Fungsi Penyerahan (Levering) Sebagai Pengalihan Hak Milik Ditinjau Dari KUH Perdata
FUNGSI PENYERAHAN (LEVERING) SEBAGAI
PENGALIHAN HAK MILIK DITINJAU DARI
KUH PERDATA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
Oleh :
MAYLISSA P.SIANTURI
NIM : 070200268Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Hukum Perdata BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
FUNGSI PENYERAHAN (LEVERING) SEBAGAI
PENGALIHAN HAK MILIK DITINJAU DARI
KUH PERDATA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
Oleh :MAYLISSA P.SIANTURI
NIM : 070200268Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan : Hukum Perdata BW
DISETUJUI OLEH : Ketua Departemen
NIP: 1966 0303 1985 08 1001 Dr.HASIM PURBA,SH.MHum
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Prof.Dr.TAN KAMELLO,SH.MS. RABIATUL SYAHRIAH,SH.MHum NIP: 1962 0421 1988 03 1004 NIP: 1959 0205 1986 01 2001
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penyusunan skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.
Dalam penulisan skripsi ini yang diberi judul : “FUNGSI PENYERAHAN (LEVERING) SEBAGAI PENGALIHAN HAK MILIK DITINJAU DARI KUH PERDATA” , penulis menyadari akan kekurangan baik dari segi penyampaian maupun dari segi materinya. Oleh Karenanya adalah suatu kehormatan bagi penulis bilamana ada pihak-pihak yang berkenan memberi masukan, kritikan sehat demi mengembangkan cakrawala berpikir bagi penulis.
Selama penulis menjalani studi pada Fakultas Hukum ini, penulis sadar akan bimbingan, sumbangan pemikiran dari berbagai pihak, dimana sangat banyak memberi manfaat bagi penulis.
Dalam kesempatan ini juga penulis secara khusus menyampaikan terima kasih atas segala bantuannya baik moril maupun materil yang penulis sadari berjasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini kepada:
1. Bapak Prof.Dr.Tan Kamello SH.MS, sebagai pembimbing I dan Ibu Rabiatul SH.MH, yang sangat membantu penulis, baik dalam meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta ide-idenya demi terselesainya tugas akhir ini.
2. Bapak Dr.Hasim Purba SH.MHum , Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu SH.MHum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(4)
4. Bapak dan ibu Dosen,serta seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan.
5. Teman-teman mahasiswa dan pihak-pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Secara khusus dalam kesempatan ini saya menyampaikan terimakasih buat Papa dan Mama ; P.Sianturi.SH.MHum/N.Br Pakpahan serta Kakak Eva Cristina SE dan Abang Adventus DS Putra Sianturi ST, atas segala pengorbanan dan doa restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi ini.
Medan, Februari 2011
Penulis,
(5)
KERANGKA ISI
Kata Pengantar---i
Daftar Isi---iii
Abstrak---v
BAB I PENDAHULUAN---1
A. Latar Belakang ---1
B. Perumusan Masalah---6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan---6
D. Keaslian Penulisan---7
E. Tinjauan Pustaka---8
F. Metoda Penulisan---9
G. Sistimatika Penulisan---10
BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM PERJANJIAN SEBAGAI ALAS HAK (TITEL) PENGALIHAN HAK MILIK ---11
A. Pengertiam Perjanjian---11
B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian---16
C. Obligatoire Overeenkomst dan Zakelijke Overeenkomst---21
D. Asas-asas Hukum Perjanjian---24
E. Beberapa Perjanjian Sebagai Alas Hak Pengalihan Hak Milik---29
(6)
2. Perjanjian Tukar Menukar ---34
3. Perjanjian Hibah---37
BAB III. TINJAUAN TENTANG PENYERAHAN (LEVERING) PADA UMUMNYA ---41
A. Penyerahan (Levering) Pada Umumnya---41
1. Pengertian Penyerahan (Levering)---41
2. Feitelijke Levering Dan Juridische Levering---44
3. Sistim Penyerahan (Levering) yang dianut KUHPerdata---47
B. Tentang Hak Milik---51
1. Pengertian Hak Milik---51
2. Cara Memperoleh Hak Milik---54
3. Peralihan Hak Milik---56
4. Hak Milik Menurut KUHPerdata dan UUPA---58
BAB IV. PENYERAHAN (LEVERING) SEBAGAI PEMINDAHAN HAK MILIK MENURUT KUHPerdata ---60
A. Syarat Sahnya Penyerahan (Levering) ---60
B. Tata-cara Penyerahan (Levering) ---66
1. Penyerahan Benda Bergerak ---66
2. Penyerahan Benda Tidak Bergerak ---71
3. Penyerahan Benda Tak Berwujud ---77
(7)
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN---87
A. Kesimpulan---87
B. Saran---90
(8)
ABSTRAK
Dalam sistim KUHPerdata dikenal beberapa perjanjian yang bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda, dimana perjanjian-perjanjian tersebut barulah pada tahap melahirkan kewajiban dan hak diantara para pihak sedangkan hak milik atas kebendaan tersebut baru berpindah setelah dilakukan penyerahan (levering). Hal inilah yang menarik perhatian penulis memilih judul “Fungsi Penyerahan (levering) Sebagai Pemindahan Hak Milik Ditinjau Dari KUHPerdata”.Oleh karenanya, yang menjadi pokok permasalahan dalam hal ini adalah apakah yang menjadi alas hak atau titel dari penyerahan (levering) tersebut, dan bagaimanakah syarat-syarat dan tatacara penyerahan (levering) tersebut, serta apakah sistim yang dianut dalam KUHPerdata berkaitan dengan fungsi penyerahan (levering) tersebut.
Dalam penulisan skripsi ini dipergunakan metoda kepustakaan (library research) yaitu dengan mendasarkan kepada bahan kepustakaan baik berupa pendapat para ahli hukum dan juga ketentuan perundang-undangan yang ada kaitan dengan masalah tersebut diatas.
Dalam sistim yang dianut KUHPerdata, perbuatan-perbuatan hukum yang bermaksud untuk mengalihkan atau memindahkan hak kepemilikan atas sesuatu benda dilakukan dengan dua tahapan perjanjian. Hal ini sesuai dengan asas yang dianut dalam hukum perjanjian yaitu
asas obligatoir yang artinya bahwa perjanjian telah lahir atau telah sah dan mengikat secara
hukum seketika setelah tercapai sepakat diantara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Tahap yang demikian inilah yang disebut sebagai tahap obligatoir (obligatoire
overeenkomst), dan tahapan ini dikonstruksikan sebagai alas hak (titel). Tahap berikut yang akan
dilakukan adalah pemindahan atau penyerahan hak milik atas benda tersebut. Perbuatan pemindahan hak milik atas benda inilah yang dinamakan tahap zakelijke overeenkomst ataupun disebut perjanjian yang bersifat kebendaan. Perkataan penyerahan mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”).Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (“juridische levering”). Berkaitan dengan sistim penyerahan (levering) ini dalam berbagai sistim hukum dikenal apa yang disebut dengan “Causal stelsel” dan “Abstracts stelsel”. Dalam stelsel causal maka kekuatan yang berlaku dari penyerahan ditentukan oleh titel dari penyerahan itu, sedangkan dalam stelsel abstrak maka berlakunya penyerahan itu terlepas dari pada apa yang menjadi dasar atau yang menjadi titel dari penyerahan itu. KUHPerdata menganut sistim causal.
(9)
ABSTRAK
Dalam sistim KUHPerdata dikenal beberapa perjanjian yang bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda, dimana perjanjian-perjanjian tersebut barulah pada tahap melahirkan kewajiban dan hak diantara para pihak sedangkan hak milik atas kebendaan tersebut baru berpindah setelah dilakukan penyerahan (levering). Hal inilah yang menarik perhatian penulis memilih judul “Fungsi Penyerahan (levering) Sebagai Pemindahan Hak Milik Ditinjau Dari KUHPerdata”.Oleh karenanya, yang menjadi pokok permasalahan dalam hal ini adalah apakah yang menjadi alas hak atau titel dari penyerahan (levering) tersebut, dan bagaimanakah syarat-syarat dan tatacara penyerahan (levering) tersebut, serta apakah sistim yang dianut dalam KUHPerdata berkaitan dengan fungsi penyerahan (levering) tersebut.
Dalam penulisan skripsi ini dipergunakan metoda kepustakaan (library research) yaitu dengan mendasarkan kepada bahan kepustakaan baik berupa pendapat para ahli hukum dan juga ketentuan perundang-undangan yang ada kaitan dengan masalah tersebut diatas.
Dalam sistim yang dianut KUHPerdata, perbuatan-perbuatan hukum yang bermaksud untuk mengalihkan atau memindahkan hak kepemilikan atas sesuatu benda dilakukan dengan dua tahapan perjanjian. Hal ini sesuai dengan asas yang dianut dalam hukum perjanjian yaitu
asas obligatoir yang artinya bahwa perjanjian telah lahir atau telah sah dan mengikat secara
hukum seketika setelah tercapai sepakat diantara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Tahap yang demikian inilah yang disebut sebagai tahap obligatoir (obligatoire
overeenkomst), dan tahapan ini dikonstruksikan sebagai alas hak (titel). Tahap berikut yang akan
dilakukan adalah pemindahan atau penyerahan hak milik atas benda tersebut. Perbuatan pemindahan hak milik atas benda inilah yang dinamakan tahap zakelijke overeenkomst ataupun disebut perjanjian yang bersifat kebendaan. Perkataan penyerahan mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”).Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (“juridische levering”). Berkaitan dengan sistim penyerahan (levering) ini dalam berbagai sistim hukum dikenal apa yang disebut dengan “Causal stelsel” dan “Abstracts stelsel”. Dalam stelsel causal maka kekuatan yang berlaku dari penyerahan ditentukan oleh titel dari penyerahan itu, sedangkan dalam stelsel abstrak maka berlakunya penyerahan itu terlepas dari pada apa yang menjadi dasar atau yang menjadi titel dari penyerahan itu. KUHPerdata menganut sistim causal.
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia senantiasa mengadakan
hubungan-hubungan hukum seperti mengadakan transaksi-transaksi ataupun perjanjian-perjanjian yang bertujuan untuk memperoleh sesuatu barang. Dalam pandangan
hukum barang atau benda dapat dikategorikan atas barang atau benda bergerak, barang atau benda tidak bergerak dan barang atau benda tak bertubuh atau tak berwujud. Dalam mengadakan transaksi atau perjanjian yang bertujuan untuk memperoleh sesuatu barang atau benda tersebut sudah seogianya haruslah dibuat sesuai dengan hukum agar perbuatan tersebut sah secara hukum sehingga perolehan dan kepemilikan atas barang atau benda itu sah menurut hukum.
Dalam perjanjian yang bermaksud untuk memperoleh sesuatu barang atau benda tersebut akan diikuti dengan perbuatan berupa menyerahkan dan menerima atas sesuatu barang atau benda di antara kedua belah pihak perbuatan mana dalam hukum disebut penyerahan atau
levering.
Dalam bahasa sehari-hari atau dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat khususnya yang berkaitan dengan hubungan-hubungan hukum maka istilah penyerahan ini diartikan secara umum yaitu berupa pemindahan penguasaan pisik atas suatu benda tertentu dari seseorang kepada orang lain dalam arti tidak selalu dimaksudkan pemindahan hak kepemilikan atas benda dimaksud. Pengertian yang demikian itu tidak sama persis dengan pengertian menurut hukum perdata, karena dalam pengertian hukum perdata penyerahan itu dimaksudkan adalah suatu
(11)
momentum peralihan hak atas suatu benda dari seseorang kepada orang lain yang menerimanya. Jadi dalam artian hukum bahwa penyerahan itu tidak semata-mata peralihan penguasaan secara pisik atas suatu benda tetapi yang lebih hakiki adalah dimana penyerahan itu merupakan perpindahan hak kepemilikan atas suatu benda dari seseorang kepada orang lain. Bahkan secara hukum dapat terjadi bahwa dengan penyerahan ini hak kepemilikan atas bendanya telah berpindah dari seorang kepada orang lain tetapi secara pisik benda tersebut masih tetap dipegang (dikuasai) atau belum berpindah karena ada kesepakatan lain diantara kedua belah pihak. Hal ini dalam istilah hukum disebut “Constitutum possessorium”.
Penyerahan sebagai perbuatan pengalihan hak milik atas suatu benda dari seseorang pemilik semula kepada orang lain dalam sistim hukum perdata Indonesia dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 584 KUHPerdata.
Pasal 584 KUHPerdata menyatakan :
“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukan atau penyerahan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.
Dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas jelas mengatur bahwa penyerahan (levering) adalah salah satu cara memperoleh hak milik atas sesuatu benda, di samping cara-cara lainnya yang telah diatur secara limitatif cara perolehan hak milik atas sesuatu benda tersebut. Bahkan dari cara-cara perolehan hak milik yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut maka yang terpenting dan bahkan yang sering terjadi di masyarakat cara perolehan hak milik itu adalah dengan cara penyerahan (levering).
(12)
Vollmar1
Subekti
berpendapat bahwa cara-cara untuk mendapatkan eigendom dalam Pasal 584, yang terpenting adalah penyerahan dan diatur dalam Pasal 612-618 KUHPerdata.
2
Perbuatan penyerahan atas sesuatu benda bukanlah suatu perbuatan yang berdiri sendiri melainkan merupakan suatu perbuatan yang mengikuti perbuatan yang mendahuluinya yang disebut sebagai peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas yang menyatakan bahwa berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.
mengemukakan; Penyerahan yang sering juga disebut dengan istilah “levering” atau “overdracht” mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”). Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (juridische levering”). Kedua pengertian tersebut akan tampak lebih jelas dalam pemindahan hak milik atas benda tak bergerak, karena pemindahan hak milik atas benda itu tak cukup hanya dilakukan dengan pengalihan/pengoperan kekuasaan atas bendanya tetapi harus dibuat surat penyerahan yang disebut akte van transport dan harus didaftar di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu.
Dari ketentuan pasal tersebut di atas jelas disyaratkan ada 2 (dua) hal yang menjadi syarat utama dari penyerahan tersebut yaitu :
1. bahwa penyerahan itu haruslah berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik dan
2. dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas atas kebendaan itu.
1
H.F.A.Vollmar I., Hukum Benda, Tarsito, Bandung, 1987, hal 98.
(13)
Peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik tersebut dimaksudkan adalah perbuatan-perbuatan hukum berupa perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak milik seperti perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian hibah. Perbuatan-perbuatan hukum yang demikian inilah yang menjadi dasar atau alas hak pemindahan hak milik.
Penyerahan itu dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas dimaksudkan bahwa orang yang akan menyerahkan atau mengalihkan hak milik atas sesuatu benda tersebut harus orang yang berkuasa atau berhak untuk memindahkan/mengalihkan yaitu sebagai seorang pemilik ataupun seorang yang diberi kuasa untuk itu.
Subekti3
Mengingat dalam suatu pemindahan hak milik atas sesuatu benda ada 2 (dua) tahap atau perbuatan yang dilakukan yaitu tahap yang disebut sebagai obligatoire overemkomst dimana pada tahap ini baru menimbulkan/ melahirkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak misalnya dalam perjanjian jual beli pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada si pembeli. Hak milik atas barang itu belum berpindah kepada sipembeli sepanjang belum dilakukan penyerahan oleh penjual kepada pembeli. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1459 KUHPerdata.
menyatakan bahwa menurut sistem BW, suatu pemindahan hak terdiri atas dua bagian. Pertama suatu “obligatoire overeenkomst” dan kedua suatu “zakelijke overeenkost”. Yang dimaksud dengan yang pertama, ialah tiap perjanjian yang bertujuan memindahkan hak itu, misalnya perjanjian jual beli atau pertukaran, sedangkan yang kedua, ialah pemindahan hak itu sendiri.
Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan :
(14)
“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,613 dan 616”.
Tahap selanjutnya adalah perbuatan pemindahan hak milik yang disebut penyerahan (levering). Pada tahap ini pihak-pihak seolah-olah bersepakat lagi yaitu untuk memindahkan hak milik, tahap ini disebut perjanjian kebendaan (zakelijke overemkomst).
Dalam hubungan ini adalah penting khususnya dalam jual beli benda tak bergerak apakah pembalikan nama tergantung pada sah tidaknya perjanjian obligatoir? Ataukah harus dipandang terlepas dari perjanjian obligatoir tersebut. Pertanyaan ini penting khususnya bagi pihak ketiga, karena ada kemungkinan suatu perjanjian jual beli suatu saat dibatalkan karena ternyata orang yang telah menjual benda yang telah diserahkan tersebut, ternyata orang yang tidak berhak menjual benda tersebut, sedangkan benda itu oleh pembeli pertama telah menjualnya dan menyerahkannya kepada pihak ketiga.
Mengingat penyerahan (levering) tersebut adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan hak milik atas sesuatu barang, maka persoalan penyerahan (levering) menjadi sesuatu hal yang sangat essensial terutama menyangkut keabsahannya, selain itu bahwa penyerahan (levering) adalah merupakan perbuatan lanjutan dari perbuatan yang bermaksud memindahkan hak milik yaitu berupa perjanjian seperti jual-beli, tukar-menukar dan penghibahan, maka keabsahan dari penyerahan itu sendiri sudah barang tentu terkait dengan keabsahan perjanjian dimaksud. Hal inilah yang mendasari sehingga penulis tertarik untuk membahas topik ini dan menjadikannya menjadi judul skripsi.
(15)
B. Perumusan Masalah.
Dari apa yang dikemukakan dalam latar belakang pemilihan judul tersebut di atas menunjukkan bahwa persoalan penyerahan (levering) adalah sesuatu yang urgen mengingat fungsi penyerahan adalah momentum peralihan hak milik. Oleh karenanya agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan tidak bias maka ada baiknya penulis membatasi masalah yang akan ditelaah. Adapun pokok permasalahan yang akan menjadi fokus bahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang menjadi alas hak atau titel dari penyerahan (levering) tersebut?. 2. Bagaimanakah syarat-syarat dan tatacara penyerahan (levering) tersebut?
3. Sistim apakah yang dianut dalam KUHPerdata berkaitan dengan fungsi penyerahan (levering) tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.
Adapun pembahasan tentang penyerahan (levering) ini dimaksudkan adalah untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan program studi jenjang S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka sebagai karya ilmiah sesuai dengan pokok permasalahan yang dikemukakan tersebut di atas, pembahasan ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui secara jelas tentang apa yang menjadi alas hak atau titel dari penyerahan (levering) tersebut sehingga peralihan hak milik atas sesuatu benda tersebut sah secara hukum.
2. Untuk mengetahui secara jelas mengenai syarat-syarat dan tata-cara agar pengalihan hak milik atas sesuatu benda tersebut sah secara hukum.
(16)
3. Untuk mengetahui secara jelas mengenai sistem yang dianut KUHPerdata tentang fungsi penyerahan (levering), mengingat sistem penyerahan (levering) tersebut terdapat beberapa sistem yang dianut di berbagai sistem hukum yang ada.
Adapun manfaat penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu menjadi bahan untuk menambah wawasan penulis sendiri maupun rekan-rekan mahasiswa sehingga pemahaman akan penyerahan (levering) menjadi lebih luas. Selain itu pembahasan ini diharapkan dapat memberi manfaat secara praktis bagi masyarakat pada umumnya akan aspek hukum dari penyerahan mengingat penyerahan di dalam sistem hukum perdata merupakan suatu perbuatan hukum yang menentukan beralihnya hak kepemilikan atas suatu benda yang didasarkan pada perjanjian-perjanjian tertentu yang bermaksud untuk memindahkan hak milik atas sesuatu benda.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang yang penulis ketahui dan berdasar atas pemeriksaan pada perpustakaan, mengenai judul skripsi ini yaitu fungsi penyerahan (levering) sebagai pengalihan hak milik ditinjau dari KUHPerdata, tidak ada judul yang sama yang ditulis oleh rekan-rekan mahasiswa yang telah menyelesaikan skripsinya, dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan sekiranyapun ada yang menulis tentang penyerahan (levering) namun pokok masalah yang dibahas kemungkinan berbeda.
(17)
E. Tinjauan Pustaka
Penyerahan adalah merupakan cara memperoleh hak milik yang penting dan yang paling sering terjadi di masyarakat. Penyerahan ini merupakan lembaga hukum yang hanya dikenal khusus dalam sistem hukum perdata.
H.F.A.Vollmar4
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
mengemukakan arti dari perkataan penyerahan yang dipergunakan oleh undang-undang, dibedakan atas penyerahan nyata (feitelijke levering) yaitu penyerahan pengusaan nyata atas suatu benda. Selain penyerahan nyata terdapat penyerahan yuridis (juridische levering) yaitu perbuatan hukum pada mana atau dengan mana hak eigendom diserahkan.
5
Dengan demikian penyerahan menurut sistem KUHPerdata adalah merupakan suatu perbuatan hukum untuk memindahkan hak milik, namum perbuatan hukum penyerahan ini haruslah didasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik yang disebut alas hak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 584 KUHPerdata yang menyatakan bahwa berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik dan dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Dan yang merupakan alas hak yang bermaksud memindahkan hak milik tersebut menurut KUHPerdata adalah perjanjian jual beli, tukar-menukar dan perjanjian hibah.
menyebutkan yang dimaksud dengan penyerahan itu; penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu.
4
H.F.A.Vollmar I., op-cit, hal 93.
(18)
Berdasar Pasal 584 KUHPerdata disebut bahwa dalam sistem KUHPerdata penyerahan (levering) itu merupakan lembaga hukum ataupun merupakan suatu perbuatan hukum memindahkan hak milik. Dalam sistem hukum perdata yang lain misalnya Perancis tidak mengenal lembaga penyerahan ini. Sistem hukum yang terbanyak diikuti ialah yang menganut sistem Code Civil, yaitu perpindahan hak atas barang itu terjadi pada saat penutupan perjanjian sedangkan penyerahan merupakan suatu feitelijk-daad saja.
Bahwa apa yang diserahkan itu adalah benda dalam arti kepemilikan atas suatu benda beralih dari seseorang kepada orang lain yang menerimanya. Adapun yang dimaksud dengan hak milik menurut KUHPerdata adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti-rugi (Pasal 570 KUHPerdata).
F. Metoda Penulisan.
Sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk skripsi maka agar dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sudah barang tentu penyajiannya didasarkan atas metoda ilmiah pula. Dalam pembahasan ataupun penyajian skripsi ini dipergunakan metoda penelitian hukum normatif, maka dalam rangka pengumpulan bahan guna mendukung pembahasan atas masalah sebagaimana dikemukakan di atas maka dipergunakan metoda kepustakaan (Library research)
(19)
yaitu dengan mempedomani buku-buku kepustakaan serta peraturan perundang-undangan yang ada kaitan dengan masalah yang dibahas.
G. Sistimatika Penulisan.
Penulisan skripsi ini dibuat atas beberapa Bab dan masing-masing Bab di perinci atas sub-sub bab sebagai berikut :
Bab I Tentang Pendahuluan yang menguraikan latar belakang pemilihan judul, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat pembahasan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka , metode penulisan serta kerangka isi.
Bab II Tentang hukum perjanjian sebagai alas hak (titel) pengalihan hak milik yang meliputi pembahasan mengenai pengertian perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian, mengenai
obligatoire overeenkomst dan zakelijke overeenkomst, tentang asas-asas perjanjian dan beberapa
perjanjian yang menjadi alas hak pengalihan hak milik.
Bab III Tentang Penyerahan pada umumnya yang meliputi pengertian penyerahan, feitelike
levering dan yuridische levering, sistem penyerahan serta membahas mengenai hak milik yang
meliputi pengertian hak milik, cara memperoleh hak milik, peralihan hak milik serta hak milik menurut KUHPerdata dan UUPA.
Bab IV Menguraikan Penyerahan (levering) sebagai pengalihan hak milik ditinjau dari KUHPerdata yang meliputi syarat sahnya penyerahan, tatacara penyerahan dan fungsi penyerahan sebagai pemindahan hak milik.
(20)
BAB II
TINJAUAN TENTANG HUKUM PERJANJIAN SEBAGAI ALAS HAK (TITEL) PENGALIHAN HAK MILIK
A. Pengertian Perjanjian
Di dalam KUHPerdata rumusan pengertian perjanjian yang oleh undang-undang disebutkan (diistilahkan) dengan persetujuan sebagai terjemahan dari kata overeenkomst. Persetujuan dalam KUHPerdata diatur pada buku III tentang Perikatan pada Bab Kedua Tentang Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Rumusan Persetujuan diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang isinya berbunyi sebagai berikut ;
”Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Rumusan perjanjian tersebut di atas sesungguhnya kurang tepat karena sangat sederhana dimana hanya menyebut bahwa dalam suatu perjanjian itu hanya satu pihak saja yang mengikatkan diri kepada orang lain. Kata mengikatkan diri mempunyai arti bahwa seseorang menyanggupi sesuatu kewajiban atau beban kepada pihak lain, yang berarti dalam perjanjian itu hanya satu pihak saja yang berkewajiban kepada pihak lainnya, dalam arti perjanjian itu adalah perjanjian sepihak. Sedangkan dengan perjanjian tidak hanya terbatas kepada perjanjian sepihak saja tetapi justru yang banyak terjadi adalah pihak-pihak itu berkewajiban secara bertimbal balik, yang disebut juga sebagai perjanjian bertimbal balik.
(21)
Mariam Darus6
Abdul Kadir Muhammad
mengemukakan; sehubungan dengan rumusan perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut adalah tidak lengkap, dan terlalu luas, karena yang dirumuskan hanya mengenai perjanjian sepihak saja, dan mencakup perbuatan yang melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.
7
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dalam perumusan ”satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatan diri sifatnya hanya datang dari satu subyek saja, tidak dari kedua belah pihak, seharusnya perumusan itu saling mengikatkan diri, jadi ada konsensus diantara pihak-pihak.
, mengemukakan ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah seperti diuraikan berikut ini;
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian ”perbuatan”
termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata ”persetujuan”.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas, pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di
atas terlalu luas, karena mencakup perjanjian pelangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. Perjanjian yang
6
Mariam Darus Badrulzaman I.,Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal.89.
(22)
dikehendaki oleh buku ke III KUHPerdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan
mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka menurut hemat penulis untuk merumuskan pengertian perjanjian ini harus berpedoman kepada beberapa pendapat atau perumusan para sarjana.
Pendapat-pendapat itu dapat penulis kemukakan sebagai berikut: 1. Menurut R.Subekti8
2. R.Wirjono Prodjodikoro
, Perjanjian itu adalah suatu peristiwa, dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
9
3. Achmad Ikhsan
, berpendapat perjanjian kini saya artikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
10
8
R.Subekti II., Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta 1985, hal 1.
, mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan atas dasar hukum kekayaan (vermogeens rechteljike), antara dua pihak atau lebih dalam mana pihak yang satu berkewajiban memberikan sesuatu prestasi dan pihak yang lainnya mempunyai hak terhadap prestasi.
9
R.Wirjono Prodjodikoro I.,Azas-Azas Hukum Perjanjian,Cet ke IX,Sumur, Bandung,1985,hal 15.
(23)
4. Abdul Kadir Muhammad11
5. M.Yahya Harahap
, berpendapat bahwa perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
12
Bertitik tolak dari pengertian perjanjian atau persetujuan yang dirumuskan oleh para sarjana tersebut di atas dapat penulis tarik kesimpulan, bahwa perjanjian itu adalah persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri sehingga menimbulkan hubungan hukum diantara mereka, hubungan hukum mana melahirkan hak dan kewajiban diantara para pihak dan yang terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan.
, berpendapat bahwa perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
Pada asasnya suatu perjanjian hanyalah berlaku dan mengikat bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri. Asas ini disebut asas pribadi yang diatur dalam Pasal 1315 dan 1340 KUHPerdata. Namun apabila seseorang membuat suatu perjanjian, maka orang itu dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1318 KUHPerdata.
Pasal 1318 KUHPerdata menyatakan ;
”Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk
ahliwaris-ahliwarisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali
11
Abdul Kadir Muhammad.,loc.cit.
(24)
jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan, bahwa tidak sedemikianlah maksudnya”.
Beralihnya hak kepada ahliwaris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum, sedangkan beralihnya perjanjian kepada orang yang mendapat hak daripadanya berdasar atas alas hak khusus, misalnya orang yang menggantikan pembeli, mendapat hak sebagai pemilik.
Sebagaimana disebut di atas bahwa perjanjian itu hanya mengikat dan berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya, namun dalam Pasal 1340 KUHPerdata ada perkecualian bahwa suatu perjanjian dapat mengikat pihak ketiga yaitu dalam bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga (derden beding). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa persetujuan-persetujuan tidak dapat membawa rugi bagi pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dari yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata. Pasal 1317 KUHPerdata menyebutkan bahwa lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkan suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu.
B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dengan demikian perjanjian yang sah adalah perjanjian yang mempunyai akibat hukum yang mengikat para pihak.
Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan;
(25)
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal yang tertentu. 4. Suatu sebab yang halal”.
Empat syarat tersebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu adalah syarat yang pokok dari suatu perjanjian, tanpa syarat itu perjanjian dianggap tidak sah secara hukum. Dua syarat yang pertama pada point (1) dan (2) disebut dengan syarat subjektif, karena mengenai orang atau para pihak dalam suatu perjanjian. Sedangkan dua syarat yang berikutnya pada point (3) dan (4) disebut sebagai syarat objektif, karena mengenai objek perjanjiannya sendiri atau mengenai objek dari suatu perjanjian yang dilakukan.
ad. 1. Dengan sepakat dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian harus ada saling sepakat, setuju, serta seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu di dalam memberi persetujuannya harus berdasar kehendak bebas tanpa ada unsur paksaan atau tekanan dari pihak manapun juga dan tidak diberikan karena kekhilafan ataupun karena penipuan. Oleh karenanya tidak ada tercapai kata sepakat, apabila kesepakatan itu diberikan karena kekhilafan, paksaan dan penipuan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1321 KUHPerdata.
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan;
”Tidak ada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Selanjutnya mengenai kekhilafan ini dijelaskan dalam Pasal 1322 KUHPerdata, yang membagi kekhilafan itu dalam 2 (dua) jenis yaitu kekhilafan mengenai hakekat benda yang
(26)
menjadi pokok perjanjian yang disebut dengan error in substansia dan kekhilafan mengenai orangnya atau subjeknya yang disebut dengan error in persona.
Kekhilafan mengenai hakekat benda yang diperjanjikan maksudnya adalah kekhilafan itu ditujukan atau mengenai sifat benda yang merupakan tujuan sesungguhnya bagi kedua belah pihak dalam mengadakan perjanjian, misalnya seseorang yang beranggapan bahwa ia telah membeli lukisan hasil karya Basuki Abdullah, ternyata yang dibelinya itu adalah tiruan. Kekhilafan mengenai orangnya dimaksudkan bahwa kekhilafan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal itu dianya tidak akan menyetujuinya, misalnya seseorang yang mengadakan suatu kontrak dengan orang yang dikiranya sebagainya penyanyi terkenal, padahal bukanlah orang itu yang dimaksudkan yang kebetulan namanya saja yang bersamaan.
Perjanjian atau persetujuan itu harus dibuat secara bebas dengan tidak ada paksaan. Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perjanjian itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti.
Marhainis Abdulhay13
13 Marhainis Abdulhay., Hukum Perdata Materil, Pradnya Paramita, Jakarta,1984, hal 80
mengemukakan; Paksaan ini adalah paksaan terhadap badan (pisik) dan paksaan terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang. Paksaan psikis adalah paksaan biasa yang hanya dapat membatalkan sebagian dari perjanjian, karena pihak yang dipaksa tersebut masih dapat melaksanakan kehendaknya walaupun kehendaknya itu dipengaruhi oleh suatu ancaman. Sedangkan paksaan pisik adalah paksaan keras, yang menyebabkan perjanjian itu batal secara mutlak, karena pihak yang dipaksa tidak mempunyai kehendak sama sekali, sehingga yang dipaksa tidak mungkin untuk melakukan yang
(27)
lain daripada itu, misalnya orang yang dipegang tangannya oleh orang lain yang lebih kuat untuk membubuhkan tanda tangannya atas sesuatu kontrak.
Dengan penipuan dimaksudkan apabila mempergunakan perbuatan tipu muslihat sehingga bagi pihak lain ditimbulkan suatu gambaran yang tidak benar tentang suatu hal yang diperjanjikan, demikian dikatakan oleh Pasal 1328 KUHPerdata. Suatu penipuan tidak hanya sangkaan melainkan harus dibuktikan. Penipuan juga merupakan suatu alasan untuk pembatalan suatu perjanjian.
ad.2. Syarat kedua untuk syahnya suatu perjanjian adalah kecakapan dari subjek yang mengadakan perjanjian. Yang dimaksudkan adalah orang atau para pihak yang mengadakan perjanjian itu haruslah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum.
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan;
”Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”
Pada umumnya seseorang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai. usia 21 tahun. Demikian diisyaratkan oleh Pasal 1330 KUHPerdata.
Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan;
” Tidak cakap membuat persetujuan-persetujuan adalah;
1. Orang yang belum dewasa.
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan.
3. Orang-orang perempuan, dalam hal ini yang di tetapkan oleh undang-undang pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-ndang telah melarang membuat perjanjian tersebut”.
(28)
Yang disebut orang yang belum dewasa adalah diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata yang menyebutkan;
”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun,
dan tidak lebih dahulu telah kawin”.
Yang ditaruh dibawah pengampuan adalah diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata yang menyebutkan;
”Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata
gelap harus ditaruh dibawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya”.
Perempuan yang telah bersuami dalam hukum dewasa ini telah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 / 1963 tanggal 4 Agustus 1963, Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan suami, maka dengan demikian wanita yang bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tak perlu lagi meminta izin suaminya. Perbuatan hukum yang dilakukan istri itu syah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim.
ad. 3. Sebagai syarat yang ke 3 (tiga) adalah suatu hal tertentu atau biasa juga disebut dengan objek tertentu. Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berjanji atau dalam hal para pihak saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dalam perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya
(29)
dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlah boleh tidak ditentukan (disebutkan) tetapi asal dapat dihitung dan ditetapkan, demikian ditentukan oleh Pasal 1333 KUHPerdata.
Kemudian oleh Pasal 1332 KUHPerdata dikatakan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat dijadikan objek perjanjian.
ad.4. Sebagai yang terakhir yang ke 4 (empat) dari syarat syahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Kata sebab adalah terjemahan kata causa yang berasal dari bahasa latin, dalam bahasa Belanda disebut oorzaak.
Wirjono Prodjodikoro14
Dilain pihak R. Subekti
, menterjemahkan kata causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu.
15
, mempunyai pendapat yang hampir sama, bahwa oleh beliau yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian, adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri
C. Obligatoire Overeenkomst dan Zakelijke Overeenkomst.
Dalam sistem yang dianut KUHPerdata, perbuatan-perbuatan hukum yang bermaksud untuk mengalihkan atau memindahkan hak kepemilikan atas sesuatu benda dilakukan dengan dua tahapan perjanjian. Hal ini sesuai dengan asas yang dianut dalam hukum perjanjian yaitu asas obligatoir yang artinya bahwa perjanjian telah lahir atau telah sah dan mengikat secara hukum seketika setelah tercapai sepakat diantara para pihak yang mengadakan perjanjian
14
Wirjono Prodjodikoro., op-cit, hal 35
(30)
tersebut. Dengan demikian perjanjian itu baru pada taraf melahirkan atau menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.
Abdulkadir Muhammad16
Demikian jugalah halnya dalam perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak milik, seperti jual-beli, tukar-menukar dan penghibahan. Misalnya dalam perjanjian jual beli ditentukan bahwa perjanjian jual beli sudah lahir seketika telah tercapai sepakat diantara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga, walaupun harga belum dibayar dan barang belum diserahkan. Tahap yang demikian inilah yang disebut sebagai tahap obligatoir (obligatoire
overeenkomst). Dalam perjanjian yang bermaksud memindahkan hak kepemilikan atas suatu
benda, tahap obligatoir (obligatoire overeenkomst) ini dikonstruksikan sebagai alas hak (titel). menyatakan, menurut sistem KUHPerdata Indonesia perjanjian
obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban yaitu hak menuntut
penyerahan dan kewajiban menyerahkan hak atas barang, misalnya penyerahan dalam jual-beli, tukar-menukar, pemberian hibah.
Abdulkadir Muhammad17
Setelah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yang bermaksud memindahkan hak milik tersebut mengadakan kesepakatan misalnya mengadakan perjanjian jual-beli, tukar-menukar, hibah yang dalam hal ini disebut sebagai tahap obligatoir (obligatoir overeenkomst), maka tahap berikut yang akan dilakukan adalah pemindahan atau penyerahan hak milik atas
menyatakan, Alas hak adalah hubungan hukum yang menjadi alasan untuk melakukan penyerahan (levering), misalnya jual-beli, tukar-menukar, hibah, warisan.
16
Abdul Kadir Muhammad., op-cit, hal 130.
(31)
benda tersebut. Perbuatan pemindahan hak milik atas benda inilah yang dinamakan tahap
zakelijke overeenkomst ataupun disebut perjanjian yang bersifat kebendaan.
