72
BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang norma-norma hukum ekomomi Islam, terutama masalah kepemilikan dan penguasaan negara atas
sumber daya air, sekarang penulis mencoba menganalisis pendapat Mahkamah Konstitusi tentang pertimbangan hukum atas putusan majelis hakim baik dari sisi
formil maupun materil dari perspektif fiqh siyasah. Dalam pokok permohonan, para pemohon mengajukan dua permohonan sekaligus, yaitu permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air secara formil maupun materil. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi harus
memutuskan apakah proses pembentukan dan pengesahan UU 72004 tentang Sumber Daya Air telah memenuhi syarat-syarat formil pembentukan undang-
undang sesuai dengan yang ditentukan dalam UUD 1945 uji formil dan apakah materi yang diatur dalam UU 72004 tentang Sumber Daya Air bertentangan
dengan pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 uji materil.
1. Analisis formil pembentukan undang-undang Dalam kajian fiqh siyasah, kekuasaan legislatif disebut juga dengan al-
sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Menurut Islam, tidak seorang pun yang berhak
menetapkan suatu hukum yang akan diberlakukan bagi umat Islam. Namun dalam kehidupan bernegara, diperlukan aturan-aturan yang mengatur
kehidupan bernegara menjadi lebih baik sehingga diperlukan lembaga yang bertugas untuk membuat dan menetapkan hukum yang mengatur kehidupan
bernegara. Di sinilah peran al-sulthah al-tasyri’iyah dalam menetapkan hukum yang tidak diatur oleh Allah dan Rasul-Nya.
Istilah al-sulthah al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukkan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah
kenegaraan di samping kekuasaan eksekutif al-sulthah al-tanfidziyah dan kekuasaan yudikatif al-sulthah al-qadhaiyah. Dalam konteks ini, kekuasaan
legislatif al-sulthah al-tasyri’iyah berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan
dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam syariat Islam. Dengan demikian, unsur-unsur legislasi
dalam Islam meliputi: a.
Pemerintah lembaga legislatif sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam;
b. Masyarakat Islam yang akan melaksanakannya;
c. Isi peraturan atau hukum itu sendiri yang harus sesuai dengan nilai-nilai
dasar syariat Islam.
1
Sebenarnya pembagian kekuasaan, dengan beberapa kekhususan dan perbedaaan, telah terdapat dalam pemerintahan Islam jauh sebelum pemikir-
pemikir Barat merumuskan teori mereka tentang trias politica. Ketiga kekuasaan tersebut telah berjalan sejak zaman Nabi Muhammad di Madinah.
Sebagai kepala negara, Nabi membagi tugas-tugas tersebut kepada para shahabat yang mampu dan menguasai bidang-bidangnya. Meskipun secara
umum, semuanya bermuara kepada Nabi juga.
2
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan terpenting dalam pemerintahan Islam, karena ketentuan dan ketetapan yang dikeluarkan lembaga legislatif ini
akan dilaksanakan secaraa efektif oleh lembaga eksekutif dan dipertahankan oleh lembaga yudikatif atau peradilan. Orang-orang yang duduk di lembaga
legislatif ini terdiri dari para mujtahid dan ahli fatwa mufti serta para pakar dalam berbagai bidang.
3
Undang-undang dan peraturan yang akan dikeluarkan oleh lembaga eksekutif ini harus mengikuti ketentuan-ketentuan syariat Islam.
Oleh karena itu, terdapat dua fungsi lembaga legislatif. Pertama, dalam hal-
1
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Cet. ke-2, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, hal. 162
2
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah:......, hal. 163
3
Abdul Wahhab Khalaf, Al-Siyasahh al-Syari’ah, Kaiiro: Dar al-Anshar, 1977, hal. 42 sebagaimana dikutip oleh Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah....., hal. 162
hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Qur’an dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan adalah undang-undang ilahiyah yang
disyari’atkan-Nya dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada prinsipnya kedua sumber
ajaran Islam tersebut banyak berbicara masalah-masalah yang global dan sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan secara rinci. Sementara
perkembangan masyarakat begitu cepat dan kompleks sehingga membutuhkan jawaban yang tepat untuk mengantisipasinya.
Oleh karena itu, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi keduanya, yaitu melakukan penalaran kreatif ijtihad terhadap permasalahan-
permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Di sinilah perlunya al-sulthah al-tasyri’iyah tersebut diisi oleh para mujtahid dan ahli
fatwa sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas analogi. Mereka mencari illat
sebab hukum yang ada dalam permasalahan yang timbul dan
menyesuaikannya dengan ketentuan yang terdapat di dalam nash. Di samping harus merujuk kepada nash, ijtihad anggota legislatif harus mengacu kepada
prinsip jalb al-mashalih dan daf’ al-mafasid mengambil maslahat dan menolak kemudaratan. Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi
dan kondisi sosial masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka.