akan mengadakan multiplikasi didalam tubuh anthropoda tersebut, kemudian mikroorganisme penyebab penyakit akan menginfeksi ovarium dan sel telur dari
anthropoda. Anthropoda generasi berikutnya akan mengalami penularan. Penularan yang seperti ini adalah Srub typhus yang disebabkan oleh Rickettesia tsutsugamushi
dan Trombicula akamushi Soedarto, 1990.
2.1 Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue DBD
Di Indonesia nyamuk Aedes yang paling penting adalah nyamuk Ae. aegypti dan nyamuk Ae. albopictus, keduanya merupakan vektor penyakit demam berdarah
Soedarto, 1990. Demam berdarah tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia.
Virus dengue yang merupakan penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Satari dan Meiliasari, 2004. Nyamuk merupakan kelompok
yang paling penting dari serangga lain dalam bidang kesehatan masyarakat, karena dapat mengirimkan sejumlah penyakit, seperti malaria, filariasis, demam berdarah,
ensefalitis Jepang, dan menyebabkan jutaan kematian setiap tahun Vinayaka, dkk, 2010.
Dalam penularan DBD di Indonesia, nyamuk Ae.aegypti di perkotaan merupakan vektor endemik yang paling penting. Di daerah perkotaan nyamuk
Ae.aegypti selalu menggigit di dalam rumah sedangkan nyamuk Ae.albopictus menggigit di luar rumah karena perindukan nyamuk ini berada di kebun dan pohon-
pohon Soedarmo, 2009. Ae. aegypti juga dikenal sebagai vektor penular penyakit demam kuning yellow fever, sehingga sering disebut yellow fever mosquito.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Gambaran Umum mengenai Nyamuk
Aedes, spp 2.2.1 Asal Mula Nyamuk
Aedes, spp
Nyamuk Ae.aegypti pada awalnya berasal dari Mesir dan menyebar ke seluruh dunia melalui kapal laut dan kapal udara. Ae.aegypti adalah spesies nyamuk tropis
dan subtropis yang ditemukan, biasanya berada diantara 40 LU dan 40 LS seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika Hadinegoro dan Satari, 2004. Distribusi Aedes
juga dibatasi oleh ketinggian. Nyamuk aedes ini biasanya tidak ditemukan diatas 1000 m.
Nyamuk Ae. albopictus adalah spesies hutan yang beradaptasi dengan lingkungan hidup manusia di pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan. Di
laboratorium, nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dapat menularkan virus dengue secara vertikal melalui nyamuk betina ke telur sampai keturunannya, walaupun
albopictus lebih cepat melakukannya WHO, 2004.
2.2.2 Toksonomi dan Morfologi
Mudah untuk membedakan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dari bentuknya, pada albopictus garis toraksnya tidak mempunyai garis yang melengkung.
Ae. albopictus sering dijumpai diluar rumah Soedarto, 1990. Ciri utama nyamuk Ae. aegypti adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan dikedua sisi
lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam sehingga sering disebut black white mosquito Soegijanto,
2006. Di Indonesia nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu nyamuk rumah.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Gandahusada 2000, kedudukan nyamuk Aedes spp. dalam klasifikasi hewan, yaitu:
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Spesies : Aedes spp.
Nyamuk termasuk dalam kelompok serangga yang mengalami metamorphosis sempurna holometabola dengan memiliki siklus hidup berupa telur, larva, pupa dan
dewasa Sembel, 2009. Nyamuk Ae.aegypti memiliki masa pertumbuhan dan perkembangan yang dibagi dalam 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa dan dewasa
Soegijanto, 2004. 1.
Telur Telur nyamuk ini berbertuk ellips atau oval memanjang, warna hitam,
ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada
dinding bagian dalam tempat penampungan air yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak
85 melekat di dinding tempat penampungan air, sedangkan 15 lainnya jatuh kepermukaan air. Telur dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup
lama dalam bentuk dorman. Namun bila air cukup tersedia, telur bisa menetas 2-3 hari setelah diletakkan Sembel, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2. Larva Larva nyamuk ini berbentuk memanjang tanpa kaki dengan bulu yang
tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantiaan kulit, dan larva yang
terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri pada
thorax belum begitu jelas, dan corong pernafasan belum hitam. Larva instar II dan III bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri thorax belum jelas, dan
corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV sudah lengkap dan jelas dan dapat dibagi menjadi kepala chepal, dada thorax, dan perut
abdomen. Untuk mendapatkan oksigen di udara, larva Aedes biasanya menggantungkan agak tegak luruh pada permukaan air Sembel, 2009.
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antenna tanpa duri-duri, dan alat mulut tipe pengunyah. Bagian dada tampak paling
besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif,
dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.
3. Pupa Pupa nyamuk ini bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala dada
lebih besar bila dibandingkan dengan perutnya. Pada bagian punggung dada terdapat alat pernafasan seperti terompet. Dalam cangkang pupa terdapat
jaringan larva yang belum matang dan akan berubah menjadi nyamuk dewasa
Universitas Sumatera Utara
Achmadi, 2011. Pada ruas ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Gerakan pupa lebih lincah dibanding larva. Waktu
istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air. 4. Dewasa
Nyamuk dewasa Aedes tubuhnya tersusun dari 3 bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan
antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap piercing-sucking dan termasuk lebih menyukai manusia anthropophagus,
sedangkan tipe mulut nyamuk jantan lebih lemah sehingga nyamuk jantan tidak mampu menembus kulit manusia sehingga tergolong phytophagus atau
menyukai cairan tumbuhan. Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose.
Dada nyamuk ini tersusun dari 3 ruas, porothorax, mesothorax, dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur paha,
tibia betis, dan tarsus tampak. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap. Bagian punggung ada gambaran garis-garis putih yang dapat dipakai
untuk membedakan dengan jenis lain. Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas- ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk ini
tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya Soegijanto, 2004.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Ekologi dan Bionomik
Telur diletakkan satu persatu pada permukaan yang basah dan tepat diatas permukaan air. Perkembangan embrio biasanya selesai pada 48 jam di lingkungan
yang hangat dan lembab. Telur akan menetas pada saat penampuangan air penuh, tetapi tidak semua telur akan menetas pada waktu yang sama WHO, 2005.
Perkembangan larva tergantung pada suhu, tempat, keadaan air, ketersediaan makanan, dan kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi optimum, waktu yang
dibutuhkan mulai dari penetasan sampai munculnya nyamuk dewasa sedikitnya 7 hari, termasuk 2 hari untuk menjadi pupa. Di wilayah dengan persediaan air tidak
menentu, banyak dilakukan penyimpanan air sehingga semakin banyak habitat yang ada untuk larva WHO, 2005. Pupa tidak makan, tetapi aktif bergerak dalam air
terutama jika mengalami gangguan. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke bagian atas permukaan air. Setelah dua atau tiga hari, maka kulit pupa akan pecah dan
nyamuk dewasa akan keluar Sembel, 2009. Nyamuk dewasa yang baru muncul beristirahat di atas permukaan air agar
sayap-sayap dan tubuh mereka kering dan menguat sebelum mereka terbang Achmadi, 2011. Nyamuk dewasa akan kawin dan nyamuk betina yang telah dibuahi
akan mengisap darah dalam waktu 24-36 jam, karena darah merupakan sumber protein yang esensial untuk pematangan telur WHO, 2005.
Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari Soegijanto, 2004. Nyamuk dewasa jantan
umumnya hidup 6-7 hari, tetapi nyamuk betina dapat mencapai 2 minggu. Nyamuk
Universitas Sumatera Utara
yang dipelihara di laboratorium dapat hidup dalam beberapa bulan karena cukup karbohidrat dan kelembapan yang tinggi Soedarto, 1990.
Gambar 2. Siklus Hidup Nyamuk www.google.com
Perilaku Makan
Nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik senang sekali kepada manusia, walaupun sebenarnya bisa juga makan dari hewan berdarah panas lainnya Soedarmo,
2009. Nyamuk betina mengigit dan mengisap darah lebih banyak di siang hari terutama pagi dan sore hari antara pukul 08.00 sampai dengan 12.00 dan 15.00
sampai dengan 17.00 Soegijanto, 2004, tetapi saat ini nyamuk ini tidak lagi hanya mengisap darah pada siang dan sore hari, melainkan telah aktif di malam hari yaitu
dari jam 18:00-05:50 Hadi, dkk, 2012. Nyamuk ini sebenarnya tidak suka mengisap di malam hari, hanya saja akan menjadi mengisap darah saat malam hari di kamar
yang terang WHO, 2005. Hal ini tentu menjadi informasi yang penting dalam penyusunan program pengendalian vektor penyakit DBD. Nyamuk Ae. albopictus
Universitas Sumatera Utara
merupakan pengisap darah yang acak dan lebih zoofagik memilih hewan daripa Ae. aegypti WHO, 2004.
