23 Kawasan berikat KB di Indonesia masih menunjukkan perkembangan
yang cukup baik dengan tersebarnya kawasan berikat di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Lokasi kawasan berikat swasta di Indonesia seluas 556 hektar yang
terdiri dari KB Lamhotma di Medan seluas 200 ha, KB Bintan seluas 56 ha, KB MMID di Cibitung Bekasi seluas 76 ha, KB Cibinong Centre Industrial Estate di
Cibinong seluas 24 ha, KB Besland di Cikampek seluas 65 ha, KB. Indo Taisei Indan Development di Cikampek seluas 50 ha, KB. Ngoro Industrial Estate di
Mojokerto seluas 35 ha dan KB. PIER di Pasuruan seluas 50 ha. Sedangkan Kawasan Berikat Nusantara yang berada di DKI Jakarta terdapat di tiga lokasi
yaitu Cakung seluas 173 ha, Tanjung Priok seluas 10 ha dan Marunda seluas 410 ha.
Dengan demikian konsep kawasan berikat masih memiliki daya tarik bagi investor, karena adanya fasilitas pengolahan dan pergudangan serta kemudahan
di dalam pengurusan perijinan dengan sistem one stop service. Sistem one stop service masih di monopoli oleh PT. Kawasan Berikat Nusantara, hal ini karena
menyangkut pelimpahan wewenang pemerintah, sehingga hanya PT. Kawasan Berikat Nusantara sebagai BUMN yang mendapatkan pelimpahan wewenang
tersebut.
2.2.2 Perkembangan Kawasan Industri
Kawasan industri di beberapa negara telah memberikan sumbangan yang besar terhadap kemajuan industri di negara tersebut. Beberapa aspek yang perlu
ditinjau sebagai bahan perbandingan dalam upaya pengembangan kawasan industri di Indonesia adalah dari segi pengembang dan dari segi kebijakan
pengembangan kawasan industri Dirdjojuwono, 2004. Di sebagian besar Negara Asia Korea Selatan, Jepang, Taiwan,
Singapura, Malaysia dan Thailand kecuali Filipina dan Indonesia, pihak pemerintah termasuk pemerintah pusat memainkan peranan utama dalam
pengembangan kawasan industri. Walaupun pada akhir-akhir ini beberapa negara mengundang peran swasta untuk membangun kawasan industri, namun
peran utama tetap didominasi oleh pemerintah. Pengembang kawasan industri di beberapa negara disajikan pada Tabel 1
.
24 Tabel 1. Perkembangan kawasan industri di beberapa negara
Negara Pemerintah Swasta
Malaysia, 285 kawasan industri 78 pusat dan lokal 22
Jepang 85 15
Korea - 300 kawasan industri 70 pusat, 20 lokal 10
Taiwan 90 10
Singapura 85 15
Thailand - 27 kawasan industri 48
52 kerjasama pemerintah dan swasta
Filipina - 20 kawasan industri 30 pusat dan lokal 70
Indonesia - 203 kawasan industri 6 pusat dan lokal
94
Sumber: ULI 1975 ULI
1975 menyatakan bahwa pengembangan kawasan industri di luar negeri memiliki beberapa alasan, yakni: 1 Kawasan Industri dijadikan sebagai
alat untuk pemerataan pembangunan over population di kota-kota besar dan kurang di daerah pinggiran, 2 Pemerintah beranggapan bahwa investasi di
kawasan industri sebagai suatu investasi fasilitas umum dibandingkan suatu real estate, dan 3 Dunia swasta lebih berorientasi profit real estate dan tidak
mungkin dibebani tugas-tugas pemerataan dan fasilitas umum. Pemerintah sudah seharusnya lebih berperan, minimal bekerja sama dengan pihak swasta,
namun tidak bisa menyerahkan kepada mekanisme pasar. Beberapa strategi yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan dan
optimalisasi kawasan industri: a. Untuk menghindari spekulasi tanah pemerintah membatasi tingkat
keuntungan developer. Korea Selatan memberikan batasan keuntungan hanya 10 dari biaya pengembangan. Secara umum di mancanegara harga
jual dibatasi 1,1 sampai 1,3 dari biaya pengembangan. Bila dibandingkan harga jual kawasan industri di Indonesia yang mencapai 4-6 x harga pokok,
maka terlihat orientasi pengembangan kawasan industri lebih bersifat real estate profit.
b. Digalangnya kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah lokal dan sektor swasta dalam pembangunan kawasan industri.
c. Disamping memberikan pelayanan utilitas air bersih, air kotor, listrik, keamanan dan administratif one stop service, juga memberikan perlakuan-
perlakuan insentif khusus untuk lebih menarik investor.
