dari yang semula diwarnai dengan penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu.
Penderitaan memang dapat memberikan makna dan guna apabila kita dapat memberikan sikap terhadap penderitaan itu menjadi lebih baik lagi.
Ini berarti dalam keadaan bagaimanapun sakit, nista, dusta, bahkan maut arti hidup masih tetap dapat ditemukan, asalkan saja dapat
mengambil sikap yang tepat dalam menghadapinya.
3. Cinta
a. Cinta dengan Syarat
Allport dalam Schultz, 1991 menyatakan bahwa relasi yang sehat adalah relasi yang ditandai oleh kapasitas masing-masing individu yang
terlibat untuk menunjukan keintiman dan perasaan terharu. Ada perbedaan antara hubungan cinta dari orang-orang yang neurotis harus menerima
cinta jauh lebih banyak daripada kemampuanya untuk memberi cinta kepada orang lain. Apabila mereka memberi cinta, maka cinta itu
diberikan dengan syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang tidak bersifat timbal-balik melainkan berpusat pada diri sendiri.
Rogers dalam Rini, 2012 menyatakan bahwa munculnya cinta bersyarat ini merupakan akibat dari pengalaman masalalu individu yang
dicintai dengan syarat-sayarat tertentu. Ciri dari cinta yang bersyarat adalah: “saya mencintaimu jika…” Dampak dari cinta bersyarat yang
dialami seseorang pada masa lalu adalah sikap defensif dan ketidakmampuan mencintai orang lain apa adanya.
Sikap defensif ditunjukan dengan tidak menampilkan diri apa adanya menggunakan topeng. Sikap tersebut muncul terutama ketika
terjadi kecemasan. Sayarat-syarat yang diberlakukan untuk diri sendiri akan membatasi tingkah lakunya dan mengubah kenyataan menjadi dunia
khayalan yang diidealkan. Oleh karena itu, individu tidak mampu berinteraksi sepenuhnya dengan orang lain dan bersikap terbuka dengan
lingkungannya. Dunia dipandang sebagai sesuatu yang mengancam. Syarat-syarat yang diterapkan untuk diri sendiri ini juga berlaku bagi orang
lain. Oleh karena itu dalam berelasi, ia akan cenderung menerapkan standar dan syarat-syarat personalnya pada orang lain. Akibatnya, ia tidak
mampu menerima orang lain apa adanya dan mencintainya dengan tulus. Dalam relasi yang tidak sehat seperti itu, diri menjadi pusat relasi.
Orang lain akan dipandang sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Ciri dari relasi semacam itu
antara lain berupa: “tuntutan, ketidakpuasan, pengekangan, pembatasan, penyamaan, kecamburuan, dan
iri hati”. Ini berlaku pada hampir semua jenis relasi, misalnya antara teman, saudara, orangtua-anak, atasan-bawahan. Jadi tidak terbatas pada
relasi antara laki-laki dan peremuan pacaran, suami-isteri. b.
Cinta tanpa Syarat Allport dalam Schultz, 1991 menyatakan bahwa orang yang sehat
secara psikologis mampu memperlihatkan keintiman cinta terhadap orang lain, baik terhadap orang tua, anak, pasangan, atau teman akrab.
Kapasitas keintiman adalah perasaan perluasan diri yang berkembang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan baik. Dengan kata lain, itu adalah kemampuan untuk keluar dari diri. Dalam relasi sehat, seorang mampu mengungkapkan partisipasi
otentik dengan orang yang dicintai dan memerhatikan kesejahteraan diri maupun orang lain.
Cinta yang sejati mernurut Fromm dalam Schultz, 1991 adalah hubungan manusia yang bebas dan sederajat, yaitu setiap orang dapat
mempertaruhkan invidualitas masing-masing. Diri seseorang tidak akan terserap atau hilang dalam cinta terhadap orang lain. Diri tidak berkurang
dalam cinta produktif, melainkan diperluas, dibiarkan terbuka sepenuhnya. Dengan demikian perasaan akan hubungan tercapai, tetapi identitas dan
kemerdekaan seseorang tetap terpelihara. Cinta yang produktif menyangkut empat hal, yaitu : perhatian, tanggung jawab, penghormatan,
dan penghargaan.
Mencintai orang
lain berarti
memerhatikan kesejahteraannya, membantu pertumbuhan dan perkembangannya. Hal itu
berarti memikul tanggung jawab untuk orang yang dicintai, antara lain dalam mau dan mampu mendengarkan kebutuhan-kebutuhannya.
Mencintai juga memandang orang yang dicintai dengan penuh penghargaan dan menerima individualitasnya.
Dalam relasi laki-laki-perempuan, Fromm dalam Schultz, 1991 menyatakan bahwa cinta yang produktif adalah suatu kegiatan, suatu
proses, bukan nafsu. Cinta yang produktif tidak terbatas pada cinta erotis, tetepi merupakan cinta persaudaraan cinta kepada semua manusia atau
cinta keibuan cinta dari ibu kepada anak. Allport dalam Schultz, 1991 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI