Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

hal yang ketentuannya sudah terdapat di dalam nash al-Qur’an dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan adalah undang-undang ilahiyah yang disyari’atkan-Nya dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun hal ini sangat sedikit, karena pada prinsipnya kedua sumber ajaran Islam tersebut banyak berbicara masalah-masalah yang global dan sedikit sekali menjelaskan suatu permasalahan secara rinci. Sementara perkembangan masyarakat begitu cepat dan kompleks sehingga membutuhkan jawaban yang tepat untuk mengantisipasinya. Oleh karena itu, kekuasaan legislatif menjalankan fungsi keduanya, yaitu melakukan penalaran kreatif ijtihad terhadap permasalahan- permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Di sinilah perlunya al-sulthah al-tasyri’iyah tersebut diisi oleh para mujtahid dan ahli fatwa sebagaimana dijelaskan di atas. Mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas analogi. Mereka mencari illat sebab hukum yang ada dalam permasalahan yang timbul dan menyesuaikannya dengan ketentuan yang terdapat di dalam nash. Di samping harus merujuk kepada nash, ijtihad anggota legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-mashalih dan daf’ al-mafasid mengambil maslahat dan menolak kemudaratan. Ijtihad mereka juga perlu mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial masyarakat, agar hasil peraturan yang akan diundangkan itu sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak memberatkan mereka. Pada era modern, sejalan dengan masuknya penjajah Barat ke dunia Islam sejak abad ke-19, ide-ide politik dan kenegaraan Barat pun memulai mengembangkan pengaruhnya terhadap umat Islam. Di antaranya adalah ide tentang legislasi hukum yang secara praktis terlihat dalam keberadaan dewan legislatif atau parlemen. Masuknya ide ini mendapat respons dari kalangan pemikir Islam. Di antara mereka mencoba menanggapinya dan melontarkan gagasan pula tentang legislasi hukum dalam negara Islam. Di antara mereka adalah Muhammad Iqbal. Gagasan Iqbal tentang legislasi berpangkal pada konsep pemikirannya tentang negara. Menurut Iqbal, negara Islam bersifat teokratis. Namun, teokrasi di sini harus dibedakan dengan teokrasi di Barat. Teokrasi Islam adalah pemerintahan yang berdasarkan tauhid dan menerapkan nilai-nilai prinsip-prinsip persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasan yang terkandung di dalam tauhid. Negara adalah suatu alat untuk mentransfer prinsip-prinsip tersebut ke dalam ruang dan waktu. Dalm pengertian ini, lanjut Iqbal, negara yang tidak didasarkan pada dominasi dan keistimewaan suatu kelompok manusia atas manusia yang lainnya dan bertujuan hendak melaksanakan prinsip-prinsip spritual tauhid adalah negara teokratis. Negara inilah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sebagaimana maksud Ttuhan yang menciptakan manusia untuk menjadi wakil-Nya khalifah di bumi. 4 4 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah....., hal. 170-171 Untuk mentransfer prinsip tauhid ke dalam ruang dan waktu, maka sekarang diperlukan ijtihad yang kreatif dan berani terhadap garis-garis besar syariat Islam yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah agar dapat diterapkan dalam masyarakat Islam sesuai dengan tuntutan zaman yang berkembang. Dalam semangat ini, Iqbal mengutip pola pikir Umar ibn Khattab: “Hukum Islam akan mampu berevolusi terhadap perkembangan masyarakat di negeri-negeri muslim, kalau umat Islam berani mendekatinya dengan semangat Umar, otak kritis yang pertama dalam Islam” Bardasarkan ini, Iqbal memandang bahwa satu-satunya upaya untuk membuang kekakuan hukum Islam yang dihasilkan pada periode kemunduran Islam adalah menggalakkan kembali ijtihad dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang. Sekarang ini perlu mengalihkan kekuasan ijtihad pribadi menjadi ijtihad kolektif yang tergabung dalam lembaga legislatif. Bagi Iqbal, pada zaman modern ini, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif adalah satu-satunya bentuk ijma’ yang paling tepat. Hanya dengan cara inilah umat islam dapat menggerakkan semangat di dalam sistem hukum Islam yang selama ini hilang dari dalam tubuh umat Islam. Keuntungan lain dari adanya ijtihad kolektif dari lembaga legislatif adalah dapat menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif yang cenderung lebih besar. Orang-orang yang berhak menduduki lembaga legislatif ini tidak hanya para ulama yang dianggap memiliki otoritas dalam penafsiran ajaran Islam, namun juga harus diisi oleh orang yang awam tentang hukum Islam, tetapi mempunyai pandangan yang luas terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan. Berdasarkan alasan tersebut, perlu orang-orang yang ahli dalam berbagai bidang, misalnya bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan. Sayangnya, dalam idenya tentang lembaga legislatif ini, Iqbal tidak menjelaskan secara eksplisit bagaimana mekanisme pemilihan anggota- anggotanya. Iqbal menyatakan bahwa pemilihan merupakan satu-satunya cara untuk mengekspresikan kehendak umat. Namun Iqbal tidak mengelaborasi secara tuntas bagaimana bentuk dan caranya pemilihan anggota legislatif serta kontrol masyarakat terhadap lembaga ini. Dapatlah dimengerti dari penjelasan di atas, bahwa proses pembentukan undang-undang dalam Islam mempunyai kesamaan dengan dunia di luar Islam yaitu melalui badan khusus yang menangani pembentukan undang-undang yang disebut parlemen dalam Islam sering disebut ahl al- halli wa al-aqdi. Namun ada perbedaan yang mendasar di Islam yaitu yang menjadi nilai dasar atau prinsip yang dianut dalam pembuatan undang-undang adalah al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, yang diatur dalam undang- undang adalah aturan yang belum ada dalam al-Qur’an dan Sunnah serta hasil ijtihad para anggota legislatif harus mengacu kepada prinsip jalb al-mashalih dan daf’ al-mafasid mengambil kebaikan dan menolak keburukan. Khusus di Indonesia, yang menjadi dasar pembentukan undang-undang adalah Undang-Undang Dasar UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi Indonesia dan norma-norma hukum lainnya yang dianut oleh Negara Indonesia. Merujuk pada pendapat pemohon yang mendalihkan pengesahan UU No. 72004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan pasal 20 ayat 1 UUD 1945, pasal 33 ayat 2 huruf a dan ayat 5 UU No. 41999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, dan keputusan DPR RI No. 03ADPR RI2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI sehingga UU No. 72004 adalah cacat hukum. Mahkamah berpendapat bahwa proses pembentukan UU No. 72004 telah sesuai dengan prosedur pembentukan undang-undang dan tidak menemukan unsur-unsur yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dibuktikan dari proses yang telah dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah dalam menyusun UU SDA dari proses rancangan, pembahasan, dan pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang- undang dilalui sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Adapun rapat paripurna DPR RI pada tanggal 19 Februari 2004 yang mengesahkan RUU SDA menjadi Undang-Undang telah sesuai dengan keputusan DPR RI No. 03ADPR RI2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI pasal 192 yang berbunyi: “Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah, apabila diambil dalam rapat yang dihadiri oleh