Konsep penguasaan negara atas sumber daya air dalam perspektif islam (analisis Putusan Mahkamah Konstitusi no.058-059-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber daya air)

(1)

Sumber Daya Air)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : Afnanul Huda NIM : 105045201507

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi yang berjudul “KONSEP PENGUASAAN NEGARA ATAS

SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air)” penulis susun dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Jinayah Siyasah konsentrasi Siyasah

Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa adanya bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:


(6)

v

Program Studi Jinayah Siyasah yang lama dan Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan Bapak Afwan Faizin, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang baru.

3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, sebagai Dosen pembimbing yang senantiasa membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap Dosen fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.

5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta atas pelayanan referensi buku-bukunya.

6. Orang tua penulis Bapak H. Ahmad Faiq dan Ibu Hj. Zakiyah, penulis memohon maaf atas segala perilaku penulis yang tidak berkenan di hati, penulis juga menyucapkan terima kasih yang teramat sangat atas cinta, kasih dan sayangnya kepada penulis yang telah merawat dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.


(7)

vi

membalas jasa-jasa kalian, penulis hanya bisa mendoakan semoga selalu diberkahi oleh Allah SWT dan mendapatkan kemudahan dalam segala urusan. 8. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta: Budi, Latif, Andi, Lia, Rahma, Isti, Dinnur, Iqie, Dawam, Salman, Fadholi, Hendri, Fery, Alwan, Niam (SS 2005) yang senantiasa menemati penulis dalam studi, Anas, Widi, Rahman, Ulin, dll (Komunitas SaunG) yang menjadi teman diskusi yang menyenangkan, dan Jazuli, Syadzali, Mufti, Usup, dan mas Iput (SIMAHARAJA) terima kasih atas semua keceriaan selama ini, terima kasih semua.

Terakhir, penulis berdoa kepada Allah SWT semoga ilmu yang telah kita dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT. Amien..


(8)

vii HALAMAN PERNYATAAN iii

KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Kepustakaan ... 9

E. Metodologi Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM ISLAM... 15

A. Pengertian Kepemilikan ...15

B. Macam-Macam Kepemilikan ...19

C. Penguasaan atas Sumber Daya Air ...33

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004 DAN NOMOR 008/PUU-III/2005... 38

A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi ...38

1. Hukum Acara ...38

2. Putusan Mahkamah Konstitusi ...45

B. Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ...53


(9)

viii

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI... 72

A. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ...72

1. Analisis Formil Pembentukan Undang-Undang ...73

2. Analisis Materil Isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ...80

B. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Amar Putusan Mahkamah ...86

BAB V PENUTUP... 91

A. Kesimpulan ...91

B. Saran-Saran ...93


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, dalam rangka persiapan kemerdekaan sebuah negara berdaulat yang lepas dari penjajahan asing, pada tahun 1945, para tokoh nasional yang terbentuk dalam wadah yang disebut Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mempersiapkan suatu naskah konstitusi yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945 di samping mengatur tata kenegaraan juga mengatur tata kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan seperti termuat dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.

Hal ini yang membedakan konstitusi Republik Indonesia dengan tradisi penulisan konstitusi di negara-negara Eropa Barat dan Amerika yang lazimnya hanya memuat materi-materi konstitusi yang bersifat politik. Tradisi yang dianut Indonesia, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur, nampak dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada negara-negara sosialis seperti negara-negara di Eropa Timur.1

Corak Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi ekonomi terlihat pada materi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:

1

Jimly Asshiddiqie,Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 124.


(11)

1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam perkembangannya, setelah amandemen Undang Undang Dasar 1945 keempat pada tanggal 10 Agustus 2002, Pasal ini ditambah dengan memasukkan 2 (dua) ayat baru, yaitu:

4) perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Penambahan dua ayat dalam pasal ini merupakan upaya untuk mengakomodasi ketentuan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dihapus, yaitu mengenai demokrasi ekonomi. Bila dilihat kembali materi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 33 disebutkan bahwa:

"dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan


(12)

anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang".

Selanjutnya dikatakan bahwa:

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."2

Dari pasal ini jelas sekali peranan negara dalam mengatur perekonomian besar sekali. Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33.3

Selama ini, jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengandung semangat untuk membela kesejahteraan rakyat banyak. Akan tetapi, sekarang kita menghadapi era globalisasi yang melahirkan ekonomi pasar.4 Dapatkah kita mempertahankan pelaksanaan Pasal 33, yang meletakkan fungsi penguasaan

2

Arimbi HP dan Emmy Hafild, Makalah: Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, (Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999), hal. 1.

3

Arimbi HP dan Emmy Hafid,Makalah: Membumikan...., hal. 2. 4

Dasar dari teori ekonomi pasar adalah persaingan bebas yang menggerakkan mekanisme pasar. Dalam hal ini penawaran dan permintaan bebas yang melatarbelakangi motif keuntungan pada pihak produsen, pedagang maupun konsumen, menentukan harga-harga yang disebut harga tawaran bebas– dan selanjutnya menentukan apa dan berapa banyak jenis dan jumlah barang yang

akan diproduksi. Lihat Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD’45, (Bandung: Angkasa, 1990), hal 35.


(13)

negara sangat besar dalam menghadapi perkembangan zaman seperti sekarang ini? Semua tantangan ini dapat kita amati dari produk perundang-undangan yang dibuat. Apakah undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat telah sesuai dengan semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, agar jiwa dari pasal tersebut dapat terjaga.

Salah satu undang-undang yang dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 33 UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Namun undang-undang yang disahkan pada tanggal 19 Februari 2004 dan diundangkan pada tanggal 18 Maret 2004 ini menuai banyak kontroversi, karena terdapat beberapa pasal yang diindikasikan akan memicu privatisasi5 pengelolaan air dan komersialisasi air yang bertentangan dengan semangat pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Untuk menjaga Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 khususnya, dan konstitusi pada umumnya, amandemen Undang-Undang 1945 yang ketiga telah mengakomodasi terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di mana salah satu fungsinya adalah untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kemudian fungsi

5

Privatisasi adalah sebuah proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikan BUMN atau kekayaan publik lainnya dari tangan seluruh anggota masyarakat kepada para pemilik modal perseorangan. Privatisasi merupakan salah satu unsur dari agenda besar liberalisasi ekonomi dalam arti seluas-luasnya. Lihat I. Wibowo dan Francis Wahono, Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 206.


(14)

ini lebih dikenal dengan istilahjudicial review. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar disebut dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The Sole of Interpreter Constitution)

Oleh karena itu, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengajukan uji materiil UU Sumber Daya Air (UU SDA) ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas UU SDA terhadap pasal 33 UUD 1945. Bahkan undang-undang ini mencetak rekor sebagai undang-undang yang paling banyak diujimateriilkan di Mahkamah Konstitusi.6 Tercatat ada 19 pasal yang dimintakan uji materiil kepada Mahkamah konstitusi dengan berbagai alasan, di antaranya:

1. pasal 9, 10, 26, 45, 46, 80 karena dianggap dapat mendorong privatisasi sumber daya air

2. pasal 26 ayat (7) yang dapat mengakibatkan adanya komersialisasi air 3. pasal 90, 91, 92 yang bersifat diskriminatif, karena membatasi

pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan apabila terjadi kerugian

6

Tercatat ada lima uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 058/PUU-II/2004, 059/PUU-2004, 060/PUU-II/2004, 063/PUU-II/2004, dan 008/PUU-III/2005. Rekor sebagai undang-undang yang paling banyak diujimateriilkan ini akhirnya dikalahkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang lebih dari lima kali diujimateriilkan di Mahkamah Konstitusi.


(15)

Setelah melalui persidangan yang cukup panjang, pada tanggal 13 Juli 2005 majelis hakim membacakan putusannya yang menolak permohonan pembatalan UU SDA karena majelis hakim menganggap UU SDA tidak bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menganggap bahwa tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi terhadap sumber daya air akibat diberlakukannya UU SDA tersebut.

Islam sebagai agama wahyu juga mengatur tentang kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Jenis kepemilikan atas sumber daya alam terdiri dari (i) kepemilikan individu (milk fardiyah); (ii) kepemilikan umum (milk

’ammah) dan, kepemilikan negara (milk daulah).7 Terminologi konsep kepemilikan dalam Islam ini memang tidak berbeda dengan konsep ekonomi konvensional. Akan tetapi, secara substansi dan implementasi konsep kepemilikan (property right) menurut ajaran Islam berbeda cukup signifikan. Islam mengakui kepemilikan individu/swasta akan tetapi tidak boleh memilikinya dalam arti seluas-luasnya.

Jika kita transformasikan nilai ajaran Islam dalam konteks kekinian, peran negara yang pemimpinnya sebagai pengemban amanah rakyat harus mampu mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan sumber daya alam demi menyejahterakan rakyatnya. Dalam perspektif ini substansi pasal 33 UUD 1945 jelas sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam.

7

Rofiq Yunus al-Mishry,Ushul al-Iqtishod al-Islami, (Beirut: Dar as-Syamiyah,1993), hal. 41.


(16)

Dalam pandangan Islam, sumber daya air termasuk dalam kepemilikan umum. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:

Artinya: “Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)8

Yusuf Qardhawi dalam bukunya Daur Qiyam wa Akhlaq fi al-Iqtishadi al-Islami menyatakan bahwa Islam menetapkan adanya kepemilikan bersama terhadap benda-benda yang bersifat dharuri (yang sangat dibutuhkan) bagi semua manusia. Oleh karena itu, Islam mengeluarkan segala sesuatu yang keberadaan dan kemanfaatannya tidak bergantung usaha-usaha khusus dari ruang lingkup kepemilikan individu,sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan umum serta tidak boleh dilakukan oleh perseorangan yang akan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat.. Rasulullah SAW menyebutkan benda-benda jenis ini sebanyak empat hal, yaitu: air, padang rumput, api, dan garam.9

Berdasarkan fenomena di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam perspektif Islam dalam sebuah skripsi yang berjudul KONSEP PENGUASAAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM

8

Abi Daud Sulaiman As-Sijistani,Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), hal. 537.

9

Yusuf Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishadi al-Islami, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), hal. 118.


(17)

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Sumber daya Air).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah penulis kemukakan di atas, penulis memberikan batasan masalah atau identifikasi masalah agar tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi pokok bahasan. Pembatasan tersebut berupa analisis yang menggunakan tinjauan fiqh siyasah dalam menjawab permasalahan tentang konsep penguasaan negara atas sumber daya air dalam perspektif Islam. Mengacu kepada latar belakang yang diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep penguasaan negara atas sumber daya air menurut putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air?

2. Bagaimana tinjauan fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penulisan skripsi ini antara lain:

1. Untuk mengetahui konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

2. Untuk memberikan perspektif Islam mengenai penguasaan negara terhadap sumber daya air.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya menyangkut bidang politik ekonomi

2. Bagi dunia akademis menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah-kritis dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan

3. Memberikan gambaran yang jelas tentang kebijakan Pemerintah Indonesia dalam pemanfaatan sumber daya alam, khususnya sumber daya air.

D. Tinjauan Pustaka (Study Preview)

Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis ingin memberikan rujukan terhadap tema yang membahas dan tema-tema yang hampir sama dengan pembahasan judul skripsi ini. Adapaun


(19)

sumber-sumber yang penulis dapatkan ialah berasal dari buku-buku yang berkaitan, jurnal-jurnal, artikel pada media massa,dan karya ilmiah berupa skripsi.

Buku Soegeng Sarjadi dan Imam Sugema, Ekonomi Konstitusi:Haluan Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta 2009, buku ini menjelaskan konsep ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan konstitusi UUD 1945 yang menafikan privatisasi dan komersialisasi terhadap sumber daya alam dan mengupayakan kedaulatan ekonomi berada di tangan rakyat.

Buku Yusuf Qardhawi, Daur Qiyam wa Akhlaq fi Iqtishadi al-Islami, Maktabah Wahbah, Kairo 1995, Buku ini menjelaskan tentang nilai dan karakteristik ekonomi islam. Dalam buku ini, Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa ekonomi islam adalah ekonomi pertengahan antara paham kapitalis dan sosialis. Beliau juga menjelaskan tentang konsep kepemilikan dalam islam yang mengakui adanya kepemilikan bersama atas benda-benda yang sangat dibutuhkan oleh manusia.

Buku Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, Jakarta 2006, Buku ini menjelaskan tentang tata cara pengajuan uji materiil undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

Makalah Yance Arizona,Konstitusi dalam Intaian Neoliberalisme, Jakarta 2008. makalah ini menjelaskan politik ekonomi Indonesia dari era Orde lama sampai era reformasi dan potensi adanya privatisasi dalam setiap undang-undang yang disahkan bersama oleh Pemerintah dan DPR.


(20)

Skripsi Siti Makbullah, Konsep Perekonomian Nasional dalam Pandangan Ekonomi Islam: Tinjauan terhadap Pasal 33 UUD 1945 dan Perubahannya, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2003. Dalam skripsi ini dijelaskan tentang konsep perekonomian nasional berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dalam pandangan ekonomi islam. Skripsi ini hanya menjelaskan secara global konsep perekonomian nasional tanpa menyinggung konsep penguasaaan negara atas sumber daya alam.

Skripsi M. Waliyul Fahmi, Demokrasi Ekonomi dalam Perspektif UUD 1945 dan Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Skripsi ini menjelaskan sistem demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa Indonesia sesuai UUD 1945 dan sistem ekonomi islam sebagai alternatif dalam sistem ekonomi di Indonesia. Skripsi ini juga tidak membahas tentang konsep penguasaan negara atas sumber daya alam.

E. Metode Penelitian

Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai penelitian ini, maka metodologi yang digunakan adalah:

1. Jenis Penelitian

Melihat pada pendekatan keilmuan yang digunakan dalam skripsi ini, maka penelitian skripsi ini termasuk pada jenis penelitian hukum normatif, karena titik tekannya adalah pada peraturan perundang-undangan serta peraturan lainnya yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.


(21)

Selain itu, titik tekan penelitian ini juga terletak pada aturan-aturan dan pandangan para ahli hukum Islam baik klasik maupun kontemporer tentang konsep kepemilikan dan penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam Islam terutama yang terkait erat dengan analisis yang akan dilakukan oleh penulis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumenter di mana data diperoleh dengan cara meneliti dokumen-dokumen hukum yang ada, baik berupa peraturan yang mengatur tentang uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945 maupun tentang konsep penguasaan negara atas sumber daya air , serta buku-buku referensi yang lainnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan tersebut.

3. Sumber data

a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Pasal 33 UUD 1945 beserta Perubahannya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.


(22)

b. Data Sekunder, buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang membahas tentang hal-hal yang terkait dengan pembahasan.

c. Data Tersier, yang terdiri dari kamus, ensiklopedia, artikel, koran, majalah, situs, internet, jurnal politik dan pemerintahan serta makalah yang berkaitan.

4. Teknik Analisis Data

Karena penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, maka analisis data yang akan dilakukan adalah analisis isi (content analysis). Teknik analisis ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk peraturan perundang-undangan ataupun referensi-referensi islam yang berkaitan dengan konsep penguasaan negara atas sumber daya air. Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content) baik berupa kata-kata (word), makna (meaning), ide, tema-tema dan pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi putusan tersebut.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Adapun Teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Menulis Skripsi, Tesis, Disertasi, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri , Jakarta, 2007.


(23)

F. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab, dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu, yaitu:

Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas konsep kepemilikan dan penguasaan atas sumber daya air dalam perspektif Islam, yang berisi tentang pengertian kepemilikan, macam-macam kepemilikan, dan penguasaan atas sumber daya air

Bab III membahas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Bab ini membahas seputar hukum acara dan putusan di Mahkamah Konstitusi dan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air.

Bab IV membahas analisis fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang berisi tentang analisis fiqh siyasah terhadap pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan analisis fiqh siyasah terhadap amar putusan Mahkamah Konstitusi.

Bab V membahas penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang.


(24)

15

A. Pengertian Kepemilikan

Secara etimologis kepemilikan (milkiyyah) berarti1:

ِﺘ

“Memiliki sesuatu dan mampu untuk bertindak secara bebas terhadapnya”

Dengan demikian kepemilikan merupakan penguasaan seseorang terhadap sesuatu sehinggaseseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap sesuatu tersebut.

Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu berarti mempunyai kekuasaan terhadap sesuatu tersebut sehingga dia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan sesuatu yang dimilikinya itu.2

Sedangkan pengertian kepemilikan menurut terminologi fuqaha,

terdapat beberapa definisi tentang kepemilikan yang disampaikan oleh para ulama , antara lain:

1

Ibn Mandhur,Lisan al-Arab, jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr,tt), hal. 492.

2

Ikhwan Abidin Basri,Kepemilikan dalam Islam, yang diakses pada 20 Oktober 2010 di http://elwardi.com/2010/03/kepemilikan-dalam-islam/


(25)

1. definisi yang disampaikan oleh Jamaluddin al-Ghaznawi3:

ِﺘ

ِﺟ ﺎ

ِﺬ

ِﻄ

ِﻟ

ِﺣ ﺎ

ِﺒِﻪ

ِﺘ

ِﺑ

ِﻊ

ِﺮ

ِﻣ

Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang bersifat menghalangi, artinya memberi pemiliknya hak untuk memanfaatkannya beserta mencegah orang lain untuk memanfaatkannya.

2. definisi yang disampaikan oleh Mustafa Ahmad al-Zarqa4:

ِﺘ

ِﺟ ﺎ

ِﺣ ﺎ

ِﻟ ﺎ

ِﻧ ﺎ

ٍﻊ

Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang menghalangi (orang lain) secara

syara’ yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk bertasharruf ketika tidak adanya halangan.

3. definisi yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily5:

ِﺘ

ِﺑ

ِﻣ

ِﻜ

ِﺣ ﺎ

ِﻣ

ِﺘ

ﱠﻟ

ِﻟ ﺎ

ِﻧ ﺎ

ٍﻊ

ِﻋ

Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung

kecuali ada halangan syar’i.

4. definisi yang disampaikan oleh Ali al-Khafifi6:

3

Jamaluddin al-Ghaznawi, al-Hawi al-Qudsi, sebagaimana dikutip oleh Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 49.

4

Mushtafa Ahmad al-Zarqa,al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), hal. 241.

5

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr), 1985, hal. 57.

6

Ali al-Khafifi,Ahkam al-Mu’amalah as-Syar’iyyah, sebagaimana dikutip oleh Ghufron A. Mas’adi,Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2002), hal. 54.


(26)

ِﺘ

ِﻜ

ِﺣ ﺎ

ِﺒ

ِﺑ

ِﺘ

ِﻋ

ِﻧ ﺎ

ِﻊ

ِﻋ

Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang memungkinkan pemiliknya bebas membelanjakan dan memanfaatkannya sepanjang tidak adanya

halangan syara’.

Dari beberapa definisi tersebut di atas, telah jelas bahwa yang dijadikan kata kunci kepemilikan adalah penggunaan term ikhtishash. Dalam definisi tersebut terdapat duaikhtishash/keistimewaan yang diberikan oleh syara’ kepada

pemilik harta:

1. keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa kehendak atau izin pemiliknya

2. keistimewaan dalam bertasharruf.Tasharrufadalah7:

ﱡﻞ

ِﻣ

ٍﺺ

ِﺑ

ِﺗِﻪ

ِﻪ

ِﺋ ﺎ

ِﻗ

Sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendak)

nya dan syara’ menetapkan batasnya beberapa konsekwensi yang

berkaitan dengan hak

Jadi pada prinsipnya atas dasar kepemilikan (milkiyyah), seseorang mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam membelanjakannya selama

7

Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri al-Islami, Dar al-ma’arif , Mishr, 1976, hal 78 sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press), 2005, hal 49.


(27)

tidak ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’ (al-mani’). Adapun yang dimaksud denganal-mani’ adalah8:

ِﻦ

“Sesuatu yang mencegah pemilik dari melakukan tasharruf

(membelanjakan harta)”

Penghalang (mani’) dalam kepemilikan yang mencegah adanya tasharruf dalam harta terdiri atas dua hal:

1. kurangnya keahlian, seperti anak kecil

2. adanya hak orang lain yang ada pada harta seseorang, seperti harta yang digadaikan.

Namun adanya penghalang ini tidak menghilangkan status kepemilikan seseorang atas harta tersebut, karena penghalang ini adalah faktor eksternal yang tidak mempengaruhi status kepemilikan seseorang.

Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemilikan adalah suatu hak atas zat tertentu (dalam hal ini bisa berbentuk benda bergerak atau benda mati) dan atau kegunaanya yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan kehendak pemiliknya atau yang berhak terhadap zat tersebut. Sehingga apabila pemilik akan melakukan suatu kehendak terhadap zat tersebut, pemilik tidak membutuhkan persetujuan dari orang lain, karena pemilik berhak atas zat tersebut.

