Pengembangan model penduga transparansi perairan

r sebesar 0.9. Hal ini berarti sebanyak 90 nilai klorofil-a yang diekstrak dari citra dapat dijelaskan oleh model polynomial orde 3 ini. Nilai klorofil-a yang tidak dapat dijelaskan oleh model polynomial orde 3 ini hanya 10 saja. Model yang memiliki nilai RMS error paling rendah adalah model polynomial orde 2 dengan nilai 0.0701. Namun, karena nilai R 2 jauh lebih tinggi pada model polynomial orde 3 maka pada musim hujan model yang dianggap paling baik untuk menduga konsentrasi klorofil-a adalah model polynomial orde 3. Jadi, model penduga konsentrasi klorofil musim hujan adalah sebagai berikut. y = -3900.x 3 + 3947.x 2 - 1336.x + 151.4 .................................................... 11 di mana: y = konsentrasi klorofil-a mgm 3 x = nilai kromatisiti merah

4.1.2 Pengembangan model penduga transparansi perairan

Untuk model penduga transparansi perairan, kombinasi kanal terbaik yang ditetapkan dalam pemodelan trasnparansi perairan ini adalah menggunakan kromatisiti biru. Pemilihan kromatisiti biru ini karena grafik hubungan antara kromatisiti biru dengan nilai in situ transparansi perairan menunjukkan pola yang paling teratur, yaitu semakin tinggi kombinasi kanal terpilih kromatisiti biru semakin tinggi pula transparansinya. Adapun kombinasi kanal kromatisiti biru sebagai berikut. Kromatisiti biru = - - - - .............................................. 12 Berikut merupakan grafik hubungan kromatisiti biru dengan nilai transparansi in situ pada musim kemarau dan musim hujan. Gambar 4. Hubungan kromatisiti biru dengan nilai in situ transparansi perairan m pada musim kemarau dan musim hujan Maeden dan Kapetsky 1991 menyatakan bahwa penerapan aplikasi kanal-1 Landsat TM adalah untuk penetrasi ke badan air, pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, dan pembeda tanah dan vegetasi. Karena kanal-1 terspesifikasi untuk pemetaan perairan pesisir serta mengetahui penetrasi cahaya matahari ke perairan maka kanal-1 baik untuk digunakan sebagai kombinasi kanal terpilih dalam pemodelan transparansi perairan. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah kromatisiti kanal-1. Penggunaan kanal tunggal kanal-1 seperti penelitian Mujito et. al. 1997 di Situbondo maupun rasio kanal kanal-1kanal-3 seperti penelitian Chipman et. al. 2004 di Danau Wisconsin, USA tidak digunakan dalam pengembangan model karena grafik hubungannya dengan nilai in situ perairan tidak menunjukkan adanya hubungan yang teratur. Hasil pemodelan dengan kromatisiti biru ini disajikan dalam Tabel 11 untuk model pada musim kemarau dan Tabel 12 untuk model pada musim hujan. Tabel 11. Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau Mei-Oktober dan nilai R 2 serta RMS error-nya No. Model Hubungan Pengujian R 2 RMS error 1 Linear : y = 35.21x - 8.014 0.851 0.7158 2 Logaritmik : y = 12.22lnx + 17.26 0.835 0.7535 3 Eksponensial : y = 0.218e 8.266x 0.876 0.7637 4 Polynomial orde 2 : y = 59.41x 2 - 7.105x - 0.616 0.858 0.6996 5 Polynomial orde 3 : y = -1297.x 3 + 1479.x 2 - 518.4x + 59.87 0.866 0.6804 6 Power : y = 85.63x 2.905 0.880 0.7095 Koefisien determinasi tertinggi pada model-model transparansi perairan musim kemarau Tabel 11 adalah 0.880 pada model power. Nilai R 2 yang tinggi setelah power adalah eksponensial sebesar 0.876, setelah itu beturut-turut polynomial orde 3, polynomial orde 2, logaritmik, dan yang terkecil adalah pada model linear dengan nilai R 2 0.851. Nilai R 2 merupakan krikteria kecocokan model dan berkisar antara 0-1 di mana semakin besar nilai R 2 mendekati satu maka nilai model dugaan semakin baik pula. Nilai koefisien determinasi 0.880 berarti memiliki koefisien korelasi r 0.9381, yang menunjukkan bahwa 93.81 keragaman transparansi dapat dijelaskan dengan model tersebut dan sebanyak 6.19 perubahan transparansi perairan tidak dapat dijelaskan oleh model. Untuk nilai RMS error, semakin kecil nilai kesalahan ini, maka akan semakin baik model hubungan yang dibuat. Tabel 11 menunjukkan bahwa model yang memiliki nilai RMS error terkecil adalah model polynomial orde 3 sebesar 0.0540 dan model yang memiliki nilai RMS error terbesar adalah model eksponensial dengan nilai error sebesar 0.0606. Hal ini berarti model power memiliki nilai R 2 paling tinggi dan model polynomial orde 3 memiliki nilai RMS error paling kecil. Dari hasil ketiga pengujian tersebut maka diambil kesimpulan untuk menggunakan model polynomial orde 3 sebagai model transparansi perairan untuk musim kemarau sebagai berikut. y = -1297.x 3 + 1479.x 2 - 518.4x + 59.87 .................................................... 13 di mana: y = nilai transparansi perairan m x = nilai kromatisiti biru Tabel 12. Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan November-April dan nilai R 2 serta RMS error-nya No. Model Hubungan Pengujian R 2 RMS error 1 Linear : y = 103.2x - 28.27 0.760 1.5014 2 Logaritmik : y = 33.27lnx + 42.8 0.750 1.5308 3 Eksponensial : y = 0.002e 23.07x 0.685 1.7921 4 Polynomial orde 2 : y = 486.4x 2 - 213.9x + 23.08 0.772 1.4621 5 Polynomial orde 3 : y = -3312.x 3 + 3724.x 2 - 1264.x + 136.1 0.773 1.4601 6 Power : y = 20521x 7.517 0.692 1.5640 Nilai R 2 tertinggi dengan nilai 0.773 terdapat pada model polynomial orde 3 dan 3. Nilai R 2 0.773 berarti memiliki nilai r koefisien korelasi 0.8792. Jadi, sebanyak 87.92 data transparansi perairan dapat dijelaskan oleh model polynomial tersebut, dan hanya 12.08 yang tidak dapat dijelaskan dengan model tersebut. Nilai R 2 yang juga tinggi setelah polynomial 3 adalah polynomial 2 dengan nilai 0.772. Nilai R 2 yang terkecil adalah pada model eksponensial dengan nilai R 2 0.685. Nilai RMS error terkecil terdapat pada model polynomial orde 3 yakni sebesar 1.4601. Pada model polynomial orde 3, nilai RMS error-nya tidak jauh berbeda dengan pada polynomial orde 2 yaitu 1.4621. Nilai RMS error terbesar adalah pada model eksponensial dengan nilai error sebesar 1.7921. Dari hasil pengujian model tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model transparansi perairan yang paling tepat untuk musim hujan adalah model polynomial orde 2 karena memiliki nilai R 2 paling tinggi dan penyimpangan RMS paling kecil. Jadi dalam penelitian ini, untuk memetakan nilai transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan digunakan model berikut. y = -3312.x 3 + 3724.x 2 - 1264.x + 136.1 .................................................... 