tidak ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’ al-mani’. Adapun yang dimaksud dengan al-mani’ adalah
8
:
ِﻦ
“Sesuatu yang
mencegah pemilik
dari melakukan
tasharruf membelanjakan harta”
Penghalang mani’ dalam kepemilikan yang mencegah adanya tasharruf dalam harta terdiri atas dua hal:
1. kurangnya keahlian, seperti anak kecil
2. adanya hak orang lain yang ada pada harta seseorang, seperti harta yang digadaikan.
Namun adanya penghalang ini tidak menghilangkan status kepemilikan seseorang atas harta tersebut, karena penghalang ini adalah faktor eksternal yang
tidak mempengaruhi status kepemilikan seseorang. Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kepemilikan adalah suatu hak atas zat tertentu dalam hal ini bisa berbentuk benda bergerak atau benda mati dan atau kegunaanya yang dapat
dimanfaatkan sesuai dengan kehendak pemiliknya atau yang berhak terhadap zat tersebut. Sehingga apabila pemilik akan melakukan suatu kehendak terhadap zat
tersebut, pemilik tidak membutuhkan persetujuan dari orang lain, karena pemilik berhak atas zat tersebut.
8
Mushtafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, Beirut: Dar al-Fikri, t.t, hal. 242
Taqyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat dan atau kegunaannya utility tertentu yang
memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil
kegunaannya oleh orang lain, seperti disewa ataupun dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli oleh orang lain.
9
Atas dasar inilah, maka kepemilikan merupakan izin syar’i untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan
ditetapkan selain dengan ketetapan syar’i terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab kepemilikannya. Jika demikian, maka kepemilikan atas zat tertentu bukan semata
berasal dari zat itu sendiri, atau dari karakter dasarnya, akan tetapi berasal dari adanya izin yang diberikan oleh syara’, serta berasal dari sebab yang
diperbolehkan oleh syara’ untuk memiliki zat tersebut secara sah.
10
B. Macam-macam Kepemilikan
Kepemilikan dari sudut pandang obyek kepemilikan mahal al-milk dapat dibedakan menjadi dua bagian:
1. kepemilikan sempurna milkiyah tammah, yaitu: kepemilikan atas materi harta dan manfaatnya secara bersamaan, sehingga seluruh hak yang terkait
9
Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hal. 66.
10
Taqyuddin an-Nabhani, Membangun........., hal. 67.
dengan harta itu berada di bawah penguasaan pemilik. Kepemilikan ini bersifat mutlak, tidak dibatasi waktu, dan tidak bisa digugurkan orang lain.
Menurut ulama fiqih, ciri khusus kepemilikan sempurna adalah: a. sejak awal, kepemilikan terhadap materi dan manfaat bersifat sempurna
b. kepemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang dimiliki sebelumnya, artinya materi dan manfaat sudah ada sejak pemilikan benda itu
c. Kepemilikannya tidak dibatasi dengan waktu d. Apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka masing-masing orang
dianggap bebas menggunakan miliknya tersebut sebagaimana milik mereka masing-masing.
2. kepemilikan tidak sempurna milkiyah naqisah, yaitu: kepemilikan atas salah satu unsur harta, materi atau manfaatnya saja. Hal ini seperti orang yang
menyewa yang hanya memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki materinya. Kepemilikan dari sudut pandang bentuknya dapat dibagi menjadi dua
bagian: 1. kepemilikan yang jelas mutamayyizah, yaitu: kepemilikan terhadap suatu
benda yang mempunyai batas-batas yang jelas dan tertentu yang dapat dipisahkan dari yang lainnya. Seperti kepemilikan terhadap sebuah rumah
atau sebagian rumah yang sudah jelas batas-batasnya. 2. kepemilikan yang bercampur sya’iah, yaitu: kepemilikan atas sebagian, baik
banyak atau sedikit, yang tidak tertentu dari sebuah harta benda sebagai hasil
dari persekutuan dalam harta tersebut. Seperti kepemilikan atas sebaian rumah yang belum jelas pembagiannya.
Kepemilikan dari sudut pandang pihak yang berhak memanfaatkannya dapat dibagi menjadi dua bagian
11
: 1. kepemilikan pribadi milkiyah fardiyah, yaitu: kepemilikan terhadap suatu
harta yang hak pemanfaatannya hanya untuk seseorang yang tertentu sebagai pemilik harta
2. kepemilikan umum milkiyah ‘ammah, yaitu: kepemilikan terhadap sesuatu yang hak pemanfaatannya ditetapkan bagi kelompok masyarakat dengan
ketentuan setiap anggota masyarakat berhak menggunakannya atas nama bagian dari masyarakat tersebut.
Namun ada sebagian fuqaha yang menambahkan pembagian kepemilikan dari sudut pandang pihak yang memanfaatkannya menjadi tiga bagian dengan
menambah satu bagian, yaitu
12
: 3. kepemilikan negara milkiyah dauliyah, yaitu: harta yang merupakan hak
bagi seluruh kaum musliminrakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifahnegara,
dimana khalifahnegara
berhak memberikan
atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslimrakyat sesuai dengan
11
Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, Kairo: Dar al-Wafa’, 1988, hal. 46.
12
Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishadi al-Islami, Damaskus: Dar al-Qalam, 1993, hal 41.
ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
1. Kepemilikan Pribadi milkiyah fardiyah
Kepemilikan pribadi adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat utility tertentu, yang memungkinkan siapa saja
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi-baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
seperti disewa, atau karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli-dari barang tersebut.
Kepemilikan pribadi dapat diperoleh dengan berbagai cara yang dibenarkan oleh hukum islam, di antaranya adalah
13
: a. Penguasaan terhadap harta bebas Ihraz al-mubahat
14
Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki oleh pihak lain. Yang dimaksud dengan al-
mubahat harta bebas atau harta tak bertuan adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi dikuasai oleh orang lain dan
13
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 56.
14
Wahbah al-Zuhaily menyebut dengan istilah al-istila’ ala al-mubah dengan pengertian “menguasai harta yang belum dimiliki seseorang dan tidak ada halangan syara’ untuk
memilikinya”. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IV, Beirut: Dar al- Fiqr, 1985, hal 69-70.