8

Mushtafa Ahmad al-Zarqa,al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), hal. 242


(28)

Taqyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa kepemilikan individu adalah

hukum syara’ yangberlaku bagi zat dan atau kegunaannya (utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain, seperti disewa ataupun dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli oleh orang lain.9

Atas dasar inilah, maka kepemilikan merupakan izin syar’i untuk

memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan

ditetapkan selain dengan ketetapan syar’i terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab kepemilikannya. Jika demikian, maka kepemilikan atas zat tertentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, atau dari karakter dasarnya, akan tetapi berasal dari

adanya izin yang diberikan oleh syara’, serta berasal dari sebab yang diperbolehkan oleh syara’ untuk memiliki zat tersebutsecara sah.10

B. Macam-macam Kepemilikan

Kepemilikan dari sudut pandang obyek kepemilikan (mahal al-milk) dapat dibedakan menjadi dua bagian:

1. kepemilikan sempurna (milkiyah tammah), yaitu: kepemilikan atas materi harta dan manfaatnya secara bersamaan, sehingga seluruh hak yang terkait

9

Taqyuddin an-Nabhani,Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 66.

10


(29)

dengan harta itu berada di bawah penguasaan pemilik. Kepemilikan ini bersifat mutlak, tidak dibatasi waktu, dan tidak bisa digugurkan orang lain.

Menurut ulama fiqih, ciri khusus kepemilikan sempurna adalah:

a. sejak awal, kepemilikan terhadap materi dan manfaat bersifat sempurna b. kepemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang dimiliki sebelumnya,

artinya materi dan manfaat sudah ada sejak pemilikan benda itu c. Kepemilikannya tidak dibatasi dengan waktu

d. Apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka masing-masing orang dianggap bebas menggunakan miliknya tersebut sebagaimana milik mereka masing-masing.

2. kepemilikan tidak sempurna (milkiyah naqisah), yaitu: kepemilikan atas salah satu unsur harta, materi atau manfaatnya saja. Hal ini seperti orang yang menyewa yang hanya memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki materinya.

Kepemilikan dari sudut pandang bentuknya dapat dibagi menjadi dua bagian:

1. kepemilikan yang jelas (mutamayyizah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu benda yang mempunyai batas-batas yang jelas dan tertentu yang dapat dipisahkan dari yang lainnya. Seperti kepemilikan terhadap sebuah rumah atau sebagian rumah yang sudah jelas batas-batasnya.

2. kepemilikan yang bercampur (sya’iah), yaitu: kepemilikan atas sebagian, baik banyak atau sedikit, yang tidak tertentu dari sebuah harta benda sebagai hasil


(30)

dari persekutuan dalam harta tersebut. Seperti kepemilikan atas sebaian rumah yang belum jelas pembagiannya.

Kepemilikan dari sudut pandang pihak yang berhak memanfaatkannya dapat dibagi menjadi dua bagian11:

1. kepemilikan pribadi (milkiyah fardiyah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu harta yang hak pemanfaatannya hanya untuk seseorang yang tertentu sebagai pemilik harta

2. kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah), yaitu: kepemilikan terhadap sesuatu yang hak pemanfaatannya ditetapkan bagi kelompok masyarakat dengan ketentuan setiap anggota masyarakat berhak menggunakannya atas nama bagian dari masyarakat tersebut.

Namun ada sebagian fuqaha yang menambahkan pembagian kepemilikan dari sudut pandang pihak yang memanfaatkannya menjadi tiga bagian dengan menambah satu bagian, yaitu12:

3. kepemilikan negara (milkiyah dauliyah), yaitu: harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan

11

Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi

al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 46.

12

Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishadi al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1993), hal 41.


(31)

ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.

1. Kepemilikan Pribadi (milkiyah fardiyah)

Kepemilikan pribadi adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat

ataupun manfaat (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi-baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain (seperti disewa), atau karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya (seperti dibeli)-dari barang tersebut.

Kepemilikan pribadi dapat diperoleh dengan berbagai cara yang dibenarkan oleh hukum islam, di antaranya adalah13:

a. Penguasaan terhadap harta bebas (Ihraz al-mubahat14 )

Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki oleh pihak lain. Yang dimaksud dengan al-mubahat (harta bebas atau harta tak bertuan) adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan

13

Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal 56.

14

Wahbah al-Zuhaily menyebut dengan istilahal-istila’ ala al-mubah dengan pengertian “menguasai harta yang belum dimiliki seseorang dan tidak ada halangan syara’ untuk memilikinya”. Lihat Wahbah al-Zuhaily,al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IV, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1985, hal 69-70.


(32)

tidak ada larangan hukum (mani’ syar’i) untuk memilikinya.. seperti air di sumbernya, rumput di padang rumput, kayu dan pohon-pohon di hutan belantara atau ikan di sungai dan di laut.

Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan

terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya. 2) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena

ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar’i yaitu:

a) belum ada orang lain yang mendahului melakukan ihraz (penguasaan). Dalam hal ini berlaku kaidah:

“Barang siapa lebih dahulu menguasai harta bebas, maka sungguh ia telah memilikinya”

b) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya.jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah penguasaan untuk tujuan dimiliki.

b. Adanya transaksi (al-aqd)

Yang dimaksud dengan al-aqd adalah pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan pengaruh


(33)

terhadap obyek akad. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang mebutuhkan distribusi harta kekayaan.

c. Penggantian (al-khalafiyah)

Al-khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama. Penggantian dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Penggantian atas seseorang oleh orang lain, seperti pewarisan

Dalam pewarisan, seorang ahli waris menggantikan posisi kepemilikan orang yang wafat terhadap terhadap harta yang ditinggalkannya (tirkah).

2) Penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti tadhmin (pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan harta benda orang lain, atau pada ta’widh (pengganti kerugian) ketika seseorang menyebabkan penganiayaan terhadap pihak lain. Melalui tadhmin dan ta’widh, terjadilah peralihan kepemilikan dari pemilik lama kepada pemilik baru.

d. Turunan dari sesuatu yang dimiliki (al-tawallud)

Sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang dimiliki adalah milik orang yang memiliki ssesuatu yang awal. Hal ini berlaku kaidah:

ﱠﻟ


(34)

Setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya.

Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta yang bersifat produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang baru) seperti binatang yang dapat beranak, menghasilkan air susu dan pohon yang dapat berbuah. Benda mati yang tidak produktif seperti rumah, perabotan rumah, dan uang tidak berlaku prinsip tawallud. Keuntungan yang didapat dari benda-benda mati tersebut sesungguhnya berasal dari hasil usaha (tijarah).15

2. Kepemilikan Umum (milkiyah ‘ammah)

Kepemilikan umum adalah hak yang ditetapkan bagi setiap individu untuk memanfaatkan benda-benda tertentu yang ditetapkan oleh syara’ atas dasar individu tersebut merupakan bagian dari komunitas masyarakat, bukan sebagai individu yang memiliki barang tersebut. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam

15


(35)

melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok kecil orang.16

Islam menjelaskan bahwa setiap sumber alam yang produktif adalah menjadi hak milik umum apabila memenuhi dua syarat, yaitu:

3. Sumber alam tersebut mempunyai manfaat yang penting bagi masyarakat 4. Sumber alam tersebut tumbuh dengan sendirinya, dan tidak membutuhkan

pekerjaan besar untuk mendapatkan hasilnya.

Apabila kedua syarat ini terpenuhi, maka sumber alam tersebut menjadi milik umum dan negara tidak boleh menjual atau memberikan kepada seseorang. Sedangkan apabila salah satu kedua syarat di atas tidak ada, maka pemerintah boleh memberikan hak pengelolaan sumber daya alam tersebut kepada perorangan atau membiarkan tetap sebagai hak milik umum sebagaimana asalnya.17

Adapun jenis-jenis benda milik umum dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

a. Barang tambang (sumber alam) yang tak terbatas jumlahnya

Dalil yang digunakan sebagai dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini adalah hadis Nabi riwayat Abu Dawud

16

Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi al-Islam, terj: Redaksi al-Azhar Press, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), hal. 238.

17

Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi


(36)

tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma'rab:

"Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya" (HR Abu Dawud).18

Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja, melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan bumi seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya.

Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau

18

Abi Daud Sulaiman As-Sijistani,Sunan Abi Daud, (‘Amman: Dar al-A’lam), 2003, hal. 507.


(37)

lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi penguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan hasilnya dibayt al-mal.

Ketentuan bahwa barang tambang adalah termasuk kepemilikan umum jika barang tambang tersebut ditemukan di dalam tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang. Apabila barang tambang tersebut ditemukan di tempat yang masuk dalam kepemilikan pribadi, para fuqaha berbeda pendapat. Ada dua pendapat yang meengemuka di kalangan fuqaha menanggapi persoalan barang tambang yang ditemukan di tanah yang sudah menjadi milik seseorang, yaitu:

1) Barang tambang tersebut tetap menjadi milik umum, sekalipun ditemukan di tanah yang sudah menjadi milik seseorang. pendapat ini dipilih oleh sebagian besar ulama mazhab Maliki.

2) Barang tambang tersebut menjadi milik sang pemilik tanah karena ikut kepada tanah, sebagaimana tanaman yang tumbuh di atas tanah tersebut. Inilah pendapat yang terkuat dalam mazhab Syafii.19

b. Sarana umum dan kebutuhan pokok yang diperlukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari

19

Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim,An-Nizam al-Iqtishadi


(38)

Semua harta yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia dan jika tidak ada akan menyebabkan kesengsaraan bagi manusia tidak boleh dikuasai oleh seseorang dan menjadi milik bersama, seperti air. Rasulullah SAW telah menjelaskan secara rinci dan sempurna mengenai sifat-sifat sarana umum ini. Hal ini seperti yang dimaksud dalam hadits beliau yang berkaitan dengan sarana umum ini. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)20

Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali diperbolehkan oleh Rasulullah untuk seluruh umat manusia. Mereka berserikat di dalamnya dan melarang mereka untuk memiliki bagian apa pun dari sarana umum tersebut, karena hal itu merupakan hak seluruh rakyat. Rakyat boleh mengambil air dari sungai-sungai yang ada untuk mengairi sawah dan ladang mereka. Rakyat juga boleh mengambil rumput untuk hewan ternak mereka dari padang rumput yang tidak dimiliki oleh seseorang. Dalam hal ini pemerintah tidak boleh

20

Abi Daud Sulaiman As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), hal. 537.


(39)

memberikannya hanya kepada satu golongan dan melarang golongan lainnya. Pemerintah hanya diperbolehkan melakukan pengaturan agar tidak terjadi perselisihan antar sesama anggota masyarakat dalam memanfaatkan sarana umum tersebut.21

Sarana umum yang menjadi milik bersama dan tidak boleh dimiliki secara pribadi tidak hanya terbatas pada ketiga benda yang disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Para ulama berpendapat bahwa hadits di atas hanya menyebutkan beberapa jenis benda sebagai contoh, bukan merinci secara pasti bahwa hanya ketiga benda tersebut yang menjadi milik umum. Para ulama mengqiyaskan (menyamakan) dengan benda yang disebutkan dalam hadits untuk semua benda-benda yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Seperti minyak bumi dan batubara sebagai sumber energi disamakan dengan api yang merupakan sumber energi pada masa Rasulullah dan dibutuhkan oleh seluruh manusia.

c. Harta yang asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya

Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda-banda yang sejak awal pembentukannya diperuntukkan bagi kepentingan umum dan dapat

21

Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi


(40)

dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat. Contohnya adalah benda-benda yang diwaqafkan untuk kepentingan umum, seperti masjid dan jalan raya. Dalil dari harta jenis ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi:

Artinya: Mina adalah milik orang-orang yang lebih dahulu sampai. (HR. Tirmidzi dari Aisyah)22

Maksud dari perkataan munakhu man sabaq adalah bahwa Mina merupakan milik seluruh rakyat. Barangsiapa yang lebih awal datang di tempat Mina, lalu menempatinya, maka bagian tersebut adalah baginya, karena Mina adalah milik umum bagi seluruh manusia.

Hal yang sama juga terjadi pada harta yang diwaqafkan pemiliknya untuk kepentingan umum, seperti masjid, sekolah dan jalan raya. Semuanya merupakan harta milik umum yang dilarang dimiliki oleh individu dengan alasan apapun.

3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)

Kepemilikan negara merupakan kekhususan yang dimiliki oleh negara dalam mengelola harta yang merupakan milik umum (seluruh rakyat), dimana

22

Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, Beirut, (Dar al-Ma’rifah: 2002), hal: 379.


(41)

kepala negara selaku pemegang kekuasaan bisa memberikan harta tersebut kepada sebagian rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Yang termasuk dalam harta milik negara adalah harta yang tersimpan di baitul mal (kas negara) yang berasal dari hartafai’,kharaj, danjizyah (pajak).23

Ada perbedaan yang mendasar antara harta milik negara dan harta milik umum, meskipun pengelolaannya sama-sama dilakukan oleh negara. Harta yang termasuk milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan harta milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada siapapun yang dikehendaki oleh negara sesuai dengan kebijakan negara.

Sebagai contoh: air, garam, padang rumput yang merupakan milik umum, negara tidak boleh sama sekali memberikannya kepada orang tertentu, meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai dengan keperluannya. Berbeda dengan harta kharaj (pajak) yang merupakan milik negara boleh diberikan kepada para petani saja sedangkan yang lain tidak. Juga diperbolehkan harta kharaj dipergunakan untuk membeli senjata saja tanpa diberikan kepada seorangpun.24

23

Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishadi al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1993), hal 45-46.

24


(42)

Dalam konteks Inndonesia, harta milik negara adalah semua penerimaan negara yang masuk dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), baik penerimaan negara dari pajak maupun penerimaan negara non-pajak. Semua penerimaan negara tersebut akan dikeluarkan (dibelanjakan) sesuai dengan kebijakan pemerintah.

C. Penguasaan atas Sumber Daya Air

Air, Sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu benda yang menjadi milik umum dan bisa dimanfaatkan oleh semua orang. Sedangkan air yang dieksplorasi ada tiga macam, yaitu: air sungai, air sumur, dan air dari mata air.25 Ketiganya akan dijelaskan secara rinci beserta siapa saja yang berhak untuk menguasai dan memanfaatkannya.

1. Air Sungai

Air sungai sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: Pertama, sungai besar yang dialirkan oleh Allah SWT yang tidak dibuat manusia, seperti sungai Nil, sungai Dajlah. Air dari sungai macam ini dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan, mulai untuk minum, mengairi lahan pertanian, sampai pembangkit listrik. Tidak ada yang boleh melarang seseorang untuk mengambil air darinya, termasuk pemerintah. Pemerintah

25

Ali ibn Muhammad al-Mawardi,Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), hal. 226.


(43)

tidak berkuasa atas air yang ada di sungai tersebut. Pemerintah hanya berhak untuk mengatur supaya pemanfaatan air berlangsung tertib dan lancar.

Kedua, sungai kecil yang dialirkan oleh Allah SWT. Sungai jenis ini ada dua macam:

a. Sungai yang bisa naik meninggi meskipun tanpa bendungan yang menahannya dan mencukupi kebutuhan penduduk tanpa kekurangan. Masing-masing penduduk boleh mengambil air untuk mengairi lahan pertaniannya saat ia membutuhkan. Peran pemerintah adalah mengatur pemanfaatan air supaya tidak terjadi perselisihan antar warga.

b. Sungai yang airnya sedikit dan baru bisa mengairi lahan pertanian apabila diberi bendungan. Maka penduduk bagian hulu dapat menahan air itu hingga dapat mengairi sawah mereka, kemudian dilanjutkan wilayah berikutnya yang dilewati sungai. Peran pemerintah adalah mengatur supaya penduduk yang di hulu tidak menghabiskan air dan membatasi pemakaian air supaya bisa merata. Adapun ukuran air yang ditahan oleh penduduk hulu adalah sebatas mata kaki sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW.26

Ketiga, sungai yang digali oleh manusia ketika mereka menghidupkan lahan mati untuk mengairi lahan mereka. Maka sungai itu menjadi milik bersama mereka, seperti saluran yang mereka buat di antara lahan mereka.

26


(44)

2. Air Sumur

Bagi para penggali sumur ada tiga kemungkinan:Pertama, orang yang menggali sumur untuk air minum bagi orang yang lewat, maka air yang dihasilkan oleh sumur itu menjadi milik bersama, dan penggalinya memiliki hak yang setara dengan orang lain. Jadi penggali sumur seolah-olah mewaqafkan sumur hasil galiannya kepada setiap orang yang membutuhkannya.

Kedua, orang yang menggali sumur untuk pemenuhan kebutuhan airnya. Seperti kalangan badui yangnomaden (berpindah-pindah) saat mereka menempati lahan dan menggali sumur di tanah itu untuk keperluan minum mereka dan hewan-hewannya. Maka mereka menjadi pihak yang paling berhak atas air sumur itu selama mereka berada di tempat itu. Jika mereka meninggalkan tempat itu, maka sumur itu menjadi sumber air yang menjadi milik umum.

Ketiga, orang yang menggali untuk kepentingan dirinya dengan niat untuk memilikinya. Apabila penggaliannya belum sampai menemukan air, maka kepemilikannya atas sumur itu belum diakui. Sedangkan jika dia menggalinya dan menemukan airnya, maka sumur itu menjadi miliknya setelah selesai menuntaskan penggaliannya.27 Hukum di atas adalah ketika

27


(45)

seseorang menggalinya di lahan kosong yang tidak dimiliki oleh seseorang (bumi mati).

3. Air dari mata air

Mata air terbagi atas 3 (tiga) macam: Pertama, mata air yang dipancarkan oleh Allah SWT dan bukan karena digali oleh manusia. Status hukum mata air ini adalah sebagaimana hukum dari sungai-sungai yang dialirkan oleh Allah SWT. Bagi orang yang mengelola bumi mati dengan menggunakan air dari mata air tersebut, maka dia dapat mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya. Jika para petani memperebutkan mata air itu karena keterbatasan airnya, maka yang didahulukan adalah lahan-lahan yang dihidupkan (dikelola) dengan air dari mata air tersebut.

Kedua, mata air yang digali oleh manusia. Mata air tersebut menjadi milik orang yang menggalinya dan dia juga berhak memiliki lahan di sekitar

mata air tersebut. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masalah luasnya tanah

di sekitanya adalah mengikuti kebiasaan yang berlaku. Sedang imam Abu Hanifah berpendapat tanah di sekitar mata air adalah seluas lima ratus hasta. Orang yang menggali mata air itu boleh mengalirkan airnya ke mana saja yang dia mau, dan tanah yang dialiri air itu menjadi miliknya juga.

Ketiga, mata air yang digali oleh seseorang di lingkungan tanah miliknya, maka orang itu menjadi pihak yang paling berhak atas airnya. Jika kapasitas mata air itu hanya mencukupi pengairan ladangnya, orang lain tidak berhak atas airnya, kecuali untuk orang yang amat membutuhkan untuk


(46)

diminum. Jika air itu lebih dari kebutuhannya, lalu dia ingin mengolah lahan lain dengan kelebihan air tersebut, maka dia menjadi pihak yang berhak atas kelebihan air tersebut. Jika dia tidak ingin mengolah tanah mati dengan kelebihan air itu, maka dia harus memberikan kelebihan air itu untuk para pemilik ternak, bukan para pemilik ladang. Jika dia minta bayaran atas air yang digunakan oleh para pemilik ladang, maka hal itu boleh dilakukan.28

28


(47)

38

A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi 1. Hukum Acara

Untuk melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa melakukan atau memutus perkara yang dimohonkan kepadanya apabila pemohon tersebut mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Tidak semua orang dapat mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja, sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara belum tentu dapat dijadikan dasar permohonan.1

Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Dalam perkara pengujian undang-undang, persyaratanlegal standingatau kedudukan hukum

1

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, (Jakarta: MKRI, 2006), hal. 94.


(48)

dimaksud mencakup syarat formil sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.2

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan:

(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang

dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang

2

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konsitusi Press, 2006), hal. 67-68.


(49)

memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam

Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji; c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon sebagai

akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

TentangIegal standing, Mahkamah Konstitusi pernah menjelaskannya dalam putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU-III/2005, bahwa kerugian yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;


(50)

c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.3

Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi sehari-hari oleh peradilan biasa. Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.

Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri

3

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, Jakarta MKRI, 2006), hal. 96-97.


(51)

inilah yang membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.

Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang, hukum acara lain yang timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan tata usaha negara dengan aturan hukum acara perdata maka secaramutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuat dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.

Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat dikenali sebagai berikut:

a. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK);

c. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada;

d. Undang-undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dan Hukum Acara Pidana Indonesia;


(52)

e. Pendapat sarjana (doktrin);

f. Hukum Acara dan/atau yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.4 Secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:5

1. Pengajuan permohonan

a. Ditulis dalam bahasa Indonesia;

b. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya; c. Diajukan dalam 12 rangkap;

d. Jenis perkara; e. Sistematika:

1) Identitas dan legal standing 2) Posita

3) Petitum

f. Disertai bukti pendukung 2. Pendaftaran

3. Penjadwalan Sidang

a. Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).

4

Maruarar Siahaan,Hukum Acara…., hal. 82-84. 5

Lihat Bab V Hukum Acara Pasal 28-85 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsti tusi.


(53)

b. Para pihak diberitahu/dipanggil. c. Diumumkan kepada masyarakat. 4. Pemeriksaan Pendahuluan

a. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa: 1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan. 2) Kejelasan materi permohonan.

b. Memberi nasehat:

1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan. 2) Perbaikan materi permohonan.

c. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki. 5. Pemeriksaan Persidangan

a. Terbuka untuk umum.

b. Memeriksa: permohonan dan alat bukti.

c. Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan. d. Lembaga Negara dapat dimintai keterangan, Lembaga Negara

dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta.

e. Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.

f. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain. 6. Putusan


(54)

Adapun susunan isi putusan atau sistematika putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:

a. Mahkamah Konstitusi memberikan putusan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

b. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:

1)Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”; 2) Identitas pihak;

3) Ringkasan permohonan;

4) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; 5) Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

6) Amar putusan;

7) Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan


(55)

kepadanya.6 Gustav Radbruch mengemukakan bahwa: “Seharusnya dalam

suatu putusan mengandung idée des recht atau cita hukum, yang meliputi unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid) dan kemanfaatan (zweekmasigkeit).7

Ketiga unsur tersebut sedapat mungkin harus diakomodir dalam suatu putusan secara proporsional. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya karena hakim dianggap tahu hukumnya, melainkan mengetahui secara objektif fakta atau peristiwanya sebagai duduk perkara yang sebenarnya yang nantinya dijadikan dasar putusannya, bukan secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Untuk dapat memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenar-benarnya dan peraturan hukum yang akan diterapkan.8

6

Mr. P.A. Stein, Compendium Van Het Burgerlijke Procesrechts, 4e druk, Kluwer, 1977, hal. 158. dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia,Cet I, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), 2006, hal. 235.

7

Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum,Edisi IV, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal. 145.

8

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang

Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, (Bandung: PT Citra


(56)

Dengan demikian, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada dasarnya isi putusan hakim konstitusi dapat berupa 3 (tiga) macam, yaitu permohonan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, serta permohonan dikabulkan. Ketiga macam hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard)

Syarat suatu putusan hakim konstitusi yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) apabila permohonannya melawan hukum atau tidak berdasarkan hukum. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 51 diatur bahwa:

1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a) Perorangan warga negara Indonesia;


(57)

b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c) Badan hukum publik atau privat; atau

d) Lembaga negara.

2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a) Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau

b) Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Permohonan ditolak (ontzigd)

Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar putusannya menyatakan permohonan ditolak.


(58)

c. Permohonan dikabulkan.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan dikabulkan, apabila permohonannya beralasan. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan. Atau dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonaan wajib dimuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari kerja sejak putusan diucapkan. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali dikemudian hari (nebis in idem).

Jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan antara putusan yang bersifat declaratoir, constitutief dan condemnatoir. Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial


(59)

terhadap penggugat/termohon. Sifat putusan condemnatoir ini dapat dilihat dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara.

Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi nampak jelas dalam amar putusannya. Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:

“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat

(2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan

Undang Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945.”

Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat constitutief.

Putusanconstitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru. Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 adalah meniadakan


(60)

keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.9

Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diuraikan di atas, kebanyakan jenisnya, terutama dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi itu menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagainegative-legislator. Sifatdeclaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:

a. Kekuatan Mengikat

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak

9

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, Jakarta: MKRI, 2006), hal. 240-242.


(61)

yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia

Ia belaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.

b. Kekuatan pembuktian

Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menguji satu undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti (gezag van gewijsde).

Kekuatan pasti satu putusan secara negatif diartikan bahwa hakim tidak boleh lagi memutus perkara permohonan yang sebelumnya pernah diputuskan. Dalam perkara konstitusi putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapa pun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah


(62)

berkekuatan tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar.

c. Kekuatan eksekutorial

Hakim Mahkamah Konstitusi adalah negative-legislator dan putusannya berlaku sebagai undang-undang tetapi tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Untuk itu, putusan Mahkamah Konstitusi perlu dimuat dalam berita negara agar setiap orang mengetahuinya.

Dalam hal kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas dari suatu undang-undang, maka karakteristik putusannya yaitu bahwa selama undang-undang tersebut sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi masih tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

B. Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 1. Pemohon dan Jenis Permohonan

Permohonan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan permohonan pengujian undang-undang yang paling banyak pemohonnya sepanjang terbentuknya Mahkamah Konstitusi


(63)

(sebelum dikalahkan oleh pengujian Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pengujian ini terdiri dari 5 berkas permohonan, yaitu permohonan dengan Nomor Registrasi Perkara 058/PUU-II/2004, 059/PUU-II/2004, 060/PUU-II/2004, 063/PUU-II/2004, dan 008/PUU-III/2005. Lebih rincinya, permohonan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Permohonan 058/PUU-II/2004.

No Kategori Nomor Registrasi Perkara 058/PUU-II/2004

1 Pemohon Tim Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air yang

meliputi beberapa LSM dan perorangan sebanyak 53 orang

2 Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang)

3 Tanggal Registrasi Permohonan

18 Juni 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkan kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Juli 2004

4 Jenis Perngujian Pengujian formil dan materil

5 Objek Permohonan 1. Konsideran mengingat dalam UU No.7 Tahun 2004 yang tidak mencantumkan Pasal 33 ayat (1) sampai ayat (5) secara utuh

2. Pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat (5), Pasal 38 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7), Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 46 ayat (2), Pasal 91, Pasal 92 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No.7 Tahun 2004

b. Permohonan 059/PUU-II/2004

No Kategori Nomor Registrasi Perkara 059/PUU-II/2004

1 Pemohon 16 orang dari organisasi non-pemerintah yang

menamakan diri Rakyat Menggugat, antara lain terdiri dari WALHI, FSPI dan lain-lain

2 Kategori Pemohon Badan Hukum

3 Tanggal Registrasi Permohonan

2 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkan kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Juli


(64)

2004

4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil

5 Objek Permohonan UU No 7 Tahun 2004 secara keseluruhan c. Permohonan 060/PUU-II/2004

No Kategori Nomor Registrasi Perkara 060/PUU-II/2004

1 Pemohon 868 perorangan WNI

2 Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang)

3 Tanggal Registrasi Permohonan

29 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkan kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 8 September 2004

4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil

5 Objek Permohonan UU No 7 Tahun 2004 secara keseluruhan d. Permohonan 063/PUU-II/2004

No Kategori Nomor Registrasi Perkara 063/PUU-II/2004

1 Pemohon Suta Widya, perorangan WNI

2 Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia 3 Tanggal Registrasi

Permohonan

26 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkan kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 22 September 2004

4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil

5 Objek Permohonan Pasal 9, Pasal 26 ayat (7), Pasal 45 dan Pasal 46 UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

e. Permohonan 008/PUU-III/2005

Permohonan ini merupakan permohonan yang bersifat ad informandum10. Hal ini berdasarkan saran dari Mahkamah Konstitusi karena permohonan 008/PUU-III/2005 diajukan pada saat empat permohonan sebelumnya telah berjalan dan tinggal menunggu putusan saja. ad informandum yang dimaksud adalah jika suatu permohonan mempunyai

10

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005, hal. 167


(65)

kepentingan terhadap pasal-pasal sama dengan yang telah dimohonkan sebelumnnya, maka permohonan diajukan untuk memperkuat dalil, argumentasi menyangkut pasal-pasal yang telah dimohonkan oleh pemohon sebelumnya.

