Develop Policy Model of Sustainable Environment Management at PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara

(1)

LINGKUNGAN BERKELANJUTAN PADA PT (PERSERO)

KAWASAN BERIKAT NUSANTARA

Albert Napitupulu

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Pengembangan Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Pada PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, April 2009

Albert Napitupulu P062054714


(3)

Albert Napitupulu. 2009. Develop Policy Model of Sustainable Environment Management at PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara. Supervised by: Syamsul Ma’arif as chairman, Suryono H. Sutjahjo, and Etty Riani as members.

This research aim are resulting policy model of sustainable environmental management of PT KBN through activities such as examining existing conditions of environment quality in the zone of PT KBN and determining sustainable status of environment management in PT KBN: activily analyzing key factors of environment management of PT KBN; and formulating applicable policy scenario of environment management in PT KBN to create PT KBN that owns sustainable, environmental orientation. Research indicates that (1). The condition of environment in PT KBN still shows the existence of polluted liquid waste from the activities of the company and society in it’s surrounding areas; (2). Enviroment management of PT KBN has not sustainable yet. Of the five analyzed dimensions to determine sustainable status of PT KBN, three dimensions are unsustainable namely economy, social, and technology. Dimensions classified unsustainable is ecology. Institutional dimensions is the sustainable one; (3). There are fiveteen factors contributing to environment management of PT KBN, four of them are key factors: technology of liquid waste management, participation of entrepreneurs in environment management, technology of solid waste management, and the use of chemical in production process: and (4). The sustainable scenario of environment management of PT KBN based on the choice of stakeholders an expert is business development by improvement of environment

Key words: model, policy, environment management, waste, PT Kawasan Berikat Nusantara.


(4)

RINGKASAN

Albert Napitupulu. 2009. Pengembangan Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Pada PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara. Dibawah bimbingan Syamsul Ma’arif sebagai ketua dan Suryono H. Sutjahjo, dan Etty Riani sebagai anggota.

PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara mengelola kawasan industri terpadu berstatus berikat (export processing zone), kawasan industri non berikat, jasa logistik yang meliputi jasa angkutan, mekanik dan dokumen (forwarding), pergudangan (warehousing) serta layanan jasa lain kepada investor di dalam kawasan. Untuk pengembangan kedepan, PT KBN juga melakukan beberapa Strategi Bisnis Unit (SBU), yakni SBU Kawasan Cakung, SBU Kawasan Marunda dan Tanjung Priuk, SBU Logistik, SBU Bengkel, SBU Pelayanan Kesehatan, SBU Kebersihan Kawasan, SBU Pengelolaan Air Bersih, SBU Properti Non Industri, SBU Teknologi Informasi (TI), SBU Kepelabuhanan, SBU Instalasi Karantina Impor Komoditas Pertanian dan SBU Instalasi Fumigasi Kontainer Ekspor. Oleh karenanya maka PT KBN berkewajiban untuk mengelola lingkungan kawasan secara berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model kebijakan pengelolaan lingkungan PT KBN yang berkelanjutan melalui beberapa tahapan kegiatan yakni: Mengkaji kondisi eksiting kualitas lingkungan di kawasan PT KBN dan menentukan status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di PT KBN; Menganalisis faktor kunci pengelolaan lingkungan PT KBN secara partisipatif; dan Merumuskan skenario kebijakan pengelolaan lingkungan yang mudah diaplikasikan di kawasan PT KBN dalam rangka menciptakan PT KBN yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem partisipatif dengan menggunakan studi kasus di PT KBN. Pendekatan sistem digunakan untuk merumuskan strategi dan rekomendasi pengembangan kawasan berikat nusantara secara berkelanjutan yang bersifat strategis, multi aspek, melibatkan berbagai stakeholders, dan lintas sektor. Penelitian dimulai dengan menganalisis kondisi dan kualitas lingkungan PT KBN berdasarkan laporan instansi terkait. Pada penelitian ini dianalisis kualitas limbah cair unit IPAL, dan dilihat sampai sejauh mana pengolahan limbah yang dilakukan pihak pengelola kawasan. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan kawasan PT KBN dengan mengkaji kondisi lima dimensi pengelolaan lingkungan yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Hasil analisis ini diperoleh faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN untuk setiap dimensi. Faktor ini penting untuk diperhatikan dalam rangka mencapai pengelolaan lingkungan berkelanjutan pada PT KBN. Pada penelitian ini juga diidentifikasi faktor-faktor kunci yang berpengaruh pada pengelolaan lingkungan kawasan PT KBN pada kondisi saat ini dengan menggunakan analisis prospektif. Faktor-faktor kunci hasil analisis tersebut kembali di analisis tingkat pengaruh dan kebergantungannya, yang selanjutnya dijadikan sebagai variabel untuk membangun model pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Dan akhir dari rangkaian ini adalah membangun pengembangan model kebijakan pengelolaan lingkungan berkelanjutan pada PT KBN.


(5)

menghindari kebisingan yang berasal dari kawasan PT KBN. Berdasarkan hal tersebut dan berdasarkan data pencemaran udara dan kebisingan (kebisingan yang melebihi baku mutu hanya di dua lokasi), maka pencemaran udara di kawasan PT KBN dapat dikatakan; sudah ditangani dengan baik. Hal yang sama juga terjadi pada pencemaran tanah, karena di PT KBN relatif tidak ada kegiatan yang dapat mencemari tanah, kecuali sedikit ceceran oli bekas dan bahan bakar minyak, maka diasumsikan bahwa pencemaran tanah juga dapat ditangani dengan baik. Berbeda dengan pencemaran tanah dan udara, di kawasan PT KBN masih menghasilkan limbah cair yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air. Hasil pengukuran kualitas air badan air pada Kanal Utara (I, II, III, IV) dan Kanal Selatan (I, II, III, IV) pada 2 periode waktu yang berbeda (Juli 2007 dan Desember 2007) memperlihatkan bahwa sebagian besar parameter kualitas badan air yakni temperatur, residu terlarut (TDS), residu tersuspensi (TSS), pH, total fosfat, nitrat NO3-), arsen (As), selenium (Se), kadmium (Cd), krom (Cr), tembaga (Cu), timbal (Pb), air raksa (Hg) dan H2S masih di bawah

baku mutu. Namun untuk parameter BOD dan COD, amonia (NH3), besi (Fe),

mangan (Mn), seng (Zn), khlorida (Cl), nitrit (NO3-), sulfat, minyak dan lemak, deterjen serta fenol yang terdapat pada kedua kanal melebihi baku mutu.

Berdasarkan analisis keberlanjutan pengelolaan lingkungan di PT KBN dengan menggunakan model multi dimensional scaling memperlihatkan bahwa dari lima dimensi yang dianalisis untuk menentukan status keberlanjutan PT KBN, terdapat tiga dimensi yang tergolong belum berkelanjutan (skor 50 – 75) yakni dimensi ekonomi dengan nilai indeks 61,5; dimensi sosial (53,4) dan dimensi teknologi (60,8). Sedangkan dimensi yang tergolong tidak berkelanjutan (skor < 50) adalah ekologi dengan nilai indeks 49,1. Dimensi kelembagaan merupakan dimensi yang telah berkelanjutan dengan nilai indeks 78,4. Dimensi ekologi menjadi hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam kegiatan pembangunan kawasan PT KBN karena memiliki skor yang paling rendah dan masih relatif jauh dari kondisi keberlanjutan. Berdasarkan hasil analisis MDS juga diperoleh 15 faktor pengungkit kegiatan pengelolaan lingkungan PT KBN secara berkelanjutan. Ke 15 faktor ini harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas kegiatan perusahaan. Karena secara operasional, faktor-faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor, sehingga perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan secara berkelanjutan. Namun demikian, dalam proses implementasinya diperlukan pemilihan faktor yang paling berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi sehingga kegiatan perusahaan dapat mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan oleh PT KBN.

Selanjutnya dilakukan penentuan faktor kunci dengan melibatkan semua

stakeholder yang terkait dengan kegiatan pengelolaan lingkungan di PT KBN dengan menggunakan analisis prospektif yang dilakukan secara partisipatif. Berdasarkan hasil analisis prospektif diperoleh empat faktor kunci keberhasilan pengelolaan lingkungan di PT KBN yaitu: (1) teknologi pengelolaan limbah cair, (2) partisipasi pengusaha dalam pengelolaan lingkungan, (3) ketersediaan sarana dan prasarana pengelolaan limbah padat, (4) penggunaan bahan kimia dalam proses produksi.

Berdasarkan faktor kunci tersebut, para stakeholder yang terlibat pada penelitian ini menyetujui skenario yang dapat diterapkan dalam pengelolaan lingkungan PT KBN di masa mendatang. Skenario-skenario tersebut merupakan alternatif pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan, dan terdapat lima


(6)

skenario strategi pengelolaan lingkungan PT KBN yaitu: pengembangan usaha tanpa peningkatan kinerja lingkungan, perbaikan kinerja lingkungan secara konsisten, perbaikan kinerja lingkungan dengan memperhatikan kepentingan usaha, pengembangan usaha dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan, dan perbaikan kinerja lingkungan dan kemajuan usaha secara simultan. Skenario ini dirumuskan dari hasil memasangkan berbagai kondisi (state) setiap faktor yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dalam pengelolaan lingkungan PT KBN.

Selanjutnya dibuat rumusan rancangan kebijakan pengelolaan lingkungan PT KBN yakni: pengembangan usaha tanpa peningkatan kinerja lingkungan, perbaikan kinerja lingkungan secara konsisten, perbaikan kinerja lingkungan dengan tetap memperhatikan kepentingan usaha, pengembangan usaha dengan tetap memperhatikan perbaikan lingkungan, dan perbaikan kinerja lingkungan dan kemajuan usaha secara simultan.

Pada penelitian ini juga digunakan model AHP untuk memilih kebijakan pengelolaan lingkungan yang penting untuk dilaksanakan dan lebih aspiratif dari lima alternatif skenario yang telah dirumuskan sebelumnya.

