6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Kecacingan
Kecacingan  merupakan  penyakit  endemik  dan  kronik  yang  diakibatkan oleh  cacing  parasit  Zulkoni,  2009.  Infeksi  cacing  tidak  hanya  terjadi  di  negara
tropis  dan  subtropis  tetapi  juga  di  berbagai    daerah  yang  tingkat  kebersihan lingkungannya  rendah  Pagariya,  et  al.,  2013.  Badan  Kesehatan  Dunia
memperkirakan lebih dari 1,5 miliar 24 dari penduduk dunia terinfeksi cacing parasit  dengan  jumlah  terbesar  di  wilayah  Afrika,  Amerika,  Cina  dan  Asia
Tenggara  WHO.,  2015.  Angka  kecacingan  mencapai  28  Kemenkes.,  2015 dan  diperkirakan lebih dari 60 anak-anak terinfeksi cacing parasit di Indonesia
Tjay dan Rahardja, 2002. Prevalensi  infeksi  cacing  yang  tinggi  berdampak  buruk  bagi  kesehatan,
walaupun  jarang  menyebabkan  kematian,  namun  infeksi  cacing  menyebabkan penderita  khususnya  anak-anak  mengalami  kekurangan  gizi,  kemunduran
pertumbuhan  fisik,  mental,  kognitif  dan  intelektual  Tiwow,  dkk.,  2013,  pada orang  dewasa  menyebabkan  menurunnya  produktivitas  kerja.  Kecacingan  dapat
mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang Zulkoni, 2010.
2.2 Penyebab Kecacingan
Filum  utama  cacing  yang  mempengaruhi  kesehatan  manusia  yaitu  filum Platyhelminthes  dan  filum  Nemathelminthes.  Filum  Platyhelminthes  terdapat  2
kelas penting,  yaitu kelas Cestoda dan kelas Trematoda. Filum Nemathelminthes
Universitas Sumatera Utara
7 yang  penting  adalah  kelas  Nematoda  Soedarto,  2008.  Nematoda  atau  cacing
bundar berbentuk  bulat, tidak bersegmen, memiliki rongga tubuh  dengan saluran pencernaan  dan  kelamin  terpisah  Zulkoni,  2010.  Nematoda  menyebabkan
infeksi  pada  usus,  darah  dan  jaringan.  Trematoda  atau  cacing  pipih  berbentuk seperti  daun  dan  bersifat
hermaphrodit
kecuali  cacing  hati  Zulkoni,  2010. Cestoda  atau  cacing  pita  secara  khas  berbentuk  pita  yang  besegmen,  bersifat
hermaphrodit
, tidak memiliki saluran pencernaan Zulkoni, 2010 dan menempel pada usus Tjahyanto dan Salim, 2013.
Infeksi cacing umumnya masuk melalui mulut atau luka di kulit atau lewat telur  kista  atau  larvanya  yang  ada  di  atas  tanah  dan  pembuangan  kotoran  yang
dilakukan dengan sembarangan yang tidak memenuhi syarat kebersihan Zulkoni, 2010;  Tjay  dan  Rahardja,  2002.
Kebiasaan  penggunaan  kotoran  sebagai  pupuk tanaman  menyebabkan  semakin  luasnya  pengotoran  tanah.  Persediaan  air  rumah
tangga  dan  makanan  tertentu,  misalnya  sayuran  yang  tidak  dicuci  bersih, kebiasaan  makan  masyarakat  mengkonsumsi  makanan  mentah  atau  setengah
matang  sepeti  ikan,  kerang,  daging  atau  sayuran  akan  meningkatkan  penderita kecacingan,  bila  dalam  makanan  tersebut  terdapat  kista  atau  larva  cacing  maka
dapat mengakibatkan kecacingan pada manusia Entjang,  2003. Tergantung dari jenisnya, cacing tetap bermukim dalam saluran cerna atau
berpenetrasi  ke  jaringan.  Cacing  menyerap  nutrisi  dari  tubuh  manusia  yang ditumpanginya, penyerapan ini akan menyebabkan kelemahan tubuh dan penyakit,
dalam  saluran  pencernaan  jika  terdapat  20  ekor  cacing  dewasa,  cacing-cacing tersebut bisa menyedot 2,8 g karbohidrat dan 0,7 g protein dalam sehari Zulkoni,
2009; Tjay dan Rahardja, 2002. Gejala dan keluhan kecacingan dapat disebabkan oleh  penyumbatan  usus  halus  dan  saluran  empedu  atau  penarikan  gizi  yang
Universitas Sumatera Utara
8 penting  bagi  tubuh.  Sering  kali  gejala  tidak  begitu  nyata  dan  hanya  berupa
gangguan  lambung-usus,  seperti  mual,  muntah,  mulas,  kejang-kejang  dan  diare berkala dengan hilangnya nafsu makan. Tuan rumah dapat menderita kekurangan
darah  akibat  terinfeksi  sejumlah  cacing  yang  menghisap  darah,  misalnya disebabkan oleh cacing tambang, pita dan cambuk Tjay dan Rahardja, 2002.
2.2.1 Infeksi nematoda Infeksi nematoda yang sering dijumpai adalah:
a. Onkoserkiasis
river blindness
Penyakit  ini  disebabkan  oleh
Onchocerca  volvulus
yang  ditandai  dengan  adanya benjolan  dibawah  kulit,  ruam  kulit  yang  terasa  gatal  dan  lesi  okular  yang  sering
menyebabkan kebutaan Tjahyanto dan Salim, 2013. b. Enterobiasis penyakit cacing kremi
Penyebab penyakit ini adalah infeksi dari
Enterobius vermicularis
Tjahyanto dan Salim,  2013.  Cacing  kremi  biasanya  menimbulkan  gatal  di  sekitar  dubur  anus
dan kejang hebat  pada  anak-anak.  Infeksi  ini dapat  menyebabkan  radang  umbai- usus  buntu  akut  Tjay  dan  Rahardja,  2002.  Gejala  penyakit  cacing  kremi  yaitu
gatal  disekitar  dubur  terutama  pada  malam  hari  pada  saat  cacing  betina meletakkan telurnya, gelisah dan sukar tidur Irianto, 2013.
c. Askariasis penyakit cacing gelang Penyebab  penyakit  ini  adalah
Ascaris  lumbricoides.
Panjangnya  10-15  cm  dan biasanya  bermukim  pada  usus  halus.  Cacing  betina  mengeluarkan  telur  dalam
jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang dikeluarkan dalam tinja Tjay dan Rahardja, 2002. Gejala penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa
tidak  enak  pada  perut  gangguan  lambung,  kejang  perut,  diselingi  diare, kehilangan berat badan dan demam Irianto, 2013.
Universitas Sumatera Utara
9 d. Trikuriasis penyakit cacing cambuk
Agen  penyebab  penyakit  ini  adalah
Trichuris  trichiura
.  Umumnya  terdapat  di negara  beriklim  panas  dan  lembab.  Cacing  cambuk  bermukim  di  mukosa  usus
halus  dan  usus  besar  dalam  tubuh  manusia,  biasanya  dengan  menimbulkan kerusakan  dan  peradangan  Tjay  dan  Rahardja,  2002.  Gejala  penyakit  cacing
cambuk yaitu nyeri di ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare dan anemia Irianto, 2013.
e.  Ankilostomiasis penyakit cacing tambang Penyakit  ini  disebabkan  oleh  infeksi
Ancylostoma  duodenale
dan
Necator americanus
.  Cacing  ini  disebut  cacing  tambang  atau  cacing  terowongan  karena terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung. Penularannya terjadi oleh
larva  yang  memasuki  kulit  kaki  yang  terluka.  Setelah  memasuki  vena,  larva menuju  ke  paru-paru  dan  bronki,  akhirnya  masuk  ke  saluran  cerna  Tjay  dan
Rahardja,  2002.  Cacing  menempel  pada  mukosa  usus  dan  menyebabkan anoreksia dengan gejala adanya luka mengakibatkan pendarahan usus kronis yang
menyebabkan  anemia, selain itu gejala penyakit ini adalah  gangguan pencernaan berupa mual, muntah, diare, nyeri ulu hati, pusing, nyeri kepala, lemas, lelah dan
gatal di daerah masuknya cacing Irianto, 2013. f. Trikinosis cacing rambut
Agen penyebab penyakit ini adalah
Trichinella spiralis
, biasanya disebabkan oleh konsumsi daging yang tidak cukup matang, khususnya babi Tjahyanto dan Salim,
2013. g. Strongiloidiasis penyakit cacing benang
Penyebab  penyakit  ini  adalah
Strongyloides  stercoralis
Tjahyanto  dan  Salim, 2013.  Penularannya  lewat  larva  yang  berbentuk  benang  yang  menembus  kulit.
