BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
4.1. Pendahuluan
Peneliti mengambil lokasi penelitian di Gereja Kristen Indonesia Pondok Tjandra Indah Sidoarjo yang bertempat di Jl. Taman Asri Utara
No. 1 Sidoarjo. Jumlah penganut kristen yang tergabung dalam GKI PTI ini berjumlah 1538 orang jemaat. GKI PTI dipilih karena menurut
survey dilapangan yang dilakukan peneliti, mayoritas gereja ini belum berhasil membuat laporan keungan yang dianggap layak dan sesuai serta
kurangnya transparansi kepada para donatur yang hampir keseluruhannya adalah jemaat gereja.
Dengan situasi seperti ini maka peneliti sangat tertarik untuk menganalisa tentang penerapan akuntansi pelaporan keuangan dalam
gereja, khususnya pada Gereja Kristen Indonesia Pondok Tjandra Indah Sidoarjo, meliputi sistem akuntansi, bentuk laporan keuangan, penerapan
audit, serta efektivitas pelaporan keuangan.
4.2. Sejarah Gereja Kristen Indonesia
Berbicara tentang sejarah GKI mengajak kita untuk kembali dulu dalam sejarah Gereja Protestan di Hindia Belanda. Banyak hal
dapat diangkat dalam uraian ini, tapi hal-hal yang paling penting kiranya
mencukupi untuk memahami GKI hingga kini. Tentu ada sebab- sebabnya mengapa gereja-gereja tidak senang dikuasai atau sekurang-
kurangnya berada dalam pengawasan ketat pemerintah kolonial. Ketidaksenangan itulah antara lain menyebabkan gereja-gereja berjuang
untuk berdiri sendiri. Maka jika kita berbicara tentang sejarah GKI, kita berbicara tentang suatu gereja yang mandiri dan dewasa membangun
dirinya. Suatu penilaian tentang Gereja Kristen Indonesia di Jatim dahulu
diberikan oleh Drs. Pranata Gunawan dalam bukunya yang berjudul “ Benih Yang Tumbuh GKI Jatim”. Beliau menjelaskan bahwa pada
zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie VOC sebenarnya sudah ada beberapa gereja berbahasa melayu. Gereja tersebut berada di Jakarta
1619, di Semarang 1753, di Depok dan Tugu. Melalui gereja-gereja tersebut kemudian berkembanglah pelayanan hingga ke Cirebon dan
Banten tapi dikhususkan untuk orang-orang Eropa. Aneh tapi nyata, Kehadiran Gereja tersebut hingga tahun 1815
VOC diambil alih tidak membawa dampak bagi usaha penginjilan di pulau jawa. Karena itu cukup beralasan jika dikatakan bahwa gereja-
gereja tersebut hanya lah “Gereja Boneka VOC”. Sebab mereka tidak terutama berakar pada dan bertumbuh dari kuasa Ilahi, melainkan sangat
bergantung bahkan tunduk pada kemauan VOC. Keadaan yang tidak gerejawi itu tidak dikehendaki lebih lama
oleh orang-orang yang memahami maksud injil. Maka pemisahan antara
Gereja dan Negara, yang mulai terwujud pada tahun 1934, merupakan hasil pergumulan yang tidak mudah sejak awal tahun-tahun 1900. Suatu
komisi negara yang dibentuk di tahun 1921, yang memberi laporannya di tahun 1927, menyebabkan diadakannya suatu “Persidangan Besar”
Grota Vergadering di tahun 1933. Jiwa dalam persidangan itu sangat berbeda dari jiwa yang hidup dalam persidangan yang serupa di tahun
1916. Perbedaan itu adalah hasil pertumbuhan kehidupan rohani yang lebih mantap, yang berkembang di dalam Jemaat-Jemaat Gereja
Protestan di seluruh Indonesia. Persidangan tahun 1933 itu merupakan suatu loncatan maju ke
arah pemisahan adminstratif antara Gereja dan Negara. Pemisahan administratif itu kemudian membuahkan terwujudkan gereja-gereja yang
berdiri sendiri di tahun 1934, 1935, 1947 dan 1948. Itupun dengan suatu pergumulan yang berat, karena ada Jemaat-jemaat yang tetap
mempertahankan hubungan antara Gereja dan Negara, ada yang lain sama sekali tidak mau adanya kaitan antara Gereja dan Negara.
Masalah yang meminta banyak perhatian sejak gereja-gereja bekas Gereja Protestan di Hindia Belanda berdiri sendiri ialah masalah
kesatuan dalam wadah satu Gereja. Dengan berdirinya sendiri gereja- gereja itu bagaimanakah “Gereja Protestan Am” tetap tidak akan
terpecah belah. Di dalam setiap sidang Sinode Am dari Gereja protestan di Indonesia GPI masalah itu mendapat perhatian khusus. Sampai
zaman pendudukan Jepang 1942 – 1945 masalah itu belum
terselesaikan dengan tuntas. Juga sesudah perang dunia kedua masalah itu masih meminta perhatian terbesar dalam sidang-sidang dari Gereja
protestan di Indonesia, maupun sidang-sidang dari gereja-gereja yang sudah berdiri sendiri GMIM dan GPM.
Dalam, sidang Sinode Am GPI 1948, yaitu sesudah pada tahun 1947 GMIT berdiri sendiri, suasana sangat berbeda dari yang ada di
tahun 1936 an 1939. Dalam sidang Sinode Am ke III GPI itu segenap gaya dan sifat pembicaraan ditentukan oleh peserta-peserta pribumi. Dan
keputusan-keputusan yang diambil mengenai hal-hal azas dan penting didasarkan atas pemahaman orang-orang Indonesia. Pemahaman itu
adalah tentang Gereja dan panggilannya serta tantangan-tantangan yang harus ditanggulangi oleh Gereja yang berakar teguh di bumi Indonesia
Merdeka. Khususnya tentang keesaan dan keperbagaian Gereja di Indonesia, sidang Sinode Am 1948 itu memberi sumbangsih yang sangat
berharga. Pandangan pokok yang melandasai pemikiran dalam Sinode Am itu adalah : Melalui pengaturan GPI sebagai satu wadah gerejani
yang terdiri dari empat gereja yang berdiri sendiri, diletakkan dasar- dasar bagi gereja-gereja lain di Indonesia asal hasil sending luar negeri,
untuk menuju terbentuknya satu Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. Jadi pada hakekatnya dalam sidang Sinode Am GPI tahun 1948 itulah
mulai salah satu sumber pergerakan oikoumene di Indonesia. Pandangan pokok itu antara lain didorong oleh semangat oikoumenis yang sudah
mulai bersemi dengan terbentuknya Dewan Gereja-Gereja se-Dunia
DGDWCC di Amsterdam, 22 Agustus sampai 4 September 1948. Kemudian pandangan pokok itu pula yang menjiwai peserta-peserta
konperensi Persiapan pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia DGI, sekarang PGI.
Berdasarkan berkas otentik yang ada, upaya untuk mengadakan suatu tata gereja sebenarnya merupakan upaya “ambil-alih”. Artinya
mengambil alih Tata gereja yang sudah dikenal waktu itu yakni Tata gereja the church of Christ in China. Dalam hal ini khusunya hanya
dikutip 4 artikel saja, yaitu tentang nama,dasar, Tujuan dan Hakikat Gereja.
4.3. Organisasi Gereja