seseorang menggalinya di lahan kosong yang tidak dimiliki oleh seseorang bumi mati.
3. Air dari mata air Mata air terbagi atas 3 tiga macam: Pertama, mata air yang
dipancarkan oleh Allah SWT dan bukan karena digali oleh manusia. Status hukum mata air ini adalah sebagaimana hukum dari sungai-sungai yang
dialirkan oleh Allah SWT. Bagi orang yang mengelola bumi mati dengan menggunakan air dari mata air tersebut, maka dia dapat mengambilnya sesuai
dengan kebutuhannya. Jika para petani memperebutkan mata air itu karena keterbatasan airnya, maka yang didahulukan adalah lahan-lahan yang
dihidupkan dikelola dengan air dari mata air tersebut. Kedua, mata air yang digali oleh manusia. Mata air tersebut menjadi
milik orang yang menggalinya dan dia juga berhak memiliki lahan di sekitar mata air tersebut. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masalah luasnya tanah
di sekitanya adalah mengikuti kebiasaan yang berlaku. Sedang imam Abu Hanifah berpendapat tanah di sekitar mata air adalah seluas lima ratus hasta.
Orang yang menggali mata air itu boleh mengalirkan airnya ke mana saja yang dia mau, dan tanah yang dialiri air itu menjadi miliknya juga.
Ketiga, mata air yang digali oleh seseorang di lingkungan tanah miliknya, maka orang itu menjadi pihak yang paling berhak atas airnya. Jika
kapasitas mata air itu hanya mencukupi pengairan ladangnya, orang lain tidak berhak atas airnya, kecuali untuk orang yang amat membutuhkan untuk
diminum. Jika air itu lebih dari kebutuhannya, lalu dia ingin mengolah lahan lain dengan kelebihan air tersebut, maka dia menjadi pihak yang berhak atas
kelebihan air tersebut. Jika dia tidak ingin mengolah tanah mati dengan kelebihan air itu, maka dia harus memberikan kelebihan air itu untuk para
pemilik ternak, bukan para pemilik ladang. Jika dia minta bayaran atas air yang digunakan oleh para pemilik ladang, maka hal itu boleh dilakukan.
28
28
Ali ibn Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah......., hal. 232.
38
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 058-059-060-063PUU-II2004 DAN NOMOR 008PUU-III2005
A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi 1. Hukum Acara
Untuk melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa melakukan atau memutus perkara yang dimohonkan kepadanya apabila
pemohon tersebut mempunyai kedudukan hukum legal standing. Tidak semua orang dapat mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi
dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja, sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara belum
tentu dapat dijadikan dasar permohonan.
1
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada
Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi
pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Dalam perkara pengujian undang-undang, persyaratan legal standing atau kedudukan hukum
1
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, Jakarta: MKRI, 2006, hal. 94.
dimaksud mencakup syarat formil sebagaimana ditentukan dalam undang- undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan
konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.
2
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam
Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan:
1 Pemohon adalah pihak yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang
2
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konsitusi Press, 2006, hal. 67-68.
memiliki kedudukan hukum legal standing dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam
Pasal 51 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak danatau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak danatau kewenangan konstitusional pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Tentang Iegal standing, Mahkamah Konstitusi pernah menjelaskannya dalam putusan Perkara Nomor 006PUU-III2005 dan Nomor 010PUU-
III2005, bahwa kerugian yang timbul karena berlakunya suatu undang- undang menurut Pasal 51 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 lima syarat sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat causal verband antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi
sehari-hari oleh peradilan biasa. Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang
tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali
dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam
itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan
individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri
3
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cet I, Jakarta MKRI, 2006, hal. 96-97.