Penilaian persedian berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasi

b. Penilaian persedian berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasi

Kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan atau menjadi ketinggalan jaman diukur dengan selisih antara harga perolehan dengan taksiran nilai bersih yang bisa direalisasi . Nilai bersih yang bisa direalisasi adalah taksiran harga jual dikurangi dengan taksiran biaya yang diperlukan untuk menjual barang tersebut. Menurut Warren, Reeve, Fess 2005 : 469 mengatakan bahwa: “Nilai realisasi bersih net realizable adalah estimasi harga jual dikurangi biaya pelepasan langsung seperti komisi penjualan”. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 2004 : 14.2 menjelaskan bahwa “Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi bersih, mana yang lebih rendah the lower of cost and net realizable value”. Sebagai contoh, misalkan sebuah toko barang-barang elektronik mempunyai 4 empat buah pesawat televisi yang rusak bagian luarnya karena tergores ketika masih berada di gudang. Harga perolehan barang tersebut adalah Rp. 1.000.000,- dan biasanya dijual dengan harga eceran Rp. 1.500.000,- . Pada tanggal neraca barang tersebut akan laku dijual dengan harga Rp. 700.000,- dan diperlukan biaya perbaikan Rp. 200.000,- ditambah komisi untuk pegawai bagian penjualan sebesar 10 . Maka nilai bersih yang dapat direalisasi untuk setiap pesawat televisi adalah Taksiran harga jual ..................................................................... Rp. 700.000,- Kurangi : Biaya penjualan : - Reperasi............................... Rp. 200.000,- - Komisi 10 ........................ Rp. 70.000,- Universitas Sumatera Utara Rp. 270.000,- Nilai bersih yang bisa direalisasi ............................................ Rp. 430.000,- Dengan demikian perusahaan akan menderita kerugian Rp. 570.000,- untuk tiap buah televisi, atau kerugian seluruhnya menjadi Rp. 2.280.000,- . Kerugian tersebut harus diakui pada periode ini. Perlakuan demikian bisa diterima, karena kerugian penurunan dalam nilai diderita pada periode ini, yaitu ketika barang masih berada dalam persediaan. Jurnal yang harus dibuat untuk mencatat kerugian ini adalah sebagai berikut : Kerugian penurunan nilai persediaan Rp. 2.280.000,- Persediaan Rp. 2.280.000,- Kerugian di atas dilaporkan dalam laporan laba rugi bagian biaya lain- lain. Pada periode berikutnya seandainya televisi tersebut bisa dijual sebesar nilai bersih diatas, perusahaan tidak perlu mengakui kerugian lagi. c. Metode Taksiran Metode taksiran dipergunakan apabila : 1 Persediaan di gudang banyak jumlahnya dan jenis barangnya, sehingga bila dilakukan penghitungan fisik akan memakan banyak waktu, tenaga dan biaya. 2 Dalam keadaan luar biasa misalnya gudang terbakar atau bencana lainnya, sehingga penghitungan fisik tidak mungkin dilakukan. Penentuan nilai persediaan menggunakan metode taksiran yang sering dipakai adalah: a Metode laba kotor Universitas Sumatera Utara Soemarso 2002 : 393 menyatakan bahwa : “Metode laba bruto pada dasarnya menggunakan konsep yang sama dengan metode eceran, yaitu konsep hubungan antara harga pokok dan harga jual”. Dalam keadaan mendesak perusahaan selalu menyusun laporan keuangan dengan segera. Karena keadaan tidak memungkinkan mengadakan inventarisasi misalnya karena kebakaran gudang atau karena bencana lainnya maka dapat dipergunakan metode taksiran laba kotor. Metode laba kotor dapat dipergunakan bila persentase laba kotor tetap. Bila persentase laba kotor telah diketahui, maka nilai penjualan dalam suatu periode tertentu dapat dihitung terdiri dari dua unsur yaitu laba kotor dan harga pokok barang yang dijual. Contoh : Menurut catatan diketahui penjualan Rp. 1.200.000,- Persediaan awal Rp. 100.000,- Pembelian Rp. 950.000,- Persentase laba 25 dari penjualan Dari data tersebut dapat dihitung : Harga pokok barang yang tersedia untuk dijual : Rp. 100.000 + Rp. 950.000 = Rp. 1.050.000,- Laba kotor : 25 x Rp. 1.200.000 = Rp. 300.000,- Harga pokok barang yang dijual : Rp. 1.200.000 – Rp. 300.000 = Rp. 900.000,- Persediaan akhir : Universitas Sumatera Utara Rp. 1.050.000 – Rp. 900.000,- = Rp. 150.000,- b Metode harga eceran Penilaian persediaan dengan metode taksiran harga jual secara eceran pada umumnya dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan yang menjual barang secara eceran. Alasan menggunakan metode ini adalah karena barang yang dijual banyak macamnya dan frekwensinya cukup tinggi sehingga sulit dilakukan penghitungan fisik untuk menentukan persediaan. Demikian juga penyelenggaraan kartu persediaan mengalami kesulitan mengingat frekwensi transaksi cukup tinggi. Menurut Warren, Reeve, Fess 2005 : 471 menyatakan bahwa : “Metode persediaan eceran Retail Inventory Method mengestimasikan biaya persediaan berdasarkan hubungan antara harga pokok barang dagangan yang tersedia untuk dijual dengan harga eceran dari barang dagang yang sama”. Contoh : Sebuah perusahaan mempunyai persediaan awal menurut harga pokok Rp. 80.000 dan menurut harga jual Rp. 100.000, pembelian selama periode tersebut Rp. 520.000 dan harga jual dari pembelian tersebut Rp. 650.000. Dari data tersebut diatas dapat dihitung nilai persediaan akhir sebagai berikut : Berdasarkan Berdasarkan Harga Pokok Harga Jual Persediaan awal Rp. 80.000,- Rp. 100.000,- Pembelian Rp. 520.000,- Rp. 650.000,- Barang yang tersedia dijual Rp. 600.000,- Rp. 750.000,- Penjualan Rp. 625.000,- Universitas Sumatera Utara Persediaan akhir menurut harga jual Rp. 125.000,- Berdasarkan barang yang tersedia untuk dijual menurut harga pokok dan menurut 80 100 000 . 750 . 000 . 600 . arg = × = Rp Rp jual a H Nilai persediaan menurut harga pokok :s 80 x Rp. 125.000 = Rp. 100.000,-

D. Sistem Pencatatan Persediaan

Sistem pencatatan persediaan merupakan pengelolaan persediaan melalui proses pencatatan sehingga data tentang persediaan dapat tersedia dengan benar. Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan dengan dua cara, yaitu :

1. Sistem periodik

Sistem periodik adalah suatu sistem akuntansi untuk persediaan yang harga pokok penjualannya ditentukan pada akhir periode akuntansi dengan melakukan koreksi atas catatan persediaan akhir, setelah dilakukan penghitungan fisik persediaan akhir. Mengenai sistem periodik ini Weygandt, Kieso, Kimmel 2007 :262 mengemukakan sebagai berikut : “Dalam sistem persediaan periodik Periodic Inventory System, rincian catatan persediaan barang yang dimiliki tidak sesuai secara terus-menerus dalam satu periode”.

2. Sistem Perpetual

Sistem perpetual adalah suatu sistem akuntansi untuk persediaan yang mencatat seluruh perubahan persediaan, baik penambahan maupun pengurangan Universitas Sumatera Utara