Mariam Darus Badrulzaman18
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) ini tidaklah dimaksudkan menimbulkan perikatan dengan kata lain tidak melahirkan hak dan kewajiban sebagaimana halnya dengan perjanjian obligator (obligatoire overeenkomst) yang melahirkan hak dan kewajiban, melainkan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) ini adalah perbuatan hukum memindahkan hak milik itu sendiri.
mengemukakan, yang dimaksud dengan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) adalah perjanjian penyerahan benda yang diikuti dengan formalitas tertentu (pendaftaran).
H.F.A.Vollmar19
18
Mariam Darus Badrulzaman II., Mencari Sistim Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983,hal.40.
mengemukakan menurut Hukum Nederland persetujuan saja tidaklah mengakibatkan beralihnya eigendom dan untuk itu (untuk beralihnya eigendom) masih perlu juga penyerahan barangnya, penyerahan mana pada benda-benda bergerak seperti ternyata seringkali berupa pemberian secara nyata-nyata (Jawa: diulungake), tetapi pada benda-benda tak bergerak disyaratkan adanya sebuah akte dan balik nama penyerahan tersebut dalam daftar-daftar umum. Pada kata yang terakhir ini para pihak jadinya seakan-akan sampailah sekali lagi pada suatu persetujuan, yaitu untuk memperalihkan hak eigendom, dan hal ini lantas disebut perjanjian kebendaan (perjanjian zakelijk) berlawanan dengan perjanjian yang mewajibkan (perjanjian yang
obligatoir), yaitu suatu perjanjian, dimana penjual hanya mengikat diri untuk penyerahannya
saja, pada jual-beli barang tak bergerak senantiasa disebut sebagai kontrak jual-beli-sementara.
(32)
Namun perlu dipahami bahwa dalam perjanjian yang bermaksud memindahkan benda bergerak, kedua perjanjian ini yaitu baik perjanjian obligatoir (obligatoire overeenkomst) maupun perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) keduanya berjalan serentak, karena pemindahan hak milik atas benda bergerak cukup dilakukan dengan penyerahan secara nyata (feitelijke), sedangkan atas benda tidak bergerak kedua perjanjian ini jelas kelihatan, sebab pemindahan hak milik atas benda tidak bergerak tidak cukup dilakukan hanya dengan penyerahan secara nyata atas kekuasaan belaka melainkan harus dengan perbuatan akta penyerahan resmi diikuti pendaftaran.
D. Asas-asas Hukum Perjanjian.
Dalam hukum Perjanjian terdapat beberapa asas-asas yang bersifat umum (algemene
beginselen) seperti diuraikan berikut ini ;
1. Asas atau sistem terbuka.
Dimaksudkan dengan asas atau sistem terbuka adalah bahwa setiap orang boleh atau bebas mengadakan perjanjian apa saja walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Asas ini sebagai kebalikan dari sistem tertutup yang dianut buku II KUHPerdata tentang benda. Sistem tertutup mempunyai arti bahwa hak-hak atas benda bersifat limitatip, terbatas hanya pada yang diatur undang-undang, di luar itu dengan perjanjian tidak diperkenankan menciptakan hak-hak baru.
Asas atau sistem terbuka ini sering juga disebut “asas kebebasan berkontrak” (benginsel
der contractsvrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 KUHPerdata yang
(33)
“ Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
Kata “semua” dari ketentuan pasal tersebut mempunyai arti bahwa kepada orang-orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik yang sudah ada diatur dalam KUHPerdata maupun belum ada diatur dalam undang-undang. Yang penting asal perjanjian itu dibuat secara sah menurut hukum.
Namun kebebasan membuat perjanjian itu dibatasi oleh tiga hal yaitu; tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
2. Asas bersifat pelengkap.
Hukum perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata adalah bersifat pelengkap yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan atau pasal-pasal dalam KUHPerdata tersebut boleh dikesampingkan, apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan pasal-pasal KUHPerdata tersebut, tetapi apabila mereka tidak menentukan lain dalam perjanjian yang mereka buat, maka berlakulah ketentuan KUHPerdata tersebut.
3. Asas konsensual.
Dimaksudkan dengan asas konsensual adalah bahwa perjanjian itu telah terjadi atau telah lahir sejak tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai hal pokok dalam perjanjian tersebut.
(34)
Sesuai dengan asas ini maka perjanjian dapat dibuat secara lisan, yang penting pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut sepakat mengenai hal pokok dalam perjanjian tersebut. Selain itu perjanjian dapat juga dibuat secara tertulis berupa akta apabila pihak-pihak mengkehendakinya sebagai alat bukti. Namun demikian ada beberapa perjanjian yang harus dibuat secara tertulis agar perjanjian itu sah dan mengikat misalnya perjanjian perdamaian, perjanjian penghibahan, perjanjian pertanggungan. Perjanjian yang demikian ini disebut perjanjian formal.
4. Asas obligatoir.
Dengan asas obligatoir dimaksudkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak tersebut baru dalam taraf melahirkan atau menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak. Pemenuhan atas kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut disebut pelaksanaan perjanjian berupa pembayaran ataupun penyerahan. Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian maka pihak tersebut dikategorikan wanprestasi hal mana berakibat dapat dituntut berupa pembatalan perjanjian dan atau ganti-rugi.
Mariam Darus Badrulzaman20
1. asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi)
mengemukakan, di dalam Hukum perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut:
2. asas konsensualisme (persesuaian kehendak) 3. asas kepercayaan
4. asas kekuatan mengikat 5. asas persamaan hukum
20
Mariam Darus Badrulzaman et.el III., Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.66.
(35)
6. asas keseimbangan 7. asas kepastian hukum 8. asas moral
9. asas kepatutan 10.asas kebiasaan
ad. 1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian ini dimaksudkan “sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah asas esensial dari hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas otonomi “konsesualisme”, yang menetukan “ada”nya perjanjian.
ad. 2. Asas konsensualisme. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutnya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
ad.3. Asas kepercayaan. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.
ad. 4. Asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak dalam perjanjian itu semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
(36)
ad.5. Asas persamaan hukum. Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
ad. 6. Asas keseimbangan. Asas ini mengkehendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
ad.7. Asas kepastian hukum. Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
ad. 8. Asas moral. Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasar pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.
ad.9. Asas kepatutan. Asas kepatutan ini disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
(37)
ad. 10. Asas kebiasaan. Dengan asas kebiasaan ini dimaksudkan bahwa dalam pelaksanaan suatu perjanjian haruslah memperhatikan norma-norma yang terdapat dalam kebiasan di masyarakat.
E. Beberapa Perjanjian Sebagai Alas Hak Pengalihan Hak Milik.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dikenal titel-titel khusus yang merupakan dasar pemindahan hak milik, hal ini dapat dilihat dari Pasal 584 KUHPerdata berbunyi :
“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan
dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.”
Apabila dilihat dari bunyi terakhir pasal tersebut, diantaranya juga disebutkan penyerahan barang sebagai akibat dari suatu persetujuan atau perbuatan hukum yang bermaksud memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari tangan seseorang ke tangan orang lain, hal ini dapat dilakukan dengan persetujuan jual beli, tukar menukar, penghibahan.
1. Jual beli.
Adapun yang diartikan dengan jual beli dirumuskan dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang menyatakan;
“ Jual-beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
(38)
Dari bunyi pasal tersebut terlihat bahwa, yang menjadi unsur perjanjian jual beli adalah mengenai barang dan harga, hal ini relevan dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian jual beli itu telah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat diantara para pihak mengenai barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.
R.Subekti21
Sifat sepakat dari jual beli ini, terlihat dari bunyi Pasal 1458 KUHPerdata yang menyebutkan ;
mengemukakan; unsur pokok (“essentialia”) perjanjian jual beli adalah
barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian,
perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.
“jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
Sesuai dengan pengertian jual beli dalam Pasal 1457 KUHPerdata tersebut, maka perjanjian jual beli tersebut baru melahirkan kewajiban bagi pihak penjual untuk menyerahkan barang, ini berarti bahwa dengan adanya persetujuan jual beli, maka barang yang bersangkutan belum berpindah hak miliknya kepada si pembeli.
Pemindahan hak milik baru akan terjadi, apabila barangnya sudah diserahkan ke tangan pembeli. Jadi selama penyerahan itu belum dilakukan, maka hak milik atas barang itu tetap berada di tangan sipenjual, hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menentukan :
(39)
“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahan belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616”.
Wirjono Projodikoro22
Oleh karenanya perjanjian jual beli menurut KUHPerdata belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukannya penyerahan (levering). Dengan demikian penyerahan (levering) merupakan suatu perbuatan hukum guna memindahkan hak milik yang caranya tergantung dari jenis benda yang dijual.
menyatakan persetujuan jual beli hanya mempunyai sifat “obligatoire” artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya”. Jadi jual beli tersebut tidak langsung mengenai kedudukan benda (zaakelijk) hanya mengikat (obligatoir).
Dilihat dari jenis barang yang menjadi objek jual beli maka dapat dibedakan atas barang tidak bergerak, barang bergerak dan barang tak berwujud, oleh karenanya penyerahan atas masing-masing barang tersebut berbeda sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya.
R.Subekti23
Adapun subjek dalam perjanjian jual beli adalah si penjual dan si pembeli, yang masing-masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dimana penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli sedangkan pembeli berkewajiban membayar harga kepada penjual. Selanjutnya objek perjanjian jual beli adalah barang atau
mengemukakan, oleh para sarjana Belanda malahan “levering” itu dikonstruksikan sebagai suatu “zakelijke overeenkomst”, ialah suatu persetujuan lagi (tahap kedua) antara penjual dan pembeli yang khusus bertujuan memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli.
22
Wirjono ProdjodikoroII., Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Alumni, Bandung, 1981 ,hal 18.
(40)
benda, dimana barang tersebut harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli.
Untuk selanjutnya dapat dilihat pengalihan hak-hak atas tanah dengan titel pendukungnya yaitu jual beli, selain harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di atas, maka tak dapat terlepas pula dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960.
Menurut Pasal 21 UUPA yang dapat mempunyai hak milik atas tanah adalah : 1. Warga Negara Indonesia (WNI)
2. Badan-badan Hukum, yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia.
Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa hanya warga negara dan Badan-badan Hukum yang telah ditentukan oleh Pemerintah Indonesia yang dapat memperoleh hak milik atas tanah Indonesia, warga Negara asing tidak tidak dapat memiliki tanah di Indonesia walaupun untuk hak-hak lain masih diberi kemungkinan untuk menguasainya, misalnya hak guna usaha atau hak guna bangunan. Jadi apabila warga negara asing melakukan pembelian atas tanah dengan maksud untuk menjadi pemilik, adalah batal demi hukum.
Tentang bagaimana peralihan hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, yang berbunyi :
“Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan hak atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria”.
Dengan dibuatnya akta tersebut, maka disaat itulah hak milik atas tanah beralih dari si penjual kepada si pembeli. Untuk sahnya perolehan hak milik, demikian juga setiap peralihan,
(41)
hapusnya, pembebanan dengan hak-hak lain, harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA No. 5 tahun 1960. Agar suatu peralihan hak atas tanah dapat dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) maka tanah tersebut harus telah bersertifikat atau sudah terdaftar di Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961, menentukan persyaratan yang harus dipenuhi agar PPAT dapat mengabulkan pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang telah memiliki sertifikat, dengan konsekuensi apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, maka PPAT dapat menolak jika :
1. Permintaan itu tidak disertai dengan sertifikat tanah yang bersangkutan. 2. tanah yang menjadi persetujuan, masih dalam sengketa
3. Tidak disertai dengan surat tanda pembayaran harga pendaftarannya.
Selanjutnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, buku ke III titel 3 bagian 5, ada peraturan istimewa mengenai penjualan piutang-piutang dan hak-hak. Pasal 613 KUHPerdata menentukan harus ada suatu akta penyerahan (cessie) kalau mengenai piutang yang disebut piutang atas nama seseorang tertentu selaku si berpiutang. Sedangkan ayat (3) menentukan : Penyerahan piutang yang tidak menyebutkan nama si berpiutang dapat dilakukan secara menyerahkan surat-surat hutang dengan disertai “endossemen”, yaitu dituliskan di belakang surat hutang itu nama seseorang berpiutang baru (yang menerima penyerahan).
Oleh Pasal 1533 KUHPerdata ditegaskan, penjualan suatu piutang meliputi juga segala sesuatu yang menjadi buntut dari piutang itu, seperti misalnya hipotik. Sebaliknya, oleh Pasal 1535 KUHPerdata ditentukan penjual suatu piutang tidak diharuskan menanggung bahwa si berhutang adalah mampu membayar hutangnya, dan kalau penjual masih menanggung juga, maka menurut Pasal 1536 KUHPerdata yang ditanggung hanya kemampuan si berhutang pada
(42)
saat sekarang, tidak dikemudian hari, kecuali kalau yang tersebut belakangan ini secara tegas ditanggung juga oleh si penjual.
Untuk penjualan warisan, diatur dalam Pasal 1537 s/d 1539 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan penjualan warisan adalah penjualan hak mewaris barang-barang warisan tertentu. Karena itu penjualan warisan berakibat pula terhadap penyerahan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada suatu warisan, misalnya : hutang-hutang yang ditinggalkan si pewaris harus dibayar oleh ahli waris yang menjual warisan itu, maka si pembeli warisan harus membayar kembali uang itu kepada si penjual, hal ini ditegaskan oleh Pasal 1539 KUHPerdata. Sebaliknya, kalau penjual warisan sudah menikmati hasil dari barang-barang warisan, maka ia harus mengembalikannya kepada si pembeli.
2. Tukar menukar.
Dalam dunia perdagangan, perjanjian tukar menukar dikenal dengan nama “barter”. Dan dari sejarahnya perjanjian tukar menukar ini lebih dahulu ada dari pada perjanjian jual beli, karena uang berupa alat pembayaran umum yang merupakan salah satu unsur essensil dalam perjanjian jual beli yang ada sekarang, pada zaman dahulu belum dikenal, walaupun mungkin ada dalam bentuk lain.
Jadi untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya, anggota masyarakat melakukan pemenuhan kebutuhannya dengan jalan tukar menukar, yaitu dengan menyerahkan barang yang mereka miliki dan sekaligus menerima barang lain yang memang dibutuhkannya. Tetapi apabila dilihat dari kenyataan yang ada sekarang, dimana uang telah merata beredar di segala lapisan masyarakat, maka perjanjian tukar menukar ini sudah jarang dilakukan. Hal ini disebabkan dari proses terjadinya, dimana harus adanya kehendak masing-masing pihak yang mempunyai barang
(43)
untuk melakukan tukar menukar dengan ketentuan bahwa mereka ini juga membutuhkan barang pihak lainnya.
Namun demikian, penulis yakin bahwa perjanjian tukar menukar ini masih sering terjadi di masyarakat, misalnya dapat dilihat adanya tukar menukar mobil, sepeda motor, dan sebagainya, atau dalam masyarakat pedesaan, adanya tukar menukar antara ayam dengan beras, kelapa atau mungkin juga menukar ternak hewan.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1541 menyebutkan;
“Tukar- menukar adalah suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain”.
Jadi menurut sistem Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian tukar menukar sudah ada pada waktu adanya persetujuan sebelum penyerahan barang yang ditukarkan. Dengan kata lain perjanjian tukar menukar sebagaimana halnya juga dengan perjanjian jual-beli adalah suatu perjanjian konsensual, dalam arti bahwa ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang menjadi objek perjanjian tersebut. Demikian juga dapat dilihat bahwa perjanjian tukar-menukar ini adalah suatu perjanjian “obligatoir” dalam arti bahwa ia belum memindahkan hak milik tetapi baru pada taraf memberikan hak dan kewajiban. Hak milik atas barang yang dipertukarkan baru berpindah setelah dilakukan penyerahan (levering).
Tentang objek persetujuan tukar menukar, ditentukan pada Pasal 1542 KUHPerdata, yang berbunyi :
“Segala apa yang dapat dijual, dapat pula menjadi bahan tukar menukar”.
Jadi secara analog ketentuan jual beli, yaitu tentang benda dapat pula dijadikan sebagai objek tukar menukar, cuma yang berbeda apabila jual beli dilakukan mengenai barang lawan
(44)
uang, maka tukar menukar dilakukan pada umumnya dengan barang lawan barang. Dan untuk dapat melakukan perjanjian tukar menukar, masing-masing pihak harus pemilik dari barang yang dijanjikan untuk ditukar, dan syarat harus sebagai pemilik tersebut berlaku pada saat barangnya diserahkan, namun hal ini haruslah memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1977 KUHPerdata yang mengatur tentang kepemilikan atas benda bergerak adalah siapa yang menguasai dianggap sebagai pemilik.
Pasal 1544 KUHPerdata, menentukan :
“Siapa yang karena suatu penghukuman untuk menyerahkan barangnya kepada orang lain, telah terpaksa melepaskan barang yang diterimanya dalam tukar menukar dapat memilih apakah dari pihak lawannya ataukah ia akan menuntut pengembalian barang yang ia telah berikan”.
Ketentuan ini merupakan perwujudan dari kewajiban masing-masing pihak untuk menjamin kenikmatan tenteram atas barang yang telah diserahkan dalam tukar menukar. Namun dengan sendirinya pengembalian barang yang telah diserahkan kepada pihak lawan, hanya dapat dilaksanakan selama barang itu masih berada ditangannya (dalam miliknya) pihak tersebut, sebab dapat juga terjadi pihak tersebut sudah menjualnya kepada orang lain dalam hal yang demikian tinggallah tuntutan ganti rugi yang dapat dilancarkan.
Masalah risiko dalam tukar menukar, diatur pada Pasal 1545 KUHPerdata, yang menyebutkan;
“Jika sutu barang tertentu, yang telah dijadikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar”.
(45)
Peraturan tentang risiko yang diberikan oleh pasal tersebut di atas, sudah tepat sekali, risiko ini memang seadilnya harus dipikulkan kepada pundak masing-masing pemilik barang, misalnya apabila seorang pemilik sepeda motor mengadakan perjanjian tukar menukar dengan seorang pemilik kuda, kemudian kudanya mati sebelum diserahkan karena suatu kejadian tak disangka, maka sudah adil apabila ia menerima kembali sepeda motor miliknya, kematian kuda harus dipikulkan kepada pemiliknya sendiri dan tidak boleh ditimpakan kepada pemilik sepeda motor.
3. Hibah.
Menurut Pasal 1666 KUHPerdata yang menyebutkan;
“Hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup”.
Penghibahan ini digolongkan kepada perjanjian sepihak sebagai lawan dari perjanjian bertimbal-balik. Perjanjian sepihak dimaksudkan bahwa kewajiban memenuhi prestasi hanya dari satu pihak saja sedang pihak lainnya tidak ada kewajiban kontra prestasi. Hal ini dapat diliha dari rumusan perjanjian hibah tersebut diatas yang menyebut “dengan cuma-cuma”.
Perkataan “diwaktu hidupnya” si penghibah dimaksudkan untuk membedakan penghibahan itu dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu surat wasiat (testament), dimana wasiat itu baru akan berlaku sesudah si pemberi meninggal dunia dan setiap saat selama si pembuat wasiat masih hidup dapat menarik atau merobah wasiat tersebut. Penghibahan
(46)
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 KUHPerdata tersebut adalah suatu persetujuan, maka hal itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah.
Penghibahan dalam sistem KUHPerdata adalah bersifat obligatoir seperti halnya jual-beli dan tukar menukar, hal ini berarti bahwa perjanjian hibah belumlah memindahkan hak milik atas barang yang dihibahkan, hak milik baru perpindah setelah dilakukan penyerahan (levering).
Pasal 1667 KUHPerdata menyebutkan ;
“ Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal”.
Berdasarkan ketentuan ini, jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama dengan suatu barang lain yang baru akan ada dikemudian hari, maka penghibahan mengenai barang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua tidak sah.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikenal larangan –larangan untuk mengadakan penghibahan yaitu :
1. Larangan penghibahan antara suami istri selama perkawinan (Pasal 1678 KUHPerdata). 2. Penghibahan–penghibahan kepada lembaga–lembaga umum atau lembaga-lembaga
keagamaan, tidak mempunyai akibat, selain oleh Presiden atau penguasa yang ditunjuk olehnya telah diberikan kekuasaan kepada para lembaga-lembaga tersebut, untuk menerima pemberian itu (Pasal 1680 KUHPerdata)
(47)
3. Larangan penghibahan untuk wali/bekas walinya kecuali para keluarga sedarah dalam garis ke atas dari si belum dewasa, yang masih atau dulu menjadi walinya (Pasal 906 KUHPerdata)
4. Larangan penghibahan untuk dokter, tabib dan sekaligus juru atau ahli-ahli obat yang melayani seseorang sewaktu ia menderita sakit yang mengakibatkan matinya (Pasal 906 KUHPerdata)
5. Larangan penghibahan bagi mereka yang telah melakukan perzinahan, antara satu dengan lainnya (Pasal 909 KUHPerdata).
6. Larangan penghibahan yang diambil untuk keuntungan seorang yang tak cakap untuk mewaris (Pasal 9911 KUHPerdata).
Sebagaimana disebut bahwa perjanjian hibah walaupun kewajiban hanya datang dari satu pihak saja tanpa ada kontra prestasi, namum sebagai suatu perjanjian maka hal itu tidak dapat ditarik seperti halnya dalam wasiat, namun dalam hal tertentu undang-undang memberi kemungkinan hibah itu dapat ditarik sebagaimana diatur dalam Pasal 1688 KUHPerdata.
Menurut Pasal 1688 KUHPerdata, yang menyatakan :
“Suatu hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan karenanya, melainkan dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibaan telah dilakukan.
2. Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan
yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah, atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.
3. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelahnya orang
ini jatuh dalam kemiskinan.
Pasal 1682 KUHPerdata menentukan bahwa suatu penghibahan harus dilakukan dengan akte Notaris, kecuali apa yang menurut Pasal 1678 KUHPerdata, penghibaan dari tangan ke
(48)
tangan barang-barang bertubuh yang bergerak dan surat-surat piutang yang berbunyi “aan toon
der” artinya yang dapat ditagih oleh siapapun juga yang memegang dan memperlihatkan surat
itu. Jadi dari ketentuan Pasal 1682 KUHPerdata ini, maka akte Notaris merupakan syarat mutlak untuk sahnya penghibahan bukan saja merupakan suatu alat pembuktian.
Mengingat penghibahan adalah suatu perjanjian dimana kewajiban atau prestasi hanya datang dari satu pihak saja tanpa adanya kontra prestasi, maka menurut Pasal 1674 KUHPerdata, pihak yang mengibahkan tidak ada kewajiban menanggung penerima hibah jika seandainya penerima hibah dihukum untuk menyerahkan barang itu ke pihak ketiga.
(49)
BAB III.
TINJAUAN TENTANG PENYERAHAN (LEVERING) PADA UMUMNYA
A. Penyerahan (Levering) Pada Umumnya 1. Pengertian Penyerahan (Levering)
Penyerahan yang juga diistilahkan “levering”, “overdracht”, “opdracht” adalah merupakan tindakan atau perbuatan pemindahan hak kepemilikan atas sesuatu barang atau benda dari seseorang kepada orang lain. Namum perlu dipahami bahwa peralihan atau berpindahnya hak atas kekayaan dari seseorang kepada orang lain dapat terjadi dengan titel umum dan titel khusus.
Mr.N.E.Algra & Mr.K.Van Duyvendijk24
Oleh karenanya penyerahan ini adalah merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik.
mengemukakan; Kekayaan itu mencakup segala hak dan utang. Peralihan suatu kekayaan, keseluruhan “laba dan beban”, disebutkan
peralihan di bawah perbuatan perdata (titel) umum. Apabila hanya sebagian tertentu dari objek
kekayaan itu yang pindah, maka hal itu disebut peralihan dibawah titel khusus.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang menyatakan;
“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau
24
Mr.N.E.Algra & Mr K.Van Duyvendijk, Diterjemahkan oleh Simorangkir J.T.C., Pengantar Ilmu Hukum, Binacipta, Bandung,1983 , hal 224
(50)
penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.
Dari ketentuan tersebut di atas jelas disebutkan bahwa penyerahan itu merupakan salah satu cara memperoleh hak milik. Bahkan dari berbagai cara memperoleh hak milik yang disebut dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut di atas, maka sesungguhnya cara penyerahan ini merupakan cara yang paling sering terjadi dalam lalu-lintas hukum di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya penyerahan itu adalah perbuatan hukum pemindahan hak milik atas kekuasaan yang nyata atas sesuatu benda dari pemilik semula ke tangan orang lain.
Sri Soedewi Maschoen Sofwan25
1. Opdracht,
mengemukakan, mengenai penyerahan di dalam KUHPerdata sering dipakai istilah-istilah lain, tetapi yang mempunyai pengertian yang sama dengan penyerahan, misalnya :
2. Overdracht,
3. Transport ini penyerahan atas benda tak bergerak,
4. Cessie-penyerahaan untuk piutang atas nama,
5. Inbreng-penyerahan dalam hal warisan.
R. Subekti26
Perbedaan antara kedua jenis penyerahan tersebut tampak dengan nyata pada benda-benda tidak bergerak, dimana hak milik atas benda-benda tidak bergerak diserahkan atau berpindah dengan dilakukannya pencatatan (overschrijving) akta dalam register umum dengan apa yang mengemukakan, perkataan penyerahan mempunyai dua arti. Pertama perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (“feitelijke levering”).Kedua perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (“juridische levering”).
25
Sri Soedewi Maschoen Sofwan., op-cit, hal 67.
(51)
disebut akta transport (acte van transport), tetapi terlepas daripada itu terdapat penyerahan nyata. Sebaliknya pada benda-benda bergerak penyerahan nyata dan penyerahan yurudis pada umumnya berpadu berupa penyerahan nyata.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan27
Penyerahan (levering) sebagai suatu perbuatan hukum untuk mengalihkan atau memindahkan hak milik oleh seseorang kepada orang lain bukanlah merupakan suatu perbuatan yang berdiri sendiri melainkan perbuatan hukum penyerahan (levering) merupakan tindak lanjut dari suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar atau yang disebut sebagai alas hak dari penyerahan itu. Dalam hal ini perbuatan hukum yang menjadi dasar atau alas hak dari penyerahan itu berupa perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst) antara pihak-pihak yang berdasarkan atas persesuaian kehendak yang bermaksud mengalihkan hak milik atas kebendaan itu (obligatoir overeenkomst).
mengemukakan menurut hukum Perdata yang dimaksud dengan penyerahan itu : penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu.
Adapun perjanjian-perjanjian obligatoir (obligatoir overeenkomst) yang bertujuan memindahkan hak milik yang diatur dalam KUHPerdata adalah berupa perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar dan perjanjian hibah.
Dalam Code civil Perancis, kata penyerahan dikenal dengan nama “Delivrance”,
penyerahan yang dilakukan pada perjanjian jual beli, dianggap merupakan penyerahan kekuasaan belaka saja atas sesuatu benda yang dijualnya, karena hak milik atas barang yang dijual menurut Code Civil Perancis telah berpindah kepada pembeli pada saat terjadinya
(52)
perjanjian jual beli. Berbeda halnya menurut sistim yang dianut oleh KUHPerdata (BW) justru sebaliknya dimana dengan perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan berpindahnya hak milik dan untuk itu masih diperlukan perbuatan hukum berupa penyerahan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan; “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612,613 dan 616.
2. Feitelijke Levering dan Juridische Levering
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam sistim KUHPerdata, beralihnya hak milik dari seorang kepada orang lain adalah pada saat dilakukannya penyerahan (levering) atas benda tersebut, bukan pada dibuatnya perjanjian yang menjadi alas hak (titel) dari peralihan hak milik tersebut. Dengan kata lain hak milik atas suatu benda belum berpindah saat perjanjian jual-beli atau tukar-menukar ataupun hibah dibuat, melainkan hak milik atas benda tersebut baru berpindah setelah dilakukan penyerahan atau levering. Oleh karenanya penyerahan (levering) adalah merupakan perbuatan hukum untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda.
Sebagaimana telah di kemukakan bahwa dalam KUHPerdata (BW), dikenal dua jenis penyerahan yaitu;
1. Penyerahan secara nyata (feitelijke levering) 2. Penyerahan secara hukum (yuridische levering).
Penyerahan secara nyata (feitelijke levering) yaitu perbuatan berupa penyerahan kekuasaan belaka atau penyerahan secara fisik atas benda yang dialihkan yang biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, kecuali barang yang akan diserahkan itu berada dalam suatu gudang, maka penyerahannya cukup dilakukan dengan menyerahkan kunci dari gudang tersebut.
(53)
Penyerahan secara hukum (yuridische levering) yaitu perbuatan hukum memindahkan hak milik atas suatu benda dari seorang kepada orang lain, perbuatan hukum mana dilakukan dengan membuat surat atau akta penyerahan yang disebut “akta van transport” dan diikuti pendaftaran di lembaga pendaftaran yang diperuntukkan untuk itu.
H.F.A.Vollmar28
Dari kedua istilah penyerahan ini, yaitu penyerahan secara hukum dan secara nyata, tentunya mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya, perbedaan ini akan tampak jelas dalam penyerahan terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak.
mengemukakan bahwa penyerahan yuridis adalah perbuatan hukum pada mana dan karena mana hak eigendom (atau salah satu hak harta kekayaan lain) diperalihkan.
Terhadap penyerahan benda bergerak, penyerahan secara nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (yuridiche levering) jatuh pada saat bersamaan, dalam arti dengan dilakukannya penyerahan secara pisik atas benda itu, maka ketika itu telah berpindah hak milik atas benda itu dan tidak diperlukan adanya akta van transport atau akta penyerahan, jadi cukup dilakukan secara dari tangan ke tangan.
Untuk penyerahan atas benda bergerak dapat dilihat dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyebutkan ;
“Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada.
Penyerahan tak perlu dilakukan, apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya”
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.
1. Alas hak (titel) dari penyerahan (levering) tersebut adalah berupa perjanjian-perjanjian yang bermaksud untuk mengalihkan hak milik dilakukan dengan dua tahapan yang disebut tahap perjanjian obligatoir (obligatoire overeenkomst) dan tahap perjanjian kebendaan (zakelijke oveenkomst). Dengan tahap perjanjian obligatoir (obligatoir
overeenkomst) dimaksudkan adalah perjanjian yang baru pada tahap melahirkan hak
dan kewajiban diantara para pihak. Hal inilah yang disebut sebagai alas hak atau titel pemindahan hak milik. Misalnya perjanjian jual beli, tukar-menukar dan hibah. Sedangkan dimaksudkan dengan tahap perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) adalah pemindahan atau penyerahan hak milik atas benda tersebut yang diikuti dengan formalitas tertentu (pendaftaran). Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) ini tidaklah dimaksudkan menimbulkan perikatan dengan kata lain tidak melahirkan hak dan kewajiban sebagaimana halnya dengan perjanjian obligator (obligatoire
overeenkomst) yang melahirkan hak dan kewajiban, melainkan perjanjian kebendaan
(zakelijke overeenkomst) ini adalah perbuatan hukum memindahkan hak milik itu sendiri.
2. Syarat-syarat dan tatacara penyerahan (levering) adalah sebagai-berikut :
a. Berdasar atas suatu peristiwa perdata yang dalam hal ini disebut sebagai alas hak atau titel.
(2)
b. Dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas yang dalam hal ini yang berwenang untuk memindahkannya.
Berdasar atas suatu peristiwa perdata dimaksudkan adalah bahwa penyerahan itu didasarkan atas suatu alas hak yang sah yaitu berupa perjanjian antara pihak-pihak berdasar atas persesuaian kehendak yang bermaksud untuk mengalihkan hak milik atas barang tersebut, perjanjian mana disebut sebagai perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang baru pada tahap menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas benda yang bersangkutan, misalnya perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar dan perjanjian hibah.
Dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas yang dalam hal ini yang berwenang untuk memindahkannya. Penyerahan (levering) tersebut harus dilakukan oleh orang-orang yang berhak berbuat bebas (beschikkings bevoged) terhadap barang-barang yang dialihkan kepemilikannya tersebut. Hal ini berarti bahwa orang yang akan mengalihkan hak milik atas sesuatu benda kepada orang lain disyaratkan bahwa orang tersebut haruslah berkuasa atau berwenang penuh atas benda tersebut untuk mengalihkan atau memindahkan hak kepemilikannya.
Tatacara penyerahan atas benda bergerak dilakukan secara nyata (feitelijke) dari tangan ke tangan tanpa adanya suatu formalitas tertentu berupa akte penyerahan. Bahkan jika yang akan diserahkan tersebut berupa benda yang berada dalam suatu gudang, maka penyerahan benda tersebut cukup dengan penyerahan kunci gudang tersebut.
Sekiranya benda yang akan diserahkan tersebut telah berada dalam penguasaan seseorang yang akan menerima penyerahan benda tersebut sebagai houder misalnya penyewa, maka dalam hal demikian tidak perlu lagi dilakukan penyerahannya melainkan dengan
(3)
terjadinya perjanjian yang menjadi dasar dari penyerahan tersebut, hak milik atas barang tersebut otomatis berpindah. Penyerahan yang demikian dinamakan “tradition brevi
manu” yang disebut penyerahan secara tangan pendek.
Penyerahan-mengenai benda tidak bergerak- harus dilakukan dengan pembuatan suatu tulisan yang dinamakan “akte van transport” (surat penyerahan), yang dibuat secara resmi (authentiek), di depan notaris. Akte tersebut berupa suatu keterangan timbal-balik yang ditandatangani bersama oleh si penjual dan si pembeli, yang secara pokok berisi disatu pihak penjual menyerahkan hak milik atau benda yang bersangkutan. Biasanya si penjual itu bersama-sama menghadap pegawai pengurusan pembalikan nama (Overschrijvings ambtenaar, sekarang Pegawai Kadaster) untuk bersama-sama melaksanakan pembalikan nama.
Penyerahan piutang atau tagihan atas nama (op naam) yaitu dilakukan dengan “cessie” yaitu dengan cara membuat akta otentik ataupun di bawah tangan dengan mana dinyatakan bahwa piutang itu telah dipindahkan kepada seseorang. Penyerahan piutang surat-bawa (aan tonder) dilakukan dengan cara penyerahan nyata (feitelijke levering). Penyerahan piutang atas-tunjuk (aan order) dilakukan dengan penyerahan dari surat itu disertai dengan endossemen. Endossemen dimaksudkan yaitu dengan menuliskan di balik surat piutang itu yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut dipindahkan.
3. Sistem yang dianut KUHPerdata mengenai penyerahan yaitu yang disebut sistem kausal atau “causal stelsel”, dimana sah atau tidaknya suatu pemindahan hak milik itu digantungkan pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir, misalnya, perjanjian jual beli atau perjanjian tukar-menukar maupun perjanjian hibah. Dalam sistem ini diberatkan pemberian perlindungan pada si pemilik, dengan mengorbankan kepentingan orang-orang
(4)
pihak ketiga. Dengan demikian bahwa fungsi penyerahan (levering) dalam sistim KUHPerdata dapat di bedakan atas :
a. Berfungsi sebagai mengalihkan atau memindahkan penguasaan secara pisik atas suatu benda dari seorang kepada orang lain.
b. Berfungsi sebagai mengalihkan atau memindahkan hak kepemilikan atas suatu benda dari seseorang kepada orang lain.
.
B. Saran.
1. Mengingat penyerahan (levering) adalah saat yang menentukan beralihnya kepemilikan atas suatu benda, maka ketentuan yang berkaitan dengan penyerahan yang ada dalam KUHPerdata dirasa perlu adanya pembaharuan hukum karena tidak banyak ketentuan yang mengatur yang berkaitan dengan penyerahan itu sendiri, sehingga dalam pembentukan hukum perdata nasional nantinya perlu diatur lebih rinci dan jelas sehingga mampu menampung hal-hal yang timbul dimasyarakat.
2. Dewasa ini banyak terdapat dimasyarakat benda-benda yang walaupun dikategorikan benda bergerak, tetapi benda tersebut ada bukti kepemilikannya seperti kenderaan bermotor. Oleh karenanya hendaknya peralihan hak milik atas benda yang demikian perlu adanya bukti pengalihan hak milik berupa akta penyerahan.
(5)
DAFTAR BACAAN
Abdulhay, Marhainis.,1984, Hukum Perdata Materiil, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta. Algra.N.E & Van Duyvendijk.K. Diterjemahkan oleh Simorangkir J.C.T., 1983, Pengantar Ilmu
Hukum, Binacipta, Bandung.
Badrulzaman, Mariam Darus.,1983,Bab-Bab Tentang Hipotek, Alumni, Bandung.
...,2001,Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
...,1985,Mencari Sistim Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung. ...,1994,Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.
Fuady, Munir., 2002, Hukum Tentang Pembiayaan (dalam Teori dan Praktek), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gautama, Sudargo., 1981, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung Harahap, M.Yahya., 1985, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
Ishan, Ahmad., 1985, Hukum Perdata IB, Pembimbing Masa, Jakarta. Muhammad, Abdul Kadir., 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung. Maschoen Sofwan, Sri Sudwewi., 1981, Hukum Benda, Liberty, Yokyakarta.
Prodjodikoro, R.Wirjono.,1985,Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung.
...,1981,Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Alumni, Bandung.
R. Subekti., 1985, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta.
..., 1980, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta. ..., 1984, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung.
(6)
Vollmar,H.F.A., 1987, Hukum Benda, Tarsito, Bandung.