Jika mengalami gangguan dalam hal makannya, nyamuk Aedes ini dapat menggigit lebih dari satu orang. Hal inilah yang menyebabkan semakin membesarnya
penyebaran demam berdarah, beberapa anggota keluarga secara bersamaan mengalami gejala awal penyakit dalam 24 jam. Hal ini membuktikan bahwa mereka
terinfeksi oleh nyamuk infektif yang sama WHO, 2005. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor –faktor yang berbeda. Karbon
dioksida yang dikeluarkan hewan atau nafas manusia adalah bahan kimia terbesar yang digunakan nyamuk untuk menemukan host. Banyak pancaran dari hewan
termasuk asam laktat dan keringat manusia yang membantu nyamuk menemukan host. Faktor ini menyebabkan nyamuk menetap di lingkungan hewan dan manusia
dalam waktu yang lama. Nyamuk dapat makan 2-3 hari tetapi biasanya 4-5 hari sekali Achmadi, 2011.
Perilaku Istirahat
Nyamuk betina mencari tempat untuk beristirahat setelah mengisap darah untuk mengubah darah menjadi telur Achmadi, 2011. Nyamuk Aedes lebih suka
beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, lemari, kamar mandi, kamar kecil maupun di
dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau di tempat terlindung lainnya. Tempat istirahat yang mereka suka adalah di bawah furnitur,
benda yang tergantung seperti baju, korden, serta di dinding dan kamar yang gelap dan lembab WHO, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Tempat Perindukan
Tempat perindukan yang disukai nyamuk Ae.aegypti adalah tempat perindukan yang gelap, terlindung dari sinar matahari langsung, permukaan terbuka
lebar, berisi air tawar jernih dan tenang. Tempat perindukan adalah tempat dimana nyamuk akan meletakkan telurnya di dalam rumah indoor atau di luar rumah
outdoor. Tempat perindukan di dalam rumah yang paling utama adalah tempat penampungan air seperti bak mandi, tendon air minum, tempayan, gentong tanah liat,
gentong plastik, ember, drum, vas tanaman hias, dll. Perindukan di luar rumah seperti drum, kaleng bekas, botol bekas, ban bekas, pot bekas, pot tanaman hias yang terisi
oleh air hujan, dll WHO, 2005. Tempat perindukan nyamuk tidak selalu ada terus-menerus terutama yang di
luar rumah. Pada musim kemarau akan banyak tempat perindukan yang banyak menghilang karena airnya mengering, sedangkan pada musim hujan akan muncul
kembali. Pada musim kemarau nyamuk Ae.aegypti menurun sedangkan pada musim hujan sebaliknya. Musim hujan yang terus-menerus dengan intensitas tinggi akan
mengakibatkan tempat perindukan diluar rumah rusak oleh genangan air yang berlebih WHO, 2005.
Tempat perindukan nyamuk juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Pada suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah nyamuk tidak suka sebab tidak
baik untuk hidup nyamuk, akibatnya umur nyamuk lebih pendek dan cepat mati. Secara umum dapat dikatakan bahwa pola musim penularan penyakit DBD sejalan
dengan pola musim penghujan WHO, 2005. Setelah meletakkan telurnya, nyamuk ini akan terbang lagi mencari korban baru untuk mengulang siklus Achmadi, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Suhu dan Kelembaban
Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan metabolisme yang sebagian diatur oleh suhu. Menurut Iskandar, dkk 1985, pada umumnya
nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur sekitar 20 C-30
C. Menurut Yotopranoto, dkk 1998 dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum pertumbuhan
nyamuk adalah 25-27 C dan pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila
suhu kurang dari 10 C atau lebih dari 40
C Yudhastuti dan Vidiyani, 2005. Kelembaban juga merupakan salah satu kondisi lingkungan yang dapat
mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes, spp. Spiracle lubang pada dinding tubuh nyamuk yang terbuka lebar pada saat kelembaban rendah dan terjadi
penguapan air dalam tubuh nyamuk yang menimbulkan keringnya cairan tubuh nyamuk. Pada kelembaban kurang dari 60 umur nyamuk akan menjadi pendek,
tidak bisa menjadi vektor, tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludah. Mardihusodo mengatakan bahwa kelembaban udara yang berkisar
71,5-89,5 merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk Yudhastuti dan Vidiyani, 2005 sedangkan
kelembaban untuk pertumbuhan dan perkembangan nyamuk berkisar 60-89 Jumar, 2000.
2.3 Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor penyakit sangat diperlukan karena pertimbangan di bawah ini Kardinan, 2009 :
1. Penyakit belum ada obat ataupun vaksinnya, seperti penyakit yang disebabkan
oleh virus
Universitas Sumatera Utara
2. Bila ada obat ataupun vaksinnya sudah ada, tetapi kerja obat tadi belum efektif
3. Penyakit sering menimbulkan cacat
4. Penyakit cepat menjalar, karena vektornya bergerak cepat
Masih belum tersedianya obat dan vaksin pencengahan penyakit DBD dan filariasis, maka upaya pencengahan penyakit ini dititikberatkan pada pengendalian
vektor penularnya Aedes, spp Kardinan, 2009. Selama jentik masih ada, maka akan timbul nyamuk penular yang baru. Pada program P2DBD Pencengahan dan
penanggulangan DBD, penyemprotan insektisida dilakukan untuk membatasi penyebaran dan penularan penyakit DBD Hadinegoro dan Satari, 2004.
Tujuan pengendalian vektor adalah untuk mengurangi atau menekan populasi vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit
Margono, 2000. Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 mengatakan bahwa maksud dan tujuan upaya pengendalian vektor adalah untuk mencengah dan
membatasi terjadinya penularan penyakit arbovirus sehingga penyakit tersebut dapat dicengah dan dikendalikan.
Menurut Soegijanto 2006, pengendalian vektor dibagi atas 4 cara yaitu : pengendalian kimiawi, pengendalian biologi, pengendalian radiasi dan pengendalian
lingkungan.
2.3.1 Pengendalian kimiawi
Sejak abad 21, zat kimia sudah banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk Aedes, spp. Tahun 1960 resistensi terhadap DDT mulai terjadi sehingga
insektisida yang dapat digunakan terhadap nyamuk dewasa Aedes, spp adalah golongan organoklorine, organophosfor, carbamate, dan pyrethroid. Bahan tersebut
Universitas Sumatera Utara
dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan spray terhadap rumah penduduk. Insektisida untuk larva yaitu golongan organophosfor temephos yang dilarutkan
dalam air tempat perindukannya abatisasi soegijanto, 2004. Bentuk pengendalian yang sering dipakai di masyarakat adalah surface spray
IRS, kelambu berinsektisida, larvasida, space spray pengkabutanfogging, insektisida rumah tangga penggunaan repellent, anti nyamuk bakar, anti nyamuk
elektrikmat, aerosol, dll Kemenkes, 2010. Penggunaan insektisida yang berbahan kimia akan menimbulkan resistensi dan gangguan pada lingkungannya Chandra,
2007. Oleh karena itu, maka perlu dipatuhi kewaspadaan keamanan yaitu tingkat kecermatan saat menggunakan insektisida, praktik kerja yang aman bagi mereka yang
menggunakannya, dan penggunaannya yang tepat baik di dalam maupun disekitar rumah penghuni.
Penggunaan insektisida yang berbahan kimia sebenarnya bagai “pedang bermata dua” artinya bisa menguntungkan sekaligus juga merugikan. Jika digunakan
tepat sasaran, tepat waktu, tepat dosis dapat mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatifnya bagi lingkungan dan organisme bukan target. Penggunaan dalam
waktu lama dapat mengakibatkan resistensi, seperti penelitian Shinta 2006 di Jakarta dan 2009 di Denpasar dalam Achmadi, dkk, 2010, terjadi resistensi vektor terhadap
insektisida yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Pengendalian Biologi
Pengendalian biologi ini diarahkan untuk mengurangi efek pencemaran lingkungan akibat penggunaan insektisida beracun Chandra, 2007. Pengendalian
biologi dilakukan mengggunakan kelompok makhluk hidup, baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata atau vertebrata Soegijanto, 2006.
