pada badan penanggulangan bencana daerah. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa peran petugas pada aspek operasional lebih banyak dibandingkan pada aspek
manajemen.
5.1.3 Rencana Tanggap Darurat dalam Menghadapi Bencana Banjir
Hasil penelitian tentang rencana tanggap darurat bahwa dari 10 pernyataan yang diajukan ditemukan aspek yang paling tinggi dilakukan petugas adalah peran
dalam kegiatan pembuatan peta rawan bencana banjir bencana banjir yang dilakukan oleh 65,6 petugas, sedangkan aspek rencana tanggap darurat paling rendah
dilakukan petugas adalah pelatihan siagasimulasigladiteknis secara berkala untuk penanggulangan bencana banjir yang hanya dilakukan 21,9 responden.
Rendahnya persentase petugas yang mengikuti pelatihan teknis penanggulangan bencana terkait dengan kemampuan pendanaan organisasi dalam
mengalokasikan dana untuk pelatihan petugas. Kondisi ini juga terkait dengan keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Timur yang
secara organisasional baru terbentuk sehingga belum mendapatkan porsi anggaran yang cukup untuk membiayai seluruh kegiatan organisasi, termasuk pelatihan teknis
petugas tentang penanggulangan bencana banjir.
5.1.4 Sistem Peringatan Dini dalam Menghadapi Bencana Banjir
Hasil penelitian tentang sistem peringatan dini bencana banjir bahwa dari 5 pernyataan yang diajukan ditemukan aspek yang paling tinggi dilakukan petugas
adalah adanya sistem peringatan dini early warning dengan cepat dan tepat yang dilakukan oleh 65,6 petugas, sedangkan aspek sistem peringatan dini bencana
Universitas Sumatera Utara
banjir paling rendah dilakukan petugas adalah : menyebarkan informasi peringatan dini dengan segera kepada masyarakat, mengembangkan dan memantau sistem
peringatan dini bencana banjir early warning system dan mengikuti latihan dan simulasi peringatan dini banjir sesuai protap yang hanya dilakukan 21,9 responden.
Tujuan utama dibangunnya sistem peringatan dini bencana banjir adalah menyelamatkan masyarakat dari ancaman banjir. Masyarakat memerlukan
pengetahuan yang memadai mengenai risiko tsunami dan terhubung dengan sistem peringatan dini banjir untuk menghasilkan reaksi yang tepat untuk menyelamatkan
diri. Pembentukan tim petugas penanggulangan banjir didasarkan pada pertimbangan bahwa penyampaian pengetahuan yang dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri
dirasa menjadi pendekatan yang paling tepat. Sebagai petugas yang mempunyai tanggung jawab dalam penanganan bencana banjir, petugas perlu memahami bahaya
banjir yang mengancam daerahnya, memahami cara penyampaian informasi bencana banjir yang paling tepat kepada masyarakat dan diharapkan mendorong keberlanjutan
upaya kesiapsiagaan masyarakat. Program pelatihan untuk menghasilkan petugas penanggulangan bencana
telah diimplementasikan untuk pertama kalinya pada tahun 2008, bekerjasama dengan Disaster Research, Education and Management Universitas Pembangunan
Nasional Jogjakarta DREaM UPN dan Palang Merah Indonesia PMI Bali. Program ini menghasilkan Panduan ToF untuk digunakan dalam rangkaian kegiatan
ToF di Jawa dan Bali. Fasilitator yang terbentuk kala itu, kemudian menyampaikan informasi yang diperoleh selama pelatihan kepada masyarakat di daerah masing-
Universitas Sumatera Utara
masing. Hasil pembelajaran terhadap proses yang dilakukan pada tahun 2008 menghasilkan kebutuhan akan modul yang lebih umum sehingga dapat digunakan di
daerah lain. Proses pengembangan modul dengan pendekatan baru dilakukan pada tahun 2009 dengan melibatkan Profitable Environmental Management Network
PREMANet Indonesia. Sesuai penelitian Tanti 2010 bahwa kurang efektifnya sosialisasi siaga
bencana selama ini, karena selalu menggunakan konsep sosialisasi dengan pendekatan tradisional, dengan istilah-istilah seperti sosialisasi atau diseminasi.
