5. Calon yang memperoleh suara terbanyak Ke-I langsung menjadi Panglima Laôt, suara terbanyak ke-II menjadi wakil, suara terbanyak ke-III menjadi
sekretaris, suara terbanyak ke-IV menjadi bendahara, suara terbanyak ke-V menjadi wakil bendahara.
5. Visi Panglima Laot
Visi kelembagaan Panglima Laôt sebagai berikut : Lembaga Hukôm Adat LaôtPanglima Laôt sebagai lembaga menegakan
hukôm adat Laôt yang independen dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat nelayanpesisir Aceh.
6. Misi Panglima Laôt
Misi kelembagaan Panglima Laôt adalah sebagai berikut : 1. Mengaktualisasikan dan melestarikan hukôm adat laôt menegakan hukôm
adat laôt, revitalisasi hukôm adat laôt di Aceh. 2. Melakukan pemberdayaan lembaga Panglima Laôt dari lhôk, Kabupaten dan
Provinsi. 3. Mengembangkan kualitas hidup masyarakat nelayan ekonomi, pendidikan,
kesehatan, sarana dan prasarana, dan kenyamanan hidup.
7. Perda No. 2 Tahun 1990.
Dengan adanya revitalisasi Perda Istimewa Aceh No. 2 Tahun 1990 kelembagaan Panglima Laôt menjadi lembaga adat di masyarakat nelayan
Nanggroe Aceh Darussalam yang secara resmi keberadaannya diakui oleh Negara, namun demikian lembaga Panglima Laôt bukanlah lembaga negara.
Lembaga Panglima Laôt tidak termasuk dalam struktur pemerintahan seperti; Pemerintah Gampong, Kecamatan, KabupatenKota, Provinsi, tetapi keberadaan
kelembaga Panglima Laôt diluar struktur pemerintahan. Lembaga Panglima Laôt merupakan lembaga adat yang telah mengtradisi dimasyarakat nelayan di
wilayah pesisir Aceh. Perda No. 2 Tahun 1990 membuat keberadaan kelembagaan Panglima
Laôt dalam melaksanakan perannya di wilayah pesisir Aceh dilindungan oleh hukum Negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 No. 2 Tahun 1990 yaitu :
-
Panglima Laôt pemimpin wilayah kelautan.
-
Panglima Laôt pemimpin persoalan sosial nelayan.
-
Panglima Laôt pemimpin penyelesaian perselisihan di laut. - Panglima Laôt pemimpin pelestarian lingkungan.
Kelembagaan Panglima Laôt bukan kelembagaan yang di atur oleh
Pemerintah dalam melaksakan perannya di masyarakat wilayah pesisir, melainkan lembaga adat yang berperan membantu pemerintah dalam
melaksanakan pembangunan di masyarat pesisir Aceh, sesuai dalam Pasal 6 Perda No. 2 Tahun 1990, yaitu:
1. Membantu Pemerintah dalam memperlancarkan pelaksanaan pembangunan. 2. Melestarikan hukum adat, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat.
3. Memberi kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang menyangkut keperdataan adat.
4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat. Berdasarkan Perda No. 2 Tahun 1990, sebagai acuan pedoman Panglima
Laôt untuk membuat keputusan tentang tata caraperaturan penangkapan ikan di laut dalam pertemuanmusyawarah Panglima Laôt Se-Daerah Istimewa Aceh di
Banda Aceh Tahun 2000, sehingga peraturan yang dikeluarkan hasil pertemuan tersebut tidak melanggar dari hukum Negara lampiran 2.
Hubungan dengan Masyarakat Nelayan
Hubungan masyarakat nelayan Gampong Telaga Tujuh dalam aktifitas sehari-hari bergaul sesama warga gampong terjalin cukup akrab. Keakraban
bergaul tersebut timbul atas kesadaran bersama-sama warga. Tampak yang lebih mengikat sesama warga adalah ajaran agama Islam. Selain itu, ciri
masyarakat gampong adalah jiwa gotong royong. Gotong royong inilah merupakan impuls dari dalam yang dapat untuk saling membantu dalam senang
maupun susah. Dalam berbagai aktifitas gampong atau sekitar lingkungan rumah akan selalu mendapat perhatian warga. Dalam aktifitas mengerjakan
kepentingan umum, seperti membersihkan rumah ibadah, membersihkan selokan, dan lain-lain, biasanya melibatkan seluruh warga gampong. Bagi
nelayan yang sedang melakukan penangkapan ikan di laut pada saat warga bergotong royong, bukanlah satu pelanggaran yang berakibatkan mendapat
sanksi dari sesama warga. Dalam hal musyawarah gampong dan aktifitas di Mesjid ditinggalkan atau tidak hadir, ini akan mendapat perhatian dari warga lain.
Dalam kegiatan sekitar lingkungan rumah, kerja sama antara individu terlihat berlangsung baik. Hal tersebut dapat diamati pada pekerjaan
pembangunan atau perbaikan rumah, jiwa gotong royong demikian melekat antar warga gampong, diminta atau tidak mereka saling bahu-membahu dalam
melakukan kegiatan gotong royong tersebut. Dalam operasi penangkapan ikan di laut, tantangan dari alam yang dihadapi oleh nelayan beraneka ragam seperti,
ganasnya gelombang, derasnya air, kencangannya hembusan angin, hujan yang lebat dan teriknya sengat matahari, sehingga kedisiplinan yang teruji, merupakan
keharusan yang dimiliki oleh setiap nelayan. Situasi yang penuh tantangan menjadi suatu ikatan yang emosional antara nelayan yang lebih mempersatukan
jiwa mereka. Rasa kebersamaan sebagai nelayan menjadi perekat, saling mengerti, memahami satu dengan lainnya. Ikatan ini menjadi rasa persaudaraan
yang erat, saling asah, asih, dan asuh antar nelayan. Alam menempa jiwanya sehingga antar nelayan tidak ada jarak, seolah-olah mereka satu dalam
komunitas yang sulit untuk dipisahkan. Hubungan
nelayan dengan
Panglima Laôt terjalin cukup baik. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa tanggung jawab yang besar dari Panglima Laôt
yang langsung dirasakan oleh nelayan. Tanggung jawab tersebut, tidak hanya dalam hubungan dengan pekerjaan nelayan, lebih dari itu sampai dengan
masalah keluarga nelayan. Tanggung jawab Panglima Laôt terhadap keperluan nelayan dalam kaitan pengadaan perlengkapan peralatan menangkap ikan,
memang tidak dapat dipenuhi, namun nelayan dapat memahami keterbatasan yang dimiliki oleh Panglima Laôt. Hal itu tidak mengurangi rasa hormat dan
kepatuhan nelayan terhadap Panglima Laôt. Bila ada warga masyarakat nelayan yang melanggar peraturan hukôm adatadat laôt yang telah ditetapkan
digampong Telaga Tujuh, dalam menyelesaikan masalah lebih bersifat kepada pendekatan keagamaan, lebih menonjolkan usaha untuk memdamaikan dari
pada memutuskan.
Dukungan Stakeholders
Untuk mendukung peran lembaga Panglima Laôt di Gampong Telaga Tujuh telah dibangun hubungan kemitraan yang baik dengan stakeholders di
antaranya; tokoh masyarakat, Dinas Perikanan dan Kelautan, Syahbandar, Polisi Air, Keamanan Laut Kamla dan donor. Hubungan kemitraan Panglima Laôt dan
didukung oleh stakeholders dalam menjalan peran Panglima Laôt yang berlandasan persamaan hak dan kewajiban dalam mengayomi masyarakat
nelayan, baik itu pengelolaan hasil laut, aturan yang adil, mengawasi ekosistem, menyelesaikan sengketa nelayan, dangan tujuannya untuk meningkatkan
kesejahteran masyarakat nelayan diwilayah pesisir. Dukungan stakeholders dalam hukum adat ini di ataranya pengeluaran
ijin penangkapan ikan, baik yang diberikan oleh Panglima Laôt Lhôk maupun oleh pihak yang telah mempunyai hak penangkapan ikan terlebih dahulu di
wilayah lhôk. Akan tetapi, perijinan yang dikeluarkan terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan pawang pukat dan geuchik kepala Gampong agar
tidak merugikan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya. Selanjutnya dalam kerangka hukum nasional, setiap nelayan harus
mengajukan ijin resmi berlayar dan menangkap ikan yang dikeluarkan oleh Syahbandar Harbourmaster dan Dinas Perikanan dan Kelautan Surat izin
usaha penangkapan ikan dan surat izin penangkapan ikan setempat dengan rekomendasi dari Panglima Laôt. Walupun telah mengantongi surat izin tersebut,
nelayan yang ingin bersandar atau menangkap ikan di dalam wilayah lhôk harus mengikuti aturan-aturan hukum adat Laôt yang menaungi wilayah tersebut.
STRATEGI PROGRAM REVITALISASI PERAN KELEMBAGAAN PANGLIMA LAÔT
Proses Penyusunan Rencana Program
Dalam pelaksanaan Program Pengembangan masyarakat Kelembagaan Panglima Laôt di Gampong Telaga Tujuh menghadapi bermacam kendala dan
masalah, baik yang dihadapi oleh kelembagaan Panglima Laôt maupun nelayan. Kendala atau masalah yang dihadapi oleh Panglima Laôt dalam melaksanakan
pengembangan masyarakat Gampong Telaga Tujuh cenderung pelaksanaannya berdasarkan patron yang datang dari atas, sehingga program kegiatan harus
diterima. Oleh karena itu banyak program pengembangan yang tidak mencapai sasaran. Di samping itu faktor manusia nelayan, erat berhubungan dengan
sikap mental, kebiasaan hidup boros, kurang memiliki orientasi kedepan mengakibatkan mereka terus mengalami ketertinggalan..
Dengan adanya berbagai masalah yang muncul dan terungkap dari hasil wawancara, diskusi kelompok, dan FGD pada tingkat masyarakat, selanjutnya
pengkaji bersama-sama, Panglima Laôt, Sekretaris Panglima Laôt, Pawang Laôt, unsur Pemerintah Dinas Kelautan dan Perikanan, tokoh masyarakat dan
nelayan sepakat mengadakan pertemuan untuk menyusun rencana program aksi. Pada pertemuan untuk menyusun program aksi dilakukan dimesjid Nurul
Huda Gampong Telaga Tujuh. Tempat pertemuan tersebut ditentukan oleh Panglima Laôt dan Pawang Laôt yang menentukan tempat pertemuan.
Pertemuan FGD ini, dilaksankan pada hari selasa tanggal 18 September 2007 pada jam 09.00 WIB sampai dengan 14.30 WIB.
Pada saat pertemuan penyusunan rencana program aksi muncul kesadaran semua pihak bahwa untuk mengatasi berbagai kendalamasalah
nelayan dan hukum Adat Laôt tidak dapat diselesaikan oleh kelembagaan Panglima Laôt, tetapi diperlukan adanya dukungan semua pihak,
sehingga alternatif pemecahan masalah dan rencana program aksi dapat dirumuskan
dengan lebih
komprehensif dan
dapat memecahkan
masalah. Secara keseluruhan pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa diperlukan revitalisasi peran Panglima Laôt dalam pengembangan masyarakat
nelayan.
Identifikasi Masalah dan Penyebab
Bedasarkan hasil wawancara, diskusi kelompok, dan FGD dalam rangka penyusunan rencana aksi, berikut ini dapat dikemukakan masalah, penyebab
dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat nelayan di Gampong Telaga Tujuh:
1. Peran Panglima Laôt mengkoordinir Setiap Usaha Penangkapan Ikan di laut .