Keuntungan dari pengendalian secara biologi yaitu tidak adanya kontaminasi kimiawi terhadap lingkungan dan kekhususan terhadap organisme target sebagai
contoh, terbatas hanya pada nyamuk sedangkan, kerugian dari pengendalian biologi ini adalah mahalnya pemeliharaan organisme, kesulitan dalam penerapan dan
produksi serta keterbatasan penggunaan. Pengendalian ini hanya efektif digunakan pada tahap larva nyamuk. Penggunaan metode ini di Asia Tenggara hanya menjadi
kegiatan lapangan dan berskala sangat kecil WHO, 2005. Pengendalian ini dapat berperan sebagai patogen, parasit, atau pemangsa. Ikan
kepala timah Panchaxpanchax, ikan gabus Gambusia affinis adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Nematoda seperti Romanomarmus dan R.
culiciforax merupakan parasit pada larva nyamuk Soegijanto, 2006. Beberapa golongan virus, bakteri, fungi atau protozoa dapat berperan sebagai patogen. Bacillus
thuringiensis Bt merupakan species bakteri dari genus Bacillus yang sudah banyak dikembangkan sebagai insektisida. Ada dua varitas penghasil endotoksin yaitu
Bacillus thuringiensis serotype H-14 Bt. H-14 dan Bacillus sphaericus Bs. Bt.H- 14 terbukti paling efektif terhadap larva Ae.stephensi dan Ae.aegypti WHO, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Pengendalian Radiasi
Pada penggendalian jenis ini, nyamuk jantan dewasa diradiasi dengan bahan radioaktif sehingga menjadi mandul. Kemudian nyamuk jantan yang sudah mandul
itu akan dilepas ke alam bebas sehingga, meskipun kawin dengan nyamuk dewasa betina, nyamuk tersebut tidak akan dapat mengasilkan telur yang fertile. Nyamuk
betina hanya kawin satu kali seumur hidup, maka nyamuk betina yang kawin dengan nyamuk jantan yang mandul tadi tidak akan dapat menghasilkan keturunan
Soegijanto, 2004. Cara radiasi dapat dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau dewasa
tetapi, hasil optimum dapat diperoleh apabila radiasi dilakukan pada stadium pupa. Stadium pupa merupakan stadium perkembangan dimana terjadi
transformasiperkembangan organ muda menjadi organ dewasa. Pada stadium ini umumnya spermatogenesis dan oogenesis sedang berlangsung. Hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa radiasi pada dosis 65 Gy yang dilakukan pada stadium pupa nyamuk A. aegypti sudah bisa memandulkan 98,53 dan 100 dengan
radiasi 70 Gy. Umur pupa pada saat diradiasi memiliki kepekaan yang berbeda-beda, semakin tua, kepekaannya terhadap radiasi akan semakin menurun Nurhayati, 2005.
2.3.4 Pengendalian Lingkungan
Manajemen lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencengah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor sehingga kontak antara vektor dengan
manusia berkurang WHO, 2005. Ada beberapa cara pengendalian lingkungan antara lain dengan mencengah
nyamuk kontak dengan manusia yaitu dengan memasang kawat kasa pada lubang
Universitas Sumatera Utara
ventilasi rumah, jendela dan pintu. Seperti program pemerintah yang dikenal dengan gerakan 3M yaitu : 1 menguras tempat penampungan air dengan menyikat dinding
bagian dalam dan menyikat paling sedikit seminggu sekali, 2 menutup tempat penampungan air dengan rapat sehingga nyamuk dewasa tidak dapat masuk, 3
menanammenimbun barang bekassampah yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Soegijanto, 2006.
Badan Kesehatan Dunia pada 1982 telah menetapkan 3 jenis manajemen lingkungan Soegijanto, 2006 :
1. Modifikasi Lingkungan : perubahan fisik jangka panjang dari tempat
perindukan nyamuk. Misalnya : pengaturan sistem irigasi, penimbunan tempat-tempat yang dapat menampung air dan tempat-tempat pembuangan
sampah, pengaliran air yang tergenang. 2.
Manipulasi Lingkungan : perubahan sementara pada tempat perindukan nyamuk sehingga menjadi kondisi yang tidak disukai nyamuk dalam
perkembangbiakannya. Misalnya : melubangi pot bunga, mencabuti tumbuhan yang tumbuh di kolam, dll.
3. Perubahan pada habitat atau perilaku manusia : upaya untuk mengurangi
kontak manusia dengan vektor patogen.
