesia kawin dengan orang asing, maka menurut Surat Edaran Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah tanggal 2 November 1965 No. 785065 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah di Bukittinggi dan disiarkan meluas dinyatakan, jika seorang wanita warganegara Indonesia itu kawin dengan warganegara asing terjadilah percampuran harta. Sehingga berlakunya ketentuan Pasal 21 ayat 3, yaitu keharusan melepaskan haknya kepada warganegara Indonesia dalam tempo satu tahun, oleh karena tanah itu diperlukan sebagai dimiliki oleh orang asing tidak Hanya warga negara Indonesia yang berhak mempunyai hak milik di bumi Indonesia, ini berarti bahwa pemilikan tanah dipakai asas kebangsaan. Pengertian warga negara Indonesia dengan tidak mempersoalkan apakah ia warganegara asli atau keturunan asal saja dia warganegara Indonesia dan tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap, dan sesuai dengan Pasal 21 ayat 3 ini dijelaskan konsekuensi dari ayat 1 yaitu manakala seseorang asing baik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan ataupun seseorang warganegara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya harus melepaskan haknya dalam waktu satu tahun setelah hilangnya kewarganegaraan tersebut dengan sanksi hapusnya hak tersebut dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai Negara. 41 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Op cit, hal. 522 dapat dibedakan lagi mana yang menjadi bagian warga negara dan orang asing kecuali dapat dibuktikannya 42 a. dia tidak meninggalkan kewarganegaraannya,dan bahwa: b. bahwa dia telah kawin diluar percampuran harta, dan harus dibuktikan dengan suatu akta autentik tentang adanya syarat-syarat perkawinan tersebut. Bilamana terjadi pewarisan, sedangkan anak-anaknya berkewarganegaraan asing, maka ketentuan Pasal 21 ayat 3 berlaku lagi untuk anak-anaknya itu. Pada asas badan hukum tidak mungkin mempunyai tanah dengan hak milik, kecuali ditentukan oleh Undang-Undang atau peraturan lainnya, seperti yang ditentukan dalam Peraturan Nomor 38 Tahun 1963, yaitu: a. bank-bank yang didirikan oleh negara; b. perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 791958; c. badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri PertanianAgraria setelah mendengar Menteri Agama; d. badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri PertanianAgraria setelah mendengar Menteri Sosial. ad. a. Badan Hukum Bank yang ditentukan dalam PP 381963 ini seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Agraria No.21960 yaitu: a. IMA S. 1939570 b. Ind. Verenigingen S 1939570 42 A.P. Parlindungan 1, Op cit, hal. 19 c. BIN LN 1952-21 d. BTN LN 1955-137 e. BNI LN 1955-2 f. Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan Dan Pembukaan Tahun LN 1959-60 g. Bank Umum Negara LN 1959-85 h. BDN LN 1960-39 i. Bank Rakyat Indonesia LN 1951-80 jo 1960-41 j. Bank Pembangunan Indonesia LN 1960-65 Ad.c. Tentang Badan-Badan Keagamaan yang berhak mempunyai hak milik tersebut: 1. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, SK 22DDA69. 2. Gereja Roma Katolik berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi No. 1DDATAgr67. 3. SK. 14DDA1972 atas Perserikatan Muhammadiyah. 4. SK. 3DDA1972 Gereja Pentakosta di Indonesia Dari semua ketentuan-ketentuan tersebut badan-badan hukum yang berhak mempunyai hak milik, dinyatakan hanya atas hak-hak tanah yang sudah dipunyai sejak tanggal 24 September 1960 dapat diberikan hak milik dan atas tanah-tanah yang kemudian diperoleh dapat diberikan hak guna bangunan atau hak pakai. Yang dapat diberikan hak milik hanya atas tanah-tanah yang langsung dipergunakan untuk perkumpulan, tetapi tidak atas sekolah-sekolah yang dikuasainya.

