Kepemilikan Negara Milkiyah Daulah

tidak berkuasa atas air yang ada di sungai tersebut. Pemerintah hanya berhak untuk mengatur supaya pemanfaatan air berlangsung tertib dan lancar. Kedua, sungai kecil yang dialirkan oleh Allah SWT. Sungai jenis ini ada dua macam: a. Sungai yang bisa naik meninggi meskipun tanpa bendungan yang menahannya dan mencukupi kebutuhan penduduk tanpa kekurangan. Masing-masing penduduk boleh mengambil air untuk mengairi lahan pertaniannya saat ia membutuhkan. Peran pemerintah adalah mengatur pemanfaatan air supaya tidak terjadi perselisihan antar warga. b. Sungai yang airnya sedikit dan baru bisa mengairi lahan pertanian apabila diberi bendungan. Maka penduduk bagian hulu dapat menahan air itu hingga dapat mengairi sawah mereka, kemudian dilanjutkan wilayah berikutnya yang dilewati sungai. Peran pemerintah adalah mengatur supaya penduduk yang di hulu tidak menghabiskan air dan membatasi pemakaian air supaya bisa merata. Adapun ukuran air yang ditahan oleh penduduk hulu adalah sebatas mata kaki sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. 26 Ketiga, sungai yang digali oleh manusia ketika mereka menghidupkan lahan mati untuk mengairi lahan mereka. Maka sungai itu menjadi milik bersama mereka, seperti saluran yang mereka buat di antara lahan mereka. 26 Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah........, hal. 227. 2. Air Sumur Bagi para penggali sumur ada tiga kemungkinan: Pertama, orang yang menggali sumur untuk air minum bagi orang yang lewat, maka air yang dihasilkan oleh sumur itu menjadi milik bersama, dan penggalinya memiliki hak yang setara dengan orang lain. Jadi penggali sumur seolah-olah mewaqafkan sumur hasil galiannya kepada setiap orang yang membutuhkannya. Kedua, orang yang menggali sumur untuk pemenuhan kebutuhan airnya. Seperti kalangan badui yang nomaden berpindah-pindah saat mereka menempati lahan dan menggali sumur di tanah itu untuk keperluan minum mereka dan hewan-hewannya. Maka mereka menjadi pihak yang paling berhak atas air sumur itu selama mereka berada di tempat itu. Jika mereka meninggalkan tempat itu, maka sumur itu menjadi sumber air yang menjadi milik umum. Ketiga, orang yang menggali untuk kepentingan dirinya dengan niat untuk memilikinya. Apabila penggaliannya belum sampai menemukan air, maka kepemilikannya atas sumur itu belum diakui. Sedangkan jika dia menggalinya dan menemukan airnya, maka sumur itu menjadi miliknya setelah selesai menuntaskan penggaliannya. 27 Hukum di atas adalah ketika 27 Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah....., hal. 229. seseorang menggalinya di lahan kosong yang tidak dimiliki oleh seseorang bumi mati. 3. Air dari mata air Mata air terbagi atas 3 tiga macam: Pertama, mata air yang dipancarkan oleh Allah SWT dan bukan karena digali oleh manusia. Status hukum mata air ini adalah sebagaimana hukum dari sungai-sungai yang dialirkan oleh Allah SWT. Bagi orang yang mengelola bumi mati dengan menggunakan air dari mata air tersebut, maka dia dapat mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya. Jika para petani memperebutkan mata air itu karena keterbatasan airnya, maka yang didahulukan adalah lahan-lahan yang dihidupkan dikelola dengan air dari mata air tersebut. Kedua, mata air yang digali oleh manusia. Mata air tersebut menjadi milik orang yang menggalinya dan dia juga berhak memiliki lahan di sekitar mata air tersebut. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masalah luasnya tanah di sekitanya adalah mengikuti kebiasaan yang berlaku. Sedang imam Abu Hanifah berpendapat tanah di sekitar mata air adalah seluas lima ratus hasta. Orang yang menggali mata air itu boleh mengalirkan airnya ke mana saja yang dia mau, dan tanah yang dialiri air itu menjadi miliknya juga. Ketiga, mata air yang digali oleh seseorang di lingkungan tanah miliknya, maka orang itu menjadi pihak yang paling berhak atas airnya. Jika kapasitas mata air itu hanya mencukupi pengairan ladangnya, orang lain tidak berhak atas airnya, kecuali untuk orang yang amat membutuhkan untuk

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003-Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang)

4 62 98

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Sesudah Dibatalkannya Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA)

0 5 6

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Akibat Pelanggaran Undang-Undang Sumber Daya Air Terkait Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

0 0 1

Analisis Kewenangan Hakim Konstitusi Dalam Menafsirkan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Studi Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang SUmber Daya Air.

0 0 5

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARGA NEGARA ATAS AIR DARI PRIVATISASI AIR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR.

0 1 13

UU 7 2004 sumber daya air

0 0 53

Undang-Undang No. 07 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

0 0 69

ANALISIS PUTUSANPERKARA NO. 35/PID.SUS/2015/PN.KBU TENTANG TINDAK PIDANA PERUSAKAN SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NO. 85/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UU NO. 7 TH 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

0 0 12