Keawetan terhadap Rayap Kayu Kering

46 Gambar 3.27 Intensitas serangan marine borers Penelitian Marisan 2010 dengan jenis kayu badengan Spathiostemon javensis di lokasi yang sama diperoleh tingkat serangan sebesar 14.21. Kondisi kualitas air di lokasi penelitian adalah tingkat salinitas 31 ppm, suhu air 31.7 ºC, kadar oksigen terlarut 4.47 ppm, dan perairan yang jauh dari pencemaran sangat menunjang kehidupan penggerek kayu di laut. Penggerek kayu yang menyerang berasal dari jenis Teredo sp. dan Bankia sp. dari Famili Teredinidae. Kondisi contoh uji setelah pengumpanan dapat dilihat pada Gambar 3.28. Gambar 3.28 Kondisi kayu setelah pengujian marine borer Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95 diperoleh bahwa keawetan kayu terhadap organisme perusak kayu di laut tidak berbeda baik pada diameter maupun bagian batang.

3.6 Sifat Keterawetan Kayu

Dua faktor yang menentukan keberhasilan pengawetan kayu adalah retensi dan penetrasi. Retensi hasil pengujian menggunakan bahan pengawet Diffusol CB 5 dengan metode rendaman dingin selama 48 jam disajikan pada Gambar 3.29. Gambar 3.29 memperlihatkan bahwa retensi pada kayu teras baik pada bagian pangkal maupun ujung batang lebih rendah dibanding kayu gubalnya. Hal ini menunjukkan bahwa keterawetan kayu gubal maniani lebih tinggi dibandingkan kayu terasnya. 20 40 60 80 100 PT50 PG50 UT50 UG50 PT60 PG60 UT60 UG60 Badengan In te n si ta s se ra n ga n Bagian batang 47 Gambar 3.29 Retensi Diffusol CB dengan metode rendaman dingin Hasil uji penetrasi bahan pengawet tembaga Cu dan Boron Bo menggunakan metode rendaman dingin seperti pada Gambar 3.30. Gambar tersebut menunjukkan bahwa penetrasi boron lebih tinggi dibandingkan tembaga. Penetrasi boron terendah pada kayu teras bagian pangkal, sedangkan tertinggi pada kayu gubal bagian ujung batang. Penetrasi tembaga lebih tinggi pada kayu gubal bagian pangkal dan ujung batang, sedangkan penetrasi pada kayu teras lebih rendah. Penetrasi senyawa boron lebih tinggi dibanding senyawa tembaga disebabkan oleh lemahnya daya fiksasi boron. Daya fiksasi yaitu kemampuan bahan pengawet untuk saling berikatan dengan dinding sel. Boron dapat dengan mudah menembus dinding sel sehingga penetrasinya lebih besar, sedangkan tembaga mudah terikat pada dinding sel sehingga daya penetrasinya lebih kecil. Jenis kayu, posisi pada batang, maupun kerapatan kayu mempengaruhi retensi dan penetrasi bahan pengawet kayu. Setiap jenis kayu memiliki struktur anatomi dan kerapatan yang berbeda. Pada kayu daun lebar, perubahan kayu gubal menjadi kayu teras diiringi dengan pembentukan zat ekstraktif. Zat ekstraktif ini mengendap dalam lumen pembuluh sehingga terbentuk tilosis yang menyumbat rongga pembuluh sehingga mengurangi permeabilitas dan menghambat gerakan bahan pengawet Hunt Garrat 1986. Pengamatan struktur anatomis bagian teras kayu maniani menunjukkan tumpukan endapan pada jaringan pembuluh sehingga menghambat aliran bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Gambar 3.30 Penetrasi bahan pengawet tembaga dan boron 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 PT PG UT UG R e te n si k gm 3 Bagian batang 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 PT PG UT UG P e n e tra si m m Bagian batang Tembaga Boron 48 Sulitnya kayu teras ditembus oleh cairan bahan pengawet juga dapat terjadi karena tersumbatnya rongga sel oleh endapan yang menyebabkan kayu menjadi kurang porous Haygreen dan Bowyer 1989. Hubungan kerapatan dengan sifat keterawetan dapat dilihat dari kondisi pori. Kayu dengan kerapatan rendah umumnya memiliki diameter pori besar dan tidak dijumpai tilosis sehingga memudahkan masuknya larutan bahan pengawet ke dalam kayu. Sebaliknya kayu dengan pori kecil dan memiliki tilosis akan sulit untuk diawetkan Hunt dan Garrat 1986. Hasil pengujian keterawetan kayu ini jauh lebih rendah nilainya jika dibandingkan persyaratan yang ditetapkan dalam SNI 03-5010.1-1999 yaitu retensi bahan pengawet sebesar 8,0 kg m -3 untuk penggunaan di bawah atap, dan 11.0 kg m -3 untuk penggunaan di luar atap, serta penetrasi sebesar 5 mm. Hal ini disebabkan oleh karena kurang efektifnya metode pengawetan dengan rendaman dingin untuk jenis kayu ini. Dengan kondisi pori yang banyak berisi endapan dan berat jenis yang cukup tinggi maka proses pengawetan harus menggunakan teknik lain yang lebih baik seperti proses vakum, vakum tekan atau proses tekan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bagian batang berpengaruh tidak nyata terhadap retensi dan penetrasi boron, sedangkan penetrasi tembaga berpengaruh nyata pada setiap bagian batang.

3.7 Sifat Pengeringan Kayu

3.7.1 Sifat Dasar Pengeringan Kayu Hasil pengujian sifat pengeringan kayu menggunakan metode Terazawa menunjukkan bahwa kayu maniani memiliki sifat pengeringan yang bervariasi dari agak buruk sampai baik Tabel 3.25. Sifat pengeringan agak buruk pada contoh uji kayu bagian pangkal diameter 60 cm. Untuk sampel bagian ujung diameter 50 cm kualitas pengeringannya sedang, sedangkan bagian pangkal diameter 50 cm dan bagian ujung diameter 60 cm sifat pengeringannya baik. Cacat terparah yang dialami oleh semua sampel adalah retak atau pecah permukaan. Cacat yang paling ringan adalah deformasi perubahan bentuk. Bagian pangkal pada sampel diameter 60 cm mengalami cacat terparah karena kandungan airnya pada awal proses pengeringan masih tinggi yaitu sebesar 75.50. Tabel 3.25 Sifat dasar pengeringan kayu maniani Diameter batang cm Bagian batang KA Risalah Cacat Tingkat cacat diambil Sifat penge- ringan Retakpecah permukaan Pecah dalam Deformasi Max Min Max Min Max Min 50 Pangkal 65.74 2 1 1 1 1 1 2 Baik Ujung 72.57 4 1 2 1 1 1 4 Sedang 60 Pangkal 75.50 5 1 3 1 1 1 5 Agak buruk Ujung 69.89 2 1 1 1 1 1 2 Baik Sesuai dengan sifat alami kayu yang higroskopis, maka pada saat proses pengeringan berjalan, kayu akan menyesuaikan kondisi bagian dalam kayu dengan udara sekitarnya. Bagian permukaan kayu yang mengering lebih dahulu