Universitas Sumatera Utara
10 Cacing dapat bertahan puluhan tahun lamanya di mukosa bagian atas usus halus,
ditempat  ini  cacing  merusak  jaringan  dan  menimbulkan  reaksi  radang  Tjay  dan Rahardja, 2002.
2.2.2 Infeksi trematoda
Infeksi trematoda yang sering dijumpai adalah: a. Skistosomiasis
Penyakit  ini  disebabkan  oleh
Schistosoma  mansoni
dan
Schistosoma  japonicum
yang  merupakan  cacing  pipih.  Penyakit  ini  ditularkan  melalui  sejenis  keong sebagai  pembawa  larva.  Parasit  ini  menembus  kulit  manusia  dan  memasuki
peredaran  darah.  Skistosomiasis  merupakan  masalah  kesehatan  masyarakat  yang disebarkan  melalui  air  yang  terinfeksi  di  beberapa  bagian  dunia  Tjay  dan
Rahardja,  2002.  Lokasi  infeksi  utama  adalah  traktus  gastrointestinal.  Kerusakan pada  dinding  usus  disebabkan  oleh  respons  inflamasi  terhadap  telur-telur  yang
disimpan  dalam  daerah  tersebut.  Telur-telur  tersebut  juga  mensekresikan  enzim proteolitik  yang  menambah  kerusakan  jaringan.  Gambaran  klinis  berupa
pendarahan  GI,  diare  dan  kerusakan  hati  Tjahyanto  dan  Salim,  2013.  Penyakit ini  juga  disebabkan  oleh
Schistosoma  haematobium
,  lokasi  infeksi  utama  adalah vena  kandung  kemih.  Penyakit  ini  ditularkan  melalui  penetrasi  pada  kulit  secara
langsung. Bentuk skistomiasis ini didiagnosa dengan menemukan telur yang khas dalam urin atau dinding kantung kemih  Tjahyanto dan Salim, 2013.
b. Paragonimiasis Penyakit  ini  disebabkan  oleh
Paragonisum  westermani
trematoda  paru. Organisme  berpindah  dari  saluran  pencernaan  ke  paru,  yang  merupakan  tempat
Universitas Sumatera Utara
11 kerusakan  utama.  Infeksi  dapat  menimbulkan  batuk  yang  menghasilkan  sputum
dengan  darah.  Penyakit  ini  ditularkan  dengan  memakan  daging  kepiting  yang mentah.  Parogonimiasis  didiagnosa  dengan  menemukan  telur  dalam  sputum  dan
feses Tjahyanto dan Salim, 2013. c. Klonorkiasis
Penyakit  ini  disebabkan  oleh
Clonorchis  sinensis
.  Lokasi  infeksi  utama  adalah saluran  empedu,  responnya  berupa  inflamasi  yang  dapat  menyebabkan  fibrosis
dan  hiperplasia.  Penyakit  ini  ditularkan  dengan  memakan  ikan  air  tawar  yang mentah.  Klonorkiasis  didiagnosis  dengan  menemukan  telur  dalam  feses
Tjahyanto dan Salim, 2013.
2.2.3 Infeksi cestoda
Infeksi cestoda yang sering dijumpai adalah: a. Ekinokokkosis
Penyakit  ini  juga  disebut  sebagai  penyakit  hidatid  yang  disebabkan  oleh
Echinococcus  granulosis
cacing  pita  anjing.  Infeksi  menyebabkan  kista  hidatid yang  besar  di  dalam  hati,  paru  dan  otak.  Reaksi  anafilaktik  terhadap  antigen
cacing dapat terjadi bila terjadi ruptur kista. Penyakit timbul sesudah tercernanya telur dalam feses anjing. Domba sering berperan sebagai perantara. Einokokkosis
didiagnosa  melalui
CT-scan
atau  biopsi  jaringan  yang  terinfeksi  dan  diterapi dengan eksisi kista melalui pembedahan Tjahyanto dan Salim, 2013.
b. Taeniasis Bentuk  penyakit  ini  disebabkan  oleh
Taenia  solium
dewasa  cacing  pita  babi. Usus  merupakan  lokasi  infeksi  utama,  organisme  dapat  menyebabkan  diare,
walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit
Universitas Sumatera Utara
12 ini ditularkan melalui larva dalam daging babi  yang kurang matang  atau  melalui
penelanan  telur  cacing  pita.  Taeniasis  didiagnosa  melalui  deteksi  proglotid  di dalam feses Tjahyanto dan Salim, 2013. Penyakit ini juga disebabkan oleh larva
dari
Taenia saginata
cacing pita sapi. Organisme ini terutama menginfeksi usus. Penyakit  ini  ditularkan  oleh  larva  dalam  daging  sapi  yang  kurang  matang  atau
mentah.  Taeniasis  didiagnosa  melalui  deteksi  proglotid  dalam  feses  Tjahyanto dan Salim, 2013.
Taenia  sukar  sekali  dibasmi  karena  kepalanya
scolex
yang  relatif  kecil dibenamkan ke dalam  selaput lendir usus  hingga  tidak bersentuhan dengan obat.
Bagian  cacing  yang  bersentuhan  dengan  obat  telah  dimatikan  dan  kemudian
scolex
dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru Tjay dan Rahardja, 2002.
c. Sistiserkosis Penyakit ini disebabkan  oleh larva
Taenia  solium
.  Infeksi menghasilkan sitiserki dalam otak menimbulkan kejang, sakit kepala dan muntah dan di mata. Penyakit
ini  terjadi  sesudah  penelanan  telur  dari  feses  manusia.  Sistiserkosis  didiagnosa melalui C
T-scan
atau biopsi Tjahyanto dan Salim, 2013. d. Difilobotriasis
Penyakit  ini  disebabkan  oleh
Diphyllobothrium  latum
cacing  pita  ikan.  Cacing dewasa  pada  usus  penderita  dapat  sepanjang  15  meter.  Penyakit  ini  ditularkan
oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis didiagnosa melalui deteksi telur yang khas di dalam feses Tjahyanto dan Salim, 2013.
Universitas Sumatera Utara
13
2.3 Pengobatan Kecacingan
Antelmintik  adalah  obat  yang  digunakan  untuk  memberantas  atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh Gunawan dan Sulistia,
2011.
2.3.1 Antelmintik untuk infeksi nematoda
a. Tiabendazol Tiabendazol  merupakan  benzimidazol  sintetik  berspektrum  luas  terhadap
nematoda.  Obat  ini  efektif  mengobati  strongiloidiasis  yang  disebabkan  oleh cacing benang, larva migran kutaneus  dan stadium awal  trikinosis.  Thiabendazol
bekerja  dengan  mempengaruhi  agregasi  mikrotubulus  Tjahyanto  dan  Salim, 2013; Gunawan dan Sulistia, 2011.
b. Ivermektin Ivermektin  merupakan  hasil  fementasi  dari  jamur
Streptomyces  avermitilis
Tjay dan  Rahardja,  2002.  Ivermektin  adalah  antelmintik  pilihan  untuk  pengobatan
onkoserkiasis yang disebabkan oleh
Onchocerca  volvulus
, larva migran kutaneus dan  strongiloidosis.  Ivermektin  membidik  reseptor  kanal  Cl
-
yang  bergerbang glutamat pada parasit. Aliran masuk klorida meningkat dan terjadi hiperpolarisasi,
menyebabkan paralisis cacing Tjahyanto dan Salim, 2013. c. Mebendazol
Mebendazol  merupakan  senyawa  benzimidazol  sintetik  yang  berspektrum  luas terhadap  nematoda.  Obat  ini  banyak  digunakan  sebagai  monoterapi  untuk
penanganan  infeksi  cacing  tunggal  maupun  infeksi  campuran  dengan  dua  atau lebih cacing Tjay dan Rahardja, 2002. Mebendazol merupakan obat pilihan pada
terapi  infeksi  oleh  cacing  cambuk,  cacing  kremi,  cacing  tambang  dan  cacing gelang.  Mebendazol  bekerja  dengan  mengikat  dan  mengganggu  pembentukan
Universitas Sumatera Utara
14 mikrotubulus  parasit  serta  menurunkan  ambilan  glukosa  Tjahyanto  dan  Salim,
2013; Tjay dan Rahardja, 2002. d. Pirantel pamoat
Pirantel  pamoat  bersama  dengan  mebendazol,  efektif  pada  pengobatan  infeksi cacing  gelang,  cacing  kremi  dan  cacing  tambang.  Obat  ini  bekerja  sebagai  agen
penghambat  neuromuskular  dan  depolarisasi,  menyebabkan  aktivasi  permanen pada  reseptor  nikotinik  parasit.  Cacing  yang  terparalisis  kemudian    dikeluarkan
dari saluran cerna Tjahyanto dan Salim, 2013. e. Dietilkarbamasin
Dietilkarbamasin  digunakan  pada  pengobatan  filiarisis  karena  kemampuannya melumpuhkan mikrofilaria dan membuat mikrofilaria rentan terhadap mekanisme
pertahanan Tjahyanto dan Salim, 2013.
2.3.2 Antelmintik untuk infeksi trematoda
Infeksi  trematoda,  secara  umum  diobati  dengan  praziquantel.  Obat  ini adalah  agen  pilihan  untuk  pengobatan  seluruh  bentuk  skistosomiasis  dan  infeksi
trematoda  lainnya,  serta  infeksi  cestoda  seperti  sistiserkosis.  Permeabilitas membran  sel  terhadap  kalsium  meningkat,  meyebabkan  kontraktur  dan  paralisis
parasit Tjahyanto dan Salim, 2013.
2.3.3 Antelmintik untuk infeksi cestoda
a. Albendazol Albendazol  adalah  suatu  benzimidazol  berspektrum  lebar  yang  dapat  diberikan
peroral  Gunawan  dan  Sulistia,  2011.  Obat  ini  bekerja  dengan  cara  berikatan dengan β-tubulin parasit sehingga menghambat sintesis mikrotubulus dan ambilan
glukosa pada larva atau nematoda dewasa sehingga persediaan glikogen menurun dan  pembentukan  ATP  berkurang,  akibatnya  cacing  akan  mati.  Aplikasi
Universitas Sumatera Utara
15 terapeutik  utamanya  adalah  pengobatan  infeksi  cacing  kremi,  cacing  tambang,
cacing  gelang,  penyakit  neuro-sistiserkosis  dan  penyakit  hidatid  Tjahyanto  dan Salim, 2013; Gunawan dan Sulistia, 2011.
b. Niklosamid Niklosamid  adalah  obat  pilihan  untuk  sebagian  besar  infeksi  cestoda  cacing
pita. Kerjanya dianggap menghambat fosforalisasi adenosin difosfat mitokondria parasit,  yang  menghasilkan  energi  yang  dapat  digunakan  dalam  bentuk  adenosin
trifosfat  dan  metabolisme  anaerobik  juga  dapat  dihambat  Tjahyanto  dan  Salim, 2013.
Kebanyakan  obat  cacing  efektif  terhadap  satu  macam  cacing,  hanya beberapa  obat  yang  memiliki  khasiat  terhadap  lebih  jenis  cacing
broad spectrum
,  misalnya  mebendazol.  Diagnosis  tepat  diperlukan  sebelum menggunakan  obat  cacing.  Kebanyakan  obat  cacing  diberikan  secara  oral,  pada
saat  makan  atau  sesudah  makan.  Beberapa  obat  cacing  perlu  diberikan  bersama obat  pencahar  seperti  praziquantel  dan  niklosamid.  Posmedikasi  banyak
antelmintik  dalam  dosis  terapi  hanya  bersifat  melumpuhkan  cacing,  jadi  tidak mematikannya Gunawan dan Sulistia, 2011; Tjay dan Rahardja, 2002.
Antelmentik  dapat  menimbulkan  efek  samping  seperti  rasa  mual, hilangnya  nafsu  makan,  muntah,  sakit  kepala  dan  diare    Vennila,  et  al.,  2015;
Nitave, et al., 2014; Liu dan Weller, 1996. Resistensi cacing parasit pada ternak juga  telah  banyak  dilaporkan  seperti  pada  golongan  benzimidazol,  imidotiazol-
tetrahidropirimidin  dan  lakton  makrosiklik  yang  digunakan  lebih  dari  periode yang  ditentukan  dan  diberikan  dengan  dosis  rendah  oleh  para  petani  sehingga
menyebabkan  resistensi,  infeksi  cacing  dari  hewan  ternak  dapat  berlanjut  terjadi pada manusia dan keadaan resistensi kemungkinan kedepannya dapat terjadi pada
Universitas Sumatera Utara
16 manusia  Vercruysse,  et  al.,  2011;
Sutherland  dan  Leathwick,  2011; Wolstenholme, et al., 2004. Dilaporkan juga terjadinya kegagalan dan penurunan
efektivitas  obat  antelmintik  dosis  tunggal  seperti  kegagalan  pirantel  terhadap cacing  tambang
Ancylostoma  duodenale
Reynoldson,  et  al.,  1997,  menurunnya efikasi  mebendazol  dan  levamisol  terhadap  cacing  tambang  dan  nematoda  pada
saluran  pencernaan  Flohr,  et  al.,  2007;  Albonico,  et  al.,  2003,  menurunnya efikasi  albendazol  terhadap  cacing  tambang  Humphries,  et  al.,  2011  dan
terjadinya  kegagalan  tiabendazol  terhadap
Haemochus  contortus
Kotze,  et  al., 2009.  Kegagalan  dan  penurunan  efektivitas  obat-obat  antelmintik  tersebut
merupakan  petanda  telah  terjadinya  resistensi  pada  manusia  Lalchhandama,  K., 2010;  Prichard,  R.K.,  2007.
Menggunakan  dosis  berganda  atau  dosis  berulang merupakan  solusi  terbaik,  tetapi  hal  tersebut  sulit  diaplikasikan  oleh  masyarakat
karena  bermasalah  pada  waktu  penggunaan  sehingga  dapat  menyebabkan resistensi dan tidak tuntasnya pengobatan Vercruysse, et al., 2011.
2.4 Potensi Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik
Masyarakat  Indonesia  sudah  sejak  zaman  dahulu  mengenal  dan memanfaatkan  tanaman  berkhasiat  obat  sebagai  salah  satu  upaya  dalam
penanggulangan  masalah  kesehatan  yang  dihadapi.  Pemeliharaan  dan pengembangan  pengobatan  tradisional  sebagai  warisan  budaya  bangsa  terus
ditingkatkan  dan  didorong  pengembangannya  melalui  penggalian,  pengujian  dan penemuan  obat-obat  baru,  termasuk  budidaya  tanaman  yang  secara  medis  dapat
dipertanggungjawabkan  Syukur  dan  Hernani,  2002.  Pengobatan  dengan menggunakan  tanaman  berkhasiat  obat  merupakan  salah  satu  alternatif  yang
dipilih  untuk  memperkecil  adanya  efek  samping  karena  pemberian  obat  sintetis.
Universitas Sumatera Utara
17 Telah  banyak  diketahui  tanaman  obat  yang  berkhasiat  sebagai  antelmintik  yang
pernah dan masih digunakan hingga saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,  diperoleh  tanaman  yang  mempunyai  khasiat  antelmintik  diantaranya
daun  pepaya,  pare,  temu  giring,  temu  hitam,  biji  pinang  Tiwow,    dkk.,  2013, putri malu Ratnawati, 2013 dan andong Asih, 2014.
Studi
in  vitro
menunjukkan  bahwa  beberapa  spesies  tumbuhan  dari  famili
Amaranthaceae, Arecaceae,
Asteraceae, Crassulaceae,
Dryopteridaceae, Euphorbiaceae,  Fabaceae,  Lythraceae,  Moraceae,  Myrisnaceae,  Polygonaceae,
Rutaceae, Zingiberaceae,
Apiaceae
Wink, 2012,
Ranunculaceae, Cucurbitaceae,  Dryopteridaceae,  Araliaceae,  Junglandaceae,  Valeria naceae
Urban,  et  al.,  2015,
Lythraceae
Bairagi,  et  al.,  2011,
Moraceae
Mughal,  et al., 2013 dan
Schropulariaceae
Padal, et al., 2014; Ranjani, et al., 2013 mampu membunuh cacing pasrasit penyebab infeksi pada manusia
.
2.5 Golongan Senyawa Kimia yang Terbukti Berkhasiat Sebagai Antelmintik