Pada level 2 (aktor) diperoleh hasil analisis yaitu manajemen PT KBN (bobot 0,454) merupakan aktor yang paling berperan dalam pengelolaan lingkungan PT KBN. Hal ini menujukkan bahwa aspirasi manajemen PT KBN menjadi fokus perhatian dalam pengelolaan lingkungan. Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah pengusaha (bobot 0,291). Pada level 3, tujuan pengelolaan lingkungan yang menjadi prioritas utama adalah: pertumbuhan ekonomi (0,364), penguatan kelembagaan (0,276). Pada level empat, kriteria dari setiap tujuan pengelolaan lingkungan, diperoleh hasil bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, aspek yang harus diprioritaskan adalah kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat (0,232) dan permintaan produk ramah lingkungan (0,094). Aspek ekologi yang menjadi prioritas adalah pencemaran air (0,098) dan penggunaan bahan kimia (0,058). Aspek sosial yang menjadi prioritas adalah frekuensi konflik antar masyarakat (0,026) dan rasio tenaga kerja (0,015). Aspek teknologi yang menjadi prioritas adalah teknologi pengelolaan limbah cair (0,049) dan teknologi pengelolaan limbah padat (0,042). Aspek kelembagaan yang menjadi prioritas adalah partisipasi pengusaha dalam pengelolaan lingkungan (0,207). Selanjutnya berdasarkan judgement semua stakeholder dan pakar pada setiap level diperoleh bobot dan prioritas alternatif kebijakan pengelolaan lingkungan PT KBN.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN

LINGKUNGAN BERKELANJUTAN PADA PT (PERSERO)

KAWASAN BERIKAT NUSANTARA

Oleh:

Albert Napitupulu

P062054714

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Penguji Luar Komisi

Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. Aji Hermawan, M.Eng 2. Dr. Ir. Sri Mulatsi, MSc

Ujian Terbuka :

1. Dr. Ir. Rudy Tambunan, MS 2. Dr. Ir. Irwandi Idris, MS


(10)

Judul Disertasi : Pengembangan Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Pada PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara Nama : Albert Napitupulu

NIM : P062054714

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, M.Eng. Ketua

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Anggota

Dr. Ir. Etty Riani, M.S. Anggota

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(11)

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas semua berkat dan kasih-Nya yang telah diberikan, maka penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsul Maarif, M.Eng sebagai ketua komisi pembimbing; Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo dan Dr. Ir. Etty Riani masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah berkenan membimbing, memberikan masukan kepada penulis serta memberikan dorongan moril mulai dari perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya disertasi ini.

Terimakasih juga disampaikan kepada jajaran Direksi PT KBN beserta staf, kepada bapak dan ibu pengelola PT KBN terutama yang ada di Divisi Lingkungan, Bapak Walikota Jakarta Utara, Bapak Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Bapak Kepala BPLHD Provinsi DKI Jakarta beserta staf, Bapak Kepala BPLHD Jakarta Utara beserta staf yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di PT KBN dan telah banyak membantu selama penulis melakukan penelitian.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada para pengusaha di Kawasan PT KBN dan LSM di Jakarta Utara yang telah ikut serta membantu pelaksanaan penelitian. Kepada Bapak Hermanus Rumajomi, Bapak Zulkifli Rangkuti dan teman-teman PS-PSL angkatan VI yang telah banyak memberikan semangat dan juga membantu pada pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi penulis juga menghaturkan terimakasih. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada para responden masyarakat, para stakeholder serta instansi terkait yang telah memberikan berbagai keterangan (data primer) pada saat FGD dan pada saat diwawancara serta telah memberikan berbagai data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini juga dihaturkan terimakasih.

Tidak ada gading yang tidak retak, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun, sangat diharapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandung, 29 September 1944 sebagai anak ke enam dari delapan bersaudara, pasangan Theopulus Napitupulu dan Bensina Siahaan. Pendidikan Sarjana strata satu ditempuh di Jurusan Ekonomi Perusahaan Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Indonesia dan lulus pada tahun 1971. Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1996 pada Program Studi Administrasi dan Kebijakan Bisnis, Universitas Indonesia. Pada tahun 2006 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis mulai bekerja pada tahun 1969 pada inspektorat wilayah daerah Pemda DKI Jakarta. Pada tahun 1971, menjadi pemeriksa keuangan pada Itwilda, Kepala Sub Inspektorat Pembangunan Itwilda tahun 1977–1987, dan Irban Pembangunan pada Itwilda tahun 1981–1987. Pada tahun 1974–1987 sebagai Staf pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Indonesia; pada tahun 1987-1996 penulis bekerja sebagai Kepala Biro Perekonomian Provinsi DKI Jakarta; pada tahun 1992-1996 sebagai Komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol; pada tahun 1993-1996 sebagai Komisaris Bank DKI Jakarta; pada tahun 1996–1997 sebagai Dirut PD Pasar Jaya; pada tahun 1997-2001 sebagai Ketua Umum Badan Kerjasama Badan Usaha Milik Daerah Seluruh Indonesia (BKS BUMDSI); pada tahun 1998-2001 sebagai Kepala Badan Kerjasama Penanaman Modal Daerah DKI Jakarta dan mulai tahun 2002 sampai sekarang penulis diangkat sebagai Komisaris PT Kawasan Berikat Nusantara

Pada tahun 1980 penulis menikah dengan Sri Nesiaty S. dan telah dikaruniai satu orang putra yakni Bram Marolop dan seorang putri yang bernama Christianty Valentine Dameria.


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 6

1.3 Kerangka Pemikiran ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

1.6 Novelty... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ... 12

2.2 Industrialisasi dan Kawasan Industri ... 14

2.3 Pengelolaan Lingkungan ... 37

2.4 Analisis Kebijakan ... 42

2.5 Hasil-hasil Penelitian yang Relevan ... 45

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 50

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50

3.2 Pendekatan Penelitian... 50

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 52

3.4 Metode Analisis Data ... 53

IV. KONDISI UMUM KAWASAN PT KBN... 62

4.1 Sejarah PT KBN ... 62

4.2 Kondisi Fisik Kawasan... 63

4.3 Kependudukan dan Sosial... 65

4.4 Perekonomian Kawasan... 67

4.5 Kesehatan Masyarakat Kawasan ... 69

4.6 Sistem Pengelolaan Lingkungan Kawasan ... 70

V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 76

5.1 Kualitas Lingkungan Kawasan ... 76

5.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan Lingkungan PT. KBN ... 104

5.3 Faktor Kunci Keberlanjutan Pengelolaan Lingkungan... 119

5.4 Skenario Pengelolaan Lingkungan Kawasan ... 122

5.5 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan ... 129

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 150

6.1 Kesimpulan ... 150

6.2 Saran ... 151

DAFTAR PUSTAKA ... 152


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan kawasan industri di beberapa negara ... 24

2 Kawasan industri yang didirikan sebelum diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 ... 26

3 Jumlah perusahaan dan luas kawasan industri di setiap provinsi (sampai dengan Desember 2000) ... 28

4 Jenis dan sumber data ... 52

5 Dimensi ekologi keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN ... 55

6 Dimensi ekonomi keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN ... 55

7 Dimensi sosial keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN ... 55

8 Dimensi teknologi keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN ... 56

9 Dimensi kelembagaan keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN ... 56

10 Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengembangan Kawasan Berikat Nusantara yang berkelanjutan ... 58

11 Skala perbandingan berpasangan ... 60

12 Mata pencaharian penduduk tahun 1996 dan 2006... 66

13 Kualitas air badan air di kanal PT KBN UUK Cakung tahun 2007 ... 78

14 Kadar maksimum logam-logam yang bersifat toksik dalam air bagi kepentingan air minum dan organisme air menurut WHO ... 84

15 Standar baku mutu air terhadap logam berat... 88

16 Parameter kualitas limbah cair perusahaan yang tidak memenuhi baku mutu limbah cair ... 90

17 Hasil pengujian limbah cair dari perusahaan di kawasan PT KBN UUK Cakung tahun 2008 ... 91

18 Kualitas udara di kawasan PT KBN Cakung ... 96

19 Tingkat kebisingan di kawasan PT KBN tahun 2007-2008 ... 99

20 Hasil analisis MDS beberapa dimensi keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN... 105

21 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai masing-masing dimensi pengelolan lingkungan PT KBN ... 106

22 Faktor pengungkit dari setiap dimensi pengelolaan lingkungan PT KBN... 118

23 Prospektif faktor kunci dalam pengelolaan lingkungan PT KBN ... 123

24 Incompatible antar keadaan (state) dari keempat faktor kunci dalam pengelolaan lingkungan PT KBN jangka waktu lima tahun... 123


(15)

1 Kerangka pemikiran... 10

2 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan... 13

3 Tahapan penelitian ... 51

4 Proses aplikasi MDS... 54

5 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem .. 58

6 Persentase pertumbuhan penduduk Kelurahan Sekapura tahun 1995-2005 ... 65

7 Tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Sekapura tahun 2007 ... 66

8 Perkembangan penerimaan dan laba PT KBN tahun 2001 – 2005.... 67

9 Jenis penyakit yang banyak diderita masyarakat Kecamatan Cilincing tahun 2005 ... 69

10 Persentase pendapat masyarakat tentang keberadaan vektor penyakit di sekitar kawasan KBN Cakung ... 70

11 Instalasi pengelolaan air limbah ... 74

12 Konsentrasi debu di kawasan PT KBN Cakung ... 97

13 Tingkat kebisingan di kawasan PT KBN Cakung ... 99

14 Limbah di sekitar drainase di kawasan PT KBN... 102

15 Status keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN ... 105

16 Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN... 107

17 Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN... 110

18 Atribut sosial yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN... 112

19 Atribut teknologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN... 113

20 Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan lingkungan PT KBN... 115