Namun , dari data penelitian tingkat kesiap-siagaan masyarakat pada bencana masih kurang dari standar. Maka cukup masuk akal jika program siaga bencana dilihat dari
sudut produk sosial dengan target adanya perubahan sosial dengan menggunakan konsep pemasaran sosial. Kajian Tanti 2010 merupakan evaluasi program
diseminasi informasi siaga bencana pada warga di daerah rawan bencana. Menggunakan konsep pemasaran sosial Kottler. Pendekatan ini bisa menjadi
alternatif untuk mencapai tingkat partisipasi warga rawan bencana. Khususnya terkait dengan mempertahankan perubahan sosial setelah adanya diseminasi informasi siaga
bencana. Hasil kajian LIPI-UNESCOISDR 2006 tentang kesiapsiagaan masyarakat
dalam mengantisipasi bencana menemukan bahwa tingkat kesiapsiagaan petugas secara umum lebih tinggi dibandingkan kesiapsiagaan rumah tangga dan komunitas
sekolah, namun pada salah satu aspek kesiapsiagaan tentang peringatan dini bencana ternyata lebih rendah dibandingkan kesiapsiagaan rumah tangga dan
Universitas Sumatera Utara
komunitas sekolah. Hasil tersebut menggambarkan suatu kelemahan yang dapat berakibat fatal jika terjadi bencana, karena aspek peringatan dini merupakan hal yang
penting dan pertama harus disiapsiagakan oleh petugas. Jika sistem peringatan dini tidak disiapsiagakan oleh petugas maka segala aspek lainnya menjadi tidak berguna
saat bencana telah datang. Konsep peran petugas dalam meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi
bencana banjir dapat mengadopsi yang telah dilakukan di Padang yaitu pemerintah sebagai penyedia fasilitas kesiapsiagan bencana, seperti peta bencana dan peta
evakuasi merupakan hal yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Pemerintah kota Padang bisa mengoptimalkan dukungan dan peran stakeholders lain, seperti:
KOGAMI, PMI, sektor swasta dan organisasi professional seperti ORARI dan RAPI. Dibutuhkan kepekaan para petugas lembaga publik dan ornop dengan cara berdiskusi
dan mendengarkan langsung apa keinginan masyarakat. Melakukan pengorganisasian masyarakat, yang dimulai dari rakyat itu sendiri, mengajak mereka berpikir kritis,
melakukan analisis ke arah pemahaman bersama, membentuk kesadaran, melakukan tindakan, dan evaluasi. Dan yang tak kalah penting adalah mengakomodasikan
kepentingan masyarakat tersebut. Agar masyarakat korban bencana berdaya tentu saja program tersebut harus terintegrasi dan holistik. Yaitu mencakup aspek fisik, sosial,
dan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
5.2 Pengaruh Sumber Daya Organisasi terhadap Kesiapsiagaan Petugas Menghadapi Bencana Banjir di Kabupaten Aceh Timur
5.2.1 Pengaruh Personil terhadap Kesiapsiagaan Petugas dalam Menghadapi
Bencana Banjir
Kajian tentang faktor personil dalam penelitian ini lebih ditekankan pada
ketersediaan jumlah personil penanggulangan bencana dengan tingkat kebutuhan yang dirasakan sehubungan dengan kondisi Kabupaten Aceh Timur yang rawan
bencana banjir. Hasil penelitian menunjukkan 71,9 responden menyatakan jumlah personil belum sesuai dengan kebutuhan. Berdasarkan hasil uji statistik regresi
berganda, diketahui variabel personil berpengaruh positif dan signifikan p0,05 terhadap kesiapsiagaan petugas dalam menghadapi bencana banjir di Kabupaten Aceh
Timur. Mengacu kepada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa penambahan jumlah personil akan meningkatkan kesiapsiagaan petugas dalam menghadapi
bencana banjir. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan korelasi pearson
diperoleh nilai r=0,401; p=0,023, yang artinya ada hubungan antara personil dengan kesiapsiagaan petugas pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh
Timur. Dari hasil uji regresi berganda terhadap variabel personil diperoleh nilai p=0,007 0,05, maka hipotesa penelitian diterima, berarti ada pengaruh faktor
personil terhadap kesiapsiagaan petugas. Sesuai dengan modul pelatihan pengintegrasian pengurangan risiko bencana
ke dalam sistem pendidikan Kemdiknas, 2009 dinyatakan bahwa salah satu komponen yang berpengaruh terhadap besar kecilnya risiko suatu bencana adalah
Universitas Sumatera Utara
kapasitas sebagai kekuatan dan sumber daya yang ada pada tiap individu dan lingkungan yang mampu mencegah, melakukan mitigasi, siap menghadapi dan pulih
dari akibat bencana dengan cepat. Ada tiga pertimbangan sosiologis yang patut diketengahkan dalam pendidikan tentang penanggulangan bencana, yaitu pertama
secara geografis, demografis dan geologis, Indonesia merupakan negara rawan bencana, baik bencana alam dan bencana akibat ulah manusia, seperti kegagalan atau
mala praktik teknologi. Kedua, adalah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kondisi sosial masyarakat, telah menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan yang berakibat pada terjadinya bencana. Ketiga, adalah kondisi struktur manajemen bencana itu sendiri. Kematian, cidera dan kerugian materi, serta
masalah lingkungan dan ekonomi dapat dikurangi apabila penyelenggaraan penanggulangan bencana telah dilakukan secara komprehensif yang mencakup
pendekatan yang bersifat pencegahan, pengurangaan risiko, tindakan kesiapsiagaan tindakan tanggap terhadap bencana, serta upaya pemulihan. Disamping itu,
pendekatan yang mengedepankan pentingnya partisipasi dari semua tingkat pemerintahan, baik pemerintah pusat dan daerah, mengambil peran yang aktif dalam
menciptakan manajemen bencana yang efektif. Serta pentingnya partisipasi publik dan pemangku kepentingan dalam penanganan bencana.
Kesiagaan biasanya disebut kesiapsiagaan merupakan “tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi-organisasi, masyarakat, komunitas dan
individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna. Termasuk ke dalam tindakan Kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana
Universitas Sumatera Utara
penanggulangan bencana, pemeliharaan sumberdaya dan pelatihan personil.” Kesiapsiagaan merupakan salah satu upaya mengurangi risiko bencana dan dalam
rangka mengantisipasi bencana. Kesiapsiagaan dilakukan dalam rangka upaya mengelola risiko bencana, sehingga jika telah siaga dampak dari bencana dapat
diminimalisir. Kesiapsiagaan merupakan bagian dari mitigasi bencana karena dilakukan pada saat sebelum terjadi bencana.
5.2.2 Pengaruh Sarana atau Peralatan terhadap Kesiapsiagaan Petugas dalam Menghadapi Bencana Banjir