2.4 Gambaran Umum mengenai Insektisida Nabati
Masih perlunya penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor dan karena dampak negatif yang ditimbulkan dari bahan kimianya, pemerintah bersama
masyarakat membuat terobosan baru dengan menggunakan insektisida nabati. Insektisida nabati merupakan insektisida yang berbahan dasar tumbuhan. Insektisida
Universitas Sumatera Utara
yang baik mempunyai sifat sebagai berikut : 1 mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak berbahaya bagi binatang vertebrata termasuk manusia dan
ternak; 2 murah harganya danmurah diperoleh; 3 tidak mudah terbakar; 4 mudah dipergunakan dan dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut dan 5 tidak
berwarna dan berbau yang tidak enak. Khasiat insektisida untuk membunuh organisme target tergantung pada bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga,
macam bahan kimia, konsentrasi dan jumlah dosis insektisida Morgono, 2000. Menurut cara masuknya ke dalam badan serangga, insektisida di bagi dalam :
1. Racun Kontak contact poisons Insektisida masuk melalui eksoskleton ke dalam badan serangga dengan
perantara tarsus jari-jari kaki pada waktu istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida. Pada umumnya digunakan untuk
memberantas serangga yang mempunyai bentuk mulut tusuk isap. 2. Racun perut Stomach poisons
Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui mulut, jadi harus dimakan. Insektisida jenis ini biasanya dipakai untuk memberantas serangga
yang mempunyai mulut untuk menggigit, lekat isap, kerat isap dan mengisap. 3. Racun pernafasan fumigans
Insektisida masuk melalui sistem pernafasan spirakel dan juga melalui permukaan badan serangga. Insektisida ini dapat digunakan untuk semua jenis
serangga tanpa memperhatikan bentuk mulut. Senyawa yang terkandung dalam tumbuhan dan diduga dapat digunakan
sebagai insektisida adalah golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, alkaloid,
Universitas Sumatera Utara
steroid dan minyak atsiri Kardinan dalam Naria, 2005. Untuk membuatnya sangat mudah dan tidak perlu pengetahuan khusus.
Insektisida ini aman bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Insektisida ini bersifat mudah terurai tidak seperti jenis insektisida kimia karena terbuat dari bahan
yang alami. Insektisida ini juga disebut dengan istilah “pukul dan lari hit and run” yang artinya setelah insektisida digunakan, serangga akan terbunuh dan residunya
akan hilang dengan segera di alam bebas Kardinan, 2004. Insektisida nabati dapat diperoleh dengan beberapa teknik, yaitu :
1. Pengerusan, penumbukan, pembakaran atau pengepresan untuk menghasilkan
tepung, atau pasta 2.
Rendaman untuk produk ekstrak 3.
Ektraksi dengan menggunakan bahan pelarut
2.4.1 Kelebihan Insektisida Nabati
Penggunaan insektisida nabati di rumah tangga dalam mengatasi binatang pengganggu masih belum begitu popular sampai saat ini, sedangkan penggunaan
insektisida nabati di rumah tangga merupakan peluang yang baik karena beberapa hal, diantaranya adalah :
1. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada
lingkungan sehingga lebih aman untuk digunakan 2.
Zat pestisidik yang terkandung dalam insektisida nabati mudah terurai sehingga tidak menimbulkan efek resistensi pada serangga
3. Insektisida nabati dapat dibuat dengan mudah dan lebih ekonomis
Universitas Sumatera Utara
4. Banyak bahan insektisida nabati yang tersedia di lingkungan sekitar kita
tinggal. Di Indonesia banyak jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan
insektisida nabati dan ini merupakan potensipeluang yang baik untuk kemajuan teknologi dalam hal penggunaan insektisida nabati. Tanaman sukun memiliki
kandungan senyawa yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan insektisida nabati. Namun hingga saat ini masih banyak tanaman yang masih kurang dimanfaatkan
secara maksimal Kardinan, 2004.
2.5 Gambaran Umum mengenai Tanaman Sukun
2.5.1 Asal Usul Tanaman Sukun Artocarpus altilis
Awal mula ditemukan sukun masih menjadi teka-teki hingga saat ini karena terdapat beberapa pendapat yang berbeda mengenai sejarah penyebaran tanaman ini.
Ada yang menyatakan bahwa sukun asli tanaman Indonesia yang pertama ditemukan di Ambon oleh orang Jepang yang kemudian menyebar ke pulau Jawa dan Malaysia.