21 Pemetaan faktor pengungkit pengelolaan lingkungan PT KBN... 120

22 Bobot faktor-faktor pada setiap level penentuan kebijakan ... 126

23 Bobot masing-masing alternatif kebijakan pengelolaan lingkungan ... 127

24 Model kebijakan pengelolaan lingkungan PT KBN... 130

25 Air buangan dari IPAL PT KBN... 132

26 Kondisi air setelah ditampung dalam kolam penampungan... 133

27 Limbah padat di sekitar kawasan PT KBN ... 135

28 Limbah pada proses produksi... 141

29 Rencana area komersial Lahan C 04 Marunda PT KBN... ... 143


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Struktur organisasi... 162

2 Hasil analisis udara ambien... 163

3 Hasil analisis limbah cair investor... 165

4 Hasil analisis air limbah di kanal utara dan selatan ... 167

5 Hasil pengujian Balai Besar Pengelolaan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Jakarta di Kawasan PT KBN ... 169

6 Kontribusi PT KBN atas penyetoran dividen dan pajak tahun 2000-2008... 198

7 Hasil analisis MDS pengelolaan lingkungan PT KBN... 199

8 Kuesioner AHP ... 202

9 Hasil AHP pengelolaan lingkungan PT KBN ... 216

10 Foto IPAL... 217

11 Pemantauan kualitas udara... 218


(17)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang paling ideal dan diharapkan oleh semua pihak. Hal ini disebabkan pembangunan berkelanjutan akan memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang (Djajaningrat, 2001) dengan prinsip yang ditekankan pada pemerataan dari waktu ke waktu dan dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Pearce, 1989). Kondisi tersebut dapat tercapai mengingat pembangunan berkelanjutan ini bukan hanya memperhatikan keuntungan ekonomi semata, namun juga memperhatikan aspek lainnya, yakni aspek sosial dan aspek ekologi (Munasinghe, 1993). Adanya perhatian terhadap aspek ekologi ini mengindikasikan bahwa perlindungan terhadap fungsi lingkungan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan.

Pembangunan berwawasan lingkungan berperan penting untuk menimbulkan dampak positif pada bidang ekonomi secara berkesinambungan dan dapat dirasakan baik oleh masyarakat di wilayah itu sendiri hingga taraf nasional. Namun demikian, pandangan terhadap pembangunan berkelanjutan ini seringkali masih sempit baik dalam melihat aspek ekologi, maupun aspek sosial. Oleh karena itu maka pandangan terhadap aspek ekologi dan sosial terutama aspek sosial antar generasi harus diperluas dengan keadilan dalam setiap generasi (Schmidheiny, 1995). Bahkan menurut Riani et al. (2007) konsep pembangunan berkelanjutan ini pada umumnya masih merupakan slogan yang belum diimplementasikan dengan baik di lapangan, sehingga dari pembangunan yang dilakukan sampai saat ini muncul dampak-dampak negatif yang berakibat sangat buruk pada lingkungan, baik skala lokal maupun skala nasional.

Hal tersebut telah terjadi di berbagai daerah, sebagai contoh di Kabupaten Bandung yang merupakan daerah yang mempunyai cukup banyak kegiatan, mengakibatkan terjadinya pencemaran limbah organik dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) pada sungai-sungai yang mengalir di Kabupaten dan Kota Bandung (BPLHD Jabar, 2004). Laporan ADB (2006) menyatakan bahwa industri tersebut telah mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan pada DAS Citarum bagian hulu. Namun demikian, cukup banyak


(18)

2

juga perusahaan yang berupaya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, salah satunya adalah PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara (PT KBN). Pada dasarnya keterkaitan antara dunia usaha dan lingkungan telah disadari sejak dilaksanakannya Conference on Human and Environmental oleh PBB pada tahun 1972 di Stockholm yang melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan (Djajadiningrat, 2001). Berdasarkan hal itu maka PT KBN mengindikasikan perusahaan yang berupaya untuk mengimplementasikan keterkaitan antara keduanya.

Usaha pokok PT KBN adalah mengelola kawasan industri terpadu berstatus berikat (export processing zone), kawasan industri non berikat, jasa logistik yang meliputi jasa angkutan, mekanik dan dokumen (forwarding), pergudangan (warehousing) serta layanan jasa lain kepada investor di dalam kawasan. Untuk pengembangan kedepan, PT KBN juga melaksanakan beberapa Strategi Bisnis Unit (SBU), yang berada di Kawasan Cakung, Marunda dan Tanjung Priuk, meliputi; SBU Logistik, SBU Bengkel, SBU Pelayanan Kesehatan, SBU Kebersihan Kawasan, SBU Pengelolaan Air Bersih, SBU Properti Non Industri, SBU Teknologi Informasi (TI), SBU Kepelabuhanan, SBU Instalasi Karantina Impor Komoditas Pertanian dan SBU Instalasi Fumigasi Kontainer Ekspor. Pemegang saham PT KBN ini adalah Negara Republik Indonesia (88,73%) dan Pemerintah DKI Jakarta (11,27%).

Visi PT KBN adalah menjadi kawasan industri dengan layanan jasa properti dan logistik yang ramah lingkungan, pilihan utama dan terpercaya. Adapun misinya adalah untuk menunjang program pemerintah dalam menyelenggarakan kawasan industri dengan layanan jasa properti dan logistik yang ramah lingkungan, mengutamakan ekspor non migas serta beriklim usaha kondusif sehingga para pengusaha dapat beroperasi secara efisien serta mampu menghimpun laba agar dapat membiayai pengembangan dan memberikan imbalan yang layak kepada pihak terkait (stakeholders). Tujuan utama PT KBN adalah aktif melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya serta pembangunan di bidang perdagangan dan jasa serta bidang usaha lain pada khususnya dengan menerapkan prinsip-prinsip perseroan terbatas.

Berdirinya PT KBN tentu membawa dampak yang sangat positif di bidang ekonomi, dalam hal ini menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, sehingga dapat mengurangi pengangguran yang hingga saat ini merupakan masalah


(19)

nasional yang belum terpecahkan, meningkatkan nilai ekonomi tanah di lokasi tersebut, menumbuh kembangkan usaha-usaha di masyarakat sekitar seperti membuka berbagai usaha di bidang penjualan makanan, usaha wartel, tempat kost, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan harapan Departemen Perindustrian (2005) yang mengharapkan peran serta industri dalam pembangunan ekonomi untuk memperluas kesempatan kerja, menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, menghasilkan devisa melalui ekspor dan menghemat devisa melalui substitusi produk impor. Kondisi ini tentu akan semakin mendukung laju pertumbuhan industri sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat. Menurut Arsyad (1989) kenaikan pendapatan dan daya beli masyarakat ini menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan sehatnya perekonomian suatu negara.

Berdirinya PT KBN telah mengakibatkan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan sehatnya perekonomian. Dalam visi dan misinya, PT KBN berupaya untuk menjadi perusahaan yang ramah lingkungan. Namun demikian, di lokasi PT KBN juga terdapat industri yang mengeluarkan bahan pencemar yang mengandung limbah B3 seperti dari kegiatan pencucian (washing), pewarnaan (colouring), elektronik dan meubel, yang memungkinkan terjadinya degradasi terhadap lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan pencucian, pewarnaan, dan pencelupan paling dominan menghasilkan limbah cair yang banyak mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dapat merusak lingkungan. Menurut data PT KBN ( 2006) hanya 5% dari perusahaan yang berada di lokasi PT KBN yang sudah mempunyai instalasi pengolah air limbah (IPAL) yang memadai. Hal ini mengakibatkan limbah (terutama limbah cair) yang dihasilkan dari perusahaan-perusahaan yang berlokasi di PT KBN dibuang ke lingkungan tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu, sehingga kualitas limbah yang dihasilkan dan kualitas badan air tempat membuang limbah cair, jauh di atas ambang baku mutu yang ditentukan.

Pembuangan limbah cair terutama dari sebagian kegiatan industri di PT KBN yang dibuang langsung ke lingkungan atau yang hanya mengalami pengolahan alakadarnya seperti yang terjadi di kawasan PT KBN akan dapat menimbulkan masalah pada kerusakan lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem, yang pada akhirnya akan mengganggu kelestarian lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allenby (1999) bahwa industri yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan


(20)

4

mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan ini tidak hanya terjadi di wilayah PT KBN namun dapat berakibat pada terjadinya kerusakan yang berskala regional, bahkan memungkinkan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan yang ruang lingkupnya menjadi skala nasional. Untuk itu maka persoalan limbah cair dari berbagai usaha yang terdapat di PT KBN ini perlu segera dipelajari dengan seksama.

Menurut Sunu (2001) limbah cair yang dihasilkan dari perusahaan manapun, tidak terkecuali pada perusahaan-perusahaan yang berlokasi di PT KBN pada umumnya akan dibuang masuk ke dalam ekosistem perairan, terutama ke dalam sungai yang berlokasi di kawasan tersebut seperti Kali Adem, Sungai Cakung (Cakung Drain), Kali Blencong, dan Kali Tiram. Oleh karena itu akibat dari pembuangan limbah ke dalam ekosistem sungai ini akan mengakibatkan terjadinya pencemaran pada ekosistem sungai dan ekosistem pesisir terutama di wilayah pesisir Kota Jakarta Utara yang merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai tersebut. Oleh karena itu, dalam rangka mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang berkepanjangan, maka harus segera dilakukan studi mengenai dampak pembuangan limbah dari PT KBN terhadap ekosistem perairan tempat membuang dan tempat bermuaranya limbah dari PT KBN.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup telah menerbitkan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan yang harus dilakukan oleh perusahaan. Peraturan tersebut antara lain adalah: 1). Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, 2). Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, Kepmen LH No. 17 tahun 2001 tentang jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL, 3). Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 2863/2001 tentang jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL, PP N0. 12 tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3, PP N0. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, 4). Surat Keputusan (SK) Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-51/MENLH/10/1994, tentang baku mutu air limbah, 5). SK Kepala Bapedal No. 8 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses analisis dampak lingkungan hidup.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) juga telah mengeluarkan: 1) Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan dan Pajak


(21)

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, 2) SK Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta N0. 551/2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Propinsi DKI Jakarta, 3) SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta N0. 582/1995 tentang Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai serta Baku Mutu Air Limbah Udara DKI Jakarta beserta lampirannya, 4) SK Gubernur DKI Jakarta N0. 30 tahun 1999 tentang Izin Pembuangan Limbah Cair, dan 5) SK Gubernur DKI Jakarta N0. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara serta SK Gubernur DKI Jakarta N0. 11 tahun 2005 tentang Pelaksanaan Manajemen Lingkungan Kawasan.

Namun pada kenyataannya pencemaran masih juga terjadi di berbagai tempat. Oleh karena itu ada dugaan kuat bahwa kebijakan yang ada saat ini masih belum mengikat atau belum bersifat operasional. Hal yang tidak kalah pentingnya yang harus segera dilakukan adalah mempelajari kebijakan yang sudah ada dan merancang kembali kebijakan yang bersifat menyeluruh dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, ekologi dan aspek teknis dengan melibatkan seluruh jajaran yang terkait (lintas sektor), sehingga mudah diintegrasikan, dalam rangka melakukan pengelolaan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di PT KBN.

Terdapat keterkaitan fungsional antara aspek ekologi dengan ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan PT KBN. Keseluruhan aspek tersebut penting dikaji secara terpadu dalam upaya mencapai pengelolaan lingkungan PT KBN yang berkelanjutan. Kualitas lingkungan dipengaruhi oleh ketersediaan teknologi pengolahan limbah, kapabilitas kelembagaan manajemen PT KBN dalam menerapkan teknologi dan mengikuti peraturan yang ada, partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan, dan investasi yang diperlukan untuk menjamin keberlanjutan usaha dan kualitas lingkungan. Keberlanjutan tersebut dicapai melalui sinergi kegiatan antara manajemen PT KBN, investor, dan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan. Dalam rangka mencapai hal tersebut serta dalam rangka mewujudkan pembangunan PT KBN yang berkelanjutan, maka perlu dibuat rancang bangun model kebijakan pengelolaan lingkungan PT KBN yang bersifat holistik dan berkelanjutan.


(22)

6

1.2. Perumusan Masalah

PT KBN mempunyai visi dan misi yang sangat mulia yakni akan menjadikan kawasan industri yang ramah lingkungan dan sekaligus akan menunjang program pemerintah dalam penyelenggaraan berbagai kegiatannya yang ramah lingkungan. Perusahaan ini juga sudah mendatangkan berbagai manfaat ekonomi seperti mengurangi jumlah pengangguran, meningkatkan pendapatan daerah, yang berarti pula bahwa perusahaan ini relatif akan meningkatkan pendapatan nasional, menumbuh kembangkan usaha-usaha terutama di masyarakat sekitar, dan sebagainya. Selain itu, perusahaan ini serta beberapa investor yang beroperasi di dalamnya juga sudah melakukan berbagai upaya pengelolaan lingkungan, di antaranya melakukan studi mengenai rencana pemantauan lingkungan (RPL) dan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) serta secara rutin melakukan upaya pemantauan lingkungan (UPL) dan melakukan upaya pengelolaan lingkungan (UKL).

Namun pada kenyataannya di lokasi PT KBN, baik di udara maupun perairan tempat membuang limbah cairnya, masih menunjukkan terjadinya pencemaran; bahkan kondisi ekosistem perairan terutama sungai dan pesisir tempat bermuara limbah dari PT KBN saat ini sudah tercemar berat (Riani et al., 2004) dan sudah melewati kapasitas asimilasinya (Anna, 2000), bahkan untuk limbah B3 telah jauh di atas kapasitas asimilasinya (Riani et al., 2004). Di lain pihak, pencemaran tersebut juga akan semakin meningkat dengan berkembangnya investor yang beroperasi di dalamnya. Salah satu penyebab dari timbulnya pencemaran ini adalah karena masih banyak perusahaan yang langsung membuang limbah cairnya ke dalam ekosistem perairan, atau kalaupun sudah diolah, pengolahannya masih bersifat alakadarnya. Selain itu data yang ada juga masih terbatas pada laporan RPL, laporan RKL, UPL dan UKL.

Sistem pengembangan kawasan industri terpadu berwawasan lingkungan akan efektif apabila kebutuhan diantara stakeholders dapat terpenuhi dan menyelesaikan masalah yang timbul dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Formulasi permasalahan disusun dengan cara mengevaluasi keterbatasan sumberdaya yang dimiliki dan atau adanya konflik kepentingan di antara

stakeholders dalam mencapai tujuan sistem. Pengembangan PT. KBN memiliki potensi terjadinya konflik kepentingan, jika tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan bijaksana. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan pengembangan PT KBN dapat diformulasikan sebagai berikut:


(23)

1. Keterbatasan kepemilikan dan akses permodalan PT KBN untuk kegiatan operasi dan pengembangan usaha dalam menyediakan lahan, berdampak pada rendahnya posisi tawar.

2. Keterbatasan sumberdaya manusia dalam pengetahuan peralatan dan teknologi pengolahan limbah cair pengelola PT KBN berdampak pada rendahnya inovasi dan kreativitas pengolahan limbah cair.

3. Keterbatasan kemampuan investor menerapkan teknologi berwawasan lingkungan untuk menjalankan produksi, sehingga tingkat pencemaran tinggi. 4. Perencanaan bersifat sektoral dan parsial, belum mengakomodisasikan

kebutuhan stakeholder, berakibat rendahnya kerjasama lintas sektoral. 5. Tekanan penduduk, tuntutan perkembangan ekonomi daerah yang semakin

dinamis, serta tingginya permintaan konsumsi barang, mengakibatkan permintaan terhadap lapangan kerja dan jumlah angkatan kerja.

6. Hukum dan kelembagaan yang tidak operasional dan tidak konsisten dalam pelaksanaan (debirokratisasi).

7. Keterbatasan akses informasi dan pemasaran dari pengelola PT KBN, berdampak pada rendahnya pangsa pasar dan pendapatan.

8. Keterbatasan infrastruktur usaha seperti: energi listrik, perijinan, komunikasi, gas, perpajakan, retribusi berdampak kurang kondusifnya iklim usaha.

Studi yang sudah dilakukan terbatas pada membuat model untuk memprediksi kecenderungan perkembangan industri, penduduk, perumahan dan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh Hasmanto (2001). Studi yang menyeluruh terutama yang mengarah pada model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan kajian kebijakan di lokasi PT KBN sampai saat ini belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, fokus permasalahan yang dapat diformulasikan dan harus segera dicari jawabannya adalah:

1. Bagaimana kondisi kualitas lingkungan di kawasan PT KBN?

2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di PT KBN?

3. Faktor apa yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan PT KBN secara berkelanjutan?

4. Alternatif kebijakan apa yang ideal dan bersifat operasional di kawasan PT KBN dalam rangka menciptakan PT KBN yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sesuai dengan visi dan misi PT KBN?


(24)

8

1.3. Kerangka Pemikiran

PT KBN merupakan pengelola kawasan industri, jasa pergudangan dan pelayanan logistik yang mempunyai lahan seluas 382,76 ha di Wilayah Marunda, ±198 ha di Wilayah Cakung dan 8 ha di Wilayah Tanjung Priok. Menurut rencana jangka panjang perusahaan (RJPP) 2005 - 2009 sejalan dengan perkembangan dunia usaha, PT KBN akan melakukan reposisi bisnis dan mengembangkan usahanya menjadi sebuah kawasan terpadu modern yang didukung fasilitas-fasilitas penunjangnya antara lain pembangunan depo kontainer, pusat bisnis, pelabuhan, dan sebagainya. Pesatnya perkembangan industri seperti yang terjadi di kawasan PT KBN ini, selain memberikan manfaat positif dalam meningkatkan ekonomi, juga telah menimbulkan dampak negatif berupa terjadinya pencemaran lingkungan. Oleh karena itu maka studi mengenai masalah ekologi, sosial dan ekonomi di kawasan PT KBN merupakan hal yang cukup menarik.

Berbagai kalangan telah melakukan penelitian di wilayah PT KBN, dengan topik penelitian seperti masalah sosial, masalah pencemaran perairan pelabuhan, masalah rendahnya hasil tangkapan di perairan sekitar kawasan PT KBN, masalah terjadinya kematian ikan yang diduga akibat dari pembuangan limbah cair dari kawasan PT KBN dan sebagainya. Namun demikian kajian mengenai pengelolaan lingkungan PT KBN dirasakan masih minim dan kajian tentang alternatif kebijakan yang mudah diaplikasikan di kawasan PT KBN dalam rangka menciptakan PT KBN yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sesuai dengan visi dan misi PT KBN serta kajian tentang sistem kebijakan pengelolaan lingkungan yang ideal dan bersifat operasional di PT KBN malah belum pernah dilakukan.

Kajian tentang model pengelolaan di kawasan PT KBN merupakan kajian yang sangat diperlukan dalam rangka memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi di kawasan tersebut serta dalam rangka menciptakan PT KBN yang ramah lingkungan. Untuk itu dalam rangka memecahkan berbagai persoalan lingkungan yang semakin serius dan makin kompleks serta dalam rangka menciptakan kawasan PT KBN yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan penelitian untuk mewujudkan suatu pengembangan model kebijakan pengelolaan lingkungan PT KBN yang berkelanjutan. Berbagai faktor yang mempengaruhi lingkungan pada kawasan PT KBN perlu dikaji karena merupakan faktor yang menentukan kualitas lingkungan. Faktor tersebut adalah


(25)

kondisi sosial ekonomi masyarakat, karakteristik lokasi kawasan, jumlah dan jenis pabrik yang beroperasi di dalam kawasan, ketersediaan instalasi pengelolaan limbah, dan teknologi yang digunakan.

Saat ini telah ditetapkan berbagai peraturan pengelolaan lingkungan kawasan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Namun demikian, hasil pemantauan dan laporan kualitas lingkungan kawasan masih menunjukkan adanya pencemaran. Hal ini menunjukkan bahwa perlu dikaji apakah telah diterapkan dengan baik atau masih terdapat kendala operasional. Di samping, kebijakan pengelolaan lingkungan yang ada saat ini perlu dikaji relevansinya dengan sistem pengembangan kawasan berikat yang dikelola oleh pihak manajemen sementara pelaku pencemaran adalah pihak perusahaan dan masyarakat di sekitar kawasan.

Berdasarkan kondisi tersebut, kajian mengenai keberlanjutan pengelolaan lingkungan pada PT KBN diperlukan. Keberlanjutan ini dilihat dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Dasar penentuan keberlanjutan adalah kebijakan pengelolaan lingkungan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Apabila PT KBN telah mencapai status keberlanjutan dalam pengelolaan lingkungan, maka langkah selanjutnya adalah optimalisasi pengelolaan lingkungan. Apabila belum mencapai tingkat keberlanjutan yang diharapkan, maka diperlukan kajian mengenai faktor kunci keberlanjutan pengelolaan kawasan. Faktor kunci tersebut merupakan basis dalam perumusan skenario kebijakan pengelolaan lingkungan.

Kebijakan pengelolaan kawasan PT KBN dirumuskan dalam bentuk skenario pengelolaan lingkungan secara partisipatif. Setiap skenario ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan stakeholder dan memperhatikan kondisi pengelolaan lingkungan PT KBN yang ada saat ini. Rumusan skenario tersebut mencerminkan keadaan masa depan pengelolaan lingkungan pada PT KBN yang diharapkan dari setiap indikator keberlanjutan.

Selanjutnya skenario pengelolaan lingkungan tersebut dalam implementasinya perlu prioritas sehingga memudahkan bagi pengambil keputusan dan pelaksana. Penentuan prioritas skenario dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan stakeholder dan pakar. Skenario terpilih merupakan rekomendasi bagi pihak manajemen PT KBN dan semua stakeholder lainnya dalam pengelolaan lingkungan kawasan di masa mendatang. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(26)

10

PT KBN

Jumlah dan Jenis Pabrik

Teknologi Pengelolaan Limbah Karakteristik

lokasi kawasan Kondisi Sosial

Eknomi Masyarakat

Kebijakan Pengelolaan

Lingkungan Kualitas

Lingkungan Kawasan

Optimalisasi Kinerja Lingkungan PT KBN

Faktor Kunci Keberlanjutan

Pengelolaan Lingkungan

Model Pengelolaan Lingkungan Kawasan PT KBN Pengelolaan

Lingkungan PT KBN yang Berkelanjutan

Prioritas Pengelolaan Lingkungan kawasan

PT KBN

SDM

Dimensi Keberlanjutan: ►Ekologi ►Ekonomi ►Sosial ►Teknologi ►Kelembagaan

Gambar 1. Kerangka pemikiran

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model kebijakan pengelolaan lingkungan PT KBN yang berkelanjutan. Tujuan tersebut akan dicapai melalui beberapa tahapan kegiatan yakni:

1. Mengkaji kondisi eksisting kualitas lingkungan di kawasan PT KBN 2. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di PT KBN 3. Menganalisis faktor kunci pengelolaan lingkungan PT KBN secara partisipatif 4. Merumuskan skenario kebijakan pengelolaan lingkungan yang mudah

diaplikasikan di kawasan PT KBN dalam rangka menciptakan PT KBN yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.


(27)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat untuk:

1. llmu pengetahuan dalam rangka pengembangan dan aplikasi cara berpikir sistem dan metodologi yang dapat digunakan untuk penyelesaian berbagai permasalahan melalui pendekatan sistem dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan pada kawasan industri.

2. Didapatkan alternatif kebijakan pengelolaan lingkungan yang akan mendukung terlaksananya pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di kawasan PT KBN.

3. Menjadi masukan bagi Pemerintah DKI Jakarta dalam rangka menentukan pengelolaan dan pengembangan kawasan industri yang berwawasan lingkungan.

1.6. Novelty

Novelty (kebaruan) dalam penelitian ini terdiri dari dua hal yaitu: (1) kebaruan dari segi metode merupakan perpaduan secara komperhensif dan partisipatif dari beberapa metode analisis untuk menyusun pengembangan kebijakan pengelolaan lingkungan berkelanjutan PT KBN, dan (2) kebaruan dari segi hasil penelitian adalah mengembangkan pembangunan PT KBN yang berkelanjutan dilihat dari segi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan kelembagaan serta tersusunnya skenario strategi untuk mewujudkan Kawasan Ekonomi Khusus di DKI Jakarta.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan

Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.

Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya united nation conference on the human environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Komisi Burtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Untuk mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti pada Gambar 2.

Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Seralgedin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien.


(29)

Gambar 2. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan (Seralgedin, 1996) Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Sedangkan berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.

Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Sedangkan dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.


(30)

14 Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan antara lain: CIFOR mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.

Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergi dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan.

Dengan demikian, perlu disadari bahwa upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif melainkan juga bersifat preventif. Di masa depan, upaya-upaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diprioritaskan, dan hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi ekonomi maupun melalui proses-proses peraturan dan penataan penggunaan lahan (Setiawan, 2003).

2.2Industrialisasi dan Kawasan Industri

Secara harfiah makna industrialisasi lebih mengarah pada suatu proses atau kegiatan industri yang tengah berlangsung, sedangkan perkembangan industrialisasi dapat dilihat secara langsung dari meningkatnya jumlah pembangunan industri dan investasi yang menyertainya (Soerjani et al., 1987).

Peran sektor industri dalam pembangunan ekonomi adalah memperluas kesempatan kerja, menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, menghasilkan devisa melalui ekspor dan menghemat devisa melalui substitusi produk impor (Departemen Perindustrian, 2005). Pertumbuhan industri yang


(31)

pesat selain akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahan baku, juga merangsang pengembangan sektor jasa seperti; lembaga keuangan, pemasaran, perdagangan, periklanan dan transportasi. Kesemua sektor jasa tersebut akan mendukung laju pertumbuhan industri yang dapat menyebabkan meluasnya kesempatan kerja yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat. Kenaikan pendapatan dan daya beli, menunjukkan perekonomian itu tumbuh dan sehat (Arsyad, 1999).

Perkembangan industrialisasi yang diikuti dengan pembangunan fisik yang semakin meningkat, tanpa didukung oleh usaha kelestarian lingkungan akan mempercepat proses kerusakan alam (Sunu, 2001). Hal itu dapat ditandai dengan berkurangnya beberapa biota darat maupun laut serta spesies di daerah-daerah. Djajadiningrat (2001) menyatakan bahwa industrialisasi dapat mempengaruhi transformasi struktur sosial, seperti urbanisasi, karena industri yang dikembangkan bersifat padat karya. Sebagai contoh industri yang padat karya adalah industri hasil laut dan karet yang cenderung mempekerjakan tenaga kerja relatif banyak, disamping memiliki potensi meningkatkan nilai tambah melalui kegiatan ekspor.

Perkembangan industri yang pesat dewasa ini tidak lain karena penerapan kemajuan teknologi oleh manusia guna mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Kualitas hidup semakin baik membutuhkan barang dan jasa yang semakin banyak akibat dorongan peningkatan kesejahteraan material (Allenby, 1999).

Industrialisasi juga tidak terlepas dari usaha untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan kemampuannya untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya lain secara optimal. Hal ini berarti industrialisasi sebagai suatu usaha meningkatkan produktivitas tenaga kerja manusia disertai usaha untuk memperluas ruang lingkup kegiatan manusia. Pembangunan industri dapat mempengaruhi dan mengubah cara pandang masyarakat agraris yang beranggapan bahwa sektor industri adalah segalanya. Kondisi tersebut akan kurang tepat bila sektor pertanian masih mempunyai daya dukung lingkungan yang baik dan berpotensi untuk dikembangkan. Cara pandang masyarakat yang kurang tepat tersebut akan mendorong proses urbanisasi yaitu masyarakat agraris meninggalkan lahan pertaniannya pindah ke kota industri dengan bekal keterampilan yang kurang memadai (Allenby, 1999).


(32)

16 Dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh kegiatan industri dan teknologi adalah terjadinya pencemaran udara, air dan tanah. Ketiga jenis pencemaran ini akan mengurangi daya dukung lingkungan. Dalam hal ini dituntut peran studi AMDAL sesuai penerapannya. Untuk itu dibutuhkan komitmen semua pihak untuk menjaga kelestarian lingkungan agar generasi yang akan datang tidak mewarisi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tindakan manusia saat ini dan dapat menaikan tingkat sosial ekonomi masyarakat (Soemarwoto, 2001).

Menurut Allenby (1999) terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembangunan industri, antara lain:

1. Lokasi industri diarahkan pada tempat yang sesuai dengan perkembangan wilayah dilihat dari segi pemahaman penduduk, tersedianya sumberdaya dan sarana lainnya. Disamping itu perlu diingat beberapa jenis industri baik besar maupun kecil menghendaki syarat-syarat letak tertentu.

2. Pemanfaatan sumberdaya alam yang sesuai dengan jenis industri agar terjadi pertumbuhan industri yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial. 3. Kegiatan produksi yang semakin meningkat di samping menghasilkan alat

pemenuhan kebutuhan berupa barang dan jasa juga menghasilkan pence-maran dan ikutannya. Pencepence-maran industri akan menurunkan kualitas tanah, udara dan air, memberikan dampak negatif pada kesehatan manusia.

Soemarwoto (2001) mengatakan bahwa dalam kualitas lingkungan yang baik terdapat potensi untuk berkembangnya kualitas hidup yang tinggi. Namun kualitas hidup sifatnya subyektif dan relatif. Oleh sebab itu, kualitas lingkungan sifatnya subyektif dan relatif. Lebih jauh Soemarwoto (2001) mengemukakan bahwa kualitas hidup dapat diukur dengan 3 kriteria, yaitu:

1. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup sebagai makhluk hayati. Kebu-tuhan ini bersifat mutlak, didorong oleh keinginan manusia untuk menjaga kelangsungan hidup hayatinya. Kelangsungan hidup hayati tidak hanya me-nyangkut dirinya, melainkan juga masyarakat dan terutama keturunannya. Kebutuhan ini terdiri atas udara, air, pangan, kesempatan untuk mendapatkan keturunan serta perlindungan terhadap serangan penyakit dan sesama manusia. Kebutuhan hidup ini dalam keadaan terpaksa mengalahkan kebutuhan hidup yang lain.

2. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup ini bersifat relatif, walaupun ada kaitan dengan kebutuhan hidup jenis pertama di


(33)

atas. Di dalam kondisi iklim Indonesia, rumah dan pakaian, bukanlah kebu-tuhan yang mutlak untuk kelangsungan hidup hayati, melainkan kebukebu-tuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan hidup manusiawi yang lain adalah pendi-dikan, agama, seni dan kebudayaan.

3. Derajat kebebasan untuk memilih. Dalam masyarakat yang tertib, derajat kebebasan dibatasi oleh hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Jika dikaitkan antara kualitas lingkungan dengan kualitas hidup yang diukur berdasarkan tiga kriteria tersebut, maka kualitas lingkungan dapat diukur. Kualitas lingkungan dapat diartikan sebagai kondisi lingkungan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Semakin tinggi derajat kemampuan Iingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, semakin tinggi pula kualitas hidup dan sebaliknya. Semakin memburuknya kualitas lingkungan maka semakin tinggi dan berat biaya pencapaian tujuan pembangunan yang diinginkan.

2.2.1 Kawasan Industri dan Kawasan Berikat

Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang industri bahwa kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Tujuan kegiatan industri adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan rnerata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, atau hasil budidaya serta memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Untuk mengembangkan kegiatan industri yang baik, perlu ditetapkan suatu daerah tertentu di wilayah Indonesia sebagai kawasan industri berdasarkan tata ruang yang ditetapkan pernerintah setempat dilengkapi dengan sarana dan prasarana.

Definisi kawasan industri atau industrial estate atau sering disebut

industrial park menurut National industrial Zoning Committee’s USA (1967), adalah sebuah kawasan industri di atas tanah yang cukup luas, yang secara administrasi dikontrol oleh seorang atau sebuah lembaga yang cocok untuk kegiatan industri karena lokasinya, topografinya, zoning yang tepat, ketersediaan semua infrastrukturnya (utilitas), dan kemudian aksesibilitas transportasi.

Menurut Industrial Development Handbook dari ULI-the Urban Land Institute, Washington DC (1975), kawasan industri adalah suatu daerah atau


(34)

18 kawasan yang biasanya didominasi oleh aktivitas industri. Kawasan industri biasanya mempunyai fasilitas kombinasi yang terdiri atas peralatan-peralatan pabrik (industrial plants), penelitian dan laboratorium untuk pengembangan, serta prasarana lainnya seperti fasilitas sosial dan umum yang mencakup perkantoran pemerintahan dan swasta, bank, perumahan, sekolah, tempat ibadah, ruang terbuka dan lainnya.

Istilah kawasan industri di Indonesia digunakan sebagai tempat pemusatan kelompok perusahaan industri dalam suatu areal tersendiri. Sebelumnya, pengelompokan industri yang demikian disebut "lingkungan industri". Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 belum mengenal istilah lingkungan industri, zona industri atau kawasan industri. UUPA No. 5 pasal 14 baru mengamanatkan pemerintah untuk menyusun rencana umum persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah serta baru menyebut sasaran peruntukan tanah yaitu untuk keperluan pengembangan industri, transmigrasi dan pertambangan.

Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, tidak digunakan istilah "lingkungan industri" dan "kawasan industri". Istilah yang diper-gunakan Undang-undang No. 5 Tahun 1984 dalam pengaturan untuk suatu pusat pertumbuhan industri adalah "wilayah industri". Istilah kawasan industri baru disebut dalam Keppres No. 53 Tahun 1989 (kini diganti dengan Keppres 41 Tahun 1996) tentang Kawasan Industri, dan dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1990 tentang Pendirian Perusahaan (persero) dalam Bidang Pengelolaan Kawasan Industri tertentu yang diberikan sebagai Kawasan Berikat, serta dalam Keppres No. 32 dan No. 33 Tahun 1990 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah Bagi Kawasan Industri.

Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang bersangkutan. Zona industri adalah satuan geografis sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya kegiatan industri, baik berupa industri dasar maupun industri hilir berorientasi kepada konsumen akhir dengan populasi tinggi sebagai penggerak utama yang secara keseluruhan membentuk berbagai kawasan yang terpadu dan beraglomerasi dalam kegiatan ekonomi dan memiliki daya ikat spasial (KEPPRES 41/1996).


(35)

Perusahaan kawasan industri adalah perusahaan yang merupakan badan hukum yang didirikan menurut hukum dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola kawasan industri. Perusahaan kawasan industri wajib melakukan kegiatan; penyediaan atau penguasaan tanah, penyusunan rencana tapak tanah, rencana teknis kawasan, penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan, penyusunan tata tertib kawasan industri, pernatangan tanah, pemasaran kapling industri, dan pembangunan serta pengadaan prasarana dan sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi atau peralatan yang diperlukan (KEPPRES 41/1996).

Perusahaan kawasan industri sebelum melakukan kegiatan penyediaan tanah, harus memperoleh persetujuan prinsip, dengan ketentuan sebagai berikut: bagi perusahaan kawasan industri yang penanaman modalnya tidak berstatus PMA/PMDN, diijinkan oleh Menteri, dan bagi perusahaan kawasan industri yang penanaman modalnya berstatus PMA/PMDN diberikan oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri. Perusahaan kawasan industri yang sudah memperoleh persetujuan prinsip wajib memperoleh ijin lokasi kawasan industri dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat. Pemberian ijin lokasi kepada perusahaan kawasan industri dilakukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan pemerintah daerah setempat. Ijin lokasi diberikan dalam rangka mengalokasikan lahan untuk kegiatan pembangunan kawasan industri yang berasal dari tanah pertanian maupun non pertanian. Ijin lokasi berfungsi untuk memperoleh tanah yang sekaligus sebagai ijin pengeluaran terhadap tanah-tanah obyek landreform

(KEPPRES 32/1990).

Berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri, ditegaskan bahwa pencadangan tanah dan/atau pemberian ijin lokasi dan ijin pembebasan tanah bagi setiap perusahaan kawasan industri, dilakukan dengan ketentuan: 1) tidak mengurangi areal pertanian, 2) tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumber alam dan warisan budaya, 3) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan pemerintah daerah setempat. Dalam Keppres tersebut secara jelas dikemukakan bahwa pencadangan areal industri tidak dilakukan terhadap lahan pertanian. Hal ini berarti secara yuridis ada larangan untuk konversi lahan sawah beririgasi teknis menjadi tanah non-pertanian khususnya untuk kawasan industri.


(36)

20 Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 1996 disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing produk ekspor di pasaran global, diperlukan antara lain peningkatan efisiensi dengan mendekatkan persediaan bahan baku bagi kebutuhan industri dalam negeri yang tepat waktu, serta tersedianya sarana promosi untuk mendukung pemasarannya. Ada beberapa istilah yang dinyatakan dalam PP tersebut, yakni:

1. Kawasan berikat adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batasan-batasan tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengelolaan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama ditujukan untuk ekspor. 2. Gudang berikat adalah: suatu bangunan atau tempat dengan

batasan-batasan tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha penimbunan, pengemasan, penyortiran, pengepakan, pemberian merek/label, pemotongan, atau kegiatan lain dan fungsinya sebagai pusat distribusi barang-barang asal impor untuk tujuan dimasukkan ke daerah pabean Indonesia lainnya, kawasan berikat atau di ekspor tanpa adanya pengolahan. 3. Penyelenggara adalah perseroan terbatas, koperasi yang berbentuk badan

hukum, atau yayasan, yang memiliki, mengusai, mengelola, dan menyediakan sarana dan prasarana guna keperluan pihak lain yang melakukan kegiatan usaha di tempat penimbunan berikat yang diselenggaraknnya berdasarkan izin untuk menyelenggarakan tempat penimbunan berikat.

Kawasan Berikat memiliki fasilitas kawasan pengolahan ekspor atau

export processing zone (EPZ) dan pergudangan berikat atau bonded warehause

(BW). Dengan demikian perlakuan bahan baku atau barang di Kawasan Berikat berbeda dengan di Kawasan Industri lainnya, terutama di bidang kepabeanan. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun 1986, kawasan berikat merupakan suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah Pabean Indonesia, yang didalamnya diberlakukan ketentuan khusus, sehingga setiap bahan baku atau barang yang masuk dan diolah serta disimpan mengalami perlakuan sebagai berikut :

1) Bahan baku atau barang yang berasal dari luar Wilayah Pabean Indonesia: (a) tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai dan atau pungutan


(37)

negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan import ke daerah pabean Indonesia lainnya, (b) tanpa dikenakan pungutan bea, cukai, dan atau pungutan negara lainnya, jika barang-barang tersebut dikeluarkan dengan tujuan reexport tanpa diolah, dan (c) tanpa dikenakan pungutan bea, cukai, dan atau pungutan negara lainnya, jika barang-barang tersebut dikeluarkan dengan tujuan export setelah diolah didalam kawasan berikat.

2) Bahan baku barang yang berasal dari dalam Wilayah Pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai dan atau pungutan negara lainnya sampai barang-barang tersebut dikeluarkan dari kawasan berikat.

3) Bahan baku atau barang yang dimasukkan ke dalam kawasan berikat tidak terkena pengaturan tata niaga import.

Suatu wilayah dapat ditetapkan sebagai kawasan berikat, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) Mempunyai atau menyediakan sarana dan prasarana agar dapat melakukan fungsi Kawasan Berikat dalam pengolahan dan atau penyimpanan barang, (b) Merupakan wilayah yang memiliki batas tertentu dan jelas (bebas dari hak-hak pihak lain), berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan (c) Ditetapkan sebagai kawasan berikat oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1997, kawasan berikat atau export processing zone (EPZ) merupakan suatu kawasan yang menyediakan lahan dan gudang untuk usaha yang bergerak di bidang ekspor. Di dalam kawasan dilakukan kegiatan-kegiatan: (1) Usaha industri pengolahan barang dan bahan, (2) Kegiatan rancang bangun dan perekayasaan, (3) Penyortiran, pemeriksaan awal, dan pemeriksaan akhir, dan (4) Pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam daerah Pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor dengan mendapatkan perlakuan khusus di bidang kepabeanan, cukai dan perpajakan.

