Cacing Gelang Ascaris lumbricoides

2.3.2. Soil Transmitted Helminths STH

Soil Transmited Helminths STH adalah cacing yang untuk menyelesaikan siklus hidupnya perlu hidup di tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk yang infektif bagi manusia. Prevalensi Soil Transmited Helminths yang paling banyak di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang Gandahusada, 2000.

2.3.2.1. Cacing Gelang Ascaris lumbricoides

Satu-satunya hospes definitive cacing ini adalah manusia. Penyakit yang disebabkan cacing ini disebut askariasis. Cacing jenis ini banyak ditemukan di daerah tropis dengan kelembapan tinggi. Di Indo nesia prevalensi askariasis tinggi, terutama terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60 sampai 90 Onggowaluyo, 2000.

a. Siklus Hidup

Telur yang infektif bila tertelan manusia menetas menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran di paru- paru menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk karena adanya rangsangan larva ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke osofagus, terakhir sampai di usus halus dan menjadi dewasa. Mulai dari telur matang yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan Onggowaluyo, 2000. Setelah 2 bulan menginfeksi cacing-cacing betina akan bertelur sekitar ± 20.000hari Uttiek, 2006. Cacing yang besar berukuran 20-25 cm tinggal menyebar di sepanjang usus kecil. Telur cacing yang keluar bersama tinja dapat mencemari tanah sekitar dan Universitas Sumatera Utara sayuran yang tidak dimasak. Bila telur tertelan, setelah melalui berbagai tahap perkembangan di dalam tubuh, cacing dewasa akan timbul di usus kecil D.B. Jelliffe, 1994. Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Gelang Ascaris lumbricoides Sumber : medicastore.com

b. Gejala Klinis

Ascaris lumbricorides menimbulkan gejala penyakit yang disebabkan oleh: Universitas Sumatera Utara 1. Larva : Menimbulkan kerusakan pada paru-paru dalam menyebabkan Loeffler Syndrome dengan gejala : demam, batuk, infiltrasi paru-paru, oedema, asthma, leucocytosis, ensionfilia. 2. Cacing dewasa : Penderitanya disebut Ascariasis. Penderita dengan infeksi ringan biasanya menjalani gejala gangguang usus ringan seperti: mual, nafsu makan berkurang, diare, dan konstipsi. Pada infeksi berat terutama pada anak- anak dapat terjadi malapsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Dalam sehari setiap ekor cacing menghisap 0.14 gr karbohidrat dalam usus halus penderita Onggowaluyo, 2000. c. Diagnosis Cara menegakkan diagnosis adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Dijumpainya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Cacing dewasa dapat keluar dengan sendirinya melalui mulut karena muntah atau melalui anus Onggowaluyo, 2000.

d. Epidemiologi

Cacing ini ditemukan kosmopolit, di Indonesian frekuensinya tinggi. Frekuensinya antara 60-90. Tanah liat, kelembaban tinggi, dan suhu yang berkisar antara 25-30 C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi infektif Gandahusada, 2000.

2.3.2.2. Cacing Cambuk Trichuris trichiura

Sarna halnya dengan cacing gelang, cacing cambuk juga banyak ditemukan di daerah tropis seperti di Indonesia, bila cacing gelang senang tinggal di usus halus, maka cacing cambuk betah tingga l di usus besar terkadang di usus buntu yaitu Universitas Sumatera Utara trichuriasis. Hospes definit cacing ini adalah manusia. Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah-daerah pedesaan, frekuensi antara 30-90. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak-anak Onggowaluyo, 2000.

