BAB IV POLA KOMUNIKASI MASYARAKAT MUHAMMADIYAH DENGAN
MASYARAKAT NU A.
Pola Komunikasi Antar Pribadi
Setelah penulis melakukan penelitian di desa Pringapus, terkadang penulis menemukan interaksi berupa komunikasi yang kurang intensif baik
dari kalangan masyarakat Muhammadiyah maupun masyarakat NU pada generasi tua mereka. Namun hal ini sangat berbeda sekali saat penulis melihat
generasi setelahnya atau pada anak-anak mereka. Penulis sering sekali menemukan interaksi berupa komunikasi yang terjalin sangat intensif. Bahkan
banyak diantara mereka yang tergabung dalam suatu lembaga social masyarakat yang bernama BKM Badan Keswadayaan Masyarakat. BKM itu
sendiri bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat desa Pringapus. Di dalam lembaga tersebut tidak ada diskriminasi antara warga dari golongan
Muhammdiyah ataupun dari NU. Dulu sangat ekstrim sekali terlihat perbedaan antara masyarakat
Muhammadiyah dan NU dan seolah ada jurang pemisah antara keduanya. Salah satu contohnya adalah ada beberapa warga Muhammadiyah yang
enggan menyekolahkan anaknya kalau bukan di sekolah Muhammadiyah, pernah juga ada keluarga dari NU yang tidak jadi menikahkan anaknya setelah
tahu calon menantunya itu dari keluarga Muhammadiyah. Namun saat ini keadaan masyarakat Muhammadiyah dan Nu sudah jauh lebih baik, kendati
kedua masyarakat ini sudah bisa dikatakan dapat membaur bersama, namun penulis masih dapat menemukan perbedaan yang mencolok di antara
keduanya, dan biasanya perbedaan tersebut terlihat dalam konteks keagamaan. Contohnya dalam perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, kedua
masyarakat tersebut melaksanakan sholat Ied tidak di satu tempat, melainkan di tempat yang terpisah, masyarakat Muhammdiyah biasanya melaksanakan
Sholat Ied di tanah lapang sedangkan masyarakat NU di dalam masjid. Pernah juga pada perayaan hari raya Idul Fitri dua tahun yang lalu
mereka merayakan hari raya pada hari yang berbeda, masyarakat Muhammadiyah merayakan hari raya Idul Fitri pada tanggal tiga puluh pada
bulan Ramadhan sedangkan masyarakat NU merayakannya seperti biasa, yaitu pada tanggal satu Syawal. Namun hal ini rupanya sudah tidak menjadi suatu
hal yang menyebabkan mereka terpecah, baik masyarakat Muhammadiyah maupun NU saat ini sudah bisa menerima perbedaan masing-masing dan
saling menghormati satu sama lain. Masyarakat Muhammadiyah yang pada saat itu merayakan hari raya Idul fitri lebih dulu memlilih untuk menunda
untuk merayakannya, meskipun ada beberapa yang merayakannya namun mereka merayakannya hanya di dalam rumah saja, atau masih dalam konteks
satu keluarga. Jadi setelah mereka melaksanakan sholat Ied mereka kembali pulang dan kemudian melakukan aktivitas seperti biasanya baru kemudian
besoknya mereka merayakan hari raya Idul Fitri bersama dengan masyarakat Pringapus yang lain.
57
57
Wawancara dengan bapak Saeri 1 Juli 2009
Meskipun demikian, seperti apa yang sudah penulis katakan di atas, saat ini memang keadaan masyarakat desa Pringapus sudah jauh lebih baik,
namun penulis masih menemukan beberapa orang dari generasi tua yang berasal baik dari Muhammadiyah maupun dari NU yang menjalin komunikasi
hanya dari beberapa konteks tertentu saja, biasanya dari konteks ekonomi dan konteks sosial:
1. Konteks Ekonomi
Desa Pringapus adalah sebuah daerah yang cukup strategis dan lokasi tanahnya bisa dibilang sangat baik sekali digunakan untuk lahan
pertanian, karena desa Pringapus terletak di sekitar kaki gunung pertanian, terbukti desa Pringapus masih dikelilingi dengan area persawahan,
meskipun saat ini sudah banyak pabrik-pabrik yang didirikan di sekitar desa, namun luas lahan untuk pertanian masih sangat luas. Kendati
masyarakat desa Pringapus memiliki lahan persawahan yang luas, sedikit dari mereka yang berprofesi sebagai petani sendiri, atau mereka mengolah
lahan persawahan mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka menyerahkan lahan persawahan mereka
untuk dikelola oleh orang lain, dengan sistem bagi hasil. Yaitu mereka membagi hasil panen dari lahan yang dikelola saat musim panen nanti.
Pada konteks inilah terjadi interaksi berupa komunikasi yang intensif antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat Nu setempat, di
mana kebanyakan orang NU sebagai pemilik lahan karena bisa dikatakan mayoritas masyarakat NU di desa Pringapus merupakan masyarakat asli
desa Pringapus dan orang dari Muhammadiyah yang kebanyakan sebagai warga pendatang yang menjadi buruh tani.
Bentuk lain dari konteks ekonomi yang terjadi dalam komunikasi antara masyarakat dari kalangan Muhamadiyah dan Nu adalah di pasar
Pringapus. Pasar Pringapus ini merupakan satu-satunya pasar yang ada di desa Pringapus. dan banyak masyarakat setempat yang berprofesi sebagai
pedagang di pasar tersebut. Para pedagang di pasar Pringapus ini mayoritas masyarakat dari kalangan Muhammadiyah. Dalam konteks ini
komunikasi yang terjadi adalah hanyalah sebatas sebagai penjual dan pembeli, di mana orang-orang dari Muhammadiyah kebanyakan sebagai
penjual dan orang dari NU kebanyakan sebagai pembeli, dan dalam hal ini merupakan kebalikan dari konteks yang pertama yaitu di mana masyarakat
NU mayoritas sebagai pemilik tanah dan Masyarakat Muhammadiyah sebagai buruh tani.
Komunikasi yang penulis lihat dari kedua konteks ekonomi di atas, menurut penulis bukanlah komunikasi yang dapat mendekatkan hubungan
antara orang-orang dari kalangan Muhammadiyah dengan orang-orang dari kalangan NU. Namun karena komunikasi yang terjadi sangatlah
singkat dan hanya dalam konteks jual beli, di mana jika telah tercapai kesepakatan harga, maka komunikasi pun terhneti dan selesai. Tidak ada
efek yang lebih mendalam dari komunikasi tersebut. padahal menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, ada lima indikasi dari komunikasi yang
efektif, yaitu: pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan tindakan.
Pemahaman berarti dalam proses komunikasi orang-orang yang terlibat di dalamnya saling memahami apa yang diinginkan atau dimaksud
oleh lawan bicaranya. Kesenangan yaitu bagaimana komunikasi yang baik dapat memberikan kesenangan pada orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Pengaruh pada sikap, yaitu bagaimana komunikasi itu tidak saja memberikan suatu informasi, tetapi juga dapat mempengaruhi sikap dari
komunikannya. Hubungan yang makin baik dapat berarti komunikasi efektif dapat merekatkan tali silaturahmi atau merekatkan hubungan yang
mulai merenggang. Dan yang terakhir adalah tindakan yaitu bagaimana komunikasi yang efektif dapat berpengaruh pada tindakan para
komunikannya. 2.
Konteks Sosial Salah satu ciri khas masyarakat desa pada umunya yang juga
terlihat pada masyarakat desa Pringapus adalah gotong-royong atau kalau
dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”.
Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang
sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan
kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip
mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.
Maksud penulis di sini adalah warga setempat tidak hanya bergotong royong jika salah satu warga memiliki hajat atau musibah saja,
tetapi dalam semua konteks sosial, di antaranya adalah di saat ada program kerja bakti seperti pembenahan jalan-jalan yang rusak serta pembuatan
sarana dan prasana untuk umum, bahkan sekarang BKM Mandiri yang ada di desa Pringapus bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk
membenahi rumah-rumah warga yang sudah tidak layak huni, agar masyarakat desa Pringapus dapat sejahtera secara keseluruhan.
Dalam komunikasi dengan konteks kegiatan sosial ini masyarakat dari Muhammadiyah dengan masyarakat Nu akan bertemu dan
berinteraksi. Dalam konteks ini terlihat juga karakteristik masyarakat desa, yaitu Guyub atau kekeluargaan di mana sudah menjadi karakteristik khas
bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka.
B. Pola Komunikasi Antar Kelompok