Kawasan berikat ini juga merupakan usaha dalam mengarahkan industrialisasi yang berorientasi pada “free trade” yaitu seluruh industri yang beroperasi dibebaskan dari seluruh peraturan pabean di dalam negeri dan seluruh atau sebagian besar hasil industri untuk di ekspor. Dengan demikian tujuan didirikannya Kawasan Berikat Nusantara (KBN) adalah :


(38)

22 1) Memudahkan dan mempercepat proses impor dan ekspor.

2) Meningkatkan ekspor non migas khususnya ekspor industri manufaktur; 3) Meningkatkan penanaman modal baik PMA maupun PMDN khususnya

bidang industri manufaktur;

4) Meningkatkan kesempatan kerja di sektor industri;

5) Memberikan peluang bagi proses alih teknologi dan bagi berbagai keahlian lainnya, terutama untuk pemasaran di pasar internasional.

Tujuan ini sesuai dengan program industri yang saat ini diluncurkan oleh pemerintah yaitu:

1. Program penataan dan pengutan basis produksi dan distribusi. 2. Program pengutan kerangka peraturan pendukung iklim kompetitif. 3. Program pengutan wahana pengembangan usaha.

4. Program penguatan industri pendukung pasar barang dan jasa 5. Pengembangan informasi pasar baran dan jasa.

6. Program peningkatan kelembagaan ekspor barang dan jasa.

Dengan lebih menyadari keunggulan kawasan berikat dalam menarik investor luar negeri maupun dalam negeri, maka pemerintah masih cenderung menambah kawasan-kawasan berikat baru, baik milik pemerintah seperti Kawasan Berikat Nusantara, maupun milik swasta seperti yang ada di Bekasi, Cikampek, Semarang, Mojokerto, Pasuruan, dan Medan, tanpa mempertimbangkan dampak kawasan berikat dalam menurunkan kualitas lingkungan.

Kawasan berikat seperti Kawasan Berikat Nusantara (KBN), di Asia berkembang dengan baik, banyak tumbuh di Negara Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand dan China. Selain itu saat ini sedang berkembang konsep “klaster industri”. Konsep ini menghilangkan pengaruh batas negara dalam pengembangan hubungan ekonomi internasional dan mendudukan wilayah sebagai unit-unit satuan ekonomi yang mempengaruhi keputusan akhir pengalokasian sumberdaya, sehingga saat ini industri yang hanya mengandalkan keunggulan komparatif tanpa memiliki keunggulan kompetitif sulit untuk bersaing. Dengan prespektif ini, titik berat upaya peningkatan daya saing kegiatan industri adalah dalam satuan kelompok kegiatan industri yang saling menunjang dan memiliki keterkaitan yang integral dengan jaringan usaha sektor produktif lain dan distribusi.


(39)

Kawasan berikat (KB) di Indonesia masih menunjukkan perkembangan yang cukup baik dengan tersebarnya kawasan berikat di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Lokasi kawasan berikat swasta di Indonesia seluas 556 hektar yang terdiri dari KB Lamhotma di Medan seluas 200 ha, KB Bintan seluas 56 ha, KB MMID di Cibitung Bekasi seluas 76 ha, KB Cibinong Centre Industrial Estate di Cibinong seluas 24 ha, KB Besland di Cikampek seluas 65 ha, KB. Indo Taisei Indan Development di Cikampek seluas 50 ha, KB. Ngoro Industrial Estate di Mojokerto seluas 35 ha dan KB. PIER di Pasuruan seluas 50 ha. Sedangkan Kawasan Berikat Nusantara yang berada di DKI Jakarta terdapat di tiga lokasi yaitu Cakung seluas 173 ha, Tanjung Priok seluas 10 ha dan Marunda seluas 410 ha.

Dengan demikian konsep kawasan berikat masih memiliki daya tarik bagi investor, karena adanya fasilitas pengolahan dan pergudangan serta kemudahan di dalam pengurusan perijinan dengan sistem one stop service. Sistem one stop service masih di monopoli oleh PT. Kawasan Berikat Nusantara, hal ini karena menyangkut pelimpahan wewenang pemerintah, sehingga hanya PT. Kawasan Berikat Nusantara sebagai BUMN yang mendapatkan pelimpahan wewenang tersebut.

2.2.2 Perkembangan Kawasan Industri

Kawasan industri di beberapa negara telah memberikan sumbangan yang besar terhadap kemajuan industri di negara tersebut. Beberapa aspek yang perlu ditinjau sebagai bahan perbandingan dalam upaya pengembangan kawasan industri di Indonesia adalah dari segi pengembang dan dari segi kebijakan pengembangan kawasan industri (Dirdjojuwono, 2004).

Di sebagian besar Negara Asia (Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Thailand) kecuali Filipina dan Indonesia, pihak pemerintah termasuk pemerintah pusat memainkan peranan utama dalam pengembangan kawasan industri. Walaupun pada akhir-akhir ini beberapa negara mengundang peran swasta untuk membangun kawasan industri, namun peran utama tetap didominasi oleh pemerintah. Pengembang kawasan industri di beberapa negara disajikan pada Tabel 1.


(40)

24 Tabel 1. Perkembangan kawasan industri di beberapa negara

Negara Pemerintah Swasta

Malaysia, 285 kawasan industri 78% (pusat dan lokal) 22%

Jepang 85% 15%

Korea - 300 kawasan industri 70% pusat, 20% lokal 10%

Taiwan 90% 10%

Singapura 85% 15%

Thailand - 27 kawasan industri 48% 52% kerjasama pemerintah dan swasta Filipina - 20 kawasan industri 30% (pusat dan lokal) 70%

Indonesia - 203 kawasan industri 6% (pusat dan lokal) 94%

Sumber: ULI (1975)

ULI (1975) menyatakan bahwa pengembangan kawasan industri di luar negeri memiliki beberapa alasan, yakni: (1) Kawasan Industri dijadikan sebagai alat untuk pemerataan pembangunan (over population di kota-kota besar dan kurang di daerah pinggiran), (2) Pemerintah beranggapan bahwa investasi di kawasan industri sebagai suatu investasi fasilitas umum dibandingkan suatu real estate, dan (3) Dunia swasta lebih berorientasi profit (real estate) dan tidak mungkin dibebani tugas-tugas pemerataan dan fasilitas umum. Pemerintah sudah seharusnya lebih berperan, minimal bekerja sama dengan pihak swasta, namun tidak bisa menyerahkan kepada mekanisme pasar.

Beberapa strategi yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan dan optimalisasi kawasan industri:

a. Untuk menghindari spekulasi tanah pemerintah membatasi tingkat keuntungan developer. Korea Selatan memberikan batasan keuntungan hanya 10% dari biaya pengembangan. Secara umum di mancanegara harga jual dibatasi 1,1 sampai 1,3 dari biaya pengembangan. Bila dibandingkan harga jual kawasan industri di Indonesia yang mencapai 4-6 x harga pokok, maka terlihat orientasi pengembangan kawasan industri lebih bersifat real estate (profit).

b. Digalangnya kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah lokal dan sektor swasta dalam pembangunan kawasan industri.

c. Disamping memberikan pelayanan utilitas (air bersih, air kotor, listrik), keamanan dan administratif (one stop service), juga memberikan perlakuan-perlakuan insentif khusus untuk lebih menarik investor.


(41)

Menurut Sagala (2003) pengembangan kawasan industri (industrial estate) di Indonesia sudah dimulai sejak awal tahun 1970 dengan mengemban dua misi besar. Pertama, merangsang tumbuhnya iklim industri, terutama bagi daeah-daerah yang iklim investasinya belum berkembang seperti Cilacap, Cilegon dan Ujung Pandang. Kedua, menjadi sarana bagi pengaturan ruang, terutama untuk menghindari timbulnya kasus-kasus polusi lingkungan yang akan berakibat terhadap tuntutan biaya sosial yang tinggi, khususnya di daerah-daerah yang iklim industri dan investasinya tinggi seperti Pulo Gadung di Jakarta, Rungkut di Surabaya dan KIM di Medan.

Berdasarkan Keppres 53/1989, Keppres 41/1996, UU 22/1999 dan PP 25/2000 bahwa perkembangan kawasan industri dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi kewenangan dan segi pelaku usaha. Dari segi kewenangan, perkembangan kawasan industri dibedakan atas:

1. Pra Otonomi Daerah

Sesuai Keppres 53/1989 yang dicabut dan kemudian diganti dengan (Keppres 41/1996): Pemerintah pusat cq. Menperindag menerbitkan izin usaha kawasan industri (persetujuan prinsip dan izin usaha tetap) bagi nonfasilitas dan ketua BKPM bagi fasilitas PMA/PMDN. Gubernur menerbitkan izin lokasi dan pembebasan lahan, sedangkan Bupati/walikota mengesahkan site plan letak kawasan industri.

2. Pasca Otonomi Daerah

Sesuai Undang-undang Nomor 22/1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2000: Pasal 2 (4) butir j: kewenangan pemerintah (pusat) dalam membuat standar pemberian izin oleh daerah dalam hal ini pusat bertugas membuat pedoman. Pemerintah provinsi dibentuk untuk tugas koordinasi dan berwenang menerbitkan izin bagi kegiatan lintas kabupaten/ kota. Sesuai dengan PP Nomor 84/2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah: Pasal 4 (3) butir b: dinas provinsi berfungsi dalam pemberian izin. Pasal 8 (3) butir b: dinas kabupaten/kota berfungsi dalam pemberian izin.