4. Hapusnya hak milik

Ketentuan yang mengatur mengenai hapusnya hak milik ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 27 UUPA. Hak milik hapus apabila: a. tanahnya jatuh kepada negara, 1. karena pencabutah hak berdasarkan Pasal 18; 2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. karena diterlantarkan; 4. karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2. b. tanahnya musnah. 1.Hapusnya hak milik karena pencabutan hak Alasan pertama hapusnya hak milik adalah karena adanya pencabutan hak, menurut ketentuan Pasal 18 UUPA, yang menyatakan sebagai berikut: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut tata cara yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 18 UUPA ini selanjutnya dilaksanakan dengan Undang- Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda- benda yang ada diatasnya. Dalam rumsan Pasal 1 Undang-undang No. 20 Tahun 1961 dikatakan bahwa: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Meteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Selanjutnya dalam rumusan Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 dikatakan lebih lanjut bahwa : 1 Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah danatau benda tersebut pada Pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. 2 Permintaan tersebut pada ayat 1 pasal ini oleh yang berkepentingan disertai dengan: i. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak. ii. keterangan tentang nama yang berhak jika mungkin serta letak, luas, dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan. iii. rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan. Dengan demikian jelaslah bahwa pencabutan hak atas tanah harus didasarkan pada suatu rencana peruntukan dan penampungan pihak-pihak yang dicabut haknya tersebut. 2. Hapusnya Hak Milik karena Penyerahan Sukarela Budi Harsono menunjukkan bahwa, hapusnya hak milik karena penyerahan sukarela ini berhubungan Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelasanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 43 1 Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Dari judul yang diberikan pada Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum tersebut dapat dilihat bahwa pada prisipnya ketentuan ini, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentigan Umum tersebut, yang menyatakan bahwa: 2 Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. 3 Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara jual- 43 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Jambatan, Jakarta, 2000, hal. 133 beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk: 1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut: a. Jalan umum, saluran pembuangan air; b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d. Pelabuhan atau Bandar udara atau terminal; e. peribadatan; f. Pendidikan atau sekolahan; g. Pasar Umum atau Pasar INPRES; h. Fasilitas pemakaman umum; i. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; j. Pos dan Telekomunikasi; k. Sarana olahraga; l. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; m. Kantor Pemerintah; n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 3. Hapusnya Hak Milik karena Diterlantarkan Pengaturan mengenai tanah yang terlantar dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar tersebut mengatur mengenai kriteria tanah terlantar, yang di dalam meliputi Tanah Hak Milik, dengan rumusan sebagai berikut: Pasal 3, berbunyi : Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Pasal 4, berbunyi : Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tanah yang terlantar adalah: 1. tanah yang tidak dimanfaatkan danatau dipelihara dengan baik; 2. tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut. Selanjutnya atas bidang tanah yang dinyatakan terlantar tersebut, ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar memberikan sanksi berupa tindakan yang dapat diambil terhadap tanah terlantar tersebut. 1. Ganti rugi dibebankan pada pihak yang oleh Menteri ditetapkan sebagai pemegang hak yang baru atas tanah tersebut. 2. Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. 3. Kepada bekas pemegang hak atau pihak yang sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian dinyatakan sebagai tanah terlantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan yang berdasarkan bukti- bukti tertulis yang ada telah dibayar oleh yang bersangkutan untuk memperoleh hak atau dasar penguasaan atas tanah tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri. 4. Dalam hal pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tersebut telah mengeluarkan biaya untuk membuat prasarana fisik atau bangunan di atas tanah yang dinyatakan terlantar, maka jumlah yang telah dikeluarkan tersebut diperhatikan dalam penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam penetapan ganti rugi. 4. Hapusnya Hak Milik karena Dikuasai atau Dialihkan kepada Subjek Hukum yang Tidak Berhak Memangku Kedudukan Hak Milik Atas Tanah Pasal 21 ayat 3 dan Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria menentukan bahwa: Pasal 21, berbunyi : 3 Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak- hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. 44 2 Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Pasal 26, berbunyi : 45 Ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari rumusan Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa hanya warga negara Indonesia tunggal saja yang dapat memperoleh Hak Milik Atas Tanah. 5. Hapusnya Hak Milik karena Kemusnahan Tanahnya Jika kita kembali kepada pengertian dasar hak-hak atas tanah, dan khususnya Hak Milik Atas Tanah bersuber pada keberadaan atau eksistensi dari suatu bidang tanah tertentu. Dengan musnahnya bidang tanah yang menjadi dasar 44 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Op cit, hal. 522 45 Ibid, hal. 523 pemberian hak atas tanah oleh negara, maka demi hukum hak atas tanah tersebut, termasuk Hak Milik Atas Tanah menjadi hapus. 61

BAB IV PERJANJIAN TUKAR-MENUKAR BARTER TANAH HAK MILIK

ANTARA HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN HKBP TEMBILAHAN DENGAN

