2. Peran Panglima Laôt Mengkoordinir Setiap Usaha Penangkapan Ikan di Laut
Dalam usaha penangkapan ikan dilaut oleh nelayan tradisional, nelayan pancing dan nelayan jaring di Gampong Telaga Tujuh selalu ada koordinasi
dengan lembaga Panglima Laôt, tetapi bukan semua nelayan di gampong Telaga Tujuh diwajibkan berkoordinasi dengan Panglima Laôt dalam
melaksanakan operasi penangkapan ikan, hanya kesadaran nelayan sendiri untuk menyampaikan informasinya pada Panglima Laôt.
Mengkoordinasi setiap usaha penangkapan ikan dilaut oleh Panglima Laôt bukan berarti Panglima Laôt harus melaut setiap hari. Bila ada hal yang
terjadi dalam usaha penangkapan ikan dilaut seperti ada nelayan menggunakan alat tangkap trawl pukat harimau maka nelayan tersebut akan melaporkan
kepada Panglima Laôt. Laporan nelayan tersebut akan ditindak lanjut oleh Panglima Laôt kepihak keamanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan untuk
diambil tindakansanksi adat dan hukum Negara. Dalam konteks ke Acehan, keberadaan trawl menjadi masalah besar
sekaligus tantangan terhadap pelaksanaan hukum adat laut di daerah ini. Hukôm adat laôt sendiri merupakan aturan lokal yang dijamin oleh hukum nasional di
negara Indonesia. Apalagi, hukum nasional sendiri juga melarang alat tangkap tersebut. Jelas dari gambaran di atas tentang adat laôt bahwa hukôm adat laôt
dan hukum nasional masih terkendala dalam pelaksanaannya. Padahal telah jelas dalam SK Menteri Pertanian Nomor;
503KPTS71997, tentang jenis jaring trawl. Spesifikasi jaring trawl tersebut; berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dengan
menggunakan alat pembuka mulut jaring gawang. Sepasang alat pembuka ofter board dan jaring yang ditarik dua kapal bermotor. Jenis pukat trawl yang
disebutkan dalam SK tersebut di atas, jelas pula dilarang dalam Pasal 8 Keppres Nomor 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl di perairan Indonesia.
Ada dua implikasi yang ditimbulkan dari penggunaan alat tangkap trawl diantaranya; pertama, penggunaan alat tangkap trawl akan menyebabkan
ekosistem laut terancam kehancuran. Penggunaan alat tangkap trawl akan menguras segala jenis ikan dengan berbagai ukuran, dan juga menghancurkan
terumbu karang di dasar laut. Kedua, penggunaan alat tangkap trawl dengan
sendirinya akan menurunkan pendapatan nelayan tradisional yang berlabuh dalam jarak 1-4 mil laut, Hal ini dikarenakan alat tangkap trawl, menyapu segala
jenis ikan di pinggir pantai. Aksi tersebut, banyak dilakukan nelayan asing yang berbendera
Indonesia. Potensi yang begitu luas laut Indonesia terancam punah. Belum terlihat usaha keras ke arah perbaikan ekosistem laut yang mengalami
kerusakan, maka tidak mengherankan bila nelayan hidup miskin di tengah potensi laut Indonesia yang luas, Jelas saja, mereka kalah dengan sistem
penangkapan ikan menggunakan alat tangkap trawl yang tidak ramah dengan lingkungan laut.
3. Peran Panglima Laôt Menyelesaikan PerselisihanSengketaan yang Terjadi di Antara Sesama Anggota Nelayan atau Kelompoknya.
Peran Panglima Laôt dalam menyelesai perselisihan antar sesama nelayan atau kelompok nelayan, baik itu perselisihan dalam kepemilikan rumpon,
sengketa dalam penangkapan ikan di laut dan lain-lainya. Untuk mengambil tindakan menyelesaian perkara peselisihansengketa tesebut, Panglima Laôt
berpedoman sesuai dengan hukôm adat laôt, sehingga keseimbangan yang telah terganggu tadi dapat baik kembali.
Sengketa yang sering terjadi di nelayan Gampong Telaga Tujuh yaitu sengketa dalam usaha penangkapan ikan dilaut, terutama dalam merebut
gerombolan ikan fishing ground di laut. Untuk menyelesaikan perkara perselisihan dalam hukôm adat laôt. Lembaga Panglima Laôt akan menetapkan
hari sidang pada hari Jum’at. Hari sindang tersebut dinamakan persidangan hukôm adat laôt. Dalam pengambilan keputusan lembaga Panglima Laôt
memanggil kedua belah pihak yang bersengketa untuk hadir dengan menyertai saksi-saksi. Saksi ini yang akan memberik keterangan dalam persidangan
tersebut. Sebelum memberikan keterangan para saksi-saksi jika dirasa perlu mengangkat sumpah terlebih dahulu menurut ajaran agama Islam.
Demikian dalam setiap hukôm adat laôt akan diselesaikan oleh Panglima Laôt, baik perselisihan antara sesama aneuk pukat
9
, muge
10
dengan muge,
9
aneuk pukat artinya anak buah kapal ikan
10
Muge maksudnya pedagang ikan keliling
maupun sengketa perdata adat dan pidana adat, dan lain-lainya. Terhadap putusan Panglima Laôt, jika menurut salah satu pihak belum memenuhi rasa
keadilan, maka oleh pihak yang bersangkutan dapat menyerahkan keputusan itu kepada Pengadilan Negeri.
Umumnya keputusan Panglima Laôt diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa sebagai suatu keputusan yang final dan ditaati oleh kedua
belah pihak. Tidak dijumpai kasus yang telah diputuskan oleh Panglima Laôt muncul ke Pengadilan Negeri Kota Langsa. Bahkan dijumpai kasus
persengketaan penangkapan ikan yang menjadi rebutan yang diselesaikan langsung oleh para nelayan secara damai, tampa melalui Panglima Laôt
LhôkKota.
4. Peran Panglima Laôt Memutuskan dan Menyelenggarakan Upacara Adat Laôt.