Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Serangan udara yang dilakukan Israel ke Jalur Gaza pada Sabtu, 27 Desember 2008 lalu, merupakan suatu peristiwa yang menarik perhatian semua orang di berbagai negara di dunia dan menjadi sumber pemberitaan yang bernilai tinggi bagi setiap media massa. Bukan hanya karena ada konflik yang menyertainya, tetapi juga karena akibat yang ditimbulkannya. Bahkan gempuran rudal milik Israel yang berjatuhan di Gaza City merupakan serangan Israel yang paling dahsyat terhadap Palestina sejak 25 tahun terakhir dengan jumlah korban jiwa yang sungguh di luar akal sehat: lebih dari 400 orang dalam tempo sepekan PBB memperkirakan, setidaknya ada 100 anak-anak Palestina dari 442 korban tewas dalam serangan Israel hingga hari ketujuh. Korban cedera akibat serangan tersebut dari yang ringan hingga parah sekitar 2.000 orang. 1 Selain menimbulkan banyaknya korban jiwa, peristiwa ini juga memunculkan kekalutan luar biasa. Banyak warga Gaza yang berniat mengungsi ke wilayah Mesir melalui perbatasan Rafah. Namun, adanya kebijakan negara Mesir yang menutup perbatasan tersebut malah meluapkan kemarahan negara-negara Arab terhadap Israel dan Mesir. Kejadian ini menimbulkan kecemasan, wilayah Timur Tengah akan kembali terjerumus dalam ketidakstabilan baru. Agresi yang dilakukan Israel ke Jalur Gaza sejak 27 Desember lalu ini merupakan bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas dan konflik berkelanjutan antara bangsa Israel dan Palestina. Jalur Gaza yang merupakan daerah konflik Israel-Hamas adalah wilayah yang 1 Surat Kabar Harian Kompas, 3 Januari 2009, PT Kompas Media Nusantara, hlm. 1. 1 Universitas Sumatera Utara terletak di bagian Tenggara Tanah Palestina dengan panjang sekitar 35 kilometer dan lebar antara lima sampai tujuh kilometer. Daerah ini pernah dikuasai Kekhalifahan Utzmaniah Otoman sejak tahun 1517 sampai tahun 1917 saat kekhalifahan itu runtuh. Setelah itu masuk dalam mandat Inggris sampai tahun 1947. Pada 2 November 1917, Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour, yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan “tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina. Selang 30 tahun berlalu, tepatnya pada 14 Mei 1948, Israel secara sepihak mengumumkan diri sebagai negara Yahudi dan Inggris keluar dari Palestina. Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Yordania dan Arab Saudi pun menabuh genderang perang melawan Israel. Sejak tahun 1948 tersebut, nyaris Tanah Palestina tidak pernah sepi dari peperangan. Setelah perang, Gaza dikuasai Mesir hingga 1948, lalu direbut Israel pada tahun 1967. Perang besar Arab-Israel yang berlangsung pada tahun 1967, membuat perjuangan bangsa Palestina untuk mewujudkan sebuah negara Palestina semakin berat. Israel masih tetap menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur yang merupakan wilayah Negara Palestina Merdeka. Berbagai perundingan damai turut digalakkan untuk mengakhiri konflik Israel- Palestina. Seperti misalnya, pada 13 September 1993, Israel dan PLO bersepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Hasilnya adalah Kesepakatan Oslo. Namun, perseteruan kembali terjadi ketika pada 25 Januari 2006, faksi Hamas Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah, Gerakan Perlawanan Islam memenangkan pemilu legislatif Palestina dan menyudahi dominasi faksi Fatah faksi terbesar dalam PLO, Organisasi Pembebasan Palestina yang didirikan oleh Yaser Arafat selama 40 tahun. Perpecahan kedua faksi di Palestina ini mencapai puncaknya ketika Hamas mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza pada Juni 2007. Universitas Sumatera Utara Ketegangan di Gaza kian meningkat memasuki awal hingga pertengahan tahun 2008. Israel memutus suplai gas dan listrik. Hingga pada November 2008, Hamas kemudian membatalkan keikutsertaannya dalam pertemuan unifikasi Palestina di Kairo, Mesir. Hamas menolak memperbaharui perjanjian gencatan senjata enam bulan dengan Israel yang akan berakhir pada 19 Desember 2008. Serangan roket kecil oleh Hamas yang berjatuhan di wilayah Israel pun menjadi awal dimulainya agresi Israel ke Jalur Gaza. Balasan atas serangan roket dan aktivitas teror yang berkelanjutan yang dilakukan Hamas dari Jalur Gaza, dengan kerapnya peluncuran roket dengan target warga sipil, diklaim Israel sebagai alasan membombardir Jalur Gaza akhir Desember lalu. Sebaliknya, Deputi Kepala Biro Politik Hamas, Musa Abu Marzouq, menyatakan keputusan Hamas membidikan roket-roket ke Israel tanpa memastikan itu sasaran militer, adalah upaya pertahanan diri Palestina dari intimidasi Israel yang selalu menyerang kaum sipil pendukung Hamas. Memasuki hari ke-14, pasukan militer Israel yang disebut Operation Cast Lead ini kembali melancarkan serangan udara ke setidaknya 40 titik di Jalur Gaza. Pertempuran pada Sabtu, 10 Januari 2009 ini berkobar setelah Israel dan Hamas tidak mempedulikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan agar gencatan senjata di Gaza diberlakukan. Resolusi yang ditandatangani 14 negara anggota DK tersebut menyerukan agar gencatan senjata harus diterapkan segera dengan durasi lama, sehingga Israel mau menarik pasukannya keluar dari Gaza. Berita penyerangan Israel ke Jalur Gaza yang sudah menelan korban jiwa hingga 1.245 orang, mencederai sekitar 5.300 orang serta menimbulkan kerugian material sekitar Rp 5,2 triliun, turut memenuhi ruang dan waktu dalam pemberitaan di setiap media. Tak terkecuali media nasional dan media-media lokal di Indonesia. Hal ini terlihat dari maraknya Universitas Sumatera Utara media tersebut yang menjadikan topik penyerangan Israel ke Jalur Gaza sebagai berita utama headline surat kabar mereka. Tak salah jika media berlomba-lomba untuk menampilkan pemberitaan seputar agresi Israel ke Jalur Gaza ini sebagai headline di surat kabar mereka. Masing-masing media berusaha menyediakan ruang dan waktu demi mendapatkan berita yang utuh terkait peristiwa tersebut. Namun dalam hal ini, media massa dituntut untuk bekerja secara profesional dengan tidak melakukan pemberitaan yang memihak atau menyudutkan salah satu pihak. Walau pada kenyataannya, tiap-tiap institusi media seringkali memiliki kepentingan sendiri-sendiri dalam menempatkan dan menonjolkan isu-isu tertentu. Menurut Antonio Gramsci, media dapat dilihat sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti, media bisa menjadi sarana penyebaran ideologis penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. 2 Beberapa media dalam menyajikan pemberitaan “Agresi Israel ke Jalur Gaza” mungkin saja bersifat netral dan bukan tidak mungkin berpihak terhadap Palestina ataupun Israel. Keberpihakan tersebut dapat terlihat melalui frekuensi kemunculan pemberitaan “Agresi Israel ke Jalur Gaza”, ataupun dari bagaimana masing-masing media menggambarkan pihak yang terlibat konflik, apakah media tersebut memberikan gambaran Artinya berita yang diproduksi tidak dihasilkan dalam sebuah ruang hampa. Ada orang-orang atau pihak yang terlibat dalam proses melahirkan sebuah berita berikut aspek kepentingan dan konflik yang menyertainya. 2 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 30. Universitas Sumatera Utara yang positif atau negatif atau justru memberikan porsi yang sama antara gambaran yang positif dan negatif dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Dengan menggunakan metode analisis isi diharapkan dapat mengetahui bagaimana media menyajikan pemberitaan “Agresi Israel ke Jalur Gaza”. Sisi penting metode analisis isi dapat dilihat dari sifatnya yang khas. Pertama, dengan metode ini, pesan media bersifat otonom, sebab peneliti tidak bisa mempengaruhi objek yang dihadapinya. Kedua, dengan metode ini materi yang tidak berstruktur dapat diterima tanpa si penyampai harus memformulasikan pesannya sesuai dengan struktur si peneliti. Penelitian ini secara umum berusaha melihat bagaimana sikap media Indonesia terhadap agresi yang dilakukan Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza. Dalam melakukan pemberitaan tentang konflik Israel dan Palestina ini, media tertentu harus adil dan berupaya agar berita tersebut tidak mengunggulkan ataupun menjatuhkan salah satu pihak yang bertikai. Dua surat kabar yang menjadi objek penelitian ini adalah Surat Kabar Harian SKH Kompas dan Waspada. Pemilihan SKH Kompas adalah karena harian ini berskala nasional dan kualitas pemberitaannya sudah diakui masyarakat Indonesia. Sedangkan SKH Waspada, harian terbesar di Sumatera Utara, peneliti anggap dapat mewakili harian lokal dalam memberitakan peristiwa tersebut. Selain itu, dari perspektif sejarah, kedua harian ini telah lama berdiri dan mapan. Hal-hal yang terurai di atas kemudian melatarbelakangi ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian tentang pemberitaan yang berkaitan dengan agresi Israel ke Jalur Gaza di Surat Kabar Harian Kompas dan Waspada yang terbit dari edisi 28 Desember 2008 sampai dengan 28 Januari 2009 dengan menggunakan metode analisis isi.

I.2. Perumusan Masalah