anggota dan unsur fraksi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 189 ayat 1 dan disetujui oleh semua yang hadir” Hal ini tercermin dalam risalah rapat paripurna pada tanggal 19 Februari 2004 yang dihadiri 282 orang dari 494 anggota DPR dari semua fraksi. Adapun adanya keberatan dari beberapa anggota DPR tidak menggugurkan kesepakatan yang telah dicapai dalam lobby antar fraksi sebelumnya. Sehingga UU SDA disahkan dengan kesepakatan yang bulat dari semua anggota DPR. Jadi dapatlah disimpulkan bahwa pendapat majelis hakim konstitusi tentang formil pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan proses pembentukan undang-undang dalam pandangan fiqh siyasah, karena dibentuk oleh lembaga yang sah dan berwenang yaitu DPR dan tidak bertentangan dengan norma dasar yang ada dalam UUD 1945 serta menjamin keadilan hukum dan menjaga martabat manusia. 2. Analisis Materil Isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Sebelum menyampaikan putusannya, majelis hakim mnyampaikan pertimbangan hukum yang menjadi dasar dalam memutuskan apakah menerima atau menolak permohonan para pemohon dalam pengujian UU SDA. Pertimbangan tersebut adalah: a. Hak atas air adalah hak asasi manusia Islam memandang bahwa air merupakan komponen terpenting bagi mahluk hidup, terutama manusia. Air menjadi sebab bagi kehidupan di muka bumi ini. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al- Anbiya’:30: ﱠﻞ , . Artinya:.... dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman? QS: 30 Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat di atas bahwa setiap mahluk hidup diciptakan dari unsur air. Air merupakan unsur terpenting dari mahluk hidup di dunia ini. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa setiap mahluk hidup tidak bisa hidup tanpa adanya air. Air menjadi sebab kehidupan bagi semua mahluk hidup. Oleh karena itu Islam sependapat bahwa hak atas air termasuk hak yang paling dasar bagi manusia untuk kelangsungan hidupnya di dunia ini. 5 Selain ayat di atas, Nabi Muhammad juga mengakui bahwa air adalah kebutuhan pokok bagi manusia dan mengelompokkannya dalam barang-barang yang menjadi milik umum dan tidak dimiliki oleh 5 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz IX, Damaskus: Dar al-Fikr, 2003, hal. 48-51 perseorangan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya air bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu Islam sepakat bahwa hak terhadap air merupakan bagian dari hak asasi manusia. b. Privatisasi dan komersialisasi pengelolaan sumber daya air Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa air termasuk barang yang menjadi milik umum, maka tidak seorang pun yang dapat memilikinya kecuali dalam keadaan tertentu, seperti air sumur yang berada di tanah milik seseorang. Seseorang hanya diperbolehkan untuk memanfaatkannya tanpa harus memiliki. Dalam pasal Pasal 11 ayat 3 yang menyatakan bahwa: ”Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya“, para pemohon menyatakan bahwa pasal ini akan membuka pintu privatisasi proses pemilikan pribadi terhadap sumber-sumber air yang dapat merugikan orang lain dikarenakan adanya kata “seluas-luasnya”. Kata inilah yang menurut pemohon akan membuka lebar-lebar pintu privatisasi terhadap air. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Peran negara sebagai yang menguasai air sebagaimana yang termaktub dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah tetap ada dan tidak dialihkan kepada dunia usaha atau swasta. Pemerintah dapat berperan sebagai regulator yang mengatur dan menyusun peraturan yang mengatur eksplorasi sumber daya air supaya berlangsung dengan baik dan tidak merugikan kepentingan umum. Para pemohon juga mendalihkan UU SDA akan mengakibatkan terjadinya komersialisasi terhadap air, karena UU SDA menganut prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” sesuai dengan jasa yang dipergunakan pasal 26 ayat 7 UU SDA. Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Dalam kajian fiqh siyasah, terutama siyasah maliyah, barang yang termasuk kepemilikan umum tidak dapat diberikan kepada seseorang oleh pemerintah. Pemerintah hanya punya kewenangan untuk mengatur pemanfaatannya oleh masyarakat supaya berjalan dengan tertib dan baik. Oleh karena itu privatisasi terhadap sumber daya air tidak dapat dibenarkan, karena hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan masyarakat secara keseluruhan dikarenakan tertutupnya akses mereka dalam mendapatkan air yang telah dikuasai oleh satu pihak dengan izin dari pemerintah. Hal ini berdasarkan Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tentang sahabat Abyad yang diberi tambang garam oleh Rasulullah SAW, namun ketika Rasulullah SAW tahu bahwa tambang garam tersebut mengeluarkan garam secara terus menerus seperti air yang mengalir dan merupakan kebutuhan pokok manusia, maka Rasulullah mencabut kembali pemberiannya. Hal ini menunjukkan bahwa barang yang menjadi kebutuhan pokok manusia dan terus mengalir berproduksi tidak dapat diberikan kepada perseorangan, karena akan menutup akses orang lain untuk memanfaatkannya. Berkaitan dengan komersialisasi air, seperti yang didalihkan oleh para pemohon, An-Nabhani berpendapat bahwa pada dasarnya air tidak boleh dikomersialkan, kecuali pada saat-saat tertentu, seperti air yang keluar dari sumur pribadi. Namun untuk jasa pengelolaan air, Islam berpendapat bahwa negara harus menyediakan sarana dan pra sarana agar air yanga ada di sumbernya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat melalui pembangunan pipa-pipa saluran air ke rumah-rumah warga. Biaya untuk membangun sarana tersebut diiambil dari uang negara dan menjadi milik umum sebagaimana air. 6 c. Kewajiban dan tanggung jawab negara terhadap hak asasi manusia atas air Sebagai konsekuensi pengakuan bahwa hak atas air merupakan bagian dari hak asasi manusia, maka ada kewajiban dan tanggung jawab negara untuk menjamin hak tersebut dapat terlaksana dengan baik. Dalam 6 Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hal. 165 UU SDA, majelis hakim berpendapat bahwa ketentuan pasal 5 yang berbunyi: “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif”, adalah rumusan hukum yang cukup memadai untuk menjabarkan hak asasi atas air sebagai hak yang dijamin oleh UUD 1945. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan adanya tanggung jawab pemerinntah dalam pemenuhan hak atas air tersebut dalam pasal 14, 15, dan 16 UU SDA yang berisi adanya tanggung jawab pemerintah untuk menetapkan kebijakan nasional sumber daya air dan mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai. Dalam pandangan fiqh siyasah, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan harus dapat menyejahterakan rakyatnya dengan memenuhi semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan terhadap air. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi: 7 Artinya: Kebijakan yang diambil oleh pemerintah atas rakyatnya harus dibebankan diarahkan kepada kepentingan umum. Dengan demikian, negara harus mampu membuat kebijakan yang dapat menjamin kepentingan seluruh rakyat. UU SDA yang dibuat untuk 7 Abdur Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, hal. 84. mengatur pemanfaatan sumber daya air oleh masyarakat dan mencegah terjadinya perselisihan antar warga cukup mampu mengatasi persoalan- persoalan yang timbul dari kegiatan eksplorasi sumber daya air di Indonesia.

B. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menolak semua permohonan yang diajukan oleh para pemohon dalam pengujian konstitusionalitas UU SDA terhadap UUD 1945. Majelis hakim konstitusi berpendapat bahwa secara formil maupun materiil, UU SDA tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam amar putusan, majelis hakim juga menafsirkan frase “ dikuasai oleh negara” dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Majelis hakim berpendapat bahwa frase “dikuasai negara” harus diartikan sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam. Penguasaan ini mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, karena kepemilikan tersebut lahir dari konstruksi kedaulatan rakyat yang dinyatakan dalam hukum tertinggi, yaitu Undang Undang Dasar 1945. Majelis hakim juga berpendapat bahwa penguasaan negara atas air meliputi kegiatan: 1. Merumuskan kebijakan beleid, yaitu merumuskan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan sunber daya air. 2. Melakukan tindakan pengurusan bestuursdaad. Fungsi pengurusan bestuursdaad oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan vergunning, lisensi licentie, dan konsesi concessie. 3. Melakukan pengaturan regelendaad. Fungsi pengaturan oleh negara regelendaad dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah eksekutif. 4. Melakukan pengelolaan beheersdaad. Fungsi pengelolaan beheersdaad dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham share-holding danatau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber- sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 5. Melakukan pengawasan toezichthoudendaad. Fungsi pengawasan toezichthoudendaad dilakukan oleh pemerintah sebagai wakil negara terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya air. Faruq Nabhan dalam bukunya, al-Ittijah al-Jima’i menyatakan bahwa air dikategorikan sebagai benda milik umum, artinya semua orang dapat memanfaatkannya tanpa ada yang dapat menghalanginya, karena air merupakan unsur terpenting bagi kehidupan. 8 Tidak dibenarkan seseorang menguasai sumber air karena dapat menutup akses orang lain terhadap air sehingga akan merugikan kepentingan umum. Pemerintah sebagai wakil negara tidak dibenarkan untuk memberikan sumber air kepada pihak tertentu, karena air termasuk milik umum dan bukan milik negara. Dalam pemanfaatan sumber daya air, negara berperan sebagai pihak yang mebuat aturan yang mengatur pemanfaatan sumber daya air agar berlangsung dengan tertib dan tidak ada yang merasa dirugikan. Negara juga berperan sebagai pihak yang menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam memnfaatkan air. Akan tetapi negara bukanlah pemilik dari sumber daya air tersebut. Dengan demikian putusan majelis hakim yang menafsirkan penguasaan negara dengan kewenangan pemerintah, yang mewakili negara, melakukan lima kegiatan meliputi: merumuskan kebijakan, melakukan tindakan pengurusan, melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan adalah sesuai dengan hukum Islam. Merumuskan kebijakan dan pengaturan merupakan upaya pemerintah untuk mengatur pemanfaatan air berlangsung dengan adil dan baik. Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara BUMN 8 Said Muhammad Basyuni, Al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, Kairo: Dar al-Wafa’, 1988, hal. 244 juga diperbolehkan untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber daya air agar dapat bermanfaat untuk seluruh rakyat. Sedangkan tindakan pengawasan dilakukan dengan tujuan memberi sangsi kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan pemerintah dalam pemanfaatan air. Adapun tindakan pengurusan dengan memberi izin pengelolaan kepada swasta atau perorangan, fiqh siyasah memandang bahwa pemerintah diperkenankan untuk memberi izin pengelolaan sumber daya air kepada swasta atau perorangan dengan syarat tidak menutup akses orang lain dalam mendapatkan air dari sumbernya.. Hal ini dapat dituangkan dalam peraturan yang mengatur tentang syarat mendapatkan izin pengelolaan sumber daya air. Yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah adalah memberi penguasaan yang mutlak atas sumber daya air kepada perorangan atau swasta, karena dikhawatirkan akan merugikan kepentinngan umum yang lebih besar. Adanya pasal yang menjelaskan keterlibatan swasta dalam pengelolaan air dalam UU SDA pasal 11 ayat 3 yang dikhawatirkan akan membuka privatisasi air yang dapat merugikan kepentingan umum harus diminimalisir dengan memberikan syarat yang ketat terhadap setiap kegiatan eksplorasi terhadap sumber daya air. Jadi, kewenangan pemerintah dalam memberi izin pengelolaan air kepada swasta harus dibatasi selama tidak merugikan kepentingan umum. Adapun kedudukan negara dalam mengelola sumber daya air adalah sebagai wakil dari rakyat yang merupakan pemilik air. Negara harus bertindak untuk kebaikan rakyatnya. Ini tentu sama dengan konsep kedaulatan rakyat yang

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Legal Standing dalam Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Studi Terhadap Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2003-Januari 2007 Tentang Pengujian Undang-Undang)

4 62 98

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Sesudah Dibatalkannya Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA)

0 5 6

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Akibat Pelanggaran Undang-Undang Sumber Daya Air Terkait Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

0 0 1

Analisis Kewenangan Hakim Konstitusi Dalam Menafsirkan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Studi Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang SUmber Daya Air.

0 0 5

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARGA NEGARA ATAS AIR DARI PRIVATISASI AIR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR.

0 1 13

UU 7 2004 sumber daya air

0 0 53

Undang-Undang No. 07 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

0 0 69

ANALISIS PUTUSANPERKARA NO. 35/PID.SUS/2015/PN.KBU TENTANG TINDAK PIDANA PERUSAKAN SUMBER DAYA AIR PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NO. 85/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UU NO. 7 TH 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR

0 0 12