Pilihan Hukum dan Pilihan Forum

lain. Setiap usaha dalam bentuk apa pun sepanjang memiliki pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, wajib menaati peraturan pemutusan hubungan kerja PHK Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 135

B. Pilihan Hukum dan Pilihan Forum

Tindakan Merger atau penggabungan, adalah adanya suatu perikatan di antara para pihak yang terkait, yaitu PT Asal dan PT Hasil Merger. Yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi ketentuan tersebut. 136 135 Ibid, hlm. 132. 136 Johannes Ibrahim, Op. Cit, hlm. 101. Dimana perjanjian tersebut menyangkut masalah pilihan hukum dan pilihan forum. Masalah Pilihan hukum hukum yang akan berlaku terhadap suatu kontrak international ‘choice of law’ atau ‘the law applicable to the contract’ adalah masalah klasik dalam hukum kontrak internasional. Masalah pilihan hukum adalah masalah yang tidak mudah. Suatu hukum yang dipilih oleh salah satu pihak belum tentu diterima oleh pihak lainnya. Kalau pun akhirnya hukum tersebut telah dipilih, bukan berarti tidak ada masalah. Ada cukup banyak alasan apakah pengadilan akan menerapkan pilihan hukum tersebut atau tidak. Universitas Sumatera Utara Sudargo Gautama menyatakan bahwa masalah pilihan hukum ini adalah masalah yang hingga sekarang masih kontroversial. Beliau menyatakan, masalah pilihan hukum ‘terdapat perbedaan-perbedaan pendapat yang tak memungkinkan terwujudnya kepastian hukum yang bulat’. Klausul pilihan hukum adalah klausul kontrak di mana para pihak menyatakan pilihan suatu sistem hukum yang mengatur kontrak. Schmitthoff mendefinisikan klausul ini sebagai berikut: ”...a clause by which the parties submit the contract or other relationships of autonomous character to the law of a particular country.” Black’s Law Dictionary memberi batasan sebagai berikut: ”In conflicts of law, the question presented in determining what law should govern....” Dari batasan ini tampak bahwa: pilihan hukum hanya 1 di bidang hukum kontrak; dan 2 pilihan hukum adalah hukum yang akan mengatur kontrak tersebut. 137 1. Menentukan keabsahan suatu kontrak dagang; Peran choice of law di sini adalah hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan pengadilan atau arbitrase untuk: 2. Menafsirkan suatu kesepakatan dalam kontrak; 3. Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi; dan 4. Menentukan akibat hukum dari pelanggaran terhadap kontrak. 138 137 Huala Adolf I, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasonal, Bandung: PT Refika Aditama, 2007, hlm. 137- 138. 138 Huala Adolf II, Hukum Perdagangan internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006, hlm. 214. Universitas Sumatera Utara Doktrin hukum kontrak mengidentifikasikan 3 tiga prinsip utama mengenai pilihan hukum dalam hukum kontrak internasional. Ketiga prinsip tersebut adalah: 1 prinsip kebebasan para pihak; 2 prinsip bonafide; dan 3 prinsip real connection. 1. Prinsip Kebebasan Para Pihak Dalam menentukan hukum apa yang akan berlaku terhadap suatu kontrak internasional, prinsip yang berlaku adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan atau kesepakatan para pihak party autonomy. 139 Asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian beginsel der contractsvrijheid dapat disimpulkan dari Pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 140 2. Prinsip Bonafide Kebebasan para pihak sudah menjadi prinsip hukum umum. Artinya, hampir setiap sistem huku m di dunia yaitu sistem common law, civil law, hukum komunis, atau hukum Amerika Latin, atau bahkan sistem hukum agama Islam, Hindu, Kristen mengakui eksistensinya. Prinsip bonafide berarti bahwa pilihan hukum tersebut didasarkan pada itikad baik. Tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur kapan suatu tindakan pilihan hukum itu beritikad baik atau buruk. Standar yang mungkin digunakan adalah ketertiban umum. Maksudnya, apakah pilihan hukum para pihak itu akan tercermin ke dalam itikad baik atau 139 Huala Adolf I, Op. Cit., hlm. 140. 140 Subekti, Pokok- pokok hukum perdata, Jakarta: PT Intermasa, 2003, hlm. 127. Universitas Sumatera Utara buruk dapat tampak dari ada tidaknya ‘itikad tidak baik’ para pihak dengan upaya menghindari berlakunya suatu hukum yang memaksa adanya ketertiban umum dari suatu hukum nasional dari salah satu pihak. Standar ini oleh Sudarto Gautama disebut pula sebagai penyelundupan hukum. 141 3. Prinsip Real Connection Doktrin yang berlaku mengenai prinsip ini yaitu bahwa pilihan hukum tersebut yang telah disepakati oleh para pihak harus memiliki hubungan atau kaitan dengan para pihak atau kontrak. Hukum Amerika Serikat menggunakan istilah “a reasonable relation”. Konotasinya sama, yaitu bahwa hukum yang dipilih harus memiliki hubungan yang lebih ’reasonable’ dengan para pihak atau transaksi. 4. Prinsip Separabilitas Klausul Pilihan Hukum Prinsip lainnya yang menjadi perselisihan di antara para sarjana adalah apakah prinsip separabilitas berlaku terhadap pilihan hukum. Prinsip separabilitas atau keterpisahan klausul pilihan hukum sifatnya terpisah dari keseluruhan kontrak itu sendiri. Prinsip ini adalah salah satu hukum sebagaimana halnya yang dikenal dalam hukum arbitrase. Sifat klausul pilihan hukum di sini bukanlah bersifat assesoir tambahan. Namun demikian, seperti halnya dalam hal klausul arbitrase, efektivitas klausul ini sangat bergantung kepada efektif tidaknya klausul tersebut. Misalnya, seperti tampak di bawah uraian ini, kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang berlaku tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu. 141 Huala Adolf I, Op. Cit., hlm. 142. Universitas Sumatera Utara Institut Hukum Internasional ILA misalnya pada tahun 1991 pernah menegaskan bahwa apabila suatu kontrak tidak sah menurut hukum yang dipilih oleh para pihak, maka pilihan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum apapun. 142 5. Prinsip Pilihan Hukum Menurut ILA Seperti telah disinggung secara singkat di atas, salah satu lembaga yang menaruh perhatian cukup besar terhadap prinsip pilihan hukum ini adalah the Institute of Internatonal Law ILA. Dalam Resolusinya yang dikeluarkan di kota Basel, 1991 yang berjudul “The Autonomy of the Parties in International Contracts Between Private Persons or Entities,” ILA menegaskan 14 prinsip- prinsip berikut mengenai pilihan hukum a. Para pihak bebas memilih hukum yang berlaku terhadap kontrak mereka. Kebebasan memilih tidak terbatas pada pilihan Negara mana pun yang mereka sepakati untuk dipilih; b. Kebebasan memilih suatu hukum nasional tertentu ini termasuk juga, apabila para pihak dengan tegas menyatakannya, kebebasan untuk tidak terikat oleh aturan pilihan hukum ‘choice of law rules’ dari hukum nasional yang bersangkutan ; c. Pilihan hukum yang berlaku harus berasal dari adanya suatu perjanjian dari para pihak; d. Apabila tidak adanya perjanjian yang tegas, maka pilihan tersebut harus disimpulkan dari maksud dari para pihak the intention of the parties; 142 Ibid, hlm. 143. Universitas Sumatera Utara e. Apabila suatu kontrak tidak sah menurut hukum yang dipilih oleh para pihak, maka pilihan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum apapun; f. Keabsahan dari suatu perjanjian atau kontrak ditentukan oleh hukum yang berlaku yang dipilih oleh para pihak; g. Suatu pihak yang tidak memberi jawaban apakah ia menerima atau menolak atas suatu penawaran, maka dampak dari tidak adanya jawaban tersebut ditentukan menurut hukum nasional di mana pihak tersebut bertempat tinggal sehari-hari the law of the State of his jabitual residence; h. Hukum yang berlaku dapat pula ditentukan oleh kondisi-kondisi umum dari kontrak yang para pihak sepakati; i. Kesepakatan sebagaimana diatas harus dinyatakan secara tertulis atau menurut cara- cara yang sesuai dengan praktek kebiasaan yang biasa dilakukan oleh para pihak atau berdasarkan kebiasaan dagang yang para pihak telah kenal; j. Para pihak dapat memilih pilihan hukum setelah kontrak dibuat atau mengubah pilihan hukum yang telah disepakati sebelumnya; k. Para pihak dapat pula memberlakukan hukumnya secara retroaktif berlaku mundur yang telah diubahnya, dengan syarat bahwa pihak hak ketiga yang terkena dampaknya tidak dirugikan; 143 l. Para pihak pihak dapat memilih hukum yang berlaku terhadap semua kontrak atau satu atau beberapa bagian daripada kontrak; 143 Ibid, hlm. 144. Universitas Sumatera Utara m. Hukum yang dipilih oleh kesepakatan para pihak maka hukum tersebut harus diterapkan sebagai aturan-aturan substantif yang diterapkan ke dalam kontrak. Tetapi apabila hukum yang dipilih tersebut mengalami perubahan oleh adanya aturan-aturan yang memaksa, maka perubahan status hukum substantif turut berlaku; dan n. Hukum yang dipilih tunduk pada aturan- aturan hukum memaksa dari hukum di mana pengadilan berlangsung. 144 Mengenai hukum apa yang akan dipilih dan diberlakukan terhadap kontrak bergantung sepenuhnya kepada kesepakatan para pihak. Ada berbagai hukum apa yang akan para pihak pilih. Hukum tersebut adalah: 1. Hukum Nasional 1 Hukum nasional suatu negara, khususnya hukum nasional dari salah satu pihak; 2 hukum kebiasaan; 3 perjanjian internasional; dan 4 hukum internasional. Dipilihnya suatu hukum nasional oleh para pihak adalah pilihan yang paling umum dilakukan. Bahkan di negara- negara sedang berkembang, pilihan hukum nasional adalah pilihan yang dalam hal tertentu diwajibkan. 145 Pilihan hukum suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tersebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya. 146 2. Hukum Kebiasaan Para pihak dapat dan bebas pula untuk memilih hukum kebiasaan sebagai hukum yang akan berlaku terhadap kontrak. Pilihan hukum ini biasanya dipilih 144 Ibid, hlm. 144- 145. 145 Ibid, hlm. 148- 149. 146 Huala Adolf II, Op. Cit., hlm. 214. Universitas Sumatera Utara untuk suatu objek atau transaksi dalam suatu kontrak. Pilihan ini sengaja dipilih karena memang hukum yang mengatur objek atau suatu transaksi telah terkristralisasi menjadi suatu hukum kebiasaan internasional yang dikenal umum. 147 a. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, dan diterapkan berulang dari masa ke masa. Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum, perlu terdapat unsur sebagai berikut: b. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. 148 3. Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa- bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 149 Para pihak dapat pula memilih perjanjian internasional yang mengatur kontrak internasional. Salah satu contoh adalah pilihan dan pemberlakuan the United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods. Pilihan hukum perjanjian internasional ini biasanya terbatas pada suatu kondisi, yaitu apakah negara dari para pihak dalam kontrak adalah anggota atau terikat pada Konvensi atau perjanjian internasional tersebut. 150 147 Huala Adolf I, Op. Cit., hlm. 149. 148 T. May Rudy, Hukum Internasional I, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hlm. 5. 149 Ibid, hlm. 4. 150 Huala Adolf I, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara Perjanjian Internasional, baik bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara bersengketa. 151 4. Hukum Internasional Selama ini, pilihan hukum berupa hukum internasional masih sedikit banyak diperdebatkan. Satu alasan yang banyak ditemui adalah karena pada prinsipnya hukum internasional lebih banyak mengatur hubungan-hubungan yang sifatnya lintas batas di bidang hukum publik, bukan perdata. 152 5. Kombinasi Beberapa Hukum Tertentu Dalam praktek dapat terjadi bahwa para pihak dalam suatu kontrak menundukkan ketentuan kontraknya kepada beberapa sistem hukum. Dipilihnya beberapa pilihan hukum dalam kontrak dikenal pula dengan metoda yang disebut dengan ‘depecage’ atau ‘split proper law’. 153 1. Tidak melanggar ketertiban umum Uraian di atas tersirat adanya kebebasan para pihak dalam menentukan hukum yang akan mereka pilih namun kebebasan ini tidaklah mutlak. Kebebasan tersebut hanya berlaku dalam batas tertentu. Pembatasan yang pada umumnya diakui dan dikenal adalah: Pembatasan ini umumnya dikenal di banyak sistem hukum. Termasuk di dalam pengertian ini adalah Undang-Undang dari suatu negara. Bahkan putusan pengadilan menegaskan pemberlakuan pembatasan ini. 154 151 T. May Rudy, Op. Cit., hlm. 4. 152 Huala Adolf I, Op. Cit., hlm. 150. 153 Ibid, hlm. 152. 154 Ibid, hlm.153- 154. Universitas Sumatera Utara 2. Hanya di bidang hukum kontrak Hukum kontrak adalah mekanisme hukum dalam masyarakat untuk melindungi harapan yang timbul dalam pembuatan persetujuan demi perubahan masa datang yang bervariasi kinerja. 155 3. Harus ada kaitan dengan kontrak bersangkutan Pilihan hukum hanya dikenal di bidang hukum kontrak. Tidak di bidang hukum lainnya, misalnya hukum tata negara, hukum internasional, dan lain- lain. Di dalamnya termasuk juga kontrak kerja. Pembatasan penting lain adalah bahwa hukum yang dipilih harus ada kaitan dengan kontrak. Pembatasan ini penting agar para pihak tidak menjadi semena- mena memilih hukum yang mereka sepakati yang ternyata tidak ada kaitannya dengan kontrak yang mereka tandatangani. 4. Tidak untuk menyelundupkan hukum Maksud menyelundupkan hukum di sini adalah mengenyampingkan, tidak mengindahkan suatu aturan hukum yang seharusnya berlaku. Adanya pengindahan ini antara lain dimaksudkan untuk menghindarkan kewajiban- kewajiban yang ada dalam hukum yang kemudian ternyata diselundupkan. 156 Penyelundupan hukum terjadi bilamana ada seseorang, ada suatu pihak untuk mendapatkan berlakunya hukum asing, telah melakukan suatu cara yang tidak wajar, dengan maksud untuk menghindari pemakaian hukum nasionalnya. 157 5. Tidak untuk transaksi tanah atau hak-hak atas benda tak bergerak 155 Salim H. S., Hukum Kontrak Teori Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 3. 156 Huala Adolf I, Op. Cit., hlm. 154. 157 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007, hlm. 124. Universitas Sumatera Utara Transaksi tanah atau transaksi yang terkait dengan benda tidak bergerak tidak dapat dipilih hukum selain daripada hukum dimana benda tidak bergerak itu berada. 6. Tidak boleh mengenai ketentuan hukum perdata dengan sifat publik Pilihan hukum tidak dapat pula dilakukan untuk hubungan-hubungan hukum yang tunduk pada hukum perdata yang bersifat publik. Contoh hubungan hukum seperti ini adalah status kewarganegaraan seseorang, hubungan hukum di bidang hukum keluarga, masalah warisan, dan lain-lain. 7. Melanggar itikad baik Pembatasan ini diperkenalkan oleh Schmitthoff. Menurut beliau pembatasan utama dari kebebasan para pihak dalam memilih hukumnya adalah adanya pengecualian the fraus legis tidak bertentangan dengan itikad baik, termasuk di dalamnya adalah pilihan hukum yang bertentangan dengan tujuan hukum legal purpose. 158 Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan penilaian tidak memihak menurut norma yang objektif. 159 8. Pilihan hukum digunakan untuk menghindari tanggung jawab pidana Pembatasan lain yang cukup penting adalah bahwa para pihak tidak dapat menggunakan pilihan hukumnya untuk menghindari tanggung jawab pidana. 158 Huala Adolf I, Op. Cit., hlm. 155. 159 Salim H. S., Op. Cit., hlm. 11. Universitas Sumatera Utara 9. Adanya aturan- aturan hukum yang sifatnya memaksa Pembatasan lainnya yang penting adalah adanya aturan hukum yang sifatnya memaksa tidak dapat dihindari. Aturan- aturan hukum seperti ini bersifat fundamental fundamental or mandatory rule of law. Aturan hukum seperti ini sifatnya mengikat. Karena itu kontrak internasional yang dibuat para pihak harus memperhatikan keberadaan aturan hukum ini dengan seksama. 160 Klausul Choice of Forum pilihan forum atau Choice of Jurisdiction atau Choice of Court adalah salah satu klausul yang cukup penting dalam kontrak. Klausul ini sebenarnya bukan merupakan suatu klausul yang harus ada dalam kontrak. Sifatnya fakultatif, tergantung kesepakatan para pihak. Para pihak bebas menentukan apakah klausul ini akan dicantumkan dalam kontrak mereka atau tidak. 161 Fungsi utama dari adanya klausul pilihan forum dalam kontrak internasional adalah untuk kepastian hukum. Artinya kepastian mengenai pengadilan mana yang berwenang mengadili sengketa para pihak. Jadi sebelum menandatangani kontrak internasional, para pihak harus mempertimbangkan di mana mereka akan membawa sengketanya untuk diselesaikan, atau badan peradilan mana yang akan mengadili sengketanya. Bieberstein dengan tepat menyatakan bahwa ” The effect of such a choice is to make the chosen forum the exclusive forum for litigation with regard to the agreement for which teh forum was chosen”. Dengan terlebih dahulu para pihak menentukan forum apa yang 160 Huala Adolf I, Op. Cit., hlm. 156. 161 Ibid, hlm. 163. Universitas Sumatera Utara akan menyelesaikan sengketa yang timbul, maka kepastian akan penyelesaiannya pun akan relatif lebih cepat. 162 1. Tidak boleh ada unsur penipuan Prinsip dalam pilihan forum tunduk pada kebebasan para pihak. Namun kenyataanya kebebasan ini tidaklah bersifat mutlak. Ada beberapa hal yang membatasi kebebasan ini, yakni: Dalam prinsip pertama mengenai pilihan forum di atas adalah prinsip otonomi para pihak. Prinsip ini sifatnya tidaklah mutlak. Prinsip ini baru akan diakui apabila para pihak memang telah dengan itikad baik dan sepakat untuk memilih forum dalam kontrak mereka. Berbeda keadaannya apabila ada unsur penipuan di dalamnya. Memang sulit untuk menentukan kapan atau unsur apa yang perlu ada untuk menentukan ada tidaknya unsur ini. Namun menurut Folsom, praktek di beberapa pengadilan telah menolak pilihan forum di dalam kontrak adhesi adhesion contacts atau kontrak di mana para pihaknya tidak sejajar. 163 Penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk mengelabuhi pihak lawannya, sehingga pihak yang terakhir ini memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka. 164 2. Pembatasan kewenangan pokok perkara oleh pengadilan 162 Ibid, hlm. 164. 163 Ibid, hlm. 169. 164 Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003, hlm. 126. Universitas Sumatera Utara Pembatasan utama dari kebebasan para pihak untuk menentukan dan memilih forum ini adalah hukum nasional yang bersangkutan. Dalam hal ini, hukum tersebut adalah ‘kaidah-kaidah hukum intern dari negara-negara bersangkutan yang menyatakan batas- batas kewenangan hakim dalam menangani sengketa’. Yang dimaksud dengan batas- batas kewenangan ini adalah pembatasan berdasarkan kompetensi absolut dari pengadilan. Misalnya, pengadilan agama adalah pengadlan yang berwenang menangani antara lain sengketa perceraian. Pengadilan niaga menangani sengketa kepailitan atau sengketa mengenai HAKI. 165 3. Pembatasan kewenangan pengadilan terhadap pihak yang bersengketa Pembatasan mengenai kewenangan pengadilan terhadap para pihak menyangkut kewenangan yang disandang badan peradilan tersebut. Misalnya, sudah menjadi hukum kebiasaan internasional bahwa pada prinsipnya badan peradilan nasional tidaklah memiliki kewenangan untuk mengadili tindakan negara di bidang publik. Badan peradilan militer tidaklah berwenang mengadili orang sipil. Pembatasan ini juga tampak dalam badan peradilan internasional. Misalnya, badan peradilan ICSID hanya berwenang mengadili antara negara peserta Konvensi ICSID 1965 dengan investor swasta yang negaranya juga adalah anggota Konvensi ICSID. 4. Forum Non-Conveniens 165 Huala Adolf I, Op. Cit., hlm. 170. Universitas Sumatera Utara Forum non-conveniens akan digunakan manakala badan pengadilan yang dipilih beranggapan bahwa pengadilan lain akan lebih tepat untuk mengadili sengketa. Sebabnya adalah karena domisili para pihak, domisili para saksi, atau kedekatan terjadinya suatu peristiwa hukum dengan pengadilan lain, dan lain- lain. Alasan lain yang dapat digunakan untuk alasan ‘forum non-conveniens’ ini adalah tidak adanya unsur keterkaitan antara sengketa yang lahir dengan badan peradilan yang akan menangani sengketa. Dalam kaitan ini, Sornarajah berpendapat bahwa harus ada unsur ‘reasonableness’ antara kebebasan para pihak dalam memilih forum yang akan menyelesaikan sengketanya. 5. Tidak efektif atau tidak berfungsinya forum yang dipilih Suatu forum misalnya badan pengadilan nasional tertentu berwenang untuk menangani suatu sengketa yang di dalamnya para pihak sebenarnya telah memilih forum lain. Kewenangan ini ditempuh mengingat forum yang dipilih oleh para pihak ini ternyata menjadi tidak efektif atau tidak mungkin melaksanakan fungsinya. 166 6. Tidak melanggar ketertiban umum Pembatasan ini antara lain dinyatakan oleh Folsom. Bahwa badan peradilan di AS tidak akan menghormati adanya pilihan forum negara asing apabila pilihan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum di AS. 167 166 Ibid, hlm. 170-171. 167 Ibid, hlm. 172. Universitas Sumatera Utara

C. Penyelesaian Sengketa Atas Terlanggarnya Hak Pemegang Saham