Pembahasan Penelitian HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.4 Pembahasan Penelitian

Jumlah penderita TB MDR yang positif dari baku emas kultur uji kepekaan obat metode proporsi dengan media LJ pada penelitian ini sebanyak 42 orang dan diambil data dasarnya dari rekam medik. Hasil penelitian ini menunjukkan ada beberapa pasien yang mempunyai data tidak lengkap seperti pekerjaan 3 sampel, tempat berobat TB sebelumnya 10 sampel dan penyakit komorbid 5 sampel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah penderita TB MDR terbanyak pada usia 25-34 tahun dengan jumlah 13 penderita 30,95. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Nofizar et al pada tahun 2012 di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta bahwa penderita TB MDR terbanyak pada usia 25-34 tahun dengan 15 penderita 30. Penelitian Nofizar et al juga menunjukkan bahwa penderita TB MDR usia 35-45 tahun sama banyaknya dengan penderita TB MDR usia 25-34 tahun. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Yuan et al pada tahun 2013 di Cina yang menunjukkan bahwa penderita TB MDR kebanyakan pada usia 40-59 tahun. Tetapi penelitian tersebut tidak menjelaskan mengapa TB MDR lebih banyak terjadi pada usia tersebut. Kemungkinan oleh karena pengawasan, pengobatan yang tidak adekuat, dan kepatuhan berobat rendah karena beban kerja dan beban mental yang berat pada usia 40-59 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi penderita TB MDR berdasarkan jenis kelamin yaitu penderita TB MDR pada laki-laki lebih banyak dibandingkan pada perempuan dengan 30 orang 71,43: 12 orang 28,57. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sirait et al pada tahun 2013 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung yang menunjukkan bahwa penderita TB MDR lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan 56,8: 43,2. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Jen Suo et al di Taiwan dalam Nofizar et al 2012 dan penelitian yang dilakukan Mitnick et al di Peru dalam Sinaga 2013 yang menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak menderita TB MDR dibandingkan laki-laki dengan 11 64: 7 36 dan 51: 49. Menurut Masniari et al dalam Nofizar et al 2012, perempuan lebih sering terlambat berobat atau datang ke fasilitas Universitas Sumatera Utara kesehatan karena berhubungan dengan rasa malu yang lebih dibandingkan dengan laki-laki serta adanya rasa khawatir akan dikucilkan dari keluarga dan lingkungan sekitarnya akibat penyakitnya. Penelitian yang dilakukan Rifat et al pada tahun 2014 di Banglades menunjukkan bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor resiko untuk terjadinya TB MDR. Distribusi status pernikahan penderita TB MDR pada penelitian ini terbanyak pada penderita yang sudah menikah sebanyak 38 orang 90,48. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan di India Utara oleh Sharma et al pada tahun 2014 bahwa TB MDR lebih banyak pada penderita yang menikah dengan jumah 51 orang 85. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Brito et al di Brazil tahun 2010 yang menunjukkan bahwa TB MDR lebih banyak pada penderita yang belum menikah sebanyak 23 penderita 52,27 dibandingkan pada penderita yang sudah menikah sebanyak 21 penderita 47,73 tetapi tidak terdapat perbedaan kejadian TB MDR yang bermakna antara penderita TB MDR yang belum menikah dengan penderita TB MDR yang sudah menikah dengan TB MDR p value sebesar 0,14. Distribusi pekerjaan penderita TB MDR pada penelitian ini adalah buruhkaryawan dengan 11 penderita 26,19. Pada penelitian ini supir dan bekerja di bengkel termasuk dalam buruhkaryawan. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Nofizar et al 2012 yang menunjukkan bahwa swasta merupakan pekerjaan yang paling banyak pada penderita TB MDR dengan jumlah 16 orang 32 tetapi penelitian tersebut tidak merinci pekerjaan di bidang sektor swasta. Penelitian yang dilakukan Rifat et al 2014 menunjukkan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan atau bisnis mempunyai hubungan dengan TB MDR, supir merupakan pekerjaan yang selalu berpergian juga berhubungan dengan TB MDR dan tidak ditemukan hubungan pekerjaan di bidang kesehatan dengan TB MDR. Distribusi tempat berobat TB sebelumnya pada penelitian ini menunjukkan bahwa puskesmas merupakan tempat berobat TB sebelumnya yang terbanyak dengan jumlah 11 orang 26,19. Hasil penelitian ini dapat dijelaskan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Suharmiati dan Maryani pada tahun 2011 dengan menggunakan data sekunder hasil Survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 yang Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan yang dimanfaatkan oleh penderita TB diagnosis untuk mendapatkan obat TB terbanyak di puskesmas dengan 47,6, pasien berhenti setelah minum obat 2-5 bulan sebanyak 39,6, dan pasien tidak minum obat 57,1. Ketidakpatuhan berupa kontrol tidak teratur dan mangkirputus obat merupakan faktor resiko bagi pasien TB MDR, komunikasi, informasi, dan edukasi yang disampaikan oleh dokter merupakan faktor resiko dari sisi dokter dan sebagian besar pasien tidak meminum obat OAT sesuai panduan yang benar merupakan faktor resiko dari obat pada penderita TB MDR Nofizar et al, 2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit komorbid yang ditemukan adalah diabetes melitus sebanyak 10 orang 23,81, tidak ditemukan penyakit komorbid lain, dan penderita TB MDR yang tidak mempunyai penyakit komorbid sebanyak 27 orang 64,29. Penelitian yang dilakukan Yuan et al 2013 menunjukkan bahwa DM merupakan faktor penting TB. Hubungan antara DM dengan TB MDR masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien DM lebih mudah menderita TB MDR dibandingkan dengan yang tanpa DM, tetapi penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada resiko yang meningkat pada penderita DM untuk menderita TB MDR. Penelitian Rifat et al 2014 menunjukkan bahwa DM tipe 2 merupakan faktor resiko TB dan berhubungan dengan TB MDR yang mempengaruhi outcome pengobatan TB dan keadaan penyakit yang menyebabkan gagalnya pengobatan dan menurunnya imunitas terhadap TB oleh karena DM meningkatkan kesensitifan terhadap infeksi dengan strain yang resisten obat. Distribusi kriteria suspek TB MDR pada penelitian ini terbanyak pada kriteria suspek TB MDR yang keenam yaitu pasien TB kasus kambuh relaps kategori 1 dan kategori 2 dengan jumlah 17 sampel 40,48. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Nofizar et al 2012 yang menunjukkan bahwa kriteria suspek TB MDR yang terbanyak pada kriteria suspek yang pertama yaitu kasus kronik gagal pengobatan kategori 2 sebanyak 18 orang 36. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Sharma et al pada tahun 2011 di India menunjukkan bahwa dari 40 pasien TB MDR, 29 orang 72,5 merupakan pasien TB yang relaps atau kambuh, 3 orang 7,5 Universitas Sumatera Utara merupakan pasien TB yang gagal pengobatan atau treatment failure, dan 8 orang 20 merupakan pasien TB yang lalaidefault. Pada penelitian ini didapatkan 42 dari 48 sampel yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid berdasarkan hasil uji kepekaan metode proporsi media LJ atau terdapat 87,5 penderita yang resisten terhadap rifampisin juga resisten terhadap isoniazid. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramirez et al di Atlanta pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa dari 154 penderita yang resisten rifampisin, 148 penderita diantaranya juga resisten terhadap isoniazid atau 96,10 penderita yang mengalami resistensi rifampisin, resisten juga terhadap isoniazid sehingga dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk menentukan TB MDR. World Health Organization telah merekomendasikan pemakaian GeneXpert MTBRIF pada negara berkembang dan pada negara dengan beban TB MDR tinggi Ocheretina et al, 2014. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa lebih dari 90 kasus resistensi rifampisin juga resistensi terhadap isoniazid oleh karena itu resistensi rifampisin dapat digunakan sebagai tanda pengganti TB MDR Dlamini-Mvelase et al, 2014. Negara dengan angka TB MDR tinggi, adanya resistensi rifampisin juga dapat digunakan sebagai wakil dari TB MDR WHO, 2011b, Coovadia et al, 2013. Secara teori, jika resistensi rifampisin dan TB MDR mempunyai korelasi kuat, maka deteksi TB MDR cukup hanya dengan sebuah single rapid test yang mendeteksi resistensi rifampisin seperti GeneXpert MTBRIF. Pada negara dengan monoresisten rifampisin rendah tetapi prevalensi TB MDR tinggi, korelasi ini dapat dipakai. Negara dengan monoresisten rifampisin tinggi, korelasi tersebut masih dipertanyakan dan tidak selalu dapat digunakan Coovadia et al, 2013. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa GeneXpert MTBRIF dapat digunakan sebagai uji diagnosa awal pada orang yang disangka TB MDR ataupun sebagai uji awal sebagai pengganti uji kepekaan konvensional Steingart et al, 2013. Berdasarkan data dari WHO 2013a Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban TB MDR tinggi dengan perkiraan pasien TB MDR sebesar 6.900 kasus yaitu 1,9 dari kasus baru dan 12 dari kasus pengobatan ulang. Universitas Sumatera Utara Beberapa penelitian di Indonesia juga menunjukkan angka monoresisten yang rendah seperti yang dilaporkan oleh Aditama et al dalam Sihombing et al 2012 yang mendapatkan angka 0,50 pada monoresisten rifampisin dan hasil penelitian Sihombing et al di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012 yang mendapatkan monoresisten rifampisin hanya ada 1 kasus 1,18 dari 18 kasus monoresisten primer. Oleh karena itu GeneXpert MTBRIF dapat digunakan untuk mendeteksi atau mendiagnosa TB MDR. Hasil penelitian ini mendapatkan sensitivitas GeneXpert MTBRIF dalam mendiagnosa TB MDR dan mendeteksi resistensi rifampisin dibandingkan dengan baku emas kultur uji kepekaan obat metode proporsi pada media LJ yaitu 92,86 dan 91,67. Tiga dari 64 sampel penelitian menunjukkan hasil sensitif terhadap rifampisin pada pemeriksaan GeneXpert MTBRIF dalam mendiagnosa TB MDR, namun menunjukkan hasil resisten terhadap rifampisin atau isoniazid pada uji kepekaan obat metode LJ, hal ini disebut dengan negatif palsu pada pemeriksaan GeneXpert MTBRIF. Nilai negatif palsu ini mempengaruhi nilai sensitivitas dalam mendiagnosa TB MDR pada penelitian ini. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Sirait et al 2013 yang mendapatkan sensitivitas GeneXpert MTBRIF untuk menilai TB MDR dibandingkan kultur uji kepekaan obat pada media LJ yaitu 92,3. Penelitian lain yang dilakukan Boehme pada tahun 2009 di beberapa negara mendapatkan sensitivitas GeneXpert MTBRIF dalam kasus TB MDR sebesar 96,5. Resistensi rifampisin dihubungkan dengan mutasi pada gen rpoB, yang di kode β-subunit RNA polymerase pada M. tuberculosis Li et al, 2012. Pada GeneXpert MTBRIF resistensi rifampisin dideteksi sebagai gagalnya satu atau lebih rpoB-molecular beacon spesifik untuk menghibridisasi amplikon rpoB Helb et al, 2010. Penelitian Raj et al 2012 menemukan bahwa 16 sampel dari 23 sampel mengalami mutasi yang disebabkan oleh gagalnya mendeteksi paling sedikit 1 dari 5 probe dan mutasi yang menghasilkan perbedaan cycle threshold atau Δ CT perbedaan jumlah siklus amplifikasi pada saat fluoresensi mencapai suatu nilai ambang tertentu lebih dari 3,5 siklus. Universitas Sumatera Utara Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 95 M. tuberculosis yang resisten rifampisin mengalami mutasi pada gen 81 bp rpoB pada kodon 507 sampai 533 Li et al, 2012, Castan et al, 2014. Diperkirakan sebanyak 5 M. tuberculosis yang resisten rifampisin mengalami mutasi di luar hot spot region rpoB Li et al, 2012. Hal tersebut mungkin menyebabkan terjadinya negatif palsu pada penelitian ini. Tetapi masih ada juga beberapa kemungkinan lain yang menyebabkan terjadinya negatif palsu, diantaranya yaitu kesalahan operator, kerusakan pada saat pembuatan, keberadaan inhibitor pada sampel Helb et al, 2010. Dekontaminasi maupun kesalahan prosedur dekontaminasi dapat membunuh bakteri atau over killing yang dapat menyebabkan negatif palsu pada kultur Battaglioli et al, 2013. Untuk itu dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk membuktikan penyebab negatif palsu ini. Penelitian yang dilakukan Zetola et al pada tahun 2014 di Botswana mendapatkan 4 sampel yang resisten terhadap rifampisin dengan pemeriksaan uji kepekaan obat media LJ tetapi pada pemeriksaan GeneXpert MTBRIF memberikan hasil yang sensitif rifampisin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas GeneXpert MTBRIF mendeteksi resistensi rifampisin mempunyai nilai yang bervariasi antara 60 sampai hampir 100, tergantung karakteristik populasi yang diuji dan jumlah bakteri pada sampel. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa menurunnya sensitivitas GeneXpert MTBRIF pada infeksi M. tuberculosis campuran. Penelitian yang dilakukan Lawn dan Nicol pada tahun 2011 mendapatkan bahwa jika jumlah M. tuberculosis yang sensitif lebih banyak daripada M. tuberculosis yang resisten rifampisin, maka resistensi rifampisin tidak dapat dideteksi. Nilai spesifisitas GeneXpert MTBRIF dibandingkan baku emas kultur uji kepekaan obat metode proporsi pada media LJ dalam mendiagnosa TB pada penelitian ini sebesar 59,09. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sirait et al 2013 yang mendapatkan nilai spesifisitas 75. Nilai spesifisitas GeneXpert MTBRIF dibandingkan baku emas kultur uji kepekaan obat metode proporsi pada media LJ dalam mendeteksi resistensi rifampisin pada penelitian ini sebesar 75. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sirait et al 2013 yang mendapatkan nilai Universitas Sumatera Utara spesifisitas sebesar 81,8. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan penelitian lain yang mendapatkan nilai spesifisitas GeneXpert MTBRIF dibandingkan uji kepekaan obat metode proporsi media LJ sebesar 94,3 Ioannidis et al, 2011. Nilai spesifitas GeneXpert MTBRIF dipengaruhi oleh nilai positif palsu, yaitu pada pemeriksaan GeneXpert MTBRIF menunjukkan hasil resisten rifampisin tetapi pada hasil uji kepekaan obat metode proporsi menunjukkan hasil sensitif terhadap rifampisin Sirait et al, 2013. Pada penelitian ini mendapatkan 9 dari 64 sampel menunjukkan hasil resisten terhadap rifampisin pada pemeriksaan GeneXpertMTB RIF tetapi menunjukkan hasil sensitif terhadap rifampisin dan isoniazid pada uji kepekaan obat metode proporsi dengan media LJ yang disebut dengan positif palsu. Penelitian yang dilakukan Sirait et al mendapatkan 3 pada 51 sampel menunjukkan positif palsu. Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya positif palsu diantaranya yang paling sering disebabkan karena kontaminasi target ampifikasi akibat katrid yang tidak tertutup rapat karena tidak menggunakan pipetspuit yang steril dan sesuai pada saat memasukkan sampel Helb et al, 2010. Selain itu dapat juga disebabkan oleh karena terlambatnya probe menempel pada target Sirait et al, 2013 seperti yang pernah dilaporkan oleh Lawn dan Nicol pada tahun 2011 di Afrika yang menemukan bahwa dari 55 sampel yang sensitif rifampisin dengan uji kepekaan obat media LJ, pada pemeriksaan GeneXpert MTBRIF menunjukkan hasil yang resisten rifampisin, kemudian dilakukan sekuensing dan tidak ditemukan adanya mutasi pada gen rpoB. Penelitian yang dilakukan oleh Zetola et al 2014 mendapatkan 1 sampel resisten rifampisin pada GeneXpert MTBRIF tetapi pada uji kepekaan konvensional menunjukkan sensitif rifampisin. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya sekuen gen rpoB dari 2 strain M. tuberculosis yang diidentifikasi. Laporan dari Zetola et al 2014 juga menyebutkan bahwa pada beberapa penelitian menunjukkan beberapa pasien dengan hasil GeneXpert MTBRIF resisten rifampisin tetapi pada hasil uji kepekaan konvensional menunjukkan hasil sensitif rifampisin positif palsu juga dapat disebabkan oleh rendahnya sensitivitas uji kepekaan obat konvensional yang kadang-kadang dapat disebabkan oleh metode pertumbuhan bakteri yang tidak sesuai dengan standar. Universitas Sumatera Utara Spesifisitas yang rendah kemungkinan juga dapat disebabkan oleh karena banyaknya sampel yang tidak tumbuh pada media kultur seperti yang dilaporkan oleh Sirait et al yang melakukan penelitian di Bandung pada tahun 2013 yaitu terdapat 12 sampel yang pada pemeriksaan GeneXpert MTBRIF menunjukkan positif M. tuberculosis namun ternyata tidak tumbuh pada saat dikultur dan tidak dapat dianalisa yang disebabkan oleh penderita suspek TB MDR sedang menjalani pengobatan TB sehingga viabilitas M. tuberculosis berkurang. Kemungkinan lain positif palsu juga dapat disebabkan karena Xpert MTBRIF mendeteksi M. tuberculosis yang mati yang tidak dapat dideteksi dengan kultur WHO, 2014. Penelitian yang dilakukan oleh Friedrich et al 2013 menunjukkan bahwa GeneXpert MTBRIF tidak membedakan antara M. tuberculosis yang viable, dormant, dan non viable pada saat penderita dalam pengobatan TB, setelah 8 minggu pengobatan TB 84 sampel sputum masih tetap positif pada pemeriksaan GeneXpert MTBRIF dan 26 pada media LJ. Kesalahan laboratorium seperti kesalahan pemberian identifikasi label dan kontaminasi silang diantara spesimen dapat mengakibatkan positif palsu dan negatif palsu pada kultur Ditjen PP dan PL, 2013. Kontaminasi juga dapat terjadi oleh karena kemungkinan waktu yang lama antara pengumpulan sampel dan proses sampel Baattagliolo et al, 2014. Sputum sebaiknya tetap dalam suhu 2-8 o C termasuk ketika sputum dibawa ke laboratorium, waktu penyimpanan sputum maksimum 3 hari jika pada suhu ruangan 35 o C dan 10 hari jika sputum disimpan pada suhu 4 o C Halilu et al, 2014. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan penyebab positif palsu atau spesifisitas yang rendah pada GeneXpert MTBRIF. Pada penelitian ini sampel dikirim ke BPLK Bandung untuk dilakukan uji kepekaan obat metode proporsi dengan media LJ. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah proses pengiriman sampel ke BPLK Bandung berpengaruh terhadap positif palsu atau negatif palsu pada penelitian ini. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk membuktikan apakah proses pengiriman sampel mempunyai pengaruh terhadap positif palsu dan negatif palsu. Berdasarkan uji diagnostik di atas, pemeriksaan metode GeneXpert MTBRIF menggunakan bahan pemeriksaan sputum memiliki sensitivitas yang Universitas Sumatera Utara tinggi terhadap baku emas uji kepekaan metode proporsi dengan media LJ oleh karena itu dapat digunakan sebagai alat skrining untuk mendiagnosa TB MDR.

4.5 Keterbatasan Penelitian