Pandan Wangi Flavonoid PENELAAHAN PUSTAKA

5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pandan Wangi

1. Keterangan botani Tanaman pandan wangi Pandanus amaryllifolius Roxb. termasuk dalam famili Pandanaceae. Tanaman ini memiliki beberapa sinonim yaitu Pandanus odorus Lidl., Pandanus latifolius Hassk., Pandanus hasskarlii Merr. Sugati dan Hutapea, 1991. 2. Pertelaan Perdu, tahunan, tinggi 3-7 m. Helaian daun tunggal, liat , umumnya tidak utuh, warna hijau tua, bentuk garis, panjang 48,2 – 50,3 cm, lebar 3,5 – 4,0 cm, ujung daun lancip, pinggir daun sedikit berduri kecil-kecil, tidak bertangkai, tulang daun sejajar. Permukaan daun yang atas lebih mengkilap daripada permukaan daun yang bawah Anonim, 1989. Sugati dan Hutapea 1991 menyebutkan batang tanaman pandan wangi bulat dengan bekas duduk daun, bercabang, menjalar, akar tunjang keluar di sekitar pangkal batang dan cabang. Bunga majemuk, bentuk bongkol, warnanya putih. Buahnya buah batu, menggantung, bentuk bola, diameter 4- 7,5 cm, dinding buah berambut, warnanya jingga. 3. Kandungan Kimia Pandan wangi pada bagian daunnya mengandung flavonoida, alkaloida, saponin, tanin, polifenol dan zat warna. 5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 4. Kegunaan Pandan wangi, khususnya bagian daun, berkhasiat sebagai obat lemah saraf, selain itu bermanfaat juga sebagai penambah nafsu makan dan sebagai bahan baku kosmetika. Kegunaan lain daun pandan wangi, seperti yang disebutkan dalam Materia Medika Indonesia IV, yaitu sebagai bahan pewangi.

