2. Jenis kedwibahasaan berdasarkan konteks terjadinya dwibahasa;
3. Jenis kedwibahasaan berdasarkan pertimbangan hubungan antara
penanda dan makna; 4.
Jenis kedwibahasaan berdasarkan urutan dan akibat pemerolehan bahasa seorang bilingual;
5. Jenis
kedwibahasaan berdasarkan
kompetensi penuturdwibahasawan;
6. Jenis kedwibahasaan berdasarkan kegunaan dan fungsinya.
12
Berdasarkan pernyataan Hoffman, kedwibahasaan berdasarkan umur saat seseorang mulai menggunakan dua bahasa juga bisa menimbulkan kategori
kedwibahasaan. Pada anak-anak disebut early bilingualism dan pada orang dewasa late bilingualism.
13
Jika melihat pada poin dua, maka kedwibahasaan terbentuk oleh bagaimana seorang anak memperoleh bahasa keduanya.
Apakah secara natural atau formal. Poin ketiga menjelaskan bahwa bagaimana bahasa pertama dan kedua
saling mendominasi. Poin selanjutnya menjelaskan bahwa kedwibahasaan berdasarkan urutan, maka ia memusatkan pada peningkatan atau penurunan
pemerolehan bahasa yang terjadi. Berdasarkan kompetensi penutur, kedwibahasaan dilihat dari seberapa luas kemampuan penutur dalam
menguasai bahasa kedua seperti bahasa pertamanya. Namun berdasarkan kegunaan dan fungsinya, kedwibahasaan bisa dilihat dari empat aspek
berbahasa, yaitu membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Kemampuan inilah yang dilihat pada dwibahasawan.
3. Campur Kode
a. Definisi Para Ahli
Kemampuan manusia dalam menguasai lebih dari satu bahasa menyebabkan adanya percampuran antara bahasa-bahasa tersebut ketika
seseorang berujar. Hal ini juga berpengaruh pada kemampuan berbahasanya
12
Ni Nyoman Padmadewi, dkk.,op.cit., hlm. 53-55
13
Ibid., hlm. 54
dalam bidang lain pula salah satunya menulis. Percampuran antara dua bahasa atau lebih sangat rentan terjadi dan selanjutnya dikenal dengan
istilah campur kode. Menurut Poedjosoedarmo dalam Kunjana mengatakan bahwa kode didefinisikan sebagai
“suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar
belakang, penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada.”
14
Sejalan dengan Poedjosoedarmo, Nababan mengungkapkan bahwa: “Suatu keadaan berbahasa lain ialah bilamana orang mencampur dua
atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa speech act discourse tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu
yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.
”
15
Aslinda dan Leny juga menyatakan hal yang sama bahwa “campur
kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa
Indonesia. ”
16
Cunningham menyatakan bahwa pada anak yang tumbuh dalam lingkungan dwibahasawan, peristiwa percampuran dua bahasa ini
pasti dialami, “by the two or three word stage, mixing is occuring a lot.”
17
Definisi mengenai campur kode juga menjadi perdebatan beberapa ahli. Thomason dalam Suhardi menyatakan bahwa
“code mixing or intrasentential, in which the switch comes within a single sentence,
”
18
yaitu peralihan bahasa pada batas kalimat dan terjadi dalam kalimat tunggal.
Sedangkan Gumperz dalam Suhardi juga menjelaskan bahwa “alih kode
dan campur kode merupakan bentuk dari situational shifting. ”
19
Made Iwan menegaskan bahwa campur kode atau dalam bahasa Inggrisnya code mixing
menegaskan bahwa “code mixing can be used to identify almost any
14
Suwito, Sosiolinguistik Pengantar Awal, Surakarta: Henary Offset Solo, 1985, hlm. 67.
15
P.W.J. Nababan, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia, 1993, hlm. 2
16
Aslinda dan Leni Syafyahya, op. Cit., hlm. 87.
17
Una Cunningham dan Staffan Andersson, Growing Up with Two Language, London: British Library Cataloging in Publication Data, 1999, hlm. 50
18
Basuki Suhardi, Pedoman Penelitian Sosiolinguistik, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2009, hlm. 44
19
Ibid., hlm. 45