50
2.5 Kerangka Pikir
Gambar 1.1 Kerangka Pikir
Kerangka pikir diatas mengacu kepada teori Lawrence Green. Green menyatakan faktor perilaku terbagi dari tiga, yaitu :
a. Faktor predisposisi predisposing faktors yaitu faktor-faktor yang
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi.
b. Faktor pemungkin enabling factors adalah faktor-faktor yang memungkinkan
atau menfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.
c. Faktor-faktor penguat reinforcing factors adalah faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.
Faktor Predisposisi : 1.
Pendidikan 2.
Pengetahuan 3.
Ekonomi 4.
Sosial Budaya
Faktor Pemungkin : 1.
Sumber Informasi Media Massa
2. Kehamilan Sebelum
Menikah Marriage By Accident
Faktor Penguat : 1.
Peran OrangtuaKeluarga Tingginya Angka
Pernikahan Dini
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan Negara dengan jumlah masyarakat lebih kurang sekitar 202 juta penduduk yang tersebar di seluruh kepulauan dan provinsi di
Indonesia. Oleh karna itu banyak di temukan berbagai masalah-masalah social dan kesehatan yang membuat Negara Indonesia memiliki berbagai macam polemic
yang harus diselesaikan. Permasalahan-permasalahan yang timbul akibat kepadatan penduduk antara lain banyak berkembang dikarenakan pernikahan yang
begitu tidak terkonsep dan tidak memiliki standar usia dewasa yang diperbolehkan UU tentang pernikahan. Undang-undang No1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 enambelas tahun Hazairin,1992. Praktek pernikahan dini banyak dipengaruhi oleh tradisi lokal, sekalipun
ada ketetapan undang-undang yang melarang pernikahan dini, ternyata ada juga fasilitas dispensasi. Pengadilan agama dan kantor urusan agama sering memberi
dispensasi jika mempelai wanita ternyata masih dibawah umur Arni, 2009. Di Indonesia masih sering terjadi praktek pernikahan anak di bawah umur.
Undang-undang perkawinan dari tahun 1974 juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU perkawinan, seorang anak perempuan baru boleh menikah di atas
usia 16 tahun, seorang anak laki-laki di atas usia 18 tahun, tapi ada juga dispensasi. Jadi, kantor urusan agama KUA masih sering memberi dispensasi
untuk anak perempuan dibawah 16 tahun Arni, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2
Adapun dalam aspek pandangan study kajian ilmu kesehatan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi, usia dini mempengaruhi angka kematian ibu,
pernikahan dini juga menyebabkan beragam masalah reproduksi. Di antara masalah kesehatan yang umum muncul akibat pernikahan dini dan melahirkan di
usia muda adalah fistula obstetric, yang dicirikan oleh adanya bagian abnormal antara saluran lahir dan organ internal seperti rektum. Fistula menyebabkan
sejumlah masalah medis seperti tak mampu menahan berkemih, infeksi kandung kemih, mandul, dan gagal ginjal Hafiza, 2010.
Selain itu resiko yang terjadi akibat pernikahan usia dini diantaranya adalah keguguran, persalinan prematur, BBLR, kelainan bawaan, mudah terjadi
infeksi, anemia pada kehamilan, keracunan kehamilan, dan kematian Kusmiran, 2011.
