Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2
membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”
1
Sedang dal am Kompilasi Hukum Islam “Perkawinan yang sah
menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalidzan
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
2
Dari pengertian di atas, pernikahan memiliki tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun isteri harus saling melengkapi
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
3
Dengan adanya perkawinan sepasang suami isteri dapat memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam
suasana saling mencintai mawaddah dan kasih sayang rahmah antara suami isteri. Perkawinan juga merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat
manusia di muka bumi, karena tanpa adanya regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah. Dan perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena
dengan perkawinan ini kedua insan, suami dan isteri, yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi satu keluarga.
4
1
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1.
2
Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 2000, h.14.
3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet, I, 1995, h.56.
4
Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 Tahun IX 1998, h.74.
3
Sebenarnya menjadi kewajiban tiap suami istri untuk tetap memelihara hubungan baik antara keduanya. Selain menetapi kewajiban masing-masing dengan
dasar saling mencinta, menyayangi, menolong, lapang dada dengan ikhlas. Dengan demikian mereka dapat mengenyam kebahagiaan hidup berumah tangga sebagaimana
yang mereka dambakan. Keduanya harus ulet didalam menegakkan rumah tangganya agar tidak sampai goyah.
Dengan itu dapat disimpulkan bahwa Nikah atau perkawinan adalah aqad ijabqabul antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah
tangga sebagai suami istri yang sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditentukan oleh syara’.
5
Sebagaimana tujuan perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 1 undang- undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yaitu untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, memang pada mulanya setiap pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pasti memiliki tujuan
yang sama. Tidak selalu tujuan perkawinan itu dapat dilaksanakan sesuai cita-cita,
walaupun telah diusahakan sedemikian rupa oleh pasangan suami istri jika ada masalah yang mengganggu kerukunan pasangan ini sampai menimbulkan
permusuhan maka perceraianpun terjadi.
5
Ustadz Dja’far Amir,Fiqh Bagian Nikah, Seluk Beluk Perkawinan Dalam Islam, Ab Sitti Syamsiyah, Solo: 1983, h.7.
4
Perceraian merupakan akibat perkawinan dari kurang harmonisnya pasangan suami istri yang disebabkan banyak faktor antara lain percekcokan atas dasar pindah
agama. Dalam kehidupan bernegara orang bebas untuk meyakini salah satu agama
dan melaksanakan ajaran agamanya. Kebebasan beragama itu bukan berarti orang bebas untuk setiap saat berpindah agama. Ajaran agama Islam menyebutkan orang
yang berpindah agama disebut murtad. Orang yang murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam atau seseorang yang semula beragama Islam kemudian mengganti
atau berpindah memeluk agama lain. Dalam hal murtadnya salah satu pihak dari pasangan suami isteri,
menyebabkan ketidaknyamanan dalam rumah tangga. Alasannya, dalam agama Islam tidak menghendaki adanya perbedaan agama dalam rumah tangga karena hubungan
keduanya akan dihukumi dengan zina. Jika salah satu diantara mereka menjadi murtad, secara otomatis, disadari
maupun tidak, perjalanan biduk perahu rumah tangga tersebut tidak lagi berjalan mulus. Karena masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda yang tentunya tidak
bisa disatukan visi dan misi dari masing-masing keyakinan tersebut, sehingga tidak bisa tercipta tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat pada pasal 3 Bab II KHI,
yaitu : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah ”.
Dari semua agama yang diakui di Indonesia, dalam masalah perkawinan masing-masing mempunyai ketetapan bahwa perkawinan itu hanya bisa dilakukan
5
oleh orang yang seagama. Dalam agama Islam ketetapan ini ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 116 huruf h yang berbunyi
“Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ket
idak rukunan dalam rumah tangga”.
6
Berkenaan dengan berbagai macam hal yang telah tersebut di atas, yang akan dibicarakan adalah mengenai perceraian karena istri pindah agama, khususnya
pembahasan disini adalah mengenai putusan dengan perkara putusan Nomor. 1147Pdt.G2009PAJT.
Selanjutnya Sayyid Sabiq berpendapat, Jika salah satu pihak dari suami atau isteri murtad maka keduanya tidak boleh kembali rusak akadnya disebabkan
kemurtadannya.
7
Karena perkawinan adalah jalan yang sangat terhormat, ketika dalam suatu perkawinan salah satu pihak murtad, maka hubungan yang sebelumnya
terhormat dan berkedudukan tinggi dihadapan Allah SWT akan menjadi rendah yang disebabkan salah satu pihak murtad, bahkan hubungan suami isteri yang sebelumnya
menjadi haram. Dalam perkara ini yang menjadi fokus utama adalah mengenai talak yang
dijatuhkan dari suami yang muslim terhadap istri yang murtad keluar dari agama Islam karena banyaknya kasus di pengadilan agama objek pelaku murtad biasanya
dilakukan oleh suami dengan itu penulis mengambil keunikan satu putusan yang murtadnya dilakukan oleh istri disebabkan minimnya perkara tersebut di pengadilan
6
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
RI, Jakarta, 2000, h.29.
7
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Daarul Tsaqofah Islamiyyah, jilid 2, h.202.
6
dan mencoba menganalisa putusan yang dijatuhkan oleh hakim dari Pengadilan Agama mengenai perkara permohonan perceraian tersebut. Suami yang hendak
memutuskan hubungan perkawinan, pasal 14 sampai dengan 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggalnya disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
8
Bila talak telah terlaksana, istri terhadap suami telah menjadi orang lain, sudah tidak menjadi tanggung jawab suaminya.
9
Melihat dari kasus di atas, penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut lagi tentang pengajuan perceraian kepada
isteri yang sudah murtad ke Pengadilan Agama, karena Pengadilan Agama adalah pengadilan yang mengurusi segala permasalahan kaum muslim. Hal ini didasarkan
pada UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di BAB I tentang Ketentuan Umum, khususnya pasal 1 1 dan
pasal 2, yang berbunyi “Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang - orang
beragama Islam ” dan “Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang ini
”.
10
8
Muh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UUP Tahun 1974 dan KHI, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, h.131.
9
Musthafa Dhiibu Bhigha, Fiqh Menurut Mazhab Syafi’i, alih bahasa ; Drs. H. Moh. Rifa’i,
Kyai Baghawi Mas’udi, Semarang: Cahaya Indah, 1986, h.267.
10
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama, Jakarta, 2006, h.68.
7
Bertitik tolak dari penjelasan diatas, maka penulis membuat skripsi yang berjudul
“PERCERAIAN KARENA ISTRI RIDDAH Analisa Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara No. 1147Pdt.G2009PAJT.