Pendapat yang berbeda menyatakan bahwa sukun berasal dari Amerika latin, yaitu Peru, Argentina, dan Chili Harmanto, 2012.
Para ahli meyakini bahwa sukun berasal dari wilayah Polinesia di Kepulauan Pasifik dan masuk ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan bangsa Spanyol dan
Portugis. Namun walaupun asal-usul tanaman ini tidak jelas, keberadaan sukun di Indonesia sudah menyebar luas dan hampir semua masyarakat mengenalnya. Hal ini
terbukti dari penamaan sukun yang beragam Harmanto, 2012.
Universitas Sumatera Utara
2.5.2 Nama Lain Tanaman sukun Artocarpus altilis
Sukun memiliki beberapa nama lain di beragam negara seperti breadnut Inggris, beta Vanuatu, bia, bulo, nimbalu Kepulauan Salomo, kapiak Papua
Nugini, kuru Kepulauan Cook, meduu Palau, mei dan mai Negara Federasi Mikronesia, Kiribati, Marshalls, Marquesas, Tonga, dan Tuvalu, mos Kosrae, ulu
Hawaii, Samoa, Rotuma, Tuvalu, uru Masyarakat Kepulauan, dan uto,buco Fiji. Nama lainnya di Indonesia seperti : sukun Aceh, Sunda, Jawa, Minahasa, hatopul
batak, suku Nias, karara Sumba, Flores, amu Gorantalo, seweno Seram, amo Ternate dan Halmahera, kamandi Papua.
2.5.3 Klasifikasi Tanaman Sukun Artocarpus altilis
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Urticales
Suku : Moraceae
Marga : Artocarpus
Jenis : Artocarpus altilis
Tanaman sukun mempunyai nama ilmiah lain yaitu Artocarpus communis dan Artocarpaus incise. Dalam bahasa Jawa, sukun berarti tanpa biji. Pohon sukun
merupakan pohon yang tinggi dan dapat mencapai 30 m. Buah yang tidak berbiji, memiliki bagian yang empuk yang mirip dengan roti setelah dimasak atau digoreng.
Itu sebabnya orang Eropa mengenalnya dengan buah roti atau breadfruit. Daun sukun
Universitas Sumatera Utara
berbentuk oval dengan ujung meruncing sedangkan ukurannya tergolong besar dengan panjang 30-60 cm dan lebar 2-10 cm Agoes, 2010.
Tanaman ini menyukai iklim tropis, seperti suhu panas 20-40 C, banyak hujan
dan lembab tetapi sukun juga dapat ditemukan di berbagai tempat karena tanaman ini dapat beradaptasi dengan lingkungannya, dengan syarat ada air dan aerasi tanah yang
cukup Harmanto, 2012.
2.6 Manfaat Tanaman Sukun bagi Kesehatan
Sukun memiliki manfaat yang tersebar lengkap pada semua bagian mulai dari buah yang lezat, daun dapat berkhasiat obat, bunga menjadi obat sakit gigi dan
batangnya juga bermanfaat bagi kesehatan. Menurut Gardijito dari pusat kajian makanan tradisional Universitas Gadjah Mada, buah sukun menjadi makanan yang
sehat buat para penderita diabetes karena aktivitas glikemiknya yang rendah Shabella, 2012.
Daun sukun memiliki banyak manfaat, dapat menyembuhkan penyakit liver, jantung, ginjal, sakit gigi, menurunkan tekanan darah dan meringankan asma. Daun
sukun juga dapat digunakan sebagai antifungi. Kulit kayu sukun mengandung senyawa turunan flavonoid yaitu artonol B dan sikloartobilosanton. Menurut Chiang
Mai, Universitas Thailand, kulit akar mengandung prenylated flavonoid, yakni cycloartocarpin, artocarpin, chasplasin, murosin, cudraflavone B, artobiloxanthone,
artonin, cudraflavone C, dan artobiloxanthone yang dapat melawan Mycobacterium tuberculosis pada konsentrasi minimum 25 µg per ml Shabella, 2012.
Getah sukun bermanfaat juga bagi kehidupan, dapat dimanfaatkan untuk menjerat burung, menempel perahu,dan di Karibia digunakan sebagai bahan baku
Universitas Sumatera Utara
pembuatan permen karet. Selain itu, dapat juga mengobati diare, dan sebagai analgesic untuk patah tulang Agoes, 2010.
2.7 Kandungan Kimia Daun Tanaman Sukun