Komplikasi dari kehamilan dan persalinan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan berusia 15 sampai 19 tahun di negara-negara
berkembang . Dari 16 juta remaja perempuan yang melahirkan setiap tahun diperkirakan 90 sudah menikah dan 50 ribu diantaranya telah meninggal. Selain
itu resiko terjadinya kematian ibu dan dan kematian bayi yang baru lahir 50 lebih tinggi dilahirkan oleh ibu di bawah usia 20 tahun antara ibu dibandingkan
pada wanita yang hamil di usia 20 tahun ke atas WHO, 2012. Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs
UNDESA, 2010, Indonesia merupakan negara ke-37 dengan jumlah pernikahan dini terbanyak di dunia di tahun 2007. Untuk level ASEAN, tingkat pernikahan
dini di Indonesia berada di urutan kedua terbanyak setelah Kamboja. Menurut Riskesdas 2010, Perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 tahun menikah
Universitas Sumatera Utara
3
sebanyak 0,2 persen atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah. Jumlah dari perempuan muda berusia 15-19 tahun yang
menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun 11,7 perempuan dan 1,6 laki-laki usia 15-19 tahun. Selain itu jumlah aborsi
di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta pertahun. Sekitar 750.000 diantaranya dilakukan oleh remaja BkkbN, 2011.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BkkbN, rasio pernikahan dini di Indonesia khususnya perkotaan pada tahun
2012 adalah 26 dari 1.000 perkawinan dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 32 per 1.000 pernikahan. Angka ini berbanding terbalik dengan kenyataan di
perdesaan, yang justru turun dari 72 per 1.000 pernikahan menjadi 67 per 1.000 pernikahan pada tahun 2013. Jadi, digabungkan antara rasio di perkotaan dan
perdesaan pada 2013, rata-rata masih 48 per 1.000 pernikahan. Untuk menurunkan angka tersebut, bkkbn menggencarkan program Generasi Berencana Genre dan
membuat target untuk menurunkan angka pernikahan dini sebesar 30 per 1.000 pernikahan. Program itu berisi sosialisasi tentang pengetahuan mengenai keluarga
berencana yang sasarannya adalah siswa SMA dan mahasiswa Puspitasari, 2009. Permasalahan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan
hidup bersama. Di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen menikah pada umur 15-19
tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi.
Angka kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah 2,68 persen, terdapat kehamilan pada umur kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil 0,02 dan
Universitas Sumatera Utara
4
kehamilan pada umur remaja 15-19 tahun sebesar 1,97 persen. Apabila tidak dilakukan pengaturan kehamilan melalui program keluarga berencana KB akan
mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia Riskesdas, 2013. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS Sumut menyebutkan
10 sampai 11 wanita usia subur WUS menikah di usia 16 tahun pada 2010, dan menurut keterangan dari BPS Sumut sendiri paling tidak, ada 47,79
perempuan dikawasan pedesaan kawin pada usia dibawah 16 tahun, sementara diperkotaan besarnya mencapai 21,75 pada tahun 2011. Dari kantor kementerian
agama menyebutkan bila di tahun 2006 kasus pernikahan usia dini sebanyak 19 kasus, dan meningkat menjadi 42 kasus di tahun 2007, serta melonjak lagi
menjadi 68 kasus di tahun 2008, hingga desember 2010 diperkirakan maksimal terjadi 50 kasus perawinan di usia dini pada remaja Eridani, 2011.
Menurut data Kementerian Agama dan Kantor Urusan Agama Kota Pematangsiantar jumlah pernikahan usia dini pada tahun 2013 sebanyak 25
perkawinan usia dini, pada tahun 2014 sebanyak 29 perkawinan usia dini dan pada tahun 2015 sampai dengan bulan September sebanyak 18 perkawinan usia
dini. Untuk di Kecamatan Siantar Martoba tercatat pada tahun 2013 sebanyak 5 perkawinan usia dini, pada tahun 2014 sebanyak 7 pernikahan usia dini dan pada
tahun 2015 sampai dengan bulan september sebanyak 10 pernikahan usia dini. Dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber, didapatkan informasi
bahwa ada sebagian pasangan yang menikah di usia dini disebabkan oleh faktor orang tua dan ada juga oleh faktor diri sendiri. Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti baik itu berupa observasi maupun wawancara dengan beberapa masyarakat di Kecamatan Siantar Martoba, peneliti
Universitas Sumatera Utara
5
menemukan bahwa sebagian remaja yang menikah di usia dini ada yang mengalami perceraian. Dan mereka cenderung memisahkan diri dari lingkungan
terutama dengan teman seusianya, dan ada yang tidak mampu merawat anaknya secara mandiri sehingga harus bergantung pada orang tua dan mertuanya. Dan
dari hasil wawancara dan tanya jawab peneliti dengan beberapa orang remaja putri yang masih sekolah, menyatakan bahwa mereka belum mengerti tentang
kesehatan reproduksi dan apa saja dampak yang akan terjadi akibat pernikahan dini bagi kesehatan reproduksi baik bagi remaja itu sendiri atau pun lingkungan
sekitarnya. Sikap atas persoalan ini terbagi dalam dua sisi yang berseberangan.
