Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Qur’an dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan adalah undang-undang ilahiyah yang
disyari’atkan-Nya dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada prinsipnya kedua sumber
ajaran Islam tersebut banyak berbicara masalah-masalah yang global dan sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan secara rinci. Sementara
perkembangan masyarakat begitu cepat dan kompleks sehingga membutuhkan jawaban yang tepat untuk mengantisipasinya.
Oleh karena itu, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi keduanya, yaitu melakukan penalaran kreatif ijtihad terhadap permasalahan-
permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Di sinilah perlunya al-sulthah al-tasyri’iyah tersebut diisi oleh para mujtahid dan ahli
fatwa sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas analogi. Mereka mencari illat
sebab hukum yang ada dalam permasalahan yang timbul dan
menyesuaikannya dengan ketentuan yang terdapat di dalam nash. Di samping harus merujuk kepada nash, ijtihad anggota legislatif harus mengacu kepada
prinsip jalb al-mashalih dan daf’ al-mafasid mengambil maslahat dan menolak kemudaratan. Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi
dan kondisi sosial masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka.
Pada era modern, sejalan dengan masuknya penjajah Barat ke dunia Islam sejak abad ke-19, ide-ide politik dan kenegaraan Barat pun memulai
mengembangkan pengaruhnya terhadap umat Islam. Di antaranya adalah ide tentang legislasi hukum yang secara praktis terlihat dalam keberadaan dewan
legislatif atau parlemen. Masuknya ide ini mendapat respons dari kalangan pemikir Islam. Di antara mereka mencoba menanggapinya dan melontarkan
gagasan pula tentang legislasi hukum dalam negara Islam. Di antara mereka adalah Muhammad Iqbal.
Gagasan Iqbal tentang legislasi berpangkal pada konsep pemikirannya tentang negara. Menurut Iqbal, negara Islam bersifat teokratis. Namun,
teokrasi di sini harus dibedakan dengan teokrasi di Barat. Teokrasi Islam adalah pemerintahan yang berdasarkan tauhid dan menerapkan nilai-nilai
prinsip-prinsip persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasan yang terkandung di dalam tauhid. Negara adalah suatu alat untuk mentransfer prinsip-prinsip
tersebut ke dalam ruang dan waktu. Dalm pengertian ini, lanjut Iqbal, negara yang tidak didasarkan pada dominasi dan keistimewaan suatu kelompok
manusia atas manusia yang lainnya dan bertujuan hendak melaksanakan prinsip-prinsip spritual tauhid adalah negara teokratis. Negara inilah yang
sesuai dengan kehendak Tuhan, sebagaimana maksud Ttuhan yang menciptakan manusia untuk menjadi wakil-Nya khalifah di bumi.
4
4
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah....., hal. 170-171
Untuk mentransfer prinsip tauhid ke dalam ruang dan waktu, maka sekarang diperlukan ijtihad yang kreatif dan berani terhadap garis-garis besar
syariat Islam yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah agar dapat diterapkan dalam masyarakat Islam sesuai dengan tuntutan zaman yang berkembang.
Dalam semangat ini, Iqbal mengutip pola pikir Umar ibn Khattab:
“Hukum Islam akan mampu berevolusi terhadap perkembangan masyarakat di negeri-negeri muslim, kalau umat Islam berani
mendekatinya dengan semangat Umar, otak kritis yang pertama dalam Islam”
Bardasarkan ini, Iqbal memandang bahwa satu-satunya upaya untuk membuang kekakuan hukum Islam yang dihasilkan pada periode kemunduran
Islam adalah menggalakkan kembali ijtihad dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang.
Sekarang ini perlu mengalihkan kekuasan ijtihad pribadi menjadi ijtihad kolektif yang tergabung dalam lembaga legislatif. Bagi Iqbal, pada
zaman modern ini, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif adalah satu-satunya bentuk ijma’
yang paling tepat. Hanya dengan cara inilah umat islam dapat menggerakkan semangat di dalam sistem hukum Islam yang selama ini hilang dari dalam
tubuh umat Islam. Keuntungan lain dari adanya ijtihad kolektif dari lembaga legislatif adalah dapat menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif yang
cenderung lebih besar.
Orang-orang yang berhak menduduki lembaga legislatif ini tidak hanya para ulama yang dianggap memiliki otoritas dalam penafsiran ajaran
Islam, namun juga harus diisi oleh orang yang awam tentang hukum Islam, tetapi mempunyai pandangan yang luas terhadap berbagai persoalan
kemasyarakatan. Berdasarkan alasan tersebut, perlu orang-orang yang ahli dalam berbagai bidang, misalnya bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
kesehatan. Sayangnya, dalam idenya tentang lembaga legislatif ini, Iqbal tidak
menjelaskan secara eksplisit bagaimana mekanisme pemilihan anggota- anggotanya. Iqbal menyatakan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya cara
untuk mengekspresikan kehendak umat. Namun Iqbal tidak mengelaborasi secara tuntas bagaimana bentuk dan caranya pemilihan anggota legislatif serta
kontrol masyarakat terhadap lembaga ini. Dapatlah dimengerti dari penjelasan di atas, bahwa proses
pembentukan undang-undang dalam Islam mempunyai kesamaan dengan dunia di luar Islam yaitu melalui badan khusus yang menangani pembentukan
undang-undang yang disebut parlemen dalam Islam sering disebut ahl al- halli wa al-aqdi. Namun ada perbedaan yang mendasar di Islam yaitu yang
menjadi nilai dasar atau prinsip yang dianut dalam pembuatan undang-undang adalah al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, yang diatur dalam undang-
undang adalah aturan yang belum ada dalam al-Qur’an dan Sunnah serta hasil ijtihad para anggota legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-mashalih
dan daf’ al-mafasid mengambil kebaikan dan menolak keburukan. Khusus di Indonesia, yang menjadi dasar pembentukan undang-undang adalah
Undang-Undang Dasar UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi Indonesia dan norma-norma hukum lainnya yang dianut oleh Negara Indonesia.
Merujuk pada pendapat pemohon yang mendalihkan pengesahan UU No. 72004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan pasal 20 ayat 1
UUD 1945, pasal 33 ayat 2 huruf a dan ayat 5 UU No. 41999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, dan keputusan DPR RI No.
03ADPR RI2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI sehingga UU No. 72004 adalah cacat hukum. Mahkamah berpendapat bahwa proses
pembentukan UU No. 72004 telah sesuai dengan prosedur pembentukan undang-undang dan tidak menemukan unsur-unsur yang bertentangan dengan
UUD 1945. Hal ini dibuktikan dari proses yang telah dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah dalam menyusun UU SDA dari proses rancangan,
pembahasan, dan pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang- undang dilalui sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Adapun rapat paripurna DPR RI pada tanggal 19 Februari 2004 yang mengesahkan RUU SDA menjadi Undang-Undang telah sesuai dengan
keputusan DPR RI No. 03ADPR RI2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI pasal 192 yang berbunyi:
“Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah, apabila diambil dalam rapat yang dihadiri oleh anggota dan unsur fraksi, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 189 ayat 1 dan disetujui oleh semua yang hadir”
Hal ini tercermin dalam risalah rapat paripurna pada tanggal 19 Februari 2004 yang dihadiri 282 orang dari 494 anggota DPR dari semua fraksi. Adapun
adanya keberatan dari beberapa anggota DPR tidak menggugurkan kesepakatan yang telah dicapai dalam lobby antar fraksi sebelumnya.
Sehingga UU SDA disahkan dengan kesepakatan yang bulat dari semua anggota DPR.
Jadi dapatlah disimpulkan bahwa pendapat majelis hakim konstitusi tentang formil pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan proses pembentukan undang-undang dalam pandangan fiqh siyasah, karena dibentuk
oleh lembaga yang sah dan berwenang yaitu DPR dan tidak bertentangan dengan norma dasar yang ada dalam UUD 1945 serta menjamin keadilan
hukum dan menjaga martabat manusia.
2. Analisis Materil Isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Sebelum menyampaikan putusannya, majelis hakim mnyampaikan pertimbangan hukum yang menjadi dasar dalam memutuskan apakah
menerima atau menolak permohonan para pemohon dalam pengujian UU SDA. Pertimbangan tersebut adalah:
a. Hak atas air adalah hak asasi manusia Islam memandang bahwa air merupakan komponen terpenting bagi
mahluk hidup, terutama manusia. Air menjadi sebab bagi kehidupan di muka bumi ini. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-
Anbiya’:30:
ﱠﻞ ,
.
Artinya:.... dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman? QS: 30
Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat di atas bahwa setiap mahluk hidup diciptakan dari unsur air. Air merupakan unsur terpenting dari
mahluk hidup di dunia ini. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa setiap mahluk hidup tidak bisa hidup tanpa adanya air. Air menjadi sebab
kehidupan bagi semua mahluk hidup. Oleh karena itu Islam sependapat bahwa hak atas air termasuk hak yang paling dasar bagi manusia untuk
kelangsungan hidupnya di dunia ini.
5
Selain ayat di atas, Nabi Muhammad juga mengakui bahwa air adalah kebutuhan pokok bagi manusia dan mengelompokkannya dalam
barang-barang yang menjadi milik umum dan tidak dimiliki oleh
5
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz IX, Damaskus: Dar al-Fikr, 2003, hal. 48-51
perseorangan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya air bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu Islam sepakat bahwa hak terhadap air merupakan
bagian dari hak asasi manusia. b. Privatisasi dan komersialisasi pengelolaan sumber daya air
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa air termasuk barang yang menjadi milik umum, maka tidak seorang pun yang
dapat memilikinya kecuali dalam keadaan tertentu, seperti air sumur yang berada di tanah milik seseorang. Seseorang hanya diperbolehkan untuk
memanfaatkannya tanpa harus memiliki. Dalam pasal Pasal 11 ayat 3 yang menyatakan bahwa:
”Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya“, para
pemohon menyatakan bahwa pasal ini akan membuka pintu privatisasi proses pemilikan pribadi terhadap sumber-sumber air yang dapat
merugikan orang lain dikarenakan adanya kata “seluas-luasnya”. Kata inilah yang menurut pemohon akan membuka lebar-lebar pintu privatisasi
terhadap air. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Peran negara sebagai yang menguasai air sebagaimana yang termaktub dalam pasal 33
ayat 3 UUD 1945 yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tetap ada dan tidak dialihkan kepada dunia usaha atau swasta.
Pemerintah dapat berperan sebagai regulator yang mengatur dan
menyusun peraturan yang mengatur eksplorasi sumber daya air supaya berlangsung dengan baik dan tidak merugikan kepentingan umum.
Para pemohon juga mendalihkan UU SDA akan mengakibatkan terjadinya komersialisasi terhadap air, karena UU SDA menganut prinsip
“penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” sesuai dengan jasa yang dipergunakan pasal 26 ayat
7 UU SDA. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara
ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat.
Dalam kajian fiqh siyasah, terutama siyasah maliyah, barang yang termasuk kepemilikan umum tidak dapat diberikan kepada seseorang oleh
pemerintah. Pemerintah hanya punya kewenangan untuk mengatur pemanfaatannya oleh masyarakat supaya berjalan dengan tertib dan baik.
Oleh karena itu privatisasi terhadap sumber daya air tidak dapat dibenarkan, karena hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan
masyarakat secara keseluruhan dikarenakan tertutupnya akses mereka dalam mendapatkan air yang telah dikuasai oleh satu pihak dengan izin
dari pemerintah. Hal ini berdasarkan Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tentang sahabat Abyad yang diberi
tambang garam oleh Rasulullah SAW, namun ketika Rasulullah SAW tahu bahwa tambang garam tersebut mengeluarkan garam secara terus
menerus seperti air yang mengalir dan merupakan kebutuhan pokok manusia, maka Rasulullah mencabut kembali pemberiannya. Hal ini
menunjukkan bahwa barang yang menjadi kebutuhan pokok manusia dan terus mengalir berproduksi tidak dapat diberikan kepada perseorangan,
karena akan menutup akses orang lain untuk memanfaatkannya. Berkaitan dengan komersialisasi air, seperti yang didalihkan oleh
para pemohon, An-Nabhani berpendapat bahwa pada dasarnya air tidak boleh dikomersialkan, kecuali pada saat-saat tertentu, seperti air yang
keluar dari sumur pribadi. Namun untuk jasa pengelolaan air, Islam berpendapat bahwa negara harus menyediakan sarana dan pra sarana agar
air yanga ada di sumbernya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat melalui pembangunan pipa-pipa saluran air ke rumah-rumah warga. Biaya untuk
membangun sarana tersebut diiambil dari uang negara dan menjadi milik umum sebagaimana air.
6
c. Kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap hak asasi manusia atas air
Sebagai konsekuensi pengakuan bahwa hak atas air merupakan bagian dari hak asasi manusia, maka ada kewajiban dan tanggung jawab
negara untuk menjamin hak tersebut dapat terlaksana dengan baik. Dalam
6
Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hal. 165
UU SDA, majelis hakim berpendapat bahwa ketentuan pasal 5 yang berbunyi: “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi
kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif”, adalah rumusan hukum yang cukup memadai
untuk menjabarkan hak asasi atas air sebagai hak yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan adanya tanggung jawab
pemerinntah dalam pemenuhan hak atas air tersebut dalam pasal 14, 15, dan 16 UU SDA yang berisi adanya tanggung jawab pemerintah untuk
menetapkan kebijakan nasional sumber daya air dan mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan,
dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai. Dalam pandangan fiqh siyasah, pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan harus dapat menyejahterakan rakyatnya dengan memenuhi semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan terhadap air. Hal ini sesuai
dengan kaidah fiqih yang berbunyi:
7
Artinya: Kebijakan yang diambil oleh pemerintah atas rakyatnya harus dibebankan diarahkan kepada kepentingan umum.
Dengan demikian, negara harus mampu membuat kebijakan yang dapat menjamin kepentingan seluruh rakyat. UU SDA yang dibuat untuk
7
Abdur Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, hal. 84.
mengatur pemanfaatan sumber daya air oleh masyarakat dan mencegah terjadinya perselisihan antar warga cukup mampu mengatasi persoalan-
persoalan yang timbul dari kegiatan eksplorasi sumber daya air di Indonesia.