14 di mana: y = nilai transparansi perairan m x = nilai kromatisiti biru 4.2 Pengujian model 4.2.1 Uji-t Uji beda nilai tengah uji-t dilakukan untuk mengetahui beda nilai tengah antara nilai duga dari model hubungan yang dibuat dengan nilai in situ klorofil-a dan transparansi perairan Tabel 13. Tabel 13. Hasil uji-t pengembangan model penduga Keterangan Hasil Uji-t antara nilai in situ konsentrasi klorofil-a dengan nilai duga Musim Kemarau t-hitung = 0.0192 t-tabel = 1.9680 t-hitung berada dalam kisaran t-tabel Musim Hujan t-hitung = 3.4612 t-tabel = 2.0017 t-hitung di luar kisaran t-tabel Uji-t antara nilai in situ transparansi perairan dengan nilai duga Musim Kemarau t-hitung = 0.2272 t-tabel = 1.9725 t-hitung berada dalam kisaran t-tabel Musim Hujan t-hitung = 0.0260 t-tabel = 1.989 t-hitung berada dalam kisaran t-tabel Hasil uji-t antara nilai in situ konsentrasi klorofil-a dengan nilai duga pada musim kemarau memiliki nilai t-hitung 0.0192 masuk dalam selang kritis -1.9680 t-hitung = 0.0192 1.9680 sehingga model pendugaan konsentrasi klorofil-a untuk musim kemarau yang dibuat dapat diandalkan. Selang kritis ini merupakan wilayah terima. Jika t-hitung masuk dalam wilayah terima, maka model dapat diandalkan karena nilai tengah pengukuran in situ tidak beda nyata dengan nilai duga 1 = 2 . Jika t-hitung di luar selang kritis ini, maka t-hitung berada dalam wilayah penolakan sehingga model tidak dapat diandalkan karena in situ berbeda nyata dengan duga 1 2 . Namun, nilai t-hitung untuk musim hujan berada di luar selang kritis t-hitung = 3.4612 2.0017. Hal ini berarti nilai tengah antara klorofil-a in situ dengan model dugaan berbeda nyata 1 2 sehingga model pendugaan konsentrasi klorofil-a pada musim hujan yang dikembangkan tidak terlalu baik dalam menduga konsentrasi klorofil-a. Hal ini bisa saja terjadi karena pengaruh cuaca pada musim hujan yang menghambat pengambilan sampel air laut. Selain itu, Teluk Jakarta merupakan perairan tipe II yang sifat optik air lautnya didominasi oleh sedimen suspensi, bahan organik terlarut yellow substances, dan partikel yang berasal dari tanah, sungai, dan gletser Lo, 1996. Pada musim hujan, terjadi pencampuran antara material-material yang terkandung dalam air laut sehingga menghambat proses pencitraan yang dilakukan satelit, dalam hal ini menyebabkan sensor satelit kurang mampu membedakan pantulan yang berasal dari fitoplankton atau dari material terlarut lainnya. Untuk uji-t model penduga transparansi perairan musim kemarau, nilai t- hitung 0.2272 masuk dalam selang kritis -1.9725 t-hitung = 0.2272 1.9725. Sama halnya dengan musim kemarau, nilai t-hitung untuk transparansi pada musim hujan adalah -0.0260 dan masuk dalam selang kritis -1.989 t-hitung = 0.0260 1.989. Jika t-hitung masuk dalam selang t-tabel maka model dapat diandalkan. Hal ini berarti kedua model transparansi perairan dapat diterima dan nilai tengah nilai in situ transparansi perairan tidak berbeda nyata dengan nilai duganya 1 = 2 . 4.2.2 Uji-F Hasil uji-F disajikan dalam Tabel 14. Pada uji-F, jika F-hitung F-tabel maka hasil pengujian adalah tolak H . Tabel 14. Hasil uji-F dari nilai transparansi perairan dengan klorofil-a Keterangan Hasil Uji-F antara nilai duga transparansi perairan dengan nilai duga klorofil-a dari model Musim Kemarau F-hitung = 323.4816 F-tabel = 3.8712 F-hitung F-tabel Musim Hujan F-hitung = 10.4334 F-tabel = 4.0040 F-hitung F-tabel Uji-F antara nilai in situ transparansi perairan dengan nilai in situ klorofil-a Musim Kemarau F-hitung = 30.3917 F-tabel = 3.8712 F-hitung F-tabel Musim Hujan F-hitung = 5.6553 F-tabel = 4.0040 F-hitung F-tabel Semua hasil uji-F menghasilkan nilai F-hitung F-tabel. Uji-F antara nilai transparansi perairan dari model dugaan dan konsentrasi klorofil-a dari model dugaan diperoleh hasil F-hitung = 323.4816 dan F-tabel = 3.8712 untuk musim kemarau dan F-hitung = 10.4334 dan F-tabel = 4.0040 untuk musim hujan. Hal ini berarti hasil pengujian baik untuk musim kemarau dan musim hujan adalah tolak H dan terima H 1 sehingga terdapat hubungan antara transparansi perairan dan konsentrasi klorofil-a dari model dugaan yang dibuat. Jika mengacu pada pustaka Drapper dan Smith 1981, korelasi antara klorofil-a dan transparansi perairan yang diekstrak dari model termasuk tinggi, karena nilai F-hitung-nya empat sampai lima kali lebih besar dari F-tabel pada selang kepercayaan 95 pada kedua musim. Sebagai pembanding, dilakukan pula uji-F antara nilai in situ transparansi perairan dan konsentrasi klorofil-a dan diperoleh hasil F-hitung = 30.3917 dan F-tabel = 3.8712 untuk musim kemarau dan F-hitung = 5.6553 dan F-tabel = 4.0040 untuk musim hujan. Hal ini mempunyai arti yang sama dengan uji-F antara nilai-nilai duga yang diekstrak dari model, sehingga memperkuat bukti bahwa terdapat hubungan antara nilai klorofil-a dengan transparansi perairan. Berdasarkan Drapper dan Smith 1981, korelasi antara transparansi perairan dan klorofil-a yang diekstrak dari model pada musim kemarau berbeda dengan musim hujan. Pada musim kemarau, nilai F-hitung empat sampai lima kali lebih besar dari pada F-tabel sehingga korelasi antara nilai in situ klorofil-a dan transparansi sangat baik. Akan tetapi, pada musim hujan, nilai F-hitung tidak lebih besar dari pada empat sampai lima kali F-tabel sehingga korelasi antara nilai-nilai in situ pada musim hujan ini tidak seerat pada musim kemarau. Hal ini disebabkan kondisi cuaca pada musim hujan yang tidak efektif untuk pengambilan data sehingga bias yang terjadi cukup besar. Hubungan antara klorofil dan transparansi adalah hubungan saling mempengaruhi. Meningkatnya konsentrasi klorofil suatu perairan akan menyebabkan berkurangnya kemampuan penetrasi cahaya matahari ke perairan dan transparansi perairan pun berkurang. Hal ini sangat cocok diterapkan dalam perairan tipe I case I water di mana menurut Susilo dan Gaol 2008, komponen utama yang mempengaruhi sifat optik atau biooptik air laut tipe ini adalah fitoplankton, khususnya klorofil-a. Perairan Teluk Jakarta tidak termasuk dalam tipe perairan ini karena sifat optik air lautnya lebih didominasi oleh sedimen suspensi, bahan organik terlarut yellow substances, dan partikel yang berasal dari tanah, aktivitas-aktivitas manusia di daratan, dan run off sungai merupakan perairan tipe II case II water. Jadi, hubungan antara transparansi dengan klorofil-a tidak boleh dinyatakan hanya dengan grafik regresi linear sederhana tanpa memperdulikan keberadaan yellow substances di perairan Teluk Jakarta. 4.3 Pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan dari model Setelah pengembangan dan pengujian model selesai, model diterapkan dalam pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan Teluk Jakarta baik untuk musim kemarau maupun untuk musim hujan. Pemetaan ini termasuk dalam metode pengkajian Teluk Jakarta secara kualitatif dengan melihat sebaran yang terbentuk secara visual.

4.3.1 Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta musim kemarau