Dari segi pelaku usaha, perkembangan kawasan industri dibedakan sebagai berikut:

1. Pra Keppres Nomor 53/1989. Sudah dimulai sejak awal 1970-an. Karena khawatir spekulasi lahan, maka: (1) pembangunan kawasan industri dimonopoli oleh pemerintah; (2) kerja sama pusat, provinsi, kabupaten/kota


(42)

26 dengan perbandingan 60 : 30: 10; dan (3) bentuk BUMN/BUMD. Kemampuan dana pemerintah terbatas: (1) dalam mengembangkan kawasan industri dari pembebasan sampai dengan operasi butuh waktu 6-8 tahun; (2)

land demand sangat lebih besar daripada suplai lahan KI; dan (3) 19 tahun hanya mampu membangun di tujuh provinsi (delapan kawasan industri, luas 2.896 ha).

Tabel 2. Kawasan industri yang didirikan sebelum diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989

No. Nama Perusahaan Kawasan Industri Lokasi Luas Lahan (Ha) 1. FT Jakarta Industrial Estate Pulogadung

(FT JIEP)

DKI Jakarta 570 2. PT Surabaya Industrial Estate Rungkut

(PT SIER) Surabaya 332

3. PT Kawasan Industri Cilacap Cilacap 143 4. PT Kawasan Industri Medan (PT K1M) Medan 200 5. PT Kawasan Berikat Nusantara DKI Jakarta 593 6. PT Kawasan Industri Makasar (PT KIMA) Makassar 208 7. PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (PT

KIEC)

Cilegon 550 8. Proyek Kawasan Industri Lampung Bandar Lampung 300

Jumlah 2.896

Sumber: Sagala (2003)

2. Pasca Keppres 53/1989. Memperbolehkan dunia usaha swasta dalam negeri maupun asing mengembangkan kawasan industri. Terjadi "rush" dalam pengembangan kawasan industri: 203 kawasan industri dengan luas 66.771 ha di 20 provinsi dengan pola sebaran didominasi di Pulau Jawa ± 66,5%. Tingkat keseriusan dalam pengembangannya dibagi empat klasifikasi yakni Kelas I (pengembangan kawasan industri sesuai kemampuan), yaitu Sumatera Barat, Lampung, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara. Kelas II (keseriusan pengembangan cukup baik ) diantaranya adalah Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Kelas III (keseriusan pengembangan sedang diperluas, yakni Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelas IV (hanya merupakan euforia dan latah) yakni Aceh, Sumatera Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan selatan, Kalimantan Timur, Suawesi Utara, Maluku dan Papua.

Kondisi tersebut terjadi karena: (1) Belum ada keharusan setiap industri berlokasi di kawasan industri: Ada SK MPP Nomor 171/1993 tentang Jenis Industri Wajib di Kawasan Industri. SE BPN Nomor 462-3040 Tahun


(43)

1996 tentang Penertiban Lokasi Industri; Kedua peraturan tersebut tidak pernah disosialisasikan (tidak efektif); (2) Harga jual kavling di kawasan industri relatif tinggi (mahal): harga jual rata-rata 4 - 6 x harga pokok; dan (3) Perlakuan industri di dalam dan di luar kawasan industri relatif sama. Hal ini mempengaruhi harga tanah kawasan industri untuk diminati oleh pengguna.

Menurut Sagala (2003) bahwa pengembangan kawasan industri dilakukan oleh pemerintah melalui proyek-proyek yang dibiayai anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Selanjutnya, proyek-proyek tersebut berubah status menjadi badan usaha milik negara (BUMN). Sejak tahun 1970 sampai 1989 telah terealisasi delapan kawasan industri dengan luas areal kurang lebih 2.896 Ha yang tersebar di tujuh provinsi.

Pada tahun 1989 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan kawasan industri melalui Keppres 53/1989 yang intinya memperbolehkan dunia usaha swasta dalam negeri maupun asing untuk berinvestasi. Sejak dikeluarkannya Keppres tersebut hingga tahun 1995 yang merupakan masa

booming permintaan lahan pengembangan industri, secara nasional tercatat 165 perusahaan kawasan industri dengan luas areal 53.449 Ha, dengan status mulai dari persetujuan prinsip, izin lokasi, maupun izin tetap atau sudah beroperasi secara komersial. Perkembangan tersebut berlanjut sampai tahun 2000, meningkat menjadi 203 perusahaan dengan luas areal rencana pengembangan sebesar 66.771 Ha. Secara lebih rinci, sebaran perusahaan-perusahaan kawasan industri itu diuraikan dalam Tabel 3. Data dalam Tabel 3, jika diperhatikan dan dibandingkan dengan realita yang terjadi pada tahun 2001, maka untuk daerah-daerah tertentu tampak bahwa permintaan yang terjadi sampai tahun 1995 masih merupakan euforia dalam menyambut dibukanya kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan industri. Implementasi dari permintaan yang ada dalam tabel tersebut kemungkinan besar belum mencapai 30%-nya. Sebagai ilustrasi, untuk Provinsi Sumatera Utara, 11 perusahaan yang benar-benar merealisasikan rencananya hanya mengembangkan luas lahan sekitar 600 ha, padahal permintaannya seluas 2.578 Ha (Deperindag, 2001).


(1)

21. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan Pengelolaan Lingkungan PT KBN

yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi Pengelolaan Limbah Cair

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

Pengelolaan Lingkungan PT KBN yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan

Teknologi Pengelolaan Limbah Cair berikut ini:

Alternatif Kebijakan Usaha tanpa kinerja lingkungan Kinerja lingkungan secara konsisten Kinerja lingkungan dengan tetap kepentingan usaha Usaha dengan tetap perbaikan lingkungan Lingkungan dan usaha secara simultan Usaha tanpa kinerja

lingkungan 1 …. …. …. ….

Kinerja lingkungan

secara konsisten 1 …. …. ….

Kinerja lingkungan dengan tetap kepentingan usaha

1 …. ….

Usaha dengan tetap perbaikan lingkungan

1 ….

Lingkungan dan usaha secara simultan

1

22. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan Pengelolaan Lingkungan PT KBN

yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi Pengelolaan Limbah

Padat

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

Pengelolaan Lingkungan PT KBN yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan

Teknologi Pengelolaan Limbah Padat berikut ini:

Alternatif Kebijakan Usaha tanpa kinerja lingkungan Kinerja lingkungan secara konsisten Kinerja lingkungan dengan tetap kepentingan usaha Usaha dengan tetap perbaikan lingkungan Lingkungan dan usaha secara simultan Usaha tanpa kinerja

lingkungan 1 …. …. …. ….

Kinerja lingkungan

secara konsisten 1 …. …. ….

Kinerja lingkungan dengan tetap kepentingan usaha

1 …. ….

Usaha dengan tetap perbaikan lingkungan

1 ….

Lingkungan dan usaha secara simultan


(2)

23. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan Pengelolaan Lingkungan PT KBN

yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi Monitoring Kualitas

Lingkungan

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

Pengelolaan Lingkungan PT KBN yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan

Teknologi Monitoring Kualitas Lingkungan berikut ini:

Alternatif Kebijakan Usaha tanpa kinerja lingkungan Kinerja lingkungan secara konsisten Kinerja lingkungan dengan tetap kepentingan usaha Usaha dengan tetap perbaikan lingkungan Lingkungan dan usaha secara simultan Usaha tanpa kinerja

lingkungan 1 …. …. …. ….

Kinerja lingkungan

secara konsisten 1 …. …. ….

Kinerja lingkungan dengan tetap kepentingan usaha

1 …. ….

Usaha dengan tetap perbaikan lingkungan

1 ….

Lingkungan dan usaha secara simultan

1

24. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan Pengelolaan Lingkungan PT KBN

yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan Partisipasi Pengusaha

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

Pengelolaan Lingkungan PT KBN yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan

Partisipasi Pengusaha berikut ini:

Alternatif Kebijakan Usaha tanpa kinerja lingkungan Kinerja lingkungan secara konsisten Kinerja lingkungan dengan tetap kepentingan usaha Usaha dengan tetap perbaikan lingkungan Lingkungan dan usaha secara simultan Usaha tanpa kinerja

lingkungan 1 …. …. …. ….

Kinerja lingkungan

secara konsisten 1 …. …. ….

Kinerja lingkungan dengan tetap kepentingan usaha

1 …. ….

Usaha dengan tetap perbaikan lingkungan

1 ….

Lingkungan dan usaha secara simultan


(3)

25. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan Pengelolaan Lingkungan PT KBN

yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan Kemitraan Pemerintah

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

Pengelolaan Lingkungan PT KBN yang Berkelanjutan dalam kaitan dengan

Kemitraan Pemerintah berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Usaha tanpa kinerja lingkungan

Kinerja lingkungan

secara konsisten

Kinerja lingkungan dengan tetap

kepentingan usaha

Usaha dengan tetap

perbaikan lingkungan

Lingkungan dan usaha

secara simultan Usaha tanpa kinerja

lingkungan 1 …. …. …. ….

Kinerja lingkungan

secara konsisten 1 …. …. ….

Kinerja lingkungan dengan tetap kepentingan usaha

1 …. ….

Usaha dengan tetap perbaikan lingkungan

1 ….

Lingkungan dan usaha secara simultan

1


(4)

Lampiran 9. Hasil AHP Pengelolaan Lingkungan PT KBN

Model Name: Prioritas PT KBN

Treeview

Goal: Kebijakan Pengelolaan Lingkungan PT KBN

Pemerintah ( L: .156)

Ekologi ( L: .280)

air ( L: .467)

tanah ( L: .160)

bising ( L: .095)

kimia ( L: .277)

Ekonomi ( L: .278)

PAD ( L: .258)

permintaan ( L: .105)

kesra ( L: .637)

Kelembagaan ( L: .209)

partisipasi ( L: .750)

kemitraan ( L: .250)

Teknologi ( L: .096)

cair ( L: .481)

padat ( L: .405)

monitoring ( L: .114)

Sosial ( L: .137)

konflik ( L: .540)

partisipasi ( L: .163)

rasio TK ( L: .297)

Pengusaha ( L: .291)

Manajemen KBN ( L: .454)

Masyarakat ( L: .099)

Alternatives

Usaha dan lingkungan

.330

Simultan usaha dan lingkungan

.237

Lingkungan dan usaha

.181

Perbaikan Lingkungan

.125


(5)

Lampiran 10. Foto IPAL


(6)