B. Flavonoid

Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau, kecuali alga dan hornwort . Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, serbuk sari, nektar, bunga, buah, dan biji. Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C 6 – C 3 – C 6 . Artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C 6 disambungkan oleh rantai alifatik tiga-karbon. Golongan terbesar flavonoid berciri mempunyai cincin piran yang menghubungkan rantai tiga karbon dengan salah satu dari cincin benzena. O A B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 Ga mba r 1 . Struktur umum flavonoid Robinson, 1995 Semua varian flavonoid memiliki jalur biosintesis yang sama sehingga memiliki struktur dasar yang sama. Flavonoid dikelompokkan menjadi beberapa kelas berdasarkan tingkat oksidasi cincin pirannya Brunetton, 1999. Masing- masing flavonoid dalam tiap kelasnya dibedakan oleh posisi gugus hidroksi, metoksi dan substituen gula pada struktur molekulnya. Umumnya dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 tumbuhan, flavonoid berada dalam bentuk glikosida. Gula yang umumnya terikat pada flavonoid yaitu gula heksosa seperti glukosa, galaktosa, dan ramnosa ; dan gula pentosa seperti arabinosa dan silosa. Molekul-molekul gula tersebut dapat terikat sendirian atau berkombinasi dengan molekul gula yang lain pada molekul flavonoid Anonim a , 2007. Flavonoid yang memiliki sejumlah gugus hidroksi yang tak tersulih, atau suatu gula, sifatnya polar dan disebut sebagai glikosida. Oleh karena sifatnya yang polar, maka glikosida mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol EtOH, metanol MeOH, butanol BuOH, aseton, dimetilsulfoksida DMSO, dimetilformamida DMF, dan lain-lain. Glikosida flavonoid flavonoid dengan gula terikat lebih mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan air merupakan pelarut yang baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon flavonoid tanpa gula terikat yang sifatnya kurang polar, seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter atau kloroform Markham, 1988. Bentuk glikosida dari flavonoid terdapat pada vakuola, dan tergantung dari spesiesnya, glikosida bisa terdapat pada epidermis daun ataupun tersebar baik di jaringan epidermis maupun mesofil. Pada bunga, glikosida terdapat pada sel-sel epidermisnya. Glikosida tersebut dapat diekstraksi, umumnya pada suhu tinggi, dengan aseton atau alkohol etanol, metanol yang dicampur dengan air. Penguapan solven dilakukan jika terdapat fase air hasil ekstraksi menggunakan dua pelarut yang tak saling campur, misalnya: petroleum eter akan mengeliminasi klorofil dan lemak; dietil eter akan mengekstraksi aglikon bebas; etil asetat akan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 melarutkan sebagian besar glikosida. Sedangkan sakarida bebas akan tertinggal dalam fase air bersama glikosida yang paling polar jika ada Bruneton, 1999. Robinson 1995 menyebutkan bahwa glikosida flavonoid dapat larut dalam air dan pengekstraksian kembali larutan dalam air dengan pelarut organik yang tidak bercampur dengan air tetapi agak polar sering kali bermanfaat untuk memisahkan flavonoid dari senyawa yang lebih polar seperti karbohidrat. Etil asetat merupakan pelarut yang baik untuk menangani hal ini. Ketika ada flavonoid yang ditemukan dalam kutikula daun biasanya dalam bentuk aglikon. Aglikon ini memiliki sifat lipofilik karena adanya metilasi sebagian atau total pada gugus hidroksinya. Flavonoid yang bersifat lipofilik yang terdapat pada jaringan-jaringan di permukaan daun dapat diekstraksi menggunakan pelarut yang memiliki polaritas medium; kemudian dipisahkan dari lemak dan lilin atau pengotor-pengotor lain yang ikut terekstraksi Bruneton, 1999. Analisis kualitatif flavonoid dapat dilakukan dengan kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis. Kromatografi lapis tipis KLT lebih banyak digunakan karena waktu pemisahan lebih cepat dan hasil pemisahan lebih baik. Fase diam yang dapat dipilih untuk KLT antara lain selulosa, silika, dan poliamid. Pemilihan fase diam didasarkan pada tujuan KLT. Sedangkan untuk fase gerak dapat digunakan air, asam asetat, dan asam klorida maupun campuran pelarut. Untuk campuran pelarut, yang dapat digunakan biasanya n-butanol : asam asetat : air 4:1:5, t-butanol : asam asetat : air 3:1:1, kloroform : asam asetat : air 30:15:2, dan asam asetat : air : asam klorida 30:10:30 Markham, 1988. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 Fase gerak campuran n-butanol : asam asetat : air 4:1:5 dipakai fase atas, digunakan untuk memisahkan glikosida, aglikon, dan gula. Kelebihan fase gerak campuran n-butanol : asam asetat : air 4:1:5 dibandingkan t-butanol : asam asetat : air 3:1:1 adalah waktu pengembangan yang lebih pendek per kromatogram Markham, 1988. Bercak flavonoid hasil kromatografi dapat diamati dengan sinar tampak dan ultraviolet UV. Sebagian besar bercak flavonoid tidak terlihat pada sinar tampak. Karena alasan tersebut, untuk mendeteksi bercak, kromatogram diperiksa dengan sinar UV 365 nm. Memberikan uap amonium NH 3 pada kromatogram yang sudah benar-benar kering akan meningkatkan kepekaan deteksi dan menghasilkan perubahan warna yang ada kaitannya dengan struktur senyawa yang bersangkutan Markham, 1988. Penyemprotan kromatogram menggunakan pereaksi yang berlainan dapat memberikan informasi terbatas tentang struktur flavonoid. Ada empat pereaksi semprot yang biasanya digunakan, yaitu: 1. FeCl 3 . Deteksi kromatogram dengan larutan FeCl 3 akan menyebabkan terbentuknya kompleks berwarna yang dapat diamati dengan sinar tampak. 2. AlCl 3 . Larutan AlCl 3 5 yang bisa digunakan untuk spektroskopi UV-tampak bila disemprotkan pada kromatogram kemudian dikeringkan, menunjukkan semua 5-hidroksi-flavonoid sebagai bercak berfluoresensi kuning bila dilihat di bawah sinar UV 366 nm. Selain itu, bercak yang semula tidak tampak menjadi terlihat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 3. Kompleks difenil-asam borat-etanolamin. Pemakaian larutan 1 dalam metanol menunjukkan semua 3’, 4’-dihidroksi-flavon dan 3’, 4’-dihidroksi- flavonol sebagai bercak jingga. 4. Asam sulfanilat yang terdiazotasi. Kromatogram disemprot dengan pereaksi ini kemudian disemprot dengan natrium karbonat 20. Kebanyakan senyawa yang mempunyai gugus hidroksi fenol akan terlihat sebagai bercak kuning, jingga, atau merah. 5. Vanilin-HCl. Bercak merah atau merah lembayung segera setelah penyemprotan dan pemanasan oleh katekin dan proantosianidin, dan terbentuk lebih lambat oleh flavon dan dihidroflavonol Markham, 1988. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pramono, dkk 1993 menyebutkan pelarutan batu ginjal oleh daun tempuyung Sonchus arvensis L. diduga melalui efek diuretik oleh karena adanya kandungan mineral atau melalui pembentukan kompleks antara kandungan flavonoid dalam daun tempuyung dengan ion kalsium penyusun batu ginjal. Flavonoid yang terkandung dalam daun tempuyung, menurut hasil penelitian Pramono, dkk 1993, mengarah pada apigenin 7-glukosida dan luteolin 7-glukosida. Kedua senyawa ini mempunyai gugus hidroksi karbonil yang terdiri dari gugus hidroksi pada posisi 5 dan gugus karbonil pada posisi 4. Gugus hidroksi karbonil ini mempunyai sifat dapat membentuk kompleks khelat yang stabil dengan logam-logam seperti Pb, Fe, Al. Kebanyakan komposisi batu ginjal terdiri dari kalsium. Adanya ion kalsium ini merupakan agen yang mempunyai kemungkinan membentuk kompleks dengan gugus hidroksi karbonil dari 11 flavonoid. Gugus lain yang terdapat pada luteolin 7-glukosida dan mempunyai kemungkinan membentuk kompleks adalah gugus orto dihidroksi pada cincin benzen lateral.

C. Batu Ginjal