a. Siklus Hidup

Manusia akan terinfeksi cacing ini apabila menelan telur matang dan telur itu menetas dalam usus halus. Untuk perkembangan larvanya, cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Cacing dewasa terdapat di daerah kolon terutama sekum. Waktu yang diper lukan untuk pertumbuhan mulai dari telur sampai menjadi dewasa bertelur adalah 1-3 bulan Onggowaluyo, 2000. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2 Siklus Hidup Cacing Cambuk Trichuris Trichiur a Sumber : medicastore.com

b. Gejala Klinis

Infeksi berat terutama terjadi pada anak. Cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Cacing ini menyebabkan pendarahan di tempat perlekatan dan dapat menimbulkan anemia. Pada anak, infeksi terjadi menahun dan berat. Gejala-gejala yang terjadi yaitu diare yang diselingi sindrom disentri, anemia, proplapsus rektal, dan berat badan turun. Onggowaluyo, 2000. Gejala timbul bisa berupa penyakit usus buntu bila ada cacing di bagian itu, nyeri perut, diare dengan mulas lendir kental dan licin, kotoran disertai sedikit darah, penurunan berat badan, terjadi prolapsus rektum penonjolan di daerah anus Uttiek, 2006.

c. Diagnosis

Diagnosis da pat dit egakkan den gan m enemukan telur dala m tinja atau menemu kan cacing dewasa pada pe nderita p rolapsus rek ti Uttiek. 2006.

d. Epidemiologi

Cacing ini ditemukan kosmopolit. Frekuensi di Indonesia tinggi berkisar 30- 90 di daerah pedesaan. Telur tumbuh dengan baik di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira-kira 30 C. Cacing ini ditemukan di semua daerah yang memiliki sanitasi yang mendukung pertumbuhannya Gandahusada, 2000.

2.3.2.3. Cacing Tambang Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

Universitas Sumatera Utara Ada dua spesies cacing tambang yang penting, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Penyakit yang disebabkan oleh parasit itu disebut Nekatoriosis ankilostomiasi Onggowaluyo, 2000. Cacing ini terdapat di seluruh daerah khatulistiwa dan ditempat lain yang beriklim sarna terutama di daerah pertambangan dan perkebunan yang lingkungannya bersanitasi jelek. Di Indonesia frekwensinya tinggi ± 70.

a. Siklus Hidup

Cacing dewasa hidup didalam usus halus manusia. Cacing melekat infeksi pada mukosa dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrosi kulit oleh larva filaniform yang ada di tanah. Telur kedua cacing ini keluar bersama-sama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia dengan waktu 1-1,5 hari telur menetas dan mengeluarkan larva. Selanjutnya dalam larva filariform dapat bertahan di dalam tanah selama 7-8 minggu Onggowaluyo, 2000. Larva cacing ini masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang utuh, terutama melalui tangan ketika dia memegang benda-benda yang mengandung larva. Dari pori- pori, larva cacing ini masuk ke aliran darah, lalu ke jantung, paru-paru, dilanjutkan melalui tenggorokan sampai ke usus. Umumnya cacing ini akan tinggal di usus halus dan menjadi dewasa. Seperti lazimnya cacing jenis lain, betinanya akan bertelur dan telurnya akan keluar lagi bersama tinja. Di tanah, telur akan menetas dalam 2 hari dan dalam 3-5 hari menjadi larva yang bersifat inefektif Uttiek, 2006. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3 Siklus Hidup Cacing Tambang Hook Worm Sumber : medicastore.com

b. Gejala Klinis

1. Larva : Setelah larva menembus kulit adalah timbulnya rasa gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak rasa gatal semakin hebat dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder apabila larva mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan pneumonitis yang tingkat gejalanya tergantung pada jumlah larva tersebut. 2. Cacing dewasa : Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa dapat berupa jaringan usus, gangguan gizi, dan kehilangan darah Onggowaluyo, 2000. Universitas Sumatera Utara

c. Diagnosa

Menurut metoda Harada Mori diagnosis pasti infeksi cacmg tambang ditegakan dengan menemukan telur dalam tinja dan larva yang dibiakan dalam tinja. Skala beratnya infeksi cacing tambang diketahui berdasarkan jumlah telur yang ditemukan dalam tinja Onggowaluyo, 2000.

d. Epidemiologi

Cacing tambang ditemukan kosmopolit, di Indonesia insiden tertinggi ditemukan pada pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur pasir, humus dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28- 32 C sedangkan untuk Ancylostoma duodenale 23-25 C. Pada umumnya Ancylostoma duodenale lebih kuat Gandahusada, 2000

2.3.3. Pencegahan Kecacingan