Dengan alasan bahwa dengan menikah di usia muda akan menghindari hal-hal yang dilarang baik asas agama maupun sosial di tengah gejolak pergaulan yang
semakin ”menggila” seperti saat ini. Alasan lain adalah pikiran bahwa dengan menikah muda, mereka akan masih sehat dan aktif berkarya di saat anak-anak
mereka tumbuh besar yang membutuhkan biaya untuk keperluan pendidikan dan persoalan lainnya. Selain itu muncul pula alasan lain yang mengatakan bahwa
nikah muda itu ”asyik”, pokoknya asyik aja. meskipun dengan dalih dari pada terjerat dalam pergaulan bebas dan menghindari terjadinya hamil di luar
pernikahan Fatiyani, 2014. Dari pihak yang berseberangan melihat dan menelaah bahwa mereka yang
menikah muda akan lebih cenderung untuk mengalami kegagalan dalam rumah tangga mereka. Tingginya perkara perceraian di hampir semua daerah yang
menjadi area penelitian Ikatan Sosiologi Indonesia ISI berbanding lurus dengan tingkat penikahan di usia muda. Namun dalam alasan perceraian tentu saja bukan
Universitas Sumatera Utara
6
karena alasan kawin muda, melainkan alasan ekonomi dan lain sebagainya. Tetapi masalah tersebut tentu saja sebagai salah satu dampak dari pernikahan yang
dilakukan tanpa kematangan usia dan psikologis. Menikah di usia muda juga akan menimbulkan banyak permasalahan di berbagai sisi kehidupan ekonomi misalnya,
dengan tingkat pendidikan rendah yang dimiliki pasangan akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak yang berimbas pada kurangnya
kecukupan secara ekonomi dalam rumah tangga Hotnatalia, 2013. Pada hakikatnya pernikahan adalah suatu kesatuan yang dianggap sakral
bagi setiap lapisan masyarakat di Indonesia. Di kota-kota besar di Indonesia dan kota yang sedang berkembang memiliki dampak tingkat pernikahan dini yang
sangat tinggi antara lain adalah kota Pematangsiantar. Dari kasus pernikahan dini yang berada di kota Pematangsiantar, penulis sangat tertarik mengakaji lebih
mendalam mengenai faktor-faktor yang mendorong tingginya tingkat pernikahan dini di kecamatan siantar martoba. Berawal dari kota yang sedang berkembang
tingkat pergaulan remaja sendiri tidak terkontrol secara langsung oleh orang tua. Tingkat perkembangan tekhnologi di pematangsiantar berkembang secara pesat,
terutama di bidang Internet. Internet merupakan suatu cakrawala yang dapat melihat jendela dunia , akan tetapi dimasyarakat penggunaan internet sangat tidak
terkontrol sehingga membuat masyrakatnya banyak menggunkan sebagai sesuatu berpusat pada hal yang bersifat negative. Penggunaan internet yang tidak
dilakukan secara filtrasi mengakibatkan dampak yang tidak baik pada pranata social masyarakat. Salah satu akibat yang menjadikan komsumen internet yang
tidak baik adalah penggunaan internet sebagai akses pornografi . Diantara
Universitas Sumatera Utara
7
konsumen pornografi banyak banyak terdapat masyarakat yang memliki usia yang masih dini Muda sehingga berdampak pada perilaku yang tidak baik.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian untuk mendeskripsikan pernikahan usia mudah khususnya
untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan usia muda di Kecamatan Siantar Martoba Kota Pematangsiantar. Dengan melihat kenyataan
ini telah mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “gambaran perilaku terhadap terjadinya pernikahan dini di Kecamatan Siantar Martoba Kota
Pematangsiantar”.
1.2 Fokus Penelitian