H. EDDI MAHMUDDIN BETA

A. Bentuk dan Isi Perjanjian Tukar-menukar Barter Tanah antara Huria Kristen Batak Protestan HKBP Tembilahan dengan H. Eddi Mahmuddin Beta Sebagaimana bentuk dan isi perjanjian yang lahir karena kesepakatan pada umumnya, bentuk dan isi perjanjian tukar-menukar tanah antara Huria Kristen Batak Protestan HKBP Tembilahan dengan H. Eddi Mahmuddin Beta ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak H. Eddi Mahmuddin Beta sebagai pihak pertama dan T. Lumban Tobing Bertindak atas nama HKBP Tembilahan sebagai pihak kedua telah bersepakat untuk menukarkan tanah hak milik mereka masing-masing, dimana kesepakatan itu mereka tuangkan dalam bentuk perjanjian yang isinya mereka sepakati secara bersama-sama. Dengan demikian jelaslah maksud dan tujuan kedua belah pihak yaitu Huria Kristen Batak Protestan HKBP Tembilahan dengan H. Eddi Mahmuddin Beta adalah untuk mengikatkan diri untuk saling memberikan tanah milik mereka secara bertimbal balik. Bentuk perjanjian yang semacam ini disebut perjanjian tukar-menukar. Adapun isi perjanjian tukar-menukarbarter tanah antara Huria Kristen Batak Protestan HKBP Tembilahan dengan H. Eddi Mahmuddin Beta tertanggal 19 Desember 2003 adalah sebagai berikut : Identitas para pihak dalam perjanjian tukar-menukar barter tanah tertanggal 19 Desember 2003, yaitu : I. H. EDDI MAHMUDDIN BETA, alamat Jl. Sawarna Bumi Tembilahan, Pekerjaan Wiraswasta, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA I II . T. LUMBAN TOBING Bertindak atas nama HKBP Tembilahan, alamat Jl. H. Sadri Tembilahan, Pekerjaan Wiraswasta Pensiunan Polri, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA II III. Tanah Yang Akan Ditukar Barter Sebagai Berikut: a. Dari Pihak Pertama : Sebidang tanah dengan Lebar ± 32 Meter Panjang 100 Meter Disesuaikan Surat Agraria Terletak di Jl. Telaga Biru Prt. 10 Tembilahan b. Dari Pihak Kedua : Sebidang tanah dengan Lebar ± 32 Meter Panjang 100 Meter Disesuaikan Surat Agraria Terletak di Jl. Telaga Biru Prt. 10 Tembilahan

IV. Bunyi Perjanjian Sebagai Berikut :

A. Kedua belah pihak menyetujui tukar-menukar Barter tanah tersebut dan menerima luasan masing-masing seperti di atas, dimana Pihak Pertama akan mendapatkan dari Pihak Kedua sebidang tanah dengan Lebar ± 32 Meter Panjang 100 Meter Disesuaikan Surat Agraria Terletak di Jl. Telaga Biru Prt. 10 Tembilahan. Sedangkan Pihak Kedua akan mendapatkan ganti tanahnya dari Pihak Pertama berupa Sebidang tanah dengan Lebar ± 32 Meter Panjang 100 Meter Disesuaikan Surat Agraria Terletak di Jl. Telaga Biru Prt. 10 Tembilahan B. Kewajiban Pihak Pertama: 1. Menyetujui dan menandatangani beserta kelompok masyarakat Jl. Harapan Ujung bahwa tanah dari Pihak Pertama akan dijadikan oleh Pihak Kedua Tempat Pekuburan dan Rumah Ibadah HKBP serta keperluan lain. 2. Menyetujui dan menandatangani segala keperluan surat untuk poin B.1 seperti kepada RT, RW, Lurah, Camat atau pejabat yang lebih tinggi. 3. Bertanggung jawab akan pemindahan kerangka dari Parit 10 ke Parit 8 dibantu oleh Pihak Kedua seperti masalah administrasi. 4. Memberikan tanah di Parit 8 kepada Pihak Kedua dalam bentuk Surat Agraria BPN. 5. Membuat jalan sampai dengan lokasi Parit 8 melalui Jalan Harapan Ujung sehingga bisa dilalui keperluan pemindahan kuburan dan transport lainnya. 6. Membuat jembatan kayu 2 unit pada anak sungai parit pada Jalan Harapan Ujung trsebut. 7. Membuat jembatan beton pada sungai Parit 8 sehingga sampai kelokasi. 8. Sesuai permintaan masyarakat Parit 8 Jalan Harapan Ujung supaya dibuat jalan tanah selebar 3 meter, searah Parit 8 terletak 50 meter dari sungai panjang 64 meter menuju pekuburan Muslim milik mereka. 9. Membuat jalan tanah lebar 3 meter searah jalan Telaga Biru panjang ± 300 meter pada batas tanah sebelah barat. C. Kewajiban Pihak Kedua: 1. Memberikan tanah panjang 100 Meter dan Lebar 32 Meter di Jalan Telaga Biru Tembilahan Kepada Pihak Pertama dalam bentuk surat Agraria BPN. 2. Membantu proses pemindahan Kerangka dari Parit 10 Ke Parit 8 seperti izin Pemerintah, administratif nama kerangka dan lain-lain. D. Tambahan yang perlu diperhatikan kedua pihak 1. Bahwa tanah HKBP Pihak kedua di Parit 10 saat ini statusnya masih tanah kuburan, untuk itu perlu diajukan izin pemindahan tanah HKBP hasil barter di Parit 8, dan setelah disetujui barulah pemindahan kerangka sekaligus status tanah berubah menjadi tanah biasa. Seterusnya akan diurus suratnya sampai surat Agraria BPN kemudian dipecah lalu seratus meter akan diberikan kepada Pihak Pertama. 2. Dalam semua proses diatas kedua pihak harus sama-sama ikut bertanggungjawab dalam pelaksanaannya sehingga lancer. E. Bila proses di atas tidak dapat berjalan maka perjanjian tukar-menukar Barter tidak dapat dilaksanakan Batal.

B. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No: 06Pdt.G2006 PN. TBH