25 Menurut Sagala 2003 pengembangan kawasan industri industrial
estate di Indonesia sudah dimulai sejak awal tahun 1970 dengan mengemban
dua misi besar. Pertama, merangsang tumbuhnya iklim industri, terutama bagi
daeah-daerah yang iklim investasinya belum berkembang seperti Cilacap,
Cilegon dan Ujung Pandang. Kedua, menjadi sarana bagi pengaturan ruang,
terutama untuk menghindari timbulnya kasus-kasus polusi lingkungan yang akan berakibat terhadap tuntutan biaya sosial yang tinggi, khususnya di daerah-daerah
yang iklim industri dan investasinya tinggi seperti Pulo Gadung di Jakarta, Rungkut di Surabaya dan KIM di Medan.
Berdasarkan Keppres 531989, Keppres 411996, UU 221999 dan PP 252000 bahwa perkembangan kawasan industri dapat ditinjau dari dua segi,
yaitu segi kewenangan dan segi pelaku usaha. Dari segi kewenangan, perkembangan kawasan industri dibedakan atas:
1. Pra Otonomi Daerah Sesuai Keppres 531989 yang dicabut dan kemudian diganti dengan
Keppres 411996: Pemerintah pusat cq. Menperindag menerbitkan izin usaha kawasan industri persetujuan prinsip dan izin usaha tetap bagi
nonfasilitas dan ketua BKPM bagi fasilitas PMAPMDN. Gubernur menerbitkan izin lokasi dan pembebasan lahan, sedangkan Bupatiwalikota
mengesahkan site plan letak kawasan industri. 2. Pasca
Otonomi Daerah
Sesuai Undang-undang Nomor 221999 dan Peraturan Pemerintah PP Nomor 252000: Pasal 2 4 butir j: kewenangan pemerintah pusat
dalam membuat standar pemberian izin oleh daerah dalam hal ini pusat bertugas membuat pedoman. Pemerintah provinsi dibentuk untuk tugas
koordinasi dan berwenang menerbitkan izin bagi kegiatan lintas kabupaten kota. Sesuai dengan PP Nomor 842000 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah: Pasal 4 3 butir b: dinas provinsi berfungsi dalam pemberian izin. Pasal 8 3 butir b: dinas kabupatenkota berfungsi
dalam pemberian izin. Dari segi pelaku usaha, perkembangan kawasan industri
dibedakan sebagai berikut: 1. Pra Keppres Nomor 531989. Sudah dimulai sejak awal 1970-an. Karena
khawatir spekulasi lahan, maka: 1 pembangunan kawasan industri dimonopoli oleh pemerintah; 2 kerja sama pusat, provinsi, kabupatenkota
26 dengan perbandingan 60 : 30: 10; dan 3 bentuk BUMNBUMD.