No Kategori Nomor Registrasi Perkara 008/PUU-III/2005

1 Pemohon 2063 orang WNI yang memberi kuasa kepada Bambang

Widjojanto, S.H., LLM., dkk, dari “Tim Advokasi

Keadilan Sumber Daya Alam”

2 Kategori Pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang)

3 Tanggal Registrasi Permohonan

1 Maret 2005, kemudian setelah diperbaiki, diserahkn kembali ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2005

4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil

5 Objek Permohonan Pasal 6 ayat (2), ayat (3), pasal 7, pasal 8 ayat (1), ayat (2), pasal 9 ayat (1), pasal 11 ayat (3), pasal 29 ayat (3), pasal 38, pasal 39, pasal 40 ayat (4), pasal 49 UU No. 7 tahun 2004

2. Bagian yang dimohonkan

Secara umum, para pemohon dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air memohon pengujian formil sekaligus permohonan pengujian materil. Hal ini karena pemohon mendalilkan bahwa filosofi pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sebagian materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan adalah sebagai berikut:

Pasal atau Bagian Penjelasan

Konsideran mengingat dalam UU No.7 Tahun 2004

Tidak mencantumkan Pasal 33 ayat (1) sampai ayat (5) secara utuh


(1)

92

c) Melakukan pengaturan (regelendaad).

d) Melakukan pengelolaan (beheersdaad).

e) Melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).

b. Terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

1) Hak atas air merupakan hak asasi manusia, sehingga hak tersebut tidak hanya tunduk pada Pasal 33 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 saja, tetapi juga pada Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945

2) Air bukanlah barang ekonomi, sesuai dengan prinsip “pemanfaat air membayar jasa pengelolaan sumber daya air”

3) Peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air hanya dapat dilakukan dibawah izin dari pemerintah.

4) Adanya kewajiban tanggung jawab negara terhadap hak atas air.

2. Pandangan fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Sumber Daya Air adalah:

a. Air termasuk barang yang menjadi milik umum (bersama). Tidak ada seorangpun yang dapat memonopoli pemanfaatan sumber daya air.


(2)

b. Negara berkewajiban menjamin ketersediaan pasokan air bagi seluruh rakyat dengan membuat peraturan yang mengatur pemanfaatan air dengan baik dan menjamin tidak adanya perselisihan antar anggota masyarakat dalam memanfaatkan air.

c. Negara berperan sebagai wakil rakyat yang merupakan pemilik atas air untuk melaksanakan fungsi-fungsi pembuatan kebijakan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap sumber daya air agar bermanfaat dan dapat dipergunakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

d. Islam menilai pemerintah boleh memberikan izin pengelolaan air kepada swasta dengan persyaratan tidak menutup akses untuk mendapatkan air bagi masyarakat luas. karena itu pintu privatisasi air harus dibatasi , sebab pihak swasta ketika mengelola sumber daya air dapat dipastikan untuk mencari keuntungan (profit oriented) sehingga mengabaikan kepentingan umum.

B. Saran

1. Dalam membuat Undang-Undang, pemerintah dan DPR diharapkan benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat dan mengacu kepada konstitusi kita, terutama masalah ekonomi harus sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang menganut paham kedaulatan ekonomi.


(3)

94

2. Pemerintah diharapkan tidak dengan mudah memberikan izin pengelolaan sumber daya air kepada swasta, apalagi pihak asing, karena merugikan kepentingan rakyat dan mengancam kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.

3. Pemerintah segera melakukan revisi terhadap UU SDA, terutama pasal-pasal yang membuka pintu privatisasi sumber daya air serta undang-undang yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam lainnya.


(4)

94 Al-Qur’an dan Terjemahannya.

A. Mas’adi, Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta, RajaGrafindo Persada,2002.

Assal, Ahmad Muhammad al- dan Fathi Ahmad Abdul Karim,An-Nizam al-Iqtishadi fi al-Islam, terj: Imam Saefudin, Bandung, Pustaka Setia, 1999.

Asshiddiqie, Jilmly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta, Konstitusi Press, 2005.

________________, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta, Konsitusi Press, 2006.

Basyuni, Said Mahammad,al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, Kairo, Dar al-Wafa’, 1988.

Gunadi, Tom, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD’45, Bandung, Angkasa, 1990.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet. ke-2, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007.

Islahi, A.A, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj: Anshari Thayib, Surabaya, PT Bina Ilmu Offset, 1997.

Khalaf, Abdul Wahhab ,Al-Siyasahh al-Syari’ah, Kairo, Dar al-Anshar, 1977. Lathif, Ahmad Azharuddin,Fiqh Muamalat, Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005. Mandhur, Ibn,Lisan al-Arab, jilid X, Beirut, Dar al-Fikr,tt.

Mawardi, Ali ibn Muhammad al-, Al-Ahkam Sulthaniyah wa Wilayat al-Diniyah, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006.


(5)

95

Mishry, Rofiq Yunus al-,Ushul al-Iqtishad al-Islami, Beirut, Dar as-Syamiyah,1993. Nabhani, Taqiyuddin al-, An-Nizham al-Iqtishadi al-Islam, terj: Redaksi al-Azhar

Press, Bogor, Al-Azhar Press, 2009.

Qardhawi, Yusuf, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishadi al-Islami, Kairo, Maktabah Wahbah, 1995.

Sarjadi, Soegeng dan Imam Sugema (ed.), Ekonomi Konstitusi: Haluan Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Jakarta, Soegeng Sarjadi Syndicate, 2009. Sholahuddin, Muhammad, Asas-Asas Ekonomi Islam, Jakarta, PT RajaGrafindo

Persada, 2007.

Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, (Jakarta, MKRI, 2006.

Sijistani, Abi Daud Sulaiman al-,Sunan Abi Daud, Amman, Dar al-A’lam, 2003. Sutiyoso, Bambang, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-Upaya

Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2006.

Suyuthi, Abdur Rahman ibn Abu Bakr al-,Al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Beirut, Dar al-Fikr, 1995.

Tirmidzi, Muhammad bin Isa al-,Sunan at-Tirmidzi, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 2002. Wibowo dan Francis Wahono, Neoliberalisme, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka

Rakyat Cerdas, 2003.

Zarqa, Mushtafa Ahmad al-, Madkhal Fiqhi Islami, jilid I, Beirut, Dar al-Fikri, t.t.

Zuhaili, Wahbah al-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV, Beirut, Dar al-Fikr), 1985.

________________,Tafsir al-Munir, juz IX, Damaskus, Dar al-Fikr, 2003.


(6)

Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 beserta Amandemennya.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32.

Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

3. Makalah:

Arimbi dan Emmy Hafild, Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999.

4. Data Internet:

Ikhwan Abidin Basri,Kepemilikan dalam Islam, yang diakses pada 20 Oktober 2010 dihttp://elwardi.com/2010/03/kepemilikan-dalam-islam/


Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003-Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang)

4 62 98

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Sesudah Dibatalkannya Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA)

0 5 6

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Akibat Pelanggaran Undang-Undang Sumber Daya Air Terkait Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

0 0 1

Analisis Kewenangan Hakim Konstitusi Dalam Menafsirkan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Studi Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang SUmber Daya Air.

0 0 5

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARGA NEGARA ATAS AIR DARI PRIVATISASI AIR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR.

0 1 13

UU 7 2004 sumber daya air

0 0 53

Undang-Undang No. 07 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

0 0 69

ANALISIS PUTUSANPERKARA NO. 35/PID.SUS/2015/PN.KBU TENTANG TINDAK PIDANA PERUSAKAN SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NO. 85/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UU NO. 7 TH 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

0 0 12