Kemampuan dana pemerintah terbatas: 1 dalam mengembangkan kawasan industri dari pembebasan sampai dengan operasi butuh waktu 6-8 tahun; 2
land demand sangat lebih besar daripada suplai lahan KI; dan 3 19 tahun hanya mampu membangun di tujuh provinsi delapan kawasan industri, luas
2.896 ha. Tabel 2. Kawasan industri yang didirikan sebelum diterbitkannya
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989
No. Nama Perusahaan Kawasan Industri
Lokasi Luas Lahan
Ha
1. FT Jakarta Industrial Estate Pulogadung FT JIEP
DKI Jakarta 570
2. PT Surabaya Industrial Estate Rungkut
PT SIER Surabaya
332 3. PT Kawasan Industri Cilacap
Cilacap 143
4. PT Kawasan Industri Medan PT K1M Medan
200 5. PT Kawasan Berikat Nusantara
DKI Jakarta 593
6. PT Kawasan Industri Makasar PT KIMA Makassar
208 7. PT Krakatau Industrial Estate Cilegon PT
KIEC Cilegon 550
8. Proyek Kawasan Industri Lampung Bandar Lampung
300
Jumlah 2.896
Sumber: Sagala 2003 2. Pasca Keppres 531989. Memperbolehkan dunia usaha swasta dalam negeri
maupun asing mengembangkan kawasan industri. Terjadi rush dalam pengembangan kawasan industri: 203 kawasan industri dengan luas 66.771
ha di 20 provinsi dengan pola sebaran didominasi di Pulau Jawa ± 66,5. Tingkat keseriusan dalam pengembangannya dibagi empat klasifikasi yakni
Kelas I pengembangan kawasan industri sesuai kemampuan, yaitu Sumatera Barat, Lampung, DKI Jakarta dan Sulawesi Tenggara. Kelas II
keseriusan pengembangan cukup baik diantaranya adalah Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Kelas III keseriusan pengembangan sedang
diperluas, yakni Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelas IV hanya merupakan euforia dan latah yakni Aceh, Sumatera Selatan, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan selatan, Kalimantan Timur, Suawesi Utara, Maluku dan Papua.
Kondisi tersebut terjadi karena: 1 Belum ada keharusan setiap industri berlokasi di kawasan industri: Ada SK MPP Nomor 1711993 tentang
Jenis Industri Wajib di Kawasan Industri. SE BPN Nomor 462-3040 Tahun
27 1996 tentang Penertiban Lokasi Industri; Kedua peraturan tersebut tidak
pernah disosialisasikan tidak efektif; 2 Harga jual kavling di kawasan industri relatif tinggi mahal: harga jual rata-rata 4 - 6 x harga pokok; dan 3
Perlakuan industri di dalam dan di luar kawasan industri relatif sama. Hal ini mempengaruhi harga tanah kawasan industri untuk diminati oleh pengguna.
Menurut Sagala 2003 bahwa pengembangan kawasan industri dilakukan oleh pemerintah melalui proyek-proyek yang dibiayai anggaran
pendapatan belanja negara APBN dan anggaran pendapatan belanja daerah APBD. Selanjutnya, proyek-proyek tersebut berubah status menjadi badan
usaha milik negara BUMN. Sejak tahun 1970 sampai 1989 telah terealisasi delapan kawasan industri dengan luas areal kurang lebih 2.896 Ha yang tersebar
di tujuh provinsi. Pada tahun 1989 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan
kawasan industri melalui Keppres 531989 yang intinya memperbolehkan dunia usaha swasta dalam negeri maupun asing untuk berinvestasi. Sejak
dikeluarkannya Keppres tersebut hingga tahun 1995 yang merupakan masa booming permintaan lahan pengembangan industri, secara nasional tercatat 165
perusahaan kawasan industri dengan luas areal 53.449 Ha, dengan status mulai dari persetujuan prinsip, izin lokasi, maupun izin tetap atau sudah beroperasi
secara komersial. Perkembangan tersebut berlanjut sampai tahun 2000, meningkat menjadi 203 perusahaan dengan luas areal rencana pengembangan
sebesar 66.771 Ha. Secara lebih rinci, sebaran perusahaan-perusahaan kawasan industri itu diuraikan dalam Tabel 3. Data dalam Tabel 3, jika
diperhatikan dan dibandingkan dengan realita yang terjadi pada tahun 2001, maka untuk daerah-daerah tertentu tampak bahwa permintaan yang terjadi
sampai tahun 1995 masih merupakan euforia dalam menyambut dibukanya kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan
kawasan industri. Implementasi dari permintaan yang ada dalam tabel tersebut kemungkinan besar belum mencapai 30-nya. Sebagai ilustrasi, untuk Provinsi
Sumatera Utara, 11 perusahaan yang benar-benar merealisasikan rencananya hanya mengembangkan luas lahan sekitar 600 ha, padahal permintaannya
seluas 2.578 Ha Deperindag, 2001.
28 Tabel 3. Jumlah perusahaan dan luas kawasan industri di setiap provinsi
sampai dengan Desember 2000
Luas Ha No. Nama
Provinsi Jumlah
KI Rencana Terkuasai Dimatangkan
2 11
1 19
1 1
4 103
14 1
33 1
2 2
2 2
1 1
1 1
470 2.578
150 14.517
1.442 300
1.149 32.985
3.186 50
7.044 117
495 190
730 243
100 703
120 200
1.262 108
1.236,50 126,80
1.009,30 12.681,63
955,78 1.933,51
230 76
265,50 980
108 281,50
126,80 1.009,30
7.522,39 619,78
1.233
51,50 76
203 1.
2. 3.
4. 5.
6. 7.
8. 9.
10. 11.
12. 13.
14. 15.
16. 17.
18.
19 20.
DI Aceh Sumatera Utara
Sumatera Barat Riau
Sumatera Selatan Lampung
DKI Jakarta Jawa Barat
Jawa Tengah DI Yogyakarta
Jawa Timur Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
Maluku Irian Jaya
203 66.771 19.885,02
12.741,28
KI: kawasan industri
Sumber: Deperindag 2001 Di Jawa Barat yang permintaan lahannya terbesar berada di Kabupaten
Bekasi, realisasi dalam perhitungan kasar baru 2000 - 3000 Ha saja. Sebagian lahan yang dalam ijin lokasinya disebutkan untuk kawasan industri, ternyata
diubah menjadi perumahan. Misalnya, perusahaan kawasan industri Jababeka dengan rencana pengembangan 5.000 Ha, realisasi kawasan industrinya hanya
1000 Ha. Pengembangan yang lebih intensif justru berupa perumahan, lengkap dengan lapangan golf Deperindag, 2001.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa perkiraan untuk kebutuhan nyata pengembangan kawasan industri, terutama dengan pelaksanaan otonomi
daerah, tidak akan melebihi jumlah yang dinyatakan dalam Tabel 3. Lebih lanjut, luasan kawasan industri yang mampu dikembangkan oleh satu perusahaan
kawasan industri, juga tidak terlalu besar dengan kemungkinan luasan maksimal 500 Ha Deperindag, 2001.
Sektor industri memiliki kemampuan yang tinggi dalam berproduksi dan menciptakan nilai tambah secara luas. Itu sebabnya sektor industri menjadi
primadona investasi bagi penanaman modal asing PMA maupun penanaman
29 modal dalam negeri PMDN. Berdasarkan jumlah dan nilai investasi, dapat
dikatakan bahwa minat para pemilik modal untuk berinvestasi di sektor ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1996, total investasi sektor industri
oleh PMDN sebesar 5.271,7 miliar rupiah dan meningkat menjadi 83.059,5 miliar rupiah pada tahun 2000. Akan tetapi, nilai PMA menurun dari 16.072,1 juta
dollar AS pada tahun 1996 menjadi sebesar 10.702,7 juta dollar AS pada tahun 2000. Hal ini disebabkan Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter yang
mulai terjadi pada pertengahan tahun 1997 Sagala, 2003. Negara penanam modal PMA terbesar di Indonesia, antara lain terdiri
atas Jepang, Inggris, Singapura dan Thailand. Negara-negara tersebut pada tahun 1996 telah disetujui investasinya dengan nilai investasi masing-masing
adalah: 1 Jepang: 7.655,3 juta dollar AS; 2 Inggris: 3.390,6 juta dollar AS; 3 Singapura: 3.131,0 juta dollar AS; dan 4 Thailand: 1.610,6 juta dollar AS
Sagala, 2003. Meskipun pada tahun 2000 nilai investasi PMA mengalami penurunan
cukup signifikan akibat krisis ekonomi dan moneter, namun negara-negara tersebut tetap menjadi negara yang paling tinggi nilai investasinya di Indonesia.
Dari segi daerah tujuan investasi, pulau Jawa menjadi daerah tujuan utama investasi industri di Indonesia, baik PMA maupun PMDN. DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, merupakan provinsi utama yang dituju para investor. Di luar Pulau Jawa terdapat pula provinsi-provinsi yang juga menjadi
tujuan utama para investor sektor industri, antara lain Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Nilai rata-
rata investasi yang tertanam pada tahun 19 di atas 2.000,0 juta dollar AS dari PMA dan di atas 3.000,0 miliar rupiah dari PMDN Sagala, 2003.
Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap produk domestik bruto PDB telah melampaui kontribusi sektor pertanian sejak tahun 1990. Meskipun
demikian, pemerintah tetap berupaya meningkatkan sektor sekunder dan tersier tanpa mengabaikan sektor pertanian. Sekarang, pemerintah telah menetapkan
kembali sektor pertanian sebagai sektor yang diutamakan dalam hal pertumbuhan ekonomi negara meskipun sektor industri tetap dibutuhkan untuk
memacu pertumbuhan industri secara nasional Sagala, 2003. Krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia memang
berpengaruh besar terhadap pertumbuhan jumlah perusahaan industri besar dan sedang. Menurut data statistik, selama periode tahun 1997 dan 1998 jumlah
30 perusahaan industri besar dan menengah masing-masing turun sebesar 2,7
dan 4,3 dari tahun sebelumnya. Jika pada tahun 1996 jumlah perusahaan industri besar dan menengah hampir mencapai 23.000 perusahaan, maka pada
tahun 1997 tinggal sekitar 22.386 perusahaan, bahkan pada tahun 1998 jumlahnya terus turun hingga 21.423 perusahaan. Namun, data statistik terbaru
menunjukkan bahwa pada tahun 1999 jumlah industri besar dan menengah mulai meningkat kembali menjadi 22.070 perusahaan meskipun jumlah ini masih jauh
di bawah jumlah perusahaan tahun 1996 BPS, 2006. Pengaruh krisis ekonomi dan moneter terhadap industri kecil dan industri
rumah tangga tidak diketahui secara pasti karena belum ada pendataan yang akurat tentang keberadaan industri kecil dan rumah tangga tersebut. Namun,
banyak pengamat dan analis ekonomi menyimpulkan bahwa sektor industri kecil dan rumah tangga tidak terlalu terpengaruh oleh krisis yang terjadi, karena sektor
ini tidak banyak menggantungkan bahan baku dari luar impor. Sektor industri kecil kerajinan handycraft, barang seni, interior dan beberapa industri daur
ulang yang memasarkan produknya ke luar negeri ekspor, justru sangat diuntungkan pada kondisi krisis ini, akibat operasi nilai tukar rupiah yang lemah
terhadap mata uang dollar AS Sagala, 2003. Berdasarkan skala usahanya, sebagian besar industri di Indonesia
merupakan industri berskala menengah karena tiap tahunnya terjadi pertambahan industri untuk industri skala menegah 70 dan 30 sisanya untuk
industri berskala besar. Demikian pula dengan pertumbuhan jumlah industri. Sebelum krisis ekonomi, industri skala menengah mampu tumbuh sebesar 8
pertahun sedangkan industri besar hanya mampu tumbuh sebesar 2 pertahun. Pada saat krisis jumlah industri besar dan menengah ini turun sebesar 4,1 dan
1,88. Dari data tersebut tampak bahwa industri skala besar sangat rentan terhadap krisis ekonomi dibanding industri menengah Dirdjojuwono, 2004.
Ditinjau dari skala outputnya, jumlah perusahaan yang memiliki output 1 miliar atau lebih, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jika pada
tahun 1996 hanya sekitar 37 perusahaan industri pengolahan yang memiliki output 1 miliar rupiah atau lebih, maka pada tahun 1999 dapat mencapai 48.
Dari sembilan subsektor industri, hanya tiga subsektor yang lebih dari 50 perusahaannya memiliki output 1 miliar atau lebih, yaitu subsektor industri kimia
dan barang dari kimia, logam dasar, dan barang dari logam. Jadi, masih terdapat enam subsektor lain yang perusahaannya memiliki output di bawah 1 miliar
31 rupiah. Bahkan pada subsektor galian non logam sekitar 83 perusahaan
memiliki output di bawah 1 miliar. Data tersebut menunjukkan bahwa subsektor industri kimia dan logam merupakan subsektor yang mampu menghasilkan
output industri yang lebih besar dibandingkan dengan subsektor industri yang lain Dirdjojuwono, 2004.
Berdasarkan tinjauan komposisinya, industri makanan dan minuman, industri tembakau, serta industri tekstil dan pakaian jadi mendominasi jumlah
perusahaan industri. Setiap tahun 50 dari industri besar dan menengah didominasi oleh ketiga subsektor ini, sedangkan jumlah perusahaan industri
logam dasar merupakan subsektor terkecil yaitu hanya 1 dari keseluruhan industri besar dan menengah. Dalam kurun waktu empat tahun dari tahun 1996
sampai tahun 1999 terjadi perubahan komposisi nilai tambah tiap subsektor industri. Jika pada tahun 1996 dan 1997 penyumbang terbesar nilai tambah
industri berasal dari subsektor barang dari logam dan mesin, maka pada tahun 1998 dan 1999 nilai tambah terbesar bergeser pada subsektor makanan dan
minuman serta subsektor tembakau, yaitu masing-masing sebesar Rp 35,6 triliun 22,3 dari subsektor makanan dan minuman, serta Rp 47,2 triliun 33 dari
subsektor industri tembakau. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USA dollar telah meningkatkan pendapatan subsektor ini, sedangkan subsektor tekstil dan
pakaian jadi menempati urutan kedua dalam nilai tambah industri Dirdjojuwono, 2004.
Sayangnya, hingga saat ini penyebaran unit usaha industri masih terasa sangat timpang antara Kawasan Barat Indonesia KBI dan Kawasan Timur
Indonesia KTI. Lebih dari 90 unit usaha industri berlokasi di KBI, terutama di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Provinsi lain
yang mempunyai jumlah unit usaha industri cukup besar adalah Sumatera Utara sebesar hampir 6 dari total unit usaha industri di Indonesia. Provinsi di KTI
yang mempunyai jumlah unit usaha industri cukup besar adalah Sulawesi Selatan Dirdjojuwono, 2004.
Menurut data statistik, penyerapan tenaga kerja oleh kegiatan sektor industri mengalami kenaikan pada periode 1995-1996, dari 4.174.141 orang
menjadi 4.214.967 orang. Namun, ketika krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997, terjadi penurunan yang cukup signifikan menjadi 4.123.612 orang. Hal ini
merupakan akibat dari kebijakan pemutusan hubungan kerja PHK yang dilakukan perusahaan industri. Namun, sejalan dengan keberhasilan upaya
32 pemulihan ekonomi dan semakin kondusifnya kondisi sosial-politik dalam negeri,
sektor industri mulai bangkit kembali. Penyerapan tenaga kerja oleh sektor ini kembali mengalami peningkatan cukup tinggi, yakni menjadi 4.234.408 orang
pada tahun 1999 BPS, 2000.
Dilihat dari segi produktivitasnya, tenaga kerja pada subsektor padat modal lebih tinggi daripada subsektor padat karya. Contohnya, produktivitas
tenaga kerja pada subsektor logam dasar dan subsektor barang dari logam, yang merupakan industri padat modal, selalu lebih tinggi dibandingkan dengan
subsektor lainnya. Produktivitas rata-rata tenaga kerja pada subsektor logam dasar adalah sebesar 139,4 juta rupiah per orang per tahun, sedangkan pada
subsektor industri tekstil dan pakaian jadi yang merupakan industri padat karya rata-rata hanya 18,5 juta rupiah per orang per tahun. Namun demikian,
subsektor industri padat karya memiliki kemampuan sangat besar dalam menyediakan lapangan kerja dibandingkan dengan subsektor padat modal yang
banyak mengganti tenaga manusia dengan mesin-mesin pabrik .
2.2.3